| 0 Comments | 316 Views

Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Masa Abbasiyah Pertama (750-850)

"Seribu Satu Tautan Sejarah Sastra Arab Klasik Era Abbasiyah Pertama"

Kumpulan 9 Esai Mahasiswa 

 

Esai Mahasiswa 1:

Memahami Nisbat Syair Al-I’tiraf: Meredakan kesalahpahaman Publik

Lubbi Silmi Haris (22101010015)
www.linkedin.com/in/lubbisilmi 

   Esai ini membahas topik Sejarah sastra klasik pada periode Abbasiyyah Pertama antara tahun 750 M sampai dengan tahun 1258 M.  Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh sastra / penyair/ prosais diantaranya  Abu Dulama (w.776), Abu Nuwas (w.813) dan tokoh lainnya. Topik yang akan dibahas adalah Syair Al’Itiraf yang dinisbatkan kepada Abu Nuwas

Topik tentang syair Al’Itiraf yang dinisbatkan kepada Abu Nuwas sebagaimana ditulis di paragraph pertama dalam penelusuran artikel berbahasa Indonesia dibahas isi dan gaya bahasa syair Al-I’tiraf. Sementara itu, dalam penelusuran artikel berbahasa Inggris, topik ini mencakup syair-syair pada masa Abbasiyyah dan periode Abbasyiyyah pertama. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa Arab, topik yang dibahas adalah biografi Abu Nuwas beserta diwannya.

Dalam melodi maghrib yang syahdu di langit-langit masjid di Indonesia, Syair Al-I’tiraf merangkai pemohonan ampun yang menyentuh jiwa. Namun, kesalahpahaman umum melekat, seolah-olah syair ini adalah karya murni Abu Nuwaspadahal diwan penyair tersebut sudah membantahnya. Kemudian penelusuran lebih lanjut pada gaya bahasa dan stilistika sastra mengungkapkan perbedaan mencolok dengan karya-karya  Abu NuwasAbu Nuwasatau kerap dipanggil Al-Hasan ibn Hani, yang hidup pada masa Abbasyiyah pertama menjadi fokus kajian sastrawan yang mendalam, termasuk dalam analisis psikologi sastra dan gaya bahasa.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapa sebenarnya penulis Syair Al-I’tiraf? Pencarian identitas pembuat syair ini menjadi tantangan yang mendebarkan. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan, perbedaan gaya bahasa dan ketiadaan syair Al-I’tiraf dalam diwan Abu Nuwas memberikan petunjuk bahwa Syair Al-I’tiraf memiliki nisbat dan keunikannya sendiri, terpisah dari karya-karya Abu Nuwas. Oleh karena itu, pemahaman lebih mendalam terhadap kisah di balik kata-kata indah dalam syair ini akan membuka pintu menuju keberagaman dan kompleksitas sastra Arab, sekaligus meredakan kesalahanpahaman yang mungkin telah tumbuh di kalangan masyarakat.

Syair Al-I’tiraf telah menjadi familiar di telinga masyarakat Indonesia karena mengandung makna permohonan ampunan kepada Allah atas banyak dosa yang dilakukan, sering dinyanyikan pada waktu subuh dan maghrib di masjid dan mushola. Popularitasnya semakin meluas melalui lantunan indah Hadad Alwi dalam akun YouTube resminya, Hadad Alwi Official. Syair ini tidak hanya memikat hati melalui keindahan melodi, tetapi juga mempunyai makna mendalam yang menyentuh perasaan bagi mereka yang mentadabburinya.

Berikut adalah isi dari Syair Al-I’tiraf sesuai yang disebutkan dalam web herrysapuetra.blogspot.com karya Herry Sapuetra dalam artikelnya yang ber judul Text Sya’ir Abu Nuwas (Al I'tiraf) dan Artinya.

