| 0 Comments | 148 Views
Pengantar
Cara al-Quran berbicara tentang hukum
berbeda tergantung maslahat yang terkandung dalam hukum tersebut, apakah
maslahat itu tetap ataukah berubah-ubah. Apabila hukum berdasarkan maslahat
yang berubah-ubah, tergantung konteks tempat dan waktu, maka dalam hukum diatur
ketentuan-ketentuan dasar dan umum, dan perinciannya diserahkan kepada
mujtahid. Namun, ketika hukum berdasarkan atas maslahat yang tetap dan tidak
berubah-ubah, maka hukum tersebut wajib diterapkan di setiap masa dan tempat.
Misalnya shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagaimana hukum yang berkaitan
dengan perkawinan, talak, waris.
Dalam hal hukum waris Islam, laki-laki
memperoleh bagian satu dan perempuan memperoleh setengah bagian laki-laki (2:1)[1] adalah sesuatu yang
berkembang secara umum di masyarakat. Pembagian 2:1 dianggap merendahkan
martabat kaum perempuan, karena perempuan dinilai separo laki-laki. Sehingga,
banyak yang mengkritik hukum waris Islam dengan alasan hukum waris Islam tidak
adil, adanya ketimpangan gender dan sebagainya. Hal ini sebenarnya kurang tepat,
karena pembagian 2:1 bukanlah aturan umum dalam hukum waris Islam.
Pengertian
Waris
Secara bahasa, waris berasal dari bahasa
Arab “wariṡa – yariṡu – irṡan – mīrāṡan” yang berarti “ kekal (al-bāqi).”
Waris juga diartikan perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau
dari satu golongan kepada golongan yang lain. Pengertian ini mempunyai cakupan
yang luas, karena tidak menyangkut harta benda saja, melainkan juga mengenai
ilmu atau kemuliaan. Termasuk dalam pengertian ini adalah sabda Rasulullah saw.[2]
العلماء ورثة الأنبياء
“Ulama adalah pewaris para nabi.”
Menurut istilah, waris adalah perpindahan
pemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih
hidup, baik berupa uang, barang-barang kebutuhan hidup atau hak-hak syar’iyyah.[3]
Waris dikenal juga dengan istilah “farāiḍ,”
jamak dari “farīḍah,” yang berarti: bagian, ukuran, ketentuan. Dinamakan
demikian karena Allah sendiri yang menentukan bagian-bagian tiap ahli waris.
Berbeda dengan kebanyakan hukum seperti shalat, zakat, haji, dan lain-lain,
yang mana nash-nashnya bersifat global dan diperinci oleh Sunah.[4]
Ahli
Waris dan Bagian Warisan
Hukum waris Islam merupakan bagian dari
konstruksi ajaran agama Islam yang secara letter lijk termuat dalam
teks-teks ayat suci al-Quran. Al-Quran telah mengatur mengenai cara pembagian
harta waris, ahli waris dan syarat-syarat sebagai ahli waris, wasiat, dan
hal-hal yang secara rinci membahas mengenai waris.[5]
Mengenai ahli waris, laki-laki dan perempuan
sama-sama berhak atas harta warisan. Secara garis besar ahli waris laki-laki ada
sepuluh orang, sedangkan secara terperinci ada 15 orang, yaitu:[6]
1. Anak
laki-laki.
2. Cucu
laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
3. Ayah.
4. Kakek
dari ayah, dan seterusnya ke atas.
5. Saudara
kandung.
6. Saudara
seayah.
7. Saudara
seibu.
8. Anak
laki-laki saudara kandung.
9. Anak
laki-laki saudara seayah.
10. Anak
laki-laki saudara seibu.
11. Paman
sekandung (saudara ayah sekandung).
12. Paman
seayah (saudara ayah seayah).
13. Anak
laki-laki paman sekandung.
14. Anak
laki-laki paman seayah.
15. Suami.
16.
Orang laki-laki
yang memerdekakan hamba sahaya.
Sedangkan ahli waris perempuan secara
garis besar ada tujuh orang, dan secara terperinci ada sepuluh orang, yaitu:[7]
1.
