| 0 Comments | 66 Views
Esai Prosa Andalusia (771-1492) dalam Era Abbasiyah Pertama dan Kedua (750-1250)
"Seribu Tautan Sejarah Sastra Arab Klasik Era Andalusia"
Kumpulan Esai Mahasiswa
Esai Mahasiswa 2:
Ibnu jubayr sang Pengelana Andalusia, Menempuh Perjalanan, untuk Mencari Keagungan Tuhan
Oleh: Wapik Tizanul Aripin
Ibnu Jubair memiliki nama lengkap
Abu al-Husain bin Jubair lahir di Kota Valencia, Spanyol pada tahun 540H/
1145M. Berbagai literatur menuliskan namanya dengan beragam ejaan mulai dari
Ibnu Jubair, Ibnu Jubayr, Ibnu Ghoubair, Ibnu Gubayr, Ibnu Gubair, Ibnu
Geobeir, Ibnu Djubayr, Ibnu Yubayr. Dalam literatur berbahasa Inggris namanya
biasa ditulis dengan Ibn Jubayr. Ia adalah seorang musafir legendaris asal Andalusia lebih dikenal sebagai Ibnu
Jubair. Ia lahir pada 1 september 1145. Sebagai seorang pengelana, ia memiliki
sejumlah catatan perjalanan. Ibnu jubairmeninggalkan Granada pada 15 Februari
1184, Ketika umurnya berusia 38 tahun.
Menurut sasongko dalam artikel populer
republika
menjelaskan perjalanan ibn jubayr. Dalam artikelnya menjelaskan bahwa ibnu
jubayr memulai perjalanan nya dari Ceuta
di Afrika Utara untuk berangkat ke Alexandria dengan naik perahu. Selanjutnya,
Ibnu Jubair naik perahu melalui Sungai Nil menuju Kota Qus, Mesir. Kemudian, ia
menunggangi unta ke pelabuhan Laut Merah di Kota 'Aydhab, dekat perbatasan
Mesir-Sudan. Dari sana, dia berlayar lagi melintasi Laut Merah ke Jeddah. Pada
Agustus, dia pun tiba di Tanah Suci, Makkah.
Kemudian, Ibnu Jubair melanjutkan
perjalanan pulangnya melalui tanah subur Me sopotamia, melalui Mosul, lalu
menembus Suriah, melalui Kota Aleppo. Di Suriah, dia singgah selama dua bulan
di Damaskus, sebuah kota yang membuatnya terpesona. "Surga dari
Timur," ujar Ibnu Jubair mengungkapkan kekagumannya.
Dia kemudian mengambil jalan menuju
Akka, sebuah kota pelabuhan di Pantai Me diterania yang masih dikuasai tentara
Salib. Saat itu, dia berniat melanjutkan perjalanan ke wilayah barat. Namun,
saat menumpang sebuah kapal terjadi angin ribut yang mem buatnya terdampar di
Selat Messina di Sisilia.
Selain itu ibnu jubayr juga melakukan perjalanan ke mekah di Tengah
konflik antara umat islam dan orang orang salib, dimana terjadi perang salib pada
masa itu,konflik perang salib juga berlangsung dalam kurun waktu yang cukup
lama sehingga perjalanan ibnu jubayr kurang kondusif.
Menurut
cerita, alasan ibnu jubayr melakukan perjalanan ini dia dipaksa minum anggur
oleh atasannya Gubernur
moor di Granada, dan memutuskan naik
haji untuk menghapus dosa ini. Ia berangkat pada bulan Februari 1184 dan pulang
lima belas bulan pada tanggal 25 April 1185.[i]
Di masa
ini lahirlah genre rihlah karangan Ibnu Jubayr, yakni “Tadkhira bi akhbar an
ittafaqat al-asfar” (Cerita Peristiwa yang Terjadi Dalam Perjalanan), ia
menulis setiap kejadian yang terjadi dalam perjalanannya. Sehingga lahirlah
buku yang berjudul rihlah
ibn jubayr
Ibnu
Jubair melakukan tiga kali perjalanan dari Timur dan membukukan kisah
perjalanan pertamanya dalam bentuk catatan harian yang diberi judul Tadzkirah
bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar. Kemungkinan ia menuliskannya pada tahun
852 H/1186 M. Karya Ibnu Jubair ini diterbitkann pertama kali oleh seorang
orientalis asal Inggris W. Wright pada tahun 1852 M. Kemudian dicetak ulang
pada tahun 1907 M dengan suntingan baru dari orientalis Belanda De Goeje.