 Gambar 01. Sya’ir Abu Nuwas (Al-I’tiraf)

إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا

إِلَهِيْ لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا * وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ

فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ * فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ

ذُنُوْبِيْ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ * فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَا ذَا الْجَلَالِ

وَعُمْرِيْ نَاقِصٌ فِيْ كُلِّ يَوْمِ * وَذَنْبِيْ زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ

إِلَهِيْ عَبْدُكَ الْعَاصِيْ أَتَاكَ * مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ

فَإِنْ تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ * فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ يَرْجُوْ سِوَاكَ

 

Di awal esai ini, saya akan memberikan gambaran singkat tentang biografi Abu Nuwas, terbatas pada beberapa aspek. Philip F. Kennedy dalam bukunya "Abu Nuwas: A Genius of Poetry" mendefinisikan Abu Nuwas sebagai individu yang blak-blakan dan tak peduli terhadap konsekuensinya. Meskipun beberapa orang memuji keberanian dan kebebasannya, banyak yang menganggapnya menjengkelkan dan kadang-kadang berbahaya. Abu Nuwas, berasal dari kota metropolitan, sering mengolok-olok dirinya sendiri dan mencemooh petualang asmara yang seringkali malang. Awalnya tinggal di Baghdad, ia kemudian pindah ke Mesir pada masa pemerintahan Khalifah al-Khasib ibn 'Abd al-Hamid (805/807) dan kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rashid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.

Menurut Abbas Mahmud Al-'Aqqad (w.1964) dalam bukunya tentang Abu Nuwas , ia menyatakan bahwa Abu Nuwas adalah sosok yang skeptis terhadap hal-hal yang tidak beragama, terus-menerus merenungkan aspek-aspek keagamaan, meskipun pandangannya sering kali kontroversial. Dalam bab "al-Jahiduun wa al-laadinuun," disebutkan bahwa Abu Nuwas menyusun syair pertobatan pada akhir hidupnya, menunjukkan pemikiran penyesalan yang tulus dan kesedihan yang rendah hati.

Mengutip dari website sufiz.com, disebutkan bahwa sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nuwas berubah menjadi lebih religius. Jika sebelumnya ia menciptakan syair yang memuji kehidupan pesta dan minuman keras, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syair tentang taubat mencerminkan ekspresi rasa keagamaannya yang mendalam.

            Menurut Hunaini dkk, dalam PENAOQ: jurnal sastra, budaya, dan Pariwisata, yang mengutip Syukron Kamil dalam bukunya "Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern," menyatakan bahwa jenis sastra Arab terbagi menjadi dua bagian besar: pertama, al-adab al-washf (sastra deskriptif atau non-imajinatif), kedua: al-adab al-insya’i (sastra kreatif atau fiksi). Syair Al-I’tiraf termasuk dalam jenis sastra Arab yang kedua, yaitu al-adab al-insya’i. Dan disebutkan juga dalam bukunya bahwasannya dalam dunia Islam, syair Abu Nuwas yang terkenal adalah syair Al-I’tiraf. Banyak sumber penelitian psikologi dan analisis gaya bahasa sastra menyebutkan bahwa syair Al-I’tiraf  karya Abu Nuwas, sesuai dengan konteks perubahan sikap dan taubatnya.

            Disamping itu semua, salah satu karya terkenal Abu Nuwas adalah "Diwan Abu Nuwas." Diwan ini berisi kumpulan puisi Abu Nuwas berlatar Irak pada akhir abad kedelapan masehi pertama kali disusun dalam bahasa Arab pada pertengahan abad kesepuluh, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1974. Dalam kitab "Diwan Abu Nuwas" yang disyarah oleh Ahmad Abdul Majid Al-Ghazali pada bagian "Fahrus Diwan," tertulis bahwa terdapat 8 bab dalam diwan tersebut, dan setiap bab terdiri dari lebih 30 judul atau qafiyah, dengan jumlah terbanyak ada pada bab Ghazal, yaitu 367 judul. Namun, tidak ada satupun judul atau bait yang mencantumkan syair Al-I’tiraf. Ini menimbulkan pertanyaan mengapa dalam kitab diwan Abu Nuwas karya Abu Nuwas sendiri tidak terdapat syair yang selalu diidentifikasi dan dikaitkan dengan Abu Nuwas. Mari kita telaah lebih lanjut.