Anak perempuan.
2.
Ibu.
3.
Cucu perempuan
dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah.
4.
Nenek dari ibu,
dan seterusnya ke atas.
5.
Nenek dari ayah,
dan seterusnya keatas.
6.
Saudari kandung.
7.
Saudari seayah.
8.
Saudari seibu.
9.
Istri.
10.
Perempuan yang
memerdekakan hamba sahaya.
Adapun bagian-bagian waris yang sudah
ditentukan dalam al-Quran (al-furūḍ) adalah sebagai berikut:
1.
Bagian seperdua (1/2):
﴿
وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ ﴾
Jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta.[8]
﴿وَلَكُمۡ
نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ ﴾
Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika
mereka tidak mempunyai anak.[9]
﴿
إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُۥ وَلَدٞ وَلَهُۥٓ أُخۡتٞ فَلَهَا نِصۡفُ مَا
تَرَكَۚ ﴾
Jika seorang
meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya.[10]
2.
Bagian seperempat (1/4):
﴿
فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ ﴾
Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya.[11]
﴿
وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ ف﴾
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.[12]
3.
Bagian seperdelapan (1/8):
﴿فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ
فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ ﴾
Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan.[13]
4.
Bagian sepertiga (1/3):
﴿
فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ ﴾
Jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga.[14]
﴿ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن
ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ﴾
Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu.[15]
5.
Bagian dua pertiga (2/3):
﴿
فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ ﴾
Dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan.[16]
﴿ فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ
فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ ﴾
Tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal.[17]
6.
Bagian seperenam (1/6):
﴿
وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ
لَهُۥ وَلَدٞۚ ﴾
Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak.[18]
﴿
فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ ﴾
Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.[19]
﴿
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ ﴾
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.[20]
|
|||||
Tabel 1. al-Furūḍ dan Aṣḥāb al-Furūḍ
|
|||||
1/2 |
1/4 |
1/8 |
2/3 |
1/3 |
1/6 |
1.
Anak perempuan, satu orang. 2.
Cucu perempuan, dari anak laki-laki satu orang. 3.
Saudari kandung, satu orang. 4.
Saudari seayah, satu orang. 5.
Suami |
1.
Suami. 2.
Istri. |
1.
Istri. |
1.
Anak perempuan, dua orang atau lebih. 2.
Cucu perempuan dari anak laki-laki, dua orang atau
lebih. 3.
Saudari kandung, dua orang atau lebih. 4.
Saudari seayah, dua orang atau lebih. |
1.
Ibu. 2.
Saudari seibu. 3.
Saudara seibu. |
1.
Ibu. 2.
Nenek. 3.
Cucu perempuan dari anak laki-laki. 4.
Saudari seayah. 5.
Saudari seibu. 6.
Saudara seibu. 7.
Ayah. 8.
Kakek. |
Catatan: Masing-masing aṣḥāb
al-furūḍ memiliki syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi. Dalam
tulisan ini, syarat-syarat tersebut tidak penulis jelaskan. |
Dari Tabel 1. diatas aṣḥāb
al-furūḍ berjumlah 13 orang, yaitu suami, saudara seibu, ayah, kakek, anak
perempuan, cucu dari anak laki-laki, ibu, nenek dari ibu, nenek dari ayah,
saudari kandung, saudari seayah, saudari seibu, dan istri. Jika diperhatikan,
dari 13 orang aṣḥāb al-furūḍ ini empat orang dari laki-laki dan sembilan
orang dari perempuan.
Lebih jauh lagi, apabila diperhatikan Tabel
1. diatas akan diperoleh hal-hal sebagai berikut:[21]
a.
Bagian 2/3, bagian
terbesar dalam al-Quran, hanya diperuntukkan bagi ahli waris perempuan. Tidak
seorangpun ahli waris laki-laki yang memperoleh bagian ini.
b.
Bagian 1/2,
diperuntukkan bagi empat orang ahli waris perempuan. Dan satu ahli waris
laki-laki, yaitu suami, ketika pewaris tidak memiliki keturunan.
c.