Ibn
Jubair tidak menulis perjalanannya dalam bentuk sebuah buku utuh dan khusus
melainkan dalam lembaran-lembaran terpisah yang kemudian dikumpulkan oleh salah
seorang muridnya dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Tadzkirah
bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar (Pengingat Cerita Tentang Perjalanan)
yang di masa kemudian dikenal dengan nama Rihlah Ibn Jubair (Kisah
Perjalanan Ibnu Jubair).
Gaya
atau sistematika penulisan yang dituturkan Ibnu Jubair cukup runtut. Ia
menuliskannya lengkap dengan waktu, tempat beserta tanggalnya. Bahkan dalam
beberapa kisahnya ia menambahkan penanggalan kalender masehi.
Ibnu
Jubair memulai penulisan dengan menceritakan kondisi laut yang dilewatinya.
Perahu yang ditumpanginya harus menghadapi bahaya gelombang besar dan angin
kencang. [ii]
Berikut kutipan salah satu prosa dari salah
satu karya ibn jubayr dalam bukunya berjudul “rihlah ibn Jubair” halaman 10[iii].
Dalam bukunya ia menceritakan kejadian yang terjadi Ketika berlayar di atas
perahu, Ketika datang badai yang sangat besar sehingga menghancurkan layar nya.
berikut kutipan prosa tersebut.
فِي يَوْمِ
الْأَرْبِعَاءِ التَّاسِعِ عَشَرَ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ، بِمَا هُوَ أَشَدُّ هَوْلًا[iv]
وَأَعْظَمُ كَرْبًا، وَزَادَ الْبَحْرُ اهْتِيَاجًا وَارْبَدَّتِ الْآفَاقُ[v] سَوَادًا، وَاسْتَشَرَتِ الرِّيحُ
وَالْمَطَرُ عُصُوفًا، حَتَّى لَمْ يَثْبُتْ مَعَهَا شِرَاعٌ[vi].
فَلَجَؤُوا إِلَى اسْتِعْمَالِ الشُّرُعِ الصَّفَّارِ. فَأَخَذَتِ الرِّيحُ
أَحَدَهَا وَمَزَّقَتْهُ وَكَسَرَتِ الْخَشَبَةَ [vii]الَّتِي
تَرْتَبِطُ الشُّرُعُ [viii]فِيهَا،
وَهِيَ الْمَعْرُوفَةُ عِنْدَهُمْ بِالْقَرْيَةِ. "فَحِينَئِذٍ
تَمَكَّنَ الْيَأْسُ مِنَ النُّفُوسِ وَارْتَفَعَتْ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ
بِالدُّعَاءِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ."
"Pada hari Rabu, tanggal sembilan belas Dzulqa’dah, terjadi
sesuatu yang lebih menakutkan dan lebih berat kesulitannya. Laut semakin
bergelora, cakrawala menjadi gelap dengan mendung hitam, dan angin serta hujan
bertiup kencang hingga layar kapal tidak mampu bertahan. Maka para pelaut
terpaksa menggunakan layar alternatif yang disebut 'syura' ash-shaffar.' Namun,
angin menerjang salah satu dari layar itu, merobeknya, dan mematahkan kayu yang
mengikat layar tersebut, yang dikenal di kalangan mereka dengan sebutan
'al-qaryah'." "Pada saat itu, keputusasaan merasuk ke dalam jiwa-jiwa,
dan tangan-tangan kaum Muslimin diangkat untuk berdoa kepada Allah Yang Maha
Mulia dan Maha Agung."