            Dalam diwan Abu Nuwas, meskipun tidak terdapat syair yang sepenuhnya identik dengan syair Al-I’tiraf, terdapat beberapa bait yang memiliki kemiripan. Contohnya, pada bab zuhud, pada judul tadhorru’ (halaman 618):

 Gambar 02. Bait syair dalam bab zuhud pada judul tadhorru’.

 

تضرع

يا رَبِّ إِن عَظُمَت ذُنوبي كَثرَةً

فَلَقَد عَلِمتُ بِأَنَّ عَفوَكَ أَعظَمُ

إِن كانَ لا يَرجوكَ إِلّا مُحسِنٌ

فَبِمَن يَلوذُ وَيَستَجيرُ المُجرِمُ

أَدعوكَ رَبِّ كَما أَمَرتَ تَضَرُّعاً

فَإِذا رَدَدتَ يَدي فَمَن ذا يَرحَمُ

ما لي إِلَيكَ وَسيلَةٌ إِلّا الرَجا

وَجَميلُ عَفوِكَ ثُمَّ أَنّي مُسلِمُ

           

            Bait pertama pada bab tadhorru’ memiliki makna mirip dengan bait keempat dalam syair Al-I’tiraf yang di atas, yang berbicara tentang pengakuan seorang hamba yang memiliki banyak dosa dan memohon pengampunan. Begitu pula, pada bait ke tiga, maknanya mirip dengan bait ke tujuh syair Al-I’tiraf, yang berisi pengaduan seorang hamba jika Tuhan tidak mengampuni dosanya, dan mencari siapa lagi yang bisa memberikan ampunan. Maka meskipun tidak ada kecocokan 100%, beberapa bait dalam diwan Abu Nuwas memiliki kesamaan makna dengan syair Al-I’tiraf.

            Selain dalam diwan Abu Nuwas, terdapat kemiripan dengan syair Al-I’tiraf dalam Maqolah yang terdapat dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad" karya Imam Nawawiy Al-BantaniyMaqolah ini terletak pada bab tsunaai dan bab rubaai. Berikut Maqolah nomor 28 dalam bab tsunaai:

Gambar 03. Maqolah dalam bab tsunaai dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad"

إلَهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ... وَلاَ أقوَى عَلى نارِ الجَحِيْم

فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنوُبي ... فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَنْبِ العَظِيْمِ

وَعَامِلْنِيْ مُعًامَلَةَ الكَرِيْمِ ... وَتُثْبِ تُنِي عَلَى النَهْجِ القَوِيْمِ

    Terlihat jelas kemiripan, bahkan kesamaan, pada bait pertama, kedua, dan ketiga antara maqolah dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad" dengan bait pertama, kedua, dan ketiga dari sya’ir Al-I’tiraf. Bahkan, memungkinkan bahwa maqolah karya Imam Nawawiy Al-Bantaniy ini lebih dulu ada daripada syair Al-I’tiraf. Selain terdapat pada bab tsunaai, kemiripan makna maqolah juga dapat ditemukan pada bab rubaai:.

 

Gambar 04. Maqolah dalam bab rubaai dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad"

 

ذنوبي إن فكرت فيها كثيرة • ورحمة ربي من ذنوبي أوسع

وما طمعي فى صالح إن عملته • ولكنني فى رحمة الله أطمع

هو الله مولاي الذي هو خالقي • وإني له عبد أقر وأخضع

فإن يك غفران فذلك رحمة • وإن تكن الأخرى فما أنا أصنع

 

Jika dibandingkan antara bait pertama maqolah tersebut dengan bait keempat syair Al-I’tiraf, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki makna yang serupa, yakni pengaduan seorang hamba yang memiliki banyak dosa kepada Allah. Menurut Hanif Fathoni dalam Jurnal At-Ta’dib yang berjudul “Gaya Bahasa Dalam Syair “Al-i’tiraf” Karya Abu Nuwas: Sebuah Analisis Stilistik” bahwasannya ketika dibandingkan dengan beberapa puisi Abu Nuwas yang terdapat dalam Diwan Abi Nuwas cukup jelas perbedaannya. Puisi Al-I’tiraf ini memakai bahasa yang lebih bebas dan bermakna lugas, sedangkan puisi-puisi Abu Nuwas yang diakui dalam Diwan Abi Nuwas memakai bahasa yang lebih terikat oleh aturan qafiyah maupun ‘arudh dan cenderung memakai kata-kata yang tinggi tingkat pemahaman maknanya.

