| 0 Comments | 105 Views

Esai Puisi Masa Andalusia (771-1492) dalam Era Masa Abbasiyah Pertama dan Kedua (750-1250) 

"Seribu Satu Tautan Sejarah Sastra Arab Klasik Era Andalusia 711-1492"
Kumpulan Esai Mahasiswa


Esai Mahasiswa 1:

Putri Andalusia yang Membuat Sejarah: Kisah Walada bint al-Mustakfi

Oleh Pinkan Zahratul Ulya

 

Masyarakat Andalus berbeda dengan masyrakat lainnya, karna hamper seluruhnya terdiri dari penyair, dan rasa puitis adalah ciri-ciri umum setiap individunya. Permpuan Andalusia mampu melakukan banyak aktivitas iliah dan sastra, yang dimana merujuk pada puisi feminis.[i]

Era Raja-Raja Taifa diwarnai dengan kemakmuran dan perkembangan puisi, dan salah satu penyar terkemuka pada era ini adalah Walada bint Al-Mustakfi.[ii]

Penyair dan putri Andalusia dari Córdoba ini unggul dalam dunia puisi dan menonjol dengan ide-ide serta pengaruhnya yang melampaui bidang sastra. Penyair dan putri Andalusia dari Córdoba ini unggul dalam dunia puisi dan menonjol dengan ide-ide serta pengaruhnya yang melampaui bidang sastra. Kepribadiannya berbaur antara seorang penyair yang lembut dan seorang kekasih yang berani. Dia mencapai ketenaran yang lebih dari apa yang diharapkannya, sehingga dia menjadi wanita terhormat di Córdoba yang paling sempurna di zaman Bani Jahwar.[iii]

Walada bint Al-Mustakfi menjadi wanita pertama pada masanya yang melakukan revolusi social dan budaya di Andalusia, Walada bint Al-Mustakfi memadukan puisi dan nyanyian sehingga ia memperoleh ketenaran yang luas.[iv]

Walada berasal dari keluarga Umayyah kuno, ayahnya adalah Khalifah Al-Mustakfi Billah, para sejarawan sepakat menggambarkan nya sebagai orang yang terbelakang dan memanjakan diri sendiri. Dikatakan juga bahwa deskripsinya : “postur tubuh yang proporsional, rambut pirang, mata biru, wajah bulat , dan berjenggot, wajah dan tubuh yang besar atau kekar, perut buncit, terbiasa makan, minum, jima’, dan terbelakang.[v]

Jadi, Walada adalah putri Khalifah Al-Mustakfi Billah Muhammad bin Ubaidillah bin Naasir Lidainillah yang diangkat menjadi khalifah pada bulan Dzulqa’dah 414 H dan digulingkan pada bulan Rabi’ al-Awwal 416 H setelah menghabiskan masa kekhalifahan kurang lebih 17 bulan (sekitar setahun lebih) dalam masa kekhalifahan.[vi]

Al Mustakfi menikah dengan seorang budak wanita Kristen, dan dikatakan bahwa dia (Waladah) adalah buah dari pernikahan ini. Maka, lahirlah putri seorang budak perempuan Kristen, dia memiliki sifat yang cerah, bermata biru, berambut merah, dan sangat cerdas.[vii]

Salah satu dari mereka medeskripsikannya dengan mengatakan: “Tuhan menciptakannya dari perak murni dan memahkotai kepalanya dengan rambut kuning, dan dia memiliki anting-anting yang indah, sosok yang ramping, dada yang menonjol, pinggang yang halus, kulit yang halus, dan mata yang gelap.[viii]

Lingkungan keluarga tempat lahirnya Waladah bint Al-Mustakfi tercermin dari ciri-ciri kepribadian dan pola asuhnya, dan ini merupakan hal yang wajar, dan tidak mungkin mengabaikan beberapa transformasi yang dialami Andalusia setelahnya, perselisihan sectarian dan dampaknya terhadap Masyarakat Andalusia secara umum, dalam membesarkan selruh generasi Andalusia.[ix]

Sumber-sumber tersebut sepakat bahwa kelahiran Waladah bint Al-Mustakfi adalah salah satu simbol paling penting di Cordoba , dan karena perempuan merasa dirinya penting dalam Masyarakat, dia bepergian (safar) dengan laki laki, berinteraksi dengannya, dan berdebat, dan menjadikan rumahnya sebaga tempat yang mnyenangkan, forum tempat para penulis dan penyair bertemu, Walada unggul dalam bidang ini.[x]

Berikut contoh qasidah Waladah bint Al-Mustakfi :

ألسنا بعد هذا الفراق

ألا يوجد طريق لنا بعد هذا الفراق

لذلك كل فتى يشتكي مما حصل عليه وأنا

ساعات الزيارة في الشتاء أبقى على الجمر الساخن

يحترق بالشوق فكيف مضى المساء

في حالة الشخصية الواحدة، تسارعت المهارة

لم أكن أخشى أن تمر الليالي، ولا أرى أي فرق

ولا الصبر من الحنان في الشوق، العفاريت، الله يسقي الأرض

لقد أصبح منزلك مع كل معاول المطر التي تتساقط[xi]

 

Apakah kita benar-benar tidak ada lagi setelah perpisahan ini?