Bagian 1/3,
diperuntukkan bagi ibu dan saudara-saudari seayah.
d.
Bagian 1/6,
diperuntukkan bagi delapan ahli waris. Lima orang dari perempuan dan tiga orang
dari laki-laki.
e.
Bagian 1/4,
diperuntukkan bagi suami ketika pewaris memiliki keturunan, dan istri ketika
pewaris tidak memiliki keturunan.
f.
Bagian 1/8,
diperuntukkan bagi istri ketika pewaris memiliki keturunan.
Dalam Islam dikenal dua cara pembagian
warisan, yaitu melalui farḍ atau melalui ta’ṣīb. Pembagian
melalui farḍ adalah pembagian waris sesuai bagian yang telah ditentukan,
yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Pembagian melalui ta’ṣīb adalah
pembagian waris tanpa ditentukan bagiannya; ahli waris bisa memperoleh keseluruhan
harta waris ketika sendirian, atau bagian yang tersisa setelah harta waris
dibagi melalui farḍ, atau tidak memperoleh sama sekali ketika harta
warisan habis dibagi melalui farḍ. Mayoritas ahli waris perempuan
memperoleh warisan melalui farḍ. Sedangkan mayoritas ahli waris
laki-laki memperoleh warisan melalui ta’ṣīb.
Perbedaan
Bagian antara Ahli Waris
Pemahaman yang hakiki terhadap filsafat
hukum waris Islam akan menemukan bahwa adanya perbedaan bagian dalam warisan
disebabkan hikmah ilahiah dan tujuan-tujuan Tuhan. Perbedaan dalam bagian
waris tersebut, dalam filsafat hukum waris Islam, disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni tingkat kekerabatan ahli waris dengan pewaris, posisi ahli waris
dalam garis (generasi) keluarga, dan tanggung jawab yang dipikul oleh ahli waris. [22]
a.
Tingkat
kekerabatan ahli waris dengan pewaris.
Semakin
dekat tingkat kekerabatan ini, bagian waris yang diperoleh akan semakin besar.
Dan sebaliknya, semakin jauh tingkat kekerabatan, bagian waris yang diperoleh
akan semakin sedikit.
b.
Posisi
ahli waris dalam garis (generasi) keluarga.
Waris
diberikan kepada orang terdekat yang dianggap sebagai kelanjutan eksistensi si
mayit, tanpa membedakan besar atau kecil, laki-laki atau perempuan. Karena itu
anggota keluarga yang paling beruntung dalam hal waris adalah anak, dan orang
yang dinasabkan kepada si mayit. Meskipun dalam syariat telah ditentukan bahwa
orang tua mempunyai hak milik dalam harta anaknya, sebagaimana hadis Nabi SAW., [23]
أنت ومالك لأبيك
“ Kamu dan hartamu
adalah kepunyaan ayahmu.”
Namun,
kebutuhan anak lebih besar sehingga anak mendapat bagian lebih banyak dari
orang tua. Sebab anak memikul tanggungjawab sebagai pelanjut orang tua untuk
meneruskan kehendak, kebutuhan, cita-cita dan eksistensi keluarga.[24] Seorang anak laki-laki
memiliki bagian yang lebih besar dari ayah. Dan seorang anak perempuan memiliki
bagian yang lebih besar dari ibu, bahkan lebih besar dari bagian ayah.
c.
Tanggungan
kebendaan yang dibebankan oleh syariat atas ahli waris terhadap orang lain.
Kebutuhan
ahli waris menjadi bahan pertimbangan dalam pembagian waris. Setiap kali ahli
waris memiliki kebutuhan yang besar, maka bagian warisnya menjadi besar pula.[25] Disini, timbullah
perbedaan bagian antara laki-laki dan perempuan.