            Melalui penelusuran dan analisis mendalam terhadap berbagai sumber, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun syair Al-I’tiraf sering kali diasosiasikan dengan Abu Nuwas, bukti-bukti menunjukkan bahwa syair tersebut tidak dapat diidentifikasi sebagai karya Abu Nuwas. Penelitian pada Diwan Abu Nuwas, yang merupakan kumpulan puisi penyair tersebut, tidak memberikan bukti adanya syair Al-I’tiraf di dalamnya. Selain itu, terdapat kemiripan makna dan bahkan bait pada Maqolah dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad" dengan syair Al-I’tiraf, yang menimbulkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya pembuat asli syair tersebut.

 

            Dengan demikian, pemahaman mengenai nisbat pembuat syair Al-I’tiraf  menjadi penting untuk meredakan kesalahpahaman publik. Seiring dengan kepopuleran syair ini di masyarakat Indonesia, pemahaman yang lebih akurat tentang asal-usul dan pembuatnya dapat menghindarkan kita dari kesalahan interpretasi. Oleh karena itu, perlunya kajian yang lebih mendalam dan pemahaman yang cermat untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada publik sesuai dengan fakta sejarah dan sastra. Dengan demikian, kita dapat menghargai warisan sastra dengan lebih tepat dan menghindari penyebaran kesalahpahaman yang tidak perlu.


Daftar Pustaka

 

  Nawas, A. Diwan Abu Nuwas, syarah oleh Ahmad ‘Abdul Majid Al-Gazhaliy, Cairo : Misr Press, 1953

 Philip F. Kennedy. Abu Nuwas: A Genius of Poetry , London England: Oneworld Publications, 2005

 Abbas Mahmoud Al-Aqqod, Abu Nuwas al hasan ibn Hani, Mesir, yayasan Hadawi, 2017,

 Syihabuddin, Nashoihul ‘Ibaad, syaroh oleh Muhammad Nawawiy ibn ‘amru al-jawiy,

 Anonim, Sekelumit tentang Sosok Abu Nawas yang Perlu Dikenal, sufiz.com, 13 Mei 2018, Link : https://www.sufiz.com/jejak-sufi/sekelumit-tentang-sosok-abu-nawas-yang-perlu-dikenal.html.

Fathoni, H. Gaya Bahasa Dalam Syair “Al-i’tiraf” Karya Abu Nuwas: Sebuah Analisis Stilistik, Jurnal At-Ta’dib, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, Link Jurnal : https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/72

Hunaini, dkk “Psikologi Tokoh Utama dalam Syair al-I’tiraf Karya Abu Nawas”, PENAOQ : Jurnal Sastra, Budaya dan Pariwisata, Vol 3 No 2, 31 Oktober (2022), Link Jurnal : http://ejournal.unwmataram.ac.id/penq/index

Yalman, S.  The Art of the Abbasid Period (750–1258, www.metmuseum.org, 2021, Link : https://www.metmuseum.org/toah/hd/abba/hd_abba.htm

Sapuetra H, Teks Syi’ir Abu Nawas (Al-I’tiraf) dan Artinya, herrysapuetra.blogspot.com, 6 Februari 2015, li k : https://herrysapuetra.blogspot.com/2015/02/text-syiir-abu-nawas-al-itiraf-dan.html

*** * ***         

Esai Mahasiswa 2: 

Abu Nawas Penyair Ilahiyyah Sang Pembaharu Sastra Abbasiyah

Oleh Muhammad Ravi Hamadah Habibi

 

Abu Nawas (145 H/762 M) yang memiliki nama lengkap Hasan bin Hani bin Abdul Awwal bin Sabbah lahir pada tahun 145 H didaerah Ahwas salah satu bagian dari kota iran[i], ayah Abu Nawas menurut sebagian pendapat, adalah seorang seketaris di Syam. Sementara menurut riwayat lain, ayahnya adalah tentara yang mengabdi pada Marwan bin Muhammad, salah satu khalifah Bani Umayyah. Dikutip dari Abu_Nawas_dan_Kitab_Diwan_Abu_Nawas