Apakah tidak ada jalan bagi kita untuk kembali setelah perpisahan ini?

Setiap orang mengeluhkan nasib yang menimpanya, begitu juga aku.

Di malam-malam musim dingin, aku duduk di atas bara panas,

Terbakar oleh rindu. Bagaimana malam itu berlalu begitu lambat?

Dalam keadaan seperti ini, kemampuan seseorang untuk bertahan berkembang dengan cepat.

Aku tidak takut malam-malam akan berlalu, dan aku tidak melihat perbedaan apa pun,

Tidak juga kesabaran mampu menghapus rindu yang dalam.

Setan-setan perasaan ini, semoga Allah menyirami bumi yang tandus.

Rumahmu kini telah menjadi tempat yang dipenuhi air hujan dan kenangan

           

Puisi ini menggambarkan rasa rindu yang mendalam dan kesedihan akibat perpisahan. Walada bint Al-Mustakfi mengungkapkan keluhan dan kerinduannya yang membara, namun tetap menunjukkan keteguhan menghadapi berlalunya waktu. Tema utamanya berfokus pada dampak perpisahan yang membawa perubahan, sambil menyoroti pentingnya kesabaran dan kasih sayang dalam menghadapi cobaan hidup.

Uraian tokoh Walada bint Al-Mustakfi yang wafat pada tahun 1051 M, sekitar 459 tahun setelah kematian Nabi Muhammad -Shallahu ‘Alaihi wa Sallam- ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah Kerajaan Kediri yang beribukota di Daha (di sekitar Kota Kediri, Jawa Timur saat ini), dan Kerajaan Sriwijaya terletak saat ini di Palembang, selain itu juga Kerajaan Mataram Kuno yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi.



[i] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 17

[ii] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 17

[iii] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 17

[iv] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 17

[v] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 18

[vi] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 18

[vii] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 19

[viii] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 19

[ix] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 21

[x] Bin ‘Imaaroh Dalilah, 2017-2018, Walladah bint Al-Mustakfi wa Atsariha, hal. 21

[xi] Muhammad ‘Abdul ‘Aal, 2010, Qasiidah Walladah bint Al-Mustakfi Li Ibn Zaydun


*** * ***

Esai Mahasiswa 2: dipublikasikan pada 1-1-2025

“Karya Fenomenal Sebelum Alfiyah Ibnu Malik: Seni Syair Yang Mengubah Dunia Nawhu”

Oleh M Faiz Nailul Izza 

Muhammadbin Abdullah bin Malik ath-Tha'i al-Jayyani (bahasa Arab: "محمد بن عبد الله بن مالك الطائي الجياني) atau lebih dikenal dengan Ibnu Malik lahir di JaénAl-Andalus, pada tahun 600 H, dan wafat pada tahun 672 H atau 22 Februari 1274 di DamaskusSyam adalah seorang ulama di bidang Bahasa Arab dan Nahwu pada abad ke-7 H, yang memiliki banyak karya dan karya yang paing terkenal adalah Alfiyah Ibnu Malik. Sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia.

Pertama kali ia menuntut ilmu dengan ulama’ di Andalusia, seperti Abu Ali asy-Syalwabain, kemudian ia pergi ke timur dan sempat tinggal di Aleppo untuk menuntut ilmu dengan Ibnu al-Hajib dan Ibnu Ya`isy. Ia merupakan salah satu Imam dalam bidang Nahwu dan Bahasa Arab, juga di bidang syair Arab, Qira'at al-Qur'an, dan Hadits, selain itu ia juga sering membuat berbagai syair dan yang paling terkenal adalah Alfiyah Ibnu Malik dan Al-Kafiyah asy-Syafiyah yang terdiri dari 3000 bait. Sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia.

Dari karyanya tersebut, Ibnu Malik menjadi salah satu ulama yang memiliki pengaruh terbesar bahasa Arab di dunia pendidikan Islam. Bahkan ia juga menjadi panutan yang diakui keluasan ilmunya dalam bidang ilmu nahwu da sharaf. Ibnu Malik wafat pada tahun 672 H atau 22 Februari 1274 di Damaskus.

Ibn Malik sangat produktif dalam berkarya, beliau dianugrahi kemampuan dan bakat yang luar biasa dalam menulis. Karya-karyanya dalam bidang nahwu bahasa, ilmu 'Arudl, qira'at dan hadits. Kemampuan menulisnya tidak hanya dalam bentuk prosa, tetapi juga dalam bentuk syair (nazham) sebagaimana didapati dalam beberapa karyanya. Karyanya yang paling dikenal adalah Al-Kafiyah al-Syafiyah, yang berupa syair Rajaz yang secara panjang lebar membahas tentang nahwu dan sharf. Karya lainnya adalah Tashil al-Fawaid wa Takmil al-Maqashid yang secara ringkas membahas tentang kaidah-kaidah nahwu dan banyak para ahli bahasa memberikan penjelasan (syarh) dari buku ini. Berikut ini adalah karya-karya Ibn Malik.