Dalam
Islam, laki-laki memiliki tanggungan kebendaan yang tidak dimiliki perempuan
sehingga lebih membutuhkan harta warisan. Ketika laki-laki menikah ia wajib
membayar mahar kepada istrinya. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran:
﴿وَءَاتُواْ
ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ ﴾
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan..[26]
Selain
itu, laki-laki juga memiliki kewajiban memberi nafkah untuk keluarganya; istri
dan anak-anaknya, bahkan terhadap kerabat lainnya. Dalam al-Quran disebutkan,
﴿لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن
سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ
ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ
ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا ﴾
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.[27]
Juga
firman Allah SWT.,
﴿وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ
رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ ﴾
Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf..[28]
Dalam
sebuah hadits, yang disampaikan oleh Hakim bin Mu’awiyah al-Qusyairi,
menyebutkan:
عن حكيم بن معاوية القشيري عن أبيه رضي الله عنهما ٌال:
قلت: يا رسول الله ما حق زوجة أحدنا عليه؟ قال : أن تطعمها إذا طعمت وتكسوها إذا
اكتسيت .
Hakim berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri atas suaminya?” Nabi menjawab,
“Kamu mesti memberi makan sesuai dengan apa yang kamu makan dan memberi pakaian
sesuai dengan apa yang kamu pakai.”[29]
Dengan
kata lain, bagian waris laki-laki dipergunakan untuk dirinya dan orang lain
yang berada dalam tanggungannya. Singkatnya, harta waris laki-laki juga dapat
dinikmati oleh perempuan. Sedangkan bagian waris perempuan hanya dipergunakan
untuk dirinya sendiri. Sehingga wajar kalau bagian waris laki-laki lebih banyak
dari bagian waris perempuan.
Perempuan
Vis-a-vis Laki-laki
Ṣalāḥ ad-Dīn Sulṭān dalam bukunya, “Mīrāṡ
al-Mar`ah wa Qaḍiyyah al-Musāwāh,” menyebutkan bahwa seorang laki-laki
mendapatkan dua bagian perempuan terjadi dalam empat kasus saja. Pertama,
ketika ahli warisnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Kedua,
ketika ahli warisnya ayah dan ibu saja, dan mayit tidak memiliki suami/istri
dan keturunan. Bagian Ayah 2/3 sedang bagian ibu 1/3. Ketiga, ketika
ahli warisnya adalah saudara-saudari kandung atau saudara-saudari seayah. Keempat,
kewarisan antara suami dan istri. Ketika salah satu meninggal dan tidak
memiliki anak, bagian suami 1/2 sedangkan bagian istri 1/4. Dan ketika memiliki
anak, bagian suami 1/4 sedangkan bagian istri 1/8.[30]
Lebih dari 30 kasus perempuan memperoleh
bagian sama dengan bagian laki-laki, bagian lebih banyak dari bagian laki-laki,
atau bahkan perempuan memperoleh bagian warisan sedangkan laki-laki tidak.
Lebih dari sepuluh kasus perempuan memperoleh bagian sama dengan bagian
laki-laki.[31]
Sebagai contoh, lihat tabel-tabel dibawah ini:
Tabel 2.
Bagian waris ayah sama dengan ibu.
|
||
Ayah |
Ibu |
Anak laki-laki |
1/6 1 |
1/6 1 |
Sisa 4 |
Tabel
3.
Bagian waris ayah sama dengan ibu.
|
||||
Ayah |
Ibu |
Anak perempuan |
Suami |
Ket. |
1/6 + sisa 2 |
1/6 2 |
1/2 6 |
1/4 3 |
Terjadi ‘aul
|
Tabel 4.
Bagian waris saudara-saudari seibu sama.
|
|||
Suami |
Ibu |
Saudara seibu |
Saudari seibu |
1/2 3 |
1/6 1 |
Berbagi 1/3 |
|
1 |
1 |
Kemudian, lebih dari
sepuluh kasus perempuan memperoleh bagian lebih besar dari laki-laki. Sebagai
contoh, bagian 2/3 lebih menguntungkan perempuan daripada bagian laki-laki yang
berupa sisa harta warisan. Ketika seseorang wafat meninggalkan warisan tanah 60
ha, dan ahli waris terdiri dari suami, ayah, ibu, dua anak perempuan, atau dua
anak laki-laki.