Abu nawas mulai “viral” seantero jagad ketika ia didaulat menjadi penyair istana dan Haroen Ar-Rasyid sendiri sangat menikmati syair serta sastranya. Abu Nawas melahirkan bentuk puisi baru, ia menggunakan gaya bahasa (uslub) dan idiom-idiom filsafat serta pengetahuan ilmiah. Ia disebut oleh Harun Ar-Rasyid sebagai sang pembaharu sastra abbasiyah.

Ketika Abu Nawas tiba di Baghdad  ia mulai berbaur dengan من_هم_البرامكة [baramkeh] adalah keluarga yang sangat dekat dengan Raja Harun Ar-Rasyid berkapuisinya, Abu Nawas sering membersamai sang raja, menurut Nabil Alquran dalam catatanya tentang أبو_نواس.

Abu nawas selama tinggal bersama Harun Ar-Rasyid ia dekat dengan banyak pelayan, ia mewariskan cerita-ceritanya. Meskipun demikian penyair tersebut tidak mengalami kesuksesan besar pada masa itu. Lalu pada masa Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid, Abu Nawas selalu diberi tugas untuk menulis puisi untuknya. Namun keharmonisan ini tidak bertahan lama, Al-Amin memenjarakanya untuk sementara waktu karena perselisihan dia dan al makmun.

Menurut Mas Mukhammad Lutfi dalam artikelnya Abu Nawas Sang Penyair Istana”, hidup di penjara telah menjadi titik balik kehidupannya. Selama mendekam di jeruji besi, syair-syair Abu Nawas berubah menjadi sangat religius. Jika sebelumnya, ia hedon, bermewah-mewahan dalam kehidupan duniawi yang glamour, kini ia lebih pasrah dalam kekuasaan Allah.

Melalui puisi-puisinya, Abu Nawas mengakui bahwa dosa-dosanya amat banyak. Namun ia meyakini bahwa ampunan atau maghfirah Allah jauh lebih besar. Kendatipun ia banyak melakukan maksiat, minum khamr, main perempuan dan hal lain yang bertentangan dengan syariat agamaia tetap menganggap dirinya sebagai seorang muslim yang masih mempunyai harapan bahwa Allah punya jutaan ampunan untuk hambanya yang bertaubat di jalan-Nya.

Perlu diketahui bahwa kumpulan puisi abu nawas terdiri dari 8 tema puisi: khamriyyat terdiri dari 299 judul; ghazal terdiri dari 367 judul;madah [pujian] terdiri dari 100 judul;haja [ejekan] terdiri dari 113 judul;ratha’[ratapan] terdiri dari 22 judul; i’thab [teguran] terdiri dari 30 judul;tard [perburuan] terdiri dari 54 judul. Sedangkan tema yang ingin dikaji disini menyangkut dua hal

1. Khamriyat

Khamriyat adalah puisi-puisi yang mendeskripsikan khamr baik dari aspek makna maupun bentuk-bentuknya, cikal bakal puisi ini ditanamkan oleh penyair sebelumnya yaitu walid bin yazid  (88-126H).                              Sementara itu, Abu Nawas menguasai puisi tersebut baik dari segi aspek maupun makna[ii]. Abu Nawas melalui Syairnya  yang berjudul: Tuhan Tak pernah Mengatakan “Celakalah Orang-orang yang Mabuk”. menuliskan:

Jauhkan masjid untuk hamba-hamba, yang engkau diami

Mari dengan kami mengelilingi para peminum khamer, untuk minum bersama-sama

Tuhan-mu tidak mengatakan “celakalah bagi orang-orang yang mabuk”

Tetapi, tuhan berfirman: “celakalah orang-orang yang shalat diantara kita

2. Zuhud

Zuhud adalah fenomena keagamaan yang terjadi pada masa Abassiyah. Motif Abu Nawas untuk menempuh jalan adalah kelalaian hidup yang serba jenaka. Ia menempuh zuhud dengan perasaan tulus dan ikhlas. Abu Nawas bersyair sebagai berikut:

Jangan kau kosongkan jiwa dari sibuknya dunia sebab jiwa tak bisa diraih oleh orang yang mengharapkannya.