  1. Al-Kafiyah asy-Syafiyah, dalam bidang kaidah sharaf
  2. Tashil al-Fawaid wa Takmil al-Maqashid, dalam bidang kaidah nahwu
  3. Ijaz at-Tashrif fi `ilmi at-Tashrif
  4. Tuhfatu al-Maudud fi al-Maqshur wa al-Mamdud
  5. Lamiyatu al-Af`al
  6. Al-I`tidhad fi adh-dha' wa azh-zha'
  7. Syawahid at-Taudhih limusykilat al-Jami` ash-Shahih, merupakan syarah secara nahwu dari 100 hadits yang ada di Shahih Bukhari. Wikipedia Ensiklopedia Bebas.

Kitab Al-Kafiyah asy-Syafiyah merupakan salah satu karya dari Ibnu Malik yang terkenal dan populer di kalangan umat Muslim. Kitab ini berisi 1002 bait syair nazhaman yang membahas tentang ilmu nahwu dan sharaf. Kitab ini di pelajari di seluruh dunia sampai saat ini. Kitab al-fiyah ini sebenarnya merupakan kitab ringkasan dari kitab nadham karangan beliau sendiri al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2757 bait. Karena itu, kitab al-fiyah juga di sebut dengan kitab al-Khulashah yang berarti ringkasan, dan bisa juga disebut Al-fiyah (ribuan) karena bait syairnya terdiri dari seribu baris. Sebagaimana dijelaskan dalam Wikipedia

Kitab Al-Kafiyah asy-Syafiyah menyajikan tentang Ilmu Nahwu dan Shorof yang diikuti dengan komentar (syarah). Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Al-fiyah Ibnu Malik. Kitab ini terdiri dari delapan puluh (80) bab, dan setiap bab diisi oleh beberapa bait. Kini, kitab Al-Kafiyah asy-Syafiyah sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam Liputan 6

Kitab Al-Kafiyah asy-Syafiyah menjelaskan nahwu dan Sharaf secara keseluruhan, karena ilmu nahwu sebagai alat untuk memperbaiki ucapan, memahami makna dengan jelas dan mencegah kekeliruan dalam memahami bahasa. Ilmu ini diibaratkan sebagai cahaya yang membuka tabir makna dan memberikan pemahaman yang mendalam, baik untuk akal maupun jiwa. Sebagai dikatakan dalam bab Muqodimahnya Kafiyah Syafiyah[i]

وَبَعْدُ: فَالنَّحْوُ صَلَاحُ[ii] الأَلْسِنَةِ # وَالنَّفْسُ إِنْ تَعْدَمْ سَنَاهُ فِي سِنَةٍ

بِهِ انْكِشَافُ حُجُبِ[iii] المَعَانِي # وَجَلْوَةُ المَفْهُومِ ذَا إِذْعَانِ

Dan setelahnya: Maka ilmu nahwu adalah perbaikan bagi lisan # Dan jiwa, jika kehilangan cahayanya, akan tertidur dalam kelalaian.

Dengan nahwu, tersingkaplah tabir-tabir makna # Dan tersingkaplah pengertian dengan penuh kepastian.

Bait lain yang menyinggung mengenai ilmu nahwu lagi seperti dalam bab Nama (alam) Nama itu terbagi menjadi dua jenis: yang murtajal dan yang manqul. Yang murtajal adalah nama yang tidak diketahui penggunaannya selain sebagai nama, seperti Madzhij – yaitu nama seorang leluhur dari sebuah kabilah Arab. Yang manqul adalah nama yang sebelumnya digunakan untuk hal lain sebelum kemudian dijadikan sebagai nama. Adapun manqul ini terbagi: Ada yang berasal dari sifat, seperti Tsaqif – yang berarti orang yang mahir dalam urusan, dan mencapai apa yang dicari, serta Salul – yang berarti orang yang banyak bertanya. Sebagaimana berikut dalam karangannya Kafiyah Syafiyah:[iv] 

فَإِنْ خَلَا مِنْ سَابِقِ اسْتِعْمَالِ  [v]# ك(مذحج) فَانْسُبْهِ لِارْتِجَالِ

وَمَا سِوَى المُرْتَجَل المَنْقُولُ # نحو (ثقيف) هكذا (سلول)

Jika sebuah nama tidak memiliki penggunaan sebelumnya (sebelum menjadi nama), # seperti Madzhij,

maka nisbahkanlah ia kepada jenis murtajal. Sedangkan selain murtajal adalah manqul, # seperti Tsaqif dan Salul.