Tabel 5.
|
|
Tabel 6.
|
|||||||
Suami |
Ayah |
Ibu |
2 anak pr. |
Ket. |
|
Suami |
Ayah |
Ibu |
2 anak lk. |
1/4 3 12 ha |
1/6 + sisa 2 + 0 8 ha |
1/6 2 8 ha |
2/3 8 32 ha |
Terjadi ‘aul 60 ha : 15 = 4 ha |
|
1/4 3 15 ha |
1/6 2 10 ha |
1/6 2 10 ha |
Sisa 5 25 ha |
Pada Tabel 5. dua anak perempuan
mendapatkan 32 ha. Namun, pada Tabel 6. ketika dua anak laki-laki menempati
posisi dua anak perempuan, mereka hanya mendapatkan
25 ha.
Contoh kasus 2: perempuan wafat meninggalkan
warisan tanah 48 ha, dan ahli waris terdiri dari suami, ibu, dua saudari
kandung, atau dua saudara kandung.
Tabel
7.
|
|
Tabel
8.
|
|||||
Suami |
Ibu |
2 Saudari kandung |
Ket. |
|
Suami |
Ibu |
2 Saudara kandung |
1/2 3 18 ha |
1/6 1 6 ha |
2/3 4 24 ha |
Terjadi ‘aul 48 ha : 7 = 6 ha |
|
1/2 3 24 ha |
1/6 1 8 ha |
Sisa 2 16 ha |
Pada Tabel 7. dua saudari
kandung 24 ha. Namun, pada Tabel 8. ketika dua saudara kandung menempati posisi
dua saudari kandung, mereka hanya mendapatkan
25 ha.
Kemudian terdapat kasus-kasus perempuan
mendapatkan bagian warisan sedangkan laki-laki tidak. Contoh kasus 1: ketika
seseorang wafat meninggalkan warisan tanah 84 ha, dan ahli waris terdiri dari
suami, saudari kandung, saudara seayah, atau saudari seayah.
Tabel 9.
|
|
Tabel 10.
|
|||||
Suami |
Saudari kandung |
Saudara seayah |
|
Suami |
Saudari kandung |
Saudari seayah |
Keterangan |
1/2 1 42 ha |
1/2 1 42 ha |
Sisa 0 - |
|
1/2 3 36 ha |
1/2 3 36 ha |
1/6 1 12 ha |
Terjadi ‘aul, 84 ha : 7 = 12 ha |
Pada Tabel 9. di atas
terlihat bahwa ketika saudara seayah sebagai ahli waris, ia tidak memperoleh
bagian warisan, karena harta warisan habis dibagi aṣḥāb al-furūḍ. Namun,
pada Tabel 10. ketika saudari seayah menempati posisi saudara seayah, ia
mendapatkan bagian warisan 12 ha.
Contoh kasus 2: seringkali nenek mendapat
warisan, sedangkan kakek tidak mendapat warisan.[32]
Tabel 12.
|
|
Tabel 13.
|
||
Kakek dari ibu |
Nenek dari ibu |
|
Ayah nenek dari ibu |
Ibu nenek dari ibu |
Tidak mendapat warisan
karena ia bukan termasuk ahli waris |
1/6 + sisa melalui radd |
|
Tidak mendapat warisan
karena ia bukan termasuk ahli waris |
1/6 + sisa melalui radd |
Kakek dalam kasus ini termasuk
żawu al-arḥām, ia tidak memperoleh warisan baik melalui farḍ maupun radd. Sedangkan nenek – terkadang
sebagai istri kakek – ia bisa mendapat seluruh harta warisan ketika sendirian,
dan suaminya (baca: kakek) tidak mendapat warisan sepeserpun.
Penutup
Hukum waris dalam Islam sudah ditentukan
secara terperinci. Jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, bukanlah landasan
utama adanya perbedaan saham waris dalam Islam. Ada beberapa faktor yang
diperhatikan ketika hukum ini dibuat, diantaranya; tingkat kekerabatan ahli
waris dengan pewaris, posisi ahli waris dalam garis (generasi) keluarga, dan
tanggung jawab yang dipikul oleh ahli waris.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut
diatas, dapat dikatakan bahwa hukum waris Islam lebih menguntungkan perempuan
daripada laki-laki. Perempuan mempunyai lebih banyak kesempatan memperoleh
warisan. Disamping itu, adanya furūḍ, hak-hak perempuan lebih terjamin
dan terlindungi. Di sisi lain, adanya konsep ‘aṣābah terkadang menguntungkan laki-laki, dan
terkadang merugikan – tidak mendapat warisan sama sekali.