Ya memuji anggur karena khasiatnya dan berikan nama terbaiknya Jangan membuat air menjadi menekannnya

Menurut Munawwir Amin dalam tulisanya Abu Nawas dan Gusti Allah SWT yang Maha Pengampun, sebelum meninggal dunia, Abu Nawas pernah duduk sendirian, memperhatikan matahari yang berangsur-angsur tenggelam. Cukup hening suasananya, melihat begitu indahnya warna langit, penuh dengan mega berwarna jingga. Ia memperhatikannya secara seksama. Hingga pada akhirnya suasana indah itu hilang.

Tiba-tiba Abu Nawas tak bisa membendung air matanyayang tumpah begitu saja. Satu persatu tetesan sendu itu jatuh melebur di dalam kesedihan yang sangat layu, hatinya terasa pedih. Ia menangis tersedu-sedu. Ia lalu menengadahkan tanganya lalu bersyair:

الهي لست للفيرداوس اهلا # ولا أقوا  علي نار الجاحيم

"Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi Aku juga tidak kuasa dalam neraka jahnamnya,".

 فَهَبْ ليِ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبيِ # فَإِنَّكَ غَافِرُ ذَنْبٍ عَظِيْمٍ

"Maka berilah Aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya Engkau yang Maha Pengampun dosa yang besar,".

 ذُنُوْبيِ مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ # فَهَبْ ليِ تَوْبَةً يَاذاَ الجَلاَلِ

"Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah Aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan,".

وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ # وَذَنْبيِ زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَا

"Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana Aku menanggungnya,

 

Syair tersebut memiliki makna sebagai berikut:

أَهْل”ahli” : (ahlikeluarga) hal 46 dalam kamus al munawwir

أقوى “aqwa” : kamus al munawwir (Berhenti di tempat yang gersang) hal 1176

النَّارِ”annar”  : kamus al munawwir (neraka) hal 1474

توبة “taubat” : kamus al munawwir (Bertaubat) hal 140

غافر “ghofir”            : kamus al munaawwir (yang memaafkan) hal 1011

العظيم ”al-adzim” : kamus al munawwir (pengagungan) hal 942

الرمال “arrimal” : kamus al munawwir (Garis hitam) hal 535

توبة “taubat”: kamus al munawwir (Bertaubat) hal 150

جلال “jalal” : kamus al munawwir (Kemuliaan) hal 204

ناقِصٌ  “naqis”: kamus al munawwir (Minus/ kurang/lemah) hal 1455

يَومٍ ”yaum”: kamus al munawwir hal 1591 (waktu/hari)

احتمال “ihtimal”: kamus al munawwir” (Membawa/memikul/mengangkut) hal 297

 

Uraian puisi-puisi dari Abu Nawas yang wafat pada tahun 813M ini, jika dihubungkan pada sejarah Indonesia, pada saat itu Indonesia masih belum dalam bentuk negara namun masih berbentuk Kerajaan. Yang mana kala itu masih dikuasai oleh kerajaan_Hindu Buddha. Sejauh  penulusuran penulis , kerajaan yang terdeteksi pada masa itu adalah Sriwijaya yang beribukota di Palembang yang saat ini menjadi ibukota provinsi Sumatera_Selatan.

Relevansi puisi Abu Nawas untuk saat ini  sangat kuat. Meskipun beliau hidup  seribu tahun yang lalu. Segala macam tema  dalam karyanya terutama yang berkaitan tentang kebebasan, kemewahan, ketuhanan dan pencarian kenikmatan hidup. Masih sangat relevan dengan isu-isu kontemporer  dalam Masyarakat modern saat ini. Kita ambil contoh hedonism/bermegah-megahan seperti puisi Abu Nawas yang seringkali menunjukkan tentang kehidupan hedonism.

Alquran sendiri pun menampilkan ayat tentang hedonism atau bermewah-mewahan seperti dalam Surah Al-A’raf ayat 31, Surah Al An’am ayat 32, Surah At-Takasur ayat 1-8.