[i] Robert
Irwin, 2019 The Travels of Ibn Jubayr: A
Medieval Journey from Cordoba to Jerusalem (Library of Middle East History)’ I.B. Tauris; 1st
edition (November 28, 2019), location 112 (page)
[ii] Muhammad
idris dalam artikelnya berjudul Catatan Perjalanan Haji Ibnu Jubair:
Dari Granada ke Makkah (1) alif .id juli 2019
[iv] هَوْلًا bermakna “menakutkan” al munawwir hal. 1524
[v] الْآفَاقُ bermakna “cakrrawala” al ashri hal 176
[vi] شِرَاعٌ bermakna “layar kapal” al munawwir hal. 711
[vii] الْخَشَبَةَ
bermakna “potong kayu” al munawwir hal. 34
[viii]
الشُّرُعُ bermakna tali al munawwir hal . 712
*** * ***
Esai Mahasiswa 1:
Ibn Thufail memiliki nama
lengkap Abu Bakar Muhammad Ibn 'Abd al-Malik Ibn Muhammad Ibn Thufail al-Qaisyi
al-Andalusi. Beliau lahir pada tahun 508 H/1110 M di Wadi Ash (Guadix),
sebuah daerah subur yang terletak dekat Granada. Ibn Thufail memiliki gelar al-Andalusi
dan al-Qurthubi, sedangkan di dunia Barat beliau dikenal dengan sebutan Abubacer.
Sebagai keturunan suku Qaisy, yang merupakan salah satu suku Arab
terkemuka, beliau dapat memperoleh fasilitas yang baik untuk menuntut ilmu,
apalagi kecintaanya terhadap ilmu dan buku-buku. Kedokteran dan filsafat
dipelajarinya di Sevilla dan Cordova. Demikian uraian biografi singkat dari Ibn
Thufail dalam Jurnal Yang Berjudul Konsep
Pendidikan Islam Ibn Thufail.[i]
Ketika beranjak dewasa,
beliau berguru kepada Ibnu Bajjah, seoraang filsuf terkemuka dari Andalusia.
Setelah berguru kepada Ibn Bajjah, Ibn Thufail berkembang menjadi seorang
ilmuwan multitalenta yang menguasai banyak bidang diantaranya filsafat, sastra,
kedokteran, asrtonomi matematika dan fisika.
Ketenarannya di bidang kedokteran membawanya pada posisi Sekretaris
Gubernur di Granada. Setelah semakin massyhur, Ibn Thufail diangkat menjadi
dokter pribadi Khalifah Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur, Khalifah kedua Daulah
Muwahhidin. Dari al-Mansur beliau memperoleh kedudukan yang tinggi sehingga
dapat mengumpulkan filsuf lain di antaranya Ibnu Rusyd yang diundang untuk
mengulas karya-karya Aristoteles.
Demikian uraian keintelektualan singkat Ibn Thufail dalam Pemikiran
Filsafat Ibnu Thufail (Khazanah Pemikiran Filsafat Dari Timur Asrar Al-Hikmat
Al-Masyriqiyyah).[ii]
Sebenarnya, Ibn
Thufail menulis banyak sekali karya, dalam berbagai dari fisika sampai sastra.
Berikut beberapa karya yang dinisbatkan kepadanya, di antaranya: Risalah fi
asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah (Hayy Ibn Yaqdzan); Rasa’il fi an-Nafs,
fi Biqa’ al-Maskunah wa al-Ghair al-maskunah. Tak hanya itu, beliau juga
mempunyau sejumlah buku tentang kedokteran, serta risalah yang berisi kumpulan
surat-menyurat yang beliau lakukan dengan Ibn Rusyd dalam berbagai permasalahan
filsafat. Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa Ibn Thufail menghasilkan teori-teori
yang meakjubkan dalam ilmu falaq. Hal tersebut diperkuat dengan
pernyataan Leinn E. Goodman, bahwa Ibn Thufail ahli astronomi yang
teori-teorinya dilanjutkan oleh temannya yaitu al-Bitruji. Sayangnya, semua
karya Ibn Thufail tidak ada yang tersisa, kecuali risalah Hayy ibn Yaqdzan.