Uraian tokoh Ibnu Malik yang wafat pada tahun 672 H, sekitar tahun 1274 M. Indonesia saat itu masih dalam situasi era pengaruh Hindu-Budha yang dimulai pada tahun 400 hingga 1500 M. Sejauh penelusuran penulis, bahwa tulisan mulai dikenal dan ditemukan prasasti penting di Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur. Kemudian pengaruh Islam datang pada abad ke-7 dan semakin meluas hingga masa pengaruh Islam pada Abad 15 hingga pada abad 17. 


[i] Al-Kafiyah asy-syafiyah, hal: 155 Dar Al-Ma’mun

[ii] Kamus Al-Munawir, Sholuha bermakna (kebaikan) Hal: 788 Pustaka Progressif

[iii] Kamus Al-Munawir, al-Hijab, bermakna (tabir) Hal: 237 Pustaka Progressif

[iv] Al-Kafiyah asy-syafiyah, hal: 234 Dar Al-Ma’mun

[v] Kamus Al-Munawir, ista’mala, bermakna (menggunakan) Hal: 17 Pustaka Progressif


Esai Mahasiswa 3: dipublikasikan pada 1-1-2025

Sang Polimatik Andalusia Ibn Khatib

Oleh Zellyta Indah  

Ibn Khatib memiliki nama asli Muhammad bin Abdullah bin Sa'id bin Abdullah bin Sa'id bin Ali bin Ahmad as-Salmani al-Khathib, lahir pada tahun 713 H / 1313 M di kota Loja, sebuah kota di Granada Andalusia atau yang sekarang disebut dengan Spanyol. Ibn Khatib dikenal sebagai polimatik Andalusia karena ia memiliki pengetahuan dan keahlian yang tidak terbatas hanya pada satu bidang pengetahuan, ia merupakan seorang penyair, penulis, sejarawan, filusuf, fisikawan, ahli fikih, dokter dan politisi. Ia terlahir dari keluarga yang kaya, terhormat dan terpelajar, ayahnya seorang Menteri dan juga penulis di istana, sehingga sejak kecil Ibn Khatib sudah berada di cakrawala Kerajaan. Ia belajar dibawah bimbingan banyak ulama, berkat kecerdasan dan keterampilannya ia menjadi orang kepercayaan sultan Granada, Al-Hajjaj Yusuf bin Ismail bin Faraj, dan juga menjadikannya sebagai sekretaris rahasia di perpustakaan kerajaan.

 Ibn Khatib merupakan keturunan Arab Qahtan tepatnya di Yaman, Keluarganya berimigrasi ke Andalusia , dan mereka bermukim di Cordoba, lalu Toledo, lalu menetap di Granada. Sehingga ia sangat berkontribusi besar dalam mengabadikan Sejarah Andalusia, ia mencatat fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang berdampak pada kemajuan ilmu pengetahuan dari semua jenis di negara non-Arab, tetapi ia menyempurnakan karakter peradaban Arab-Islam karena perkembangan yang ditemukan orang-orang Arab di dalamnya, yaitu era keluarga Nasrid, yang mewakili era-era terakhir negara Islam di Andalusia pada masa itu. Sebagai seorang penyair sebagian puisinya menjadi dekorasi pada dinding-dinding Istana Alhambra, Granada. Ibn Khatib melanjutkan kegiatan ilmiah, sastra dan politiknya sehingga terjadilah konspirasi yang menimpanya dan ia memutuskan untuk melarikan diri ke Maroko, kebetulan pada saat itu sedang terjadi kudeta di Granada. Ibn Khatib dituduh sesat dan meyimpang dari hukum agama sehingga beberapa tahun setelah ia melarikan diri ke Maroko, ia di tangkap dan dipenjara, kemudian ia juga di bunuh. Ibn Khatib wafat di Fez, Maroko pada tahun 776 H / 1374 M.

Ibnu al-Khatib memiliki karya yang banyak, yang terdiri dari bidang sastra, sejarah, geografi, perjalanan, syari'ah, akhlak, politik, kedokteran, perburuan, musik, botani, filsafat. Sebagian besar karyanya telah hilang, terutama yang telah ia tulis dalam bidang tasawuf, musik dan filsafat, kemungkinan karya-karnya telah dibakar ketika Granada dibakar pada tahun 773 H. Ibn Khatib dikenal juga dengan puisi Muwashahat nya yang mengandung unsur cinta dan keindahan, salah satu contoh puisinya yang terkenal berjudul الغيث جادك”, berikut beberapa contoh baitnya :

 

جادَكَ الغيْثُ إذا الغيْثُ هَمى

يا زَمانَ الوصْلِ بالأندَلُسِ

لمْ يكُنْ وصْلُكَ إلاّ حُلُما

في الكَرَى أو خِلسَةَ المُخْتَلِسِ

إذْ يقودُ الدّهْرُ أشْتاتَ المُنَى

تنْقُلُ الخَطْوَ علَى ما يُرْسَمُ

زُفَراً بيْنَ فُرادَى وثُنَى

مثْلَما يدْعو الوفودَ الموْسِمُ

والحَيا قدْ جلّلَ الرّوضَ سَنا

فثُغورُ الزّهْرِ فيهِ تبْسِمُ

Puisi الغيث جادك mengungkapkan nostalgia terhadap Andalusia, menggambarkan perasaan penyair atas rasa kehilangan dan kenangan indah di Andalusia. Dalam puisi itu juga Ibn Khatib menggambarkan keindahan alam Andalusia dan bagaimana kenangan tersebut membawa perasaan sedih dan terharu akan hari – hari indah di Andalusia.