Kiranya hukum waris Islam akan tetap
relevan sepanjang masa. Dengan demikian sesuai dengan misi Islam yang raḥmatan
li al-‘ālamīn.-Wallahu A’lam -
[1] Selanjutnya ditulis “pembagian
2:1” yang berarti laki-laki mendapat dua bagian sedangkan perempuan mendapat
satu bagian.
[2] Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum
Waris, terj. Abdul Hamid Zahwan (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), hlm. 31.
[3] Ibid.
[4]
Tim Penyusun, Fiqh
al-Mawaris, diktat Matakuliah al-Aḥwāl asy-Syakhṣiyyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas al-Azhar Cairo, 2010, hlm. 3.
[5] Abdul Ghafur Anshori, Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia (Yogyakarta:
EKONISIA, 2005), hlm. 74.
[6]
Ash-Shabuni, Hukum Waris,
hlm. 43.
[7] Ibid., hlm. 43-44.
[8] Q. S. al-Nisa (4): 11.
[9] Q. S. al-Nisa (4): 12.
[10] Q. S. al-Nisa (4): 176.
[11] Q. S. al-Nisa (4): 12.
[12] Q. S. al-Nisa (4): 12.
[13] Q. S. al-Nisa (4): 12.
[14] Q. S. al-Nisa (4): 11.
[15] Q. S. al-Nisa (4): 12.
[16] Q. S. al-Nisa (4): 11.
[17] Q. S. al-Nisa (4): 176.
[18] Q. S. al-Nisa (4): 11.
[19] Q. S. al-Nisa (4): 11.
[20] Q. S. al-Nisa (4): 12.
[21] Sulṭān, Mīrāṡ al-Mar`ah..,
hlm. 34.
[22] Ibid., hlm. 4.
[23] Muhammad Abu Zahrah, Aḥkām
al-Tarikāt wa al-Mawārīṡ (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Araby, 1963), hlm. 197.
[24] Abdul Ghafur Anshori, Filsafat
Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 36.
[25] Abu Zahrah, Aḥkām al-Tarikāt...,
hlm. 197.
[26] Q. S. al-Nisa (4): 4.
[27] Q. S. al-Talaq (65): 7.
[28] Q. S. al-Baqarah (2): 233.
[29]‘Abd
al-Qadir Saibah al-Hamd, Fiqh al-Islām Syarḥ Bulūg al-Marām min Jam`i Adillah
al-Aḥkām (Madinah: Mathabi` al-Rasyid, 1403/1983), jilid VIII, hlm. 100-101.
[30] Lihat Sulṭān, Mīrāṡ al-Mar`ah..,
hlm. 18-21.
[31] Ibid., hlm.10.
[32] Terdapat kaedah tentang waris
kakek dan nenek, yakni: (1) kakek ṣaḥīḥ – termasuk ahli waris – yaitu
kakek yang dalam garis keluarganya tidak terdapat perempuan sampai ke pewaris,
misalnya kakek dari ayah, ayah kakek dari ayah, dan seterusnya. Sedangkan kakek
fāsid – termasuk żawu al-arḥām – yaitu kakek yang dalam garis
keluarganya terdapat perempuan, misalnya kakek dari ibu dan ayah nenek dari
ibu. (2) nenek ṣaḥīḥah – termasuk ahli waris – yaitu nenek yang dalam
garis keluarganya tidak terdapat kakek fāsid, sampai ke pewaris,
misalnya nenek dari ibu dan ibu nenek dari ayah. Sedangkan nenek fāsidah –
termasuk żawu al-arḥām – yaitu nenek yang dalam garis keluarganya
terdapat kakek fāsid, misalnya ibu kakek dari ibu. Lihat Tim Penyusun, Fiqh
al-Mawaris, hlm. 169-170.
Leave a Comment