Tetapi, menurut Ibn Khathib ada dua buku tentang kedokteran yang dapat
dikatakan merupakan karya Ibn Thufail. Dua buku tersebut ditulis oleh dua orang
muridnya yang dipersembahkan untuk Ibn Thufail, yaitu karya al-Bitruji berjudul
Kitab al-Hai’ah, dan karya Ibn Ruysd berjudul Fi al-Buqa’ al-maskunah
wa al-Ghair al-Maskunah. Demikian urainagn tentang karya-karya Ibnu Thufail
dalam Jurnal Konsep Pendidikan
Islam Ibn Thufail.[iii]
Novel Hayy
ibn Yaqdzan mencerminkan upaya Ibn Thufail untuk menyelaraskan rasionalisme
Aristoteles dengan iluminasi Neo-Platonisme. Berbeda dengan anggapan Bkhtiar
Husein Siddiqi, Ibn Thufail menantang ajaran paripatetik Ibnu Sina dan
mengungkapkan rahasia filsafat Timur. Melalui narasi Hayy, yang menemukan
kebenaran tentang realitas dan Tuhan, karya ini menekankan pentingnya pencarian
kebenaran tanpa dogma. Tujuan kisah hidup Hayy ibn Yaqdzan yang ingin
diungkapkan oleh Ibn Thufail adalah himbauan untuk merenungkan perjalanan
intelektual dan menemukan kebijaksanaan dalam refleksi eksplisit. Demikian
maksud singkat dari Novel
Hayy Ibn Yaqzhan Dalam Jurnal Konsep Pendidikan
Islam Ibn Thufail.[iv]
Karya monumental Ibnu
Thufail adalah Novel Hayy Ibn Yaqzhan, sebuah refleksi filosofis yang
menunjukkan pemikirannya tentang pengetahuan dan pengalaman manusia. Novel ini bermuara dari kisah seorang bayi yang dihanyutkan ibunya (dalam
versi lain, ia terlahir secara spontan karena keseimbangan unsur-unsur tanah)
dan diasuh oleh seekor rusa betina di sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Di
bawah asuhan induk rusa, si bayi tumbuh layaknya anak manusia umumnya, baik
fisik maupun psikisnya. Dengan menggunakan kekuatan rasionya, ia mampu
menangkap konsep-konsep abstrak filosofis sampai akhirnya ia mencapai puncak
pengalaman ekstase mistik yang luar biasa. Demikian sinopsis singkat dari Novel Hayy Ibn Yaqzan Dalam
Buku Tujuh Filsuf Muslim
Pembuka Pintu Gerbang Filsasat Modern.[v]
Berikut sedikit
kutipan dari Hayy
Ibn Yaqzan versi
Arab dan
terjemahannya.
فما زال الطفل
مع الظباء على تلك الحال : يحكي نغمتها بصوته حتى لا يكاد يفرق بينهما؛ وكذلك كان
يحكي جميع ما يسمعه من أصوات الطير وأنواع سائر الحيوان ، محاكاة شديدة ( لقوة
انفعاله لما يريده ) ؛ وأكثر ما كانت محاكاته لأصوات الظباء في الاستصراخ واستئلاف
والاستدعاء والاستدفاع : إذ للحيوانات في هذه الأحوال المختلفة أصوات مختلفة .
فألفته الوحوش وألفها ، ولم تنكره ولا أنكرها . فلما ثبت في نفسه أمثلة الأشياء
بعد مغيبها عن مشاهدته ، حدث له نزوع إلى بعضها ، وكراهية لبعض .