Pada prinsipnya gaya hidup hedonism dilarang oleh agama islam sebagaimana tercantum dalam al quran diatas, sebab gaya hedonism identik dengan perilaku menghambur-hamburkan harta, bermegah-megahan, berlebihan dan membanggakan diri atau sombong. Jika dikaitkan dengan hari-hari ini masih sangat kental dan relevan. Karna sifat sifat tersebut masih mengakar,membudaya,masih sering dilakukan oleh Masyarakat saat ini. Dikutip dalam jurnal karya Laili_Niamul luthfi, yang berjudul Kajian tematik; Gaya Hidup Hedon Menurut Alquran.

Pesan dan kesimpulan dari puisi-puisi Abu Nawas yang khomriyat maupun hedonism dan zuhd agaknya menjadi renungan terdalam bagi kita untuk melahirkan hikmah-hikmah kehidupan yang universal, supaya kita tidak terjerembab dalam pusaran kemegahan pada dunia yang fana ini. Kesadaran atas pentingnya tuhan harus terus menyertai kita di dalam segala aspek, seperti penulis sebutkan di awal: Abu Nawas selalu melibatkan tuhan di setiap perjalanan dan ritme kehidupannya.

[i] Salim Syamsuddin, Abu Nuwas Fi Nawadirihi Wa Ba’dzu Qasaaidihi (Beirut: Maktabah al-

‘ashriyyah), hlm. 8.

[ii] lihat Majdi Wahb dan Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Mushthalahat al-‘arabiyyah fi al-Lughah wa al-Adab (Baerut: Dar al-Ma’arif, 1983), hlm. 163.

 *** * ***


Esai Mahasiswa 3: 

Abu Nawas Penyair Jenaka yang Berpengaruh pada Perkembangan Syair Jenaka, Satir dan Humoris dalam Sastra Arab

Oleh Ibnu Khakim Mubarok

Pada masa dinasti Abbasiyah perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju dan pesat terutama sastra, hal ini karena para khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu tersebut, sehingga dilarang dalam berbagai ilmu pengetahuan serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing diterjemahkan dalam bahasa arab. Dan adapun dampaknya terhadap ilmu pengetahuan yakni didirikannya pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait Al-Hikmah dan terbentuk mahzab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah kebebasan berfikir.sehingga berhasil menyiapkan landasan bagi pengembangan sastra arab dan ilmu pengetahuan. Kemenangan tentara Islam masa Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid atas Bizantium, memunculkan gerakan intelektual dalam sejarah Islam. Para tentara membuka jalan bagi bidang pemerintahan, keuangan, undang-undang dan ilmu pengetahuan untuk berkarya di bidangnya. Dengan demikian maka muncul penyair, filsuf, ahli sejarah, ahli ilmu hisab, tokoh agama dan pujangga yang memperkaya khazanah bahasa Arab. Disebabkan Pada masa dinasti Abbasiyah perkembangan ilmu pengetahuan sangat maju dan pesat terutama sastra, hal ini karena para khalifah banyak mendukung perkembangan ilmu tersebut, sehingga dilarang dalam berbagai ilmu pengetahuan serta buku-buku pengetahuan berbahasa asing diterjemahkan dalam bahasa arab. Dan adapun dampaknya terhadap ilmu pengetahuan yakni didirikannya pusat pengembangan ilmu dan perpustakaan Bait Al-Hikmah dan terbentuk mahzab ilmu pengetahuan dan keagamaan sebagai buah kebebasan berfikir.sehingga berhasil menyiapkan landasan bagi pengembangan sastra arab dan ilmu pengetahuan. Kemenangan tentara Islam masa Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid atas Bizantium, memunculkan gerakan intelektual dalam sejarah Islam. Para tentara membuka jalan bagi bidang pemerintahan, keuangan, undang-undang dan ilmu pengetahuan untuk berkarya di bidangnya. Dengan demikian maka muncul penyair, filsuf, ahli sejarah, ahli ilmu hisab, tokoh agama dan pujangga yang memperkaya khazanah bahasa Arab. Disebabkan masuknya pengaruh asing, yaitu; Yunani, Suriah, India, Persia dan Yahudi. Gerakan intelektual ditandai dengan proyek penerjemahan karyakarya berbahasa Persia, Sanskerta, Suriah (aramaik) dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Beberapa pengaruh yang diperoleh Dinasti Abbasiyah antara lain: Yunani, India, Persia dan Yahudi. Pengaruh peradaban Yunani dalam filsafat dan logika. Yunani juga mempengaruhi ilmu kedokteran, teknik, mekanik, kimia dll.. Peradaban India berpengaruh dalam ilmu matematika, dan kedokteran terutama ilmu perbintangan. India menjadi sumber inspirasi pertama dalam bidang mistisisme dan matematika. Peradaban Persia mewarnai sastra Arab. Gaya Abbasiyah dalam seni dekor tekstil, benda-benda antik dari logam dan keramik serta kayu telah menyebar di negara Islam pada waktu itu, hingga sampai Mesir, Afrika dan Iran. Dalam teknik terkenal Al Hajjaj bin Ar Ta`ah yang membuat kaligrafi Masjid Raya Bagdad pada masa Abu Ja`far Al Manshur. Bahkan Baqdad dijuluki sebagai menara ilmu dan pengetahuan.[i]