*** * ***


Esai Mahasiswa 4: dipublikasikan pada 1-1-2025

Ibn ʿAbd Rabbihi: Seorang Keturunan Mawali Sekaligus Penyair Istana Umayyah di Andalusia

Oleh Muhammad Riziq Rabbany

Dalam sejarah peradaban Islam, sosok intelektual yang berasal dari latar belakang beragam seringkali memberikan kontribusi yang sangat signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Salah satu tokoh yang menarik untuk dikaji adalah Abu Umar Ahmad ibn Muhammad ibn Abd Rabbih al-Andalusi, seorang penyair, sastrawan, dan intelektual terkemuka pada masa Dinasti Umayyah di Andalusia. Disebutkan dalam artikel yang berjudul Pendidikan pada masa Transisi Bani Umayyah yang ditulis oleh Mutia bahwa Latar belakang Ibn ‘Abdi Rabbihi sebagai keturunan mawali—yakni non-Arab yang telah masuk Islam—tidak menghalanginya untuk mencapai kedudukan terhormat di istana dan memberikan sumbangsih yang luar biasa dalam bidang sastra dan budaya.

Ibn ʿAbd Rabbih lahir di Córdoba pada tahun 860 M (246 H) dalam sebuah keluarga mawali yang telah terintegrasi ke dalam masyarakat Islam Andalusia. Ayahnya, Muhammad ibn Abd Rabbih, adalah seorang budak yang dibebaskan (mawla) yang telah mendapatkan kedudukan terhormat di kalangan aristokrasi Umayyah. Latar belakang keluarganya yang berasal dari golongan mawali tidak menjadi penghalang bagi Ibn ʿAbd Rabbih untuk mengembangkan potensi intelektualnya.

Pada masa itu, kaum mawali menghadapi tantangan struktural dalam masyarakat Islam yang didominasi oleh elit Arab. Dikutip dari buku tarikh al-adab al-‘arabiy jilid 8 hal 188 karya dari Dr syauqi dhaif bahwa sejak masa muda, Ibn Abd Rabbihi menunjukkan semangat intelektual yang luar biasa, menghadiri halaqah-halaqah para ulama terkemuka di Masjid Agung Cordoba dan belajar dari tokoh-tokoh seperti Baqi bin Makhlad dan Ibnu Wadhdhah. Ibn Abd Rabbihi juga digambarkan sebagai sosok yang mudah marah namun memiliki kepekaan sastra tinggi. Perjalanan hidupnya menunjukkan bagaimana seorang intelektual Muslim pada abad pertengahan bisa bergerak antara dunia sastra, politik, dan spiritualitas dengan cara yang sangat dinamis. Melalui kemampuan intelektual dan bakatnya dalam bidang sastra, ia berhasil melampaui batasan-batasan sosial tersebut. Proses pendidikannya tidak hanya membentuk wawasan intelektualnya, tetapi juga membangun karakternya sebagai seorang penyair istana. Akhirnya, Ibn ʿAbd Rabbih berhasil mendapatkan kedekatan dengan para penguasa Umayyah di Córdoba dan menjadi salah satu penyair istana yang paling dihormati, membuktikan bahwa dedikasi dan talenta dapat mengatasi sekat-sekat sosial yang ada pada masanya. Disebutkan juga dalam artikelnya Itsnawati yang berjudul Daulah Umayyah di Andalusia dan Hasil Budayanya bahwasannya Ibn ‘Abd Rabbihi ini adalah penyair kesayangan Abdurrahaman III. Bahkan dalam artikelnya Isabel Toral-Niehoff yang berjudul The ʿIqd al-farīd by Ibn ʿAbd Rabbih: The Birth of a Classic  disebutkan bahwa Ibn ‘Abd Rabbihi ini dikenal  sebagai penyair Andalusia yang sempurna dan sebagai penulis ghazal. Ini mungkin juga merupakan kebanggaannya: Ibn 'Abd Rabbihi dianggap sebagai seorang penyair yang setara dengan para penyair Abbasiyah di Zaman Keemasan Bagdad dan tokoh-tokoh terkemuka di zaman sebelumnya.