Anak itu masih bersama kijang dengan cara seperti itu: dia meniru
nada suara mereka dengan suaranya sampai dia hampir tidak bisa membedakannya;
dia juga meniru semua suara yang dia dengar dari burung dan jenis binatang
lain, meniru mereka dengan sangat banyak (karena kekuatan emosinya untuk
mendapatkan apa yang dia inginkan); paling sering dia menirukan suara kijang
saat berteriak, memanggil, memanggil, dan mendorong: Binatang-binatang dalam
situasi yang berbeda ini memiliki suara yang berbeda. Binatang-binatang itu
akrab dengan beliau dan beliau pun akrab dengan mereka, dan mereka tidak
mengingkari beliau. Ketika perumpamaan-perumpamaan itu tertanam dalam benaknya
setelah binatang-binatang itu tidak ada di hadapannya, ia memiliki
kecenderungan kepada sebagian dari mereka dan tidak menyukai sebagian yang
lain.
Dalam kutipan tersebut, Ibn Thufail
menggambarkan pengalaman seorang anak (Hayy bin Yaqzhan) yang tumbuh bersama
kijang dan hewan-hewan lainnya dengan cara yang sangat mendalam dan empatik.
Ibn Thufail menunjukkan ikatan kuat antara Hayy dan hewan di sekitarnya yang
merefleksikan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan individu. Hayy
belajar dengan meniru suara dan perilaku hewan yang mengidentifikasikan cara
alami dalam memahami dunia yang dilihat dan didengarnya. Melalui pengalaman
ini, Hayy mulai mengembangkan preferensi dan ketidaksukaan, yang membentuk
identitasnya. Hayy menunjukkan pemahaman mendalam tentang keterikatan dengan
hewan yang menggambarkan perjalanan menuju kemandirian dan pembentukan
identitas pribadi dirinya.
Pada tahun 581 H (1185 M), Ibn Thufail menghembuskan napas terakhirnya di usia 81 tahun. Jenazahnya dimakamkan dengan penuh penghormatan, dan khalifah sendiri turut hadir untuk mengantarkan Ibn Thufail ke tempat peristirahatan terakhirnya. (Filsafat Ketuhanan Para Filosof Muslim)[vi]. Ibn Thufail lahir pada tahun 1110 M, bertepatan 478 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad yaitu pada tahun 632M. Pada tahun 1110 M, Indonesia saat itu masih dalam situasi dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah Kerajaan Kediri yang beribukota Kahuripan, wilayah saat ini menjadi Sidoarjo, Jawa Timur.
[i]
Muhammad Hanafi, Konsep Pendidikan Islam Ibn Thufail, As-Sabiqun : Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Vol 1
No 2 (2019): Oktober, Goooglescholar, Hlm 42-43
[ii]
Mas’udi, “Pemikiran Filsafat Ibnu Thufail (Khazanah Pemikiran Filsafat Dari
Timur Asrar Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah)”, Fikrah:
Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, Vol 3, No 2 (2015): Desember, Googlescholar, Hlm 416
[iii] Muhammad
Hanafi, Konsep
Pendidikan Islam Ibn Thufail, As-Sabiqun : Jurnal Pendidikan
Islam Anak Usia Dini, Vol 1 No 2 (2019): Oktober, Goooglescholar,
[iv] Muhammad
Hanafi, Konsep
Pendidikan Islam Ibn Thufail, As-Sabiqun : Jurnal Pendidikan
Islam Anak Usia Dini, Vol 1 No 2 (2019): Oktober, Goooglescholar
[v]
Ahmad
Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat Modern,
Pustaka Pesantren, 2004, Internetarchive
[vi]
Kasmuri Selamat, Filsafat Ketuhanan Para Filosof Muslim, Cahaya Firdaus, Cetakan Pertama, April 2022, Googlescholar
Leave a Comment