Abu Nawas adalah seorang yang kontroversial. Sebagai seorang muslim, ia banyak melakukan perbuatan yang secara agama dilarang. Ia bangga untuk melalukan perbuatan-perbuatan dosa kecuali syirik, meremehkan haji dan waktu shalat. Ia menyukai khamar sehingga terkenal sebagai penyair khamar. Khamar, bagi Abu Nawas, dijadikan kompensasi kekecewaan perasaan atau ketika merasa kosong jiwanya dan untuk menghindarkan diri dari kesibukan yang harus diselesaikanya. Khamar merupakan segala-galanya dalam kehidupan Abu Nawas. Bahkan, khamar menjadi tujuan pertama hidup dan lebih daripada menjalankan perintah agama. Nama lengkap Abu Nawas adalah Hasan bin Hani‟ bin Abdul Awwal bin Sabah. Ia lahir pada tahun 145 H/ 762 M di daerah Ahwaz salah satu bagian kota Kazakstan di Iran. Ayah Abu Nawas, menurut sebagian pendapat, adalah seorang sekretaris di Syam. Sementara menurut pendapat lain, ayahnya adalah seorang tentara yang mengabdi kepada Marwan bin Muhammad, salah satu khalifah Bani Umayyah. [ii]

 

Pada suatu malam Qodar Abu Nawas seperti biasa minum-minuman keras dalam kondisi mabuk berat tiba-tiba datang seseorang mendekatinya dan berkata “wahai Abu Hani jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan,janganlah engkau menjadi lalat menjijikkan, yang merusak hidangan itu” pada saat itu Abu Nawas merubah perilakunya menjadi lebih islami. Abu Nawas merupakan pernyair yang jenius, terbukti dengan karya-karya jenakanya yang masih populer sampai era sekarang dan penggemar tulisan Abu Nawas pun masih terlihat sampai saat ini. Selain itu, salah satu karya populernya adalah syair atau puisi yang berjudul ”Al’itiraf”, sejumlah puisi atau syair Abu Nawas ditulis dalam buku yang berjudul Diwanu Abu Nuwas[iii]

 

إلهي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً      وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيمِ

فَهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوبِي      فَإِنَّكَ غَافِرُ الذُّنْبِ العَظِيمِ

ذُنُوبِي مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ        فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَا الْجَلَالِي

وَعُمْرِي نَاقِصِّ فِي كُلِّ يَوْمٍ     وَذُنْبِي زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِي

إِلهِي عَبْدُكَ الْعَاصِي أَتَاكَ         مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ

فإن تَغْفِرْ فأنتَ لذاكَ أهْل      فَإِن تَطْرُدُ فَمَنْ تَرْجُو سِوَاكَ

 

Wahai tuhanku! aku bukanlah ahli surga firdaus, sedang aku tak kuat di neraka

Maka terimalah taubatku dan ampunilah