Puisi Ibn Abd Rabbihi menunjukkan kompleksitas kepribadiannya. Pada masa mudanya, dia menulis puisi-puisi cinta dan wine yang mengikuti tradisi penyair masanya, meskipun diyakini bahwa karya-karya tersebut lebih merupakan bentuk imitasi daripada ekspresi personal sejati atau bisa disebut hanya ikut trend. Menariknya, pada fase akhir hidupnya, dia justru mengubah arah puisinya menjadi lebih religius, bahkan membuat "al-Mumahhishat" - puisi-puisi pembersih dosa yang mengecam kehidupan duniawi. Yang paling menonjol dari Ibn Abd Rabbihi adalah perannya sebagai penyair istana. Dia secara konsisten memuji para pemimpin Umayyah di Andalusia, mulai dari Muhammad bin Abd al-Rahman, al-Mundzir, hingga Abd al-Rahman al-Nashir. Puisi-puisi pujiannya tidak sekadar bentuk sanjungan, melainkan juga dokumen sejarah yang menggambarkan berbagai peristiwa politik, sosial dan militer pada masanya.

Kemampuannya dalam melihat dinamika sosial dan politik pada masanya menunjukkan bahwa status sebagai mawali tidak selalu menjadi penghalang untuk mencapai prestasi tertinggi. Ibn ʿAbd Rabbih adalah contoh nyata tentang bagaimana seorang individu dapat melampaui batas-batas identitasnya melalui dedikasi dan kemampuan intelektual.

Dikutip dari buku Tarikh al-Adab al-‘Arabiy jilid 8 karya Syauqi Dlaif bahwa Karya monumentalnya, "Al-'Iqd al-Farid" (Kalung Mutiara atau Kalung yang Unik), merupakan kitab ensiklopedia sastra yang komprehensif, menghadirkan kompilasi mendalam dari berbagai cabang ilmu pengetahuan pada masanya. Buku ini mencakup berbagai aspek pengetahuan, mulai dari sastra, sejarah, hingga filosofi, yang kemudian menjadi referensi penting bagi generasi selanjutnya. Kedalaman ilmu pengetahuan dan keluasan wawasan Ibn ʿAbd Rabbih terlihat jelas dalam karya ini, di mana ia berhasil mengintegrasikan tradisi intelektual Timur dengan ketelitian akademis. Bahkan seorang tokoh seperti Shahib bin Abbad pernah berkomentar tentang buku ini sebagai "barang dagangan kami yang dikembalikan", yang merupakan isyarat yang jelas akan sifatnya yang berlebihan dalam hal konservatisme.

Dalam konteks sejarah Andalusia, Ibn Abd Rabbihi bukan sekadar seorang penyair, melainkan saksi sejarah yang merekam momen-momen penting dalam perjalanan kekuasaan Umayyah di Andalusia. Puisi-puisinya tidak hanya bernilai sastra, tetapi juga menjadi sumber dokumentasi historis yang berharga. Warisan intelektualnya tidak hanya memberikan kontribusi dalam bidang sastra dan pengetahuan, tetapi juga menjadi inspirasi tentang potensi manusia untuk melampaui batasan-batasan yang dibuat oleh struktur sosial. Ibn ʿAbd Rabbih adalah bukti nyata bahwa pencapaian tertinggi tidak ditentukan oleh asal-usul, melainkan oleh semangat dan kemampuan untuk terus belajar dan berkembang.

Berikut kutipan salah satu puisi Ibn ‘Abd Rabbihi dalam Diwannya Ibn ‘Abd Rabbihi

يَا شِفائي[i] مِنَ الجَوى[ii] وَبَلائي[iii]*

أَنْتِ دَائي[iv] وَفي يَدَيْكِ دَوَائي

في عَنَاءٍ أَعْظِمْ بِهِ مِنْ عَناءِ[v]*

إِنَّ قلبي[vi] يُحِبُّ[vii] مِنْ لا أُسَمِّي

مَاتَ صبري بهِ ومَاتَ[viii] عَزَائي[ix]*

كيْفَ لا كيْفَ أَنْ ألذَّ بِعَيْشٍ

أَنْ تَعيشُوا وأنْ أَمُوتَ بِدائي*

أَيُّها اللّائِمونَ[x] ماذا عَلَيْكم

إنما الميْتُ مَيِّتُ الأحْيَاءِ*

ولَيْسَ مَنْ مَاتَ فَاسْتراحَ[xi] بِمَيْتٍ

 

1.     *Engkau adalah penyakitku, dan di tanganmulah obatku*

            Wahai penyembuhku dari duka yang mendalam dan kesedihanku

2.     *Sungguh hatiku mencintai seseorang yang tak kusebut namanya*

            Dalam derita yang sungguh lebih besar dari sekadar derita

3.     *Bagaimana tidak, bagaimana aku tak menikmati kehidupan*

            Di mana kesabaranku telah mati bersamanya, dan penghiburanku pun sirna

4.     *Wahai para penjahat, apa urusanmu*

            Biarkanlah kamu hidup, sementara aku mati dalam sakitku

5.     *Dan bukanlah mereka yang mati itu beristirahat dengan kematiannya*

            Sesungguhnya yang mati adalah mereka yang hidup tanpa jiwa

 

Uraian tokoh Ibn ‘Abd Rabbihi yang wafat pada tahun 940 M, sekitar 308 tahun setelah  wafatntya Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Pada saat itu Kerajaan Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur. Kemudian pada akhir abad ke-10 kedatuan/kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi oleh budaya India dibuktikan dengan adanya bangunan pemujaan untuk agama Budha. Kemudian, Berdasarkan kajian dalam buku Sejarah Islam Nusantara karya Rizem Aizid, wilayah awal penyebaran Islam di Nusantara dapat dilacak di Sumatera, khususnya di Sumatera Utara. Bukti arkeologis yang mendukung argumentasi ini adalah penemuan nisan makam perempuan bernama Tuhar Amisuri di Barus, yang berasal dari periode sekitar abad ke-10 Masehi, yang menjadi dokumen tertulis paling awal terkait keberadaan Islam di kawasan tersebut.



[i] Kamus Al-Munawir h.731, Al-Syifaau’ berarti  kesembuhan, pengobatan

[ii] Kamus Al-Munawir h.226, Jawaa berarti  jatuh cinta, tertimpa, duka yang mendalam

[iii] Kamus Al-Munawir h109, Al-Balaau’ berarti  kesedihan, kesusahan

[iv] Kamus Al-Munawir h.429, Al-Dau’ berarti  penyakit

[v] Kamus Al-Munawir h.980, AL-“’anau’ berarti  kerja keras, kesukaran, kepayahan

[vi] Kamus Al-Munawir h.1145, Al-Qolbu berarti  hati, isi, lubuk hati, jantung, inti

[vii] Kamus Al-Munawir h.229, Habba berarti  mencintai

[viii] Kamus Al-Munawir h.1365, maata berarti  mati

[ix] Kamus Al-Munawir h.928, Al-‘Azaau’ berarti  HIburan

[x] Kamus Al-Munawir h.1246, Lauma berarti  keji, jahat kikir

[xi] Kamus Al-Munawir h.545 Istaroha berarti  istirahat         


Esai Mahasiswa 5 : 

Ibnu Zaydun : Simfoni Cinta yang Tak Tersampaikan di Bawah Langit Andalusia

Oleh Misbahuddin

 

Seperti yang pernah dikatakan oleh Ibnu Zaydun (1003-1071 M) ,”Cinta adalah puisi yang tak pernah selesai”. Pernyataan ini mencerminkan kedalaman hati seorang penyair Andalusia yang hidup di tengah keindahan dan kemegahan Cordoba pada abad ke-11. Dialah Abu al-Walid Ahmad Ibn Zaydun al-Makhzumi atau dikenal sebagai Ibnu Zaydun, yang terkenal karena puisi-puisi cintanya yang penuh makna dan kerinduan, menggambarkan cinta sebagai sebuah perjalanan abadi yang tak pernah menemukan titik akhir. Dalam setiap bait puisinya, ia menulis dengan kata-kata yang menyentuh, seakan mengabadikan perasaan yang tak tersampaikan. Cinta yang ia ungkapkan bukan hanya tentang perasaan yang terpendam, melainkan rasa yang tercampur aduk tentang kehilangan, harapan, dan keindahan yang abadi meskipun tak terbalas. Ibnu Zaydun adalah alamat setiap puisi yang selalu berkembang dan penuh makna yang tersimpan. Seperti halnya cinta itu sendiri selalu ada, namun tak pernah sepenuhnya dimiliki.

Dalam kitab Diwan Ibnu Zaydun  hal 14, dikatakan bahwa Ibnu Zaydun lahir di Cordoba pada tahun 1003 M (394 H) pada masa kekhalifahan Hisyam II pengaruh dan kekuasaan Amirid. Dia hidup melalui era perselisihan dan menyaksikan perebutan kekuasaan antara Bani Umayyah, antara Bani Umayyah dan Amiris, dan antara Arab dan Berber. Ketika khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh, para tokoh Cordoba berkumpul dan mendirikan pemerintahan kelompok aristokrat yang dipimpin oleh Abu al-Hazm Ibn Jahur.

Ibnu Zaydun tumbuh di lingkungan terpelajar, dan ayahnya adalah salah satu orang terkemuka, orang kaya, dan ahli hukum di Cordoba, jadi dia membawakannya penulis dan pendidik. Namun ayahnya meninggal ketika Ibn Zaydun berusia sebelas tahun, sehingga kakek dari pihak ibu merawatnya. Menumbuhkan budaya yang baik dan menulis puisi sejak dini. Ibnu Zaydun bersekutu dengan Abu al-Hazm ibn Jahur. Ketika Ibnu Jahur mengambil alih kekuasaan, dia membawa sang penyair dan mempercayakannya untuk memeriksa orang-orang Dhimmah, mengangkatnya menjadi duta besar bagi beberapa raja sekte, dan menamainya sebagai orang yang mempunyai dua kementerian.  

Ibnu Zyadun menyukai Walladah Bint Al-Mustakfi putri Khalifah Bani Umayyah, yang digulingkan oleh rakyat Cordoba, sehingga ia pindah ke pelabuhan dan meninggal di sana secara misterius. Dia adalah salah satu wanita cantik Cordoba dan seorang penyair agung yang menjadikannya wadah berkumpulnya para penyair dan sarjana sastra.

 Ibnu  Bassam, Penulis Kitab Dhakhīra fī mahāsin ahl al-Jazīra,” mengatakan dalam “Walladah”: “Majlisnya di Cordoba adalah forum orang-orang bebas pada zaman itu, dan halamannya adalah taman bermain. bagi kuda-kuda disiplin ilmu. Para sastrawan akan hidup dalam keindahannya, dan para penyair serta penulis akan mati dalam manisnya kebersamaan.” Ibnu Zaydun jatuh cinta padanya dan mempunyai berita terkenal dengannya [i]

Dikutip dari Kitab Fi al-Adab al-Andalus halaman 192, bahwasannya Puisi Ghazl Ibnu Zaydun hampir merupakan nada yang menunjukkan orisinalitas penyair. Ini adalah puisi yang datang dari lubuk hatinya dan mengungkapkan cinta dan rasa sakitnya. Meskipun puisi cinta Ibnu Zaydun kurang dari puisi pujian, namun lebih unggul dari itu ketulusan dan kualitasnya, karena merupakan gema emosinya dan ungkapan detak jantungnya, dan setelah mempelajari kisah hidup penyair, kita hampir tidak bisa membedakan fase-fase puisi ini. Dia mengajari kita cintanya, anak-anaknya , kemudian Pengabaiannya terhadapnya, kemudian keputusasaannya terhadapnya dan kerinduannya yang terus-menerus terhadapnya. Puisinya mewakili fase-fase ini, tetapi sebagian besar tetap mewakili fase keputusasaannya, kerinduannya yang terus-menerus, dan ingatannya yang jelas akan cinta ini. Dia memainkan peran pengabaian dalam hatinya dengan cara yang keras dan parah, dan puisi tentang patah hati dan penderitaan serta puisi kenangan dan nostalgia muncul di dalamnya. Adapun hari-hari kebahagiaan dan kebahagiaannya, itu singkat, dan jika kita tidak menemukannya Dia hanya memiliki beberapa bagian yang mengungkapkan kebahagiaan ini, dengan kata sederhana, lembut. komposisi, dan makna yang tidak terkobarkan oleh pengalaman cinta yang tulus dan penderitaannya. Pemisahan dan pengabaian[ii]

Berikut kutipan salah satu puisi Ibnu Zaydun dari Kitab Fi al-Adab al-Andalus oleh Dr. Jawkat al- Rukabi halaman 194, ketika Ibnu Zaydun yang tersiksa dikarenakan cintanya yang tulus akan tetapi dia tidak ingin melupakannya dan tidak mau menyerah pada keputusasaan, kemudian Ibnu Zaydun berpuisi :

 

نا نرى اليأس تسلينا عوارضه     وقد يئسنا فما لليأس يُغرينا

 بنتم وبنا فما ابتلت جوانحنا         شوقاً إليكم وما جَفَّت مآقينا

نكاد حين تناجيكم ضمائرنا         يقضى علينا الأسى اولا تأسينا[iii]

 

“ Aku pernah merasakan keputusasaan dan menghibur diri dengan dampaknya

Dan aku telah putus asa, namun keputusasaan tidak menggodaku

Kami tumbuh dan berkembang, namun hatiku takkan tergerak

Rindu padamu, dan mataku tak pernah kering dari air mata

Hampir saja, saat hatiku memanggilmu

Kesedihan datang dan hampir membuatku tenggelam dalam duka, tapi aku tetap tegar.”

 

Ibnu Zaydun menuliskan karyanya dengan bahasa yang mudah dimengerti sehingga memungkinkan untuk langsung dipahami namun tetap memiliki makna yang mendalam sehingga inilah ciri khas dari puisinya dan yang membuat orang-orang yang membaca syairnya sangat tersentuh dan terbawa.

 

Corak kepenulisan Ibnu zaidun sangat dipengaruhi oleh Albuhtury, ia bahkan dijuluki Albuhtury dari barat karenanya karakteristik karyanya sangat mirip Al-buhtury. Hal ini menurut para ahli karena ia sangat menggemari Al-buhtury atau karena ia memang

sangat terobsesi untuk dijuluki demikian[iv]

 

 


[iii] Dr. Jawdat al-Rukabi, Fi al-Adab al-Andalusi, Kairo : Dar al-Maarif, 1955, h. 194.

[iv] Nuruddin, Characteristics and Beauty of Modern Poetry by Ibn Zaidun, Dzil Majaz : Journal of Arabic Literature, Vol. 1, No. 1, January 2003

 


Leave a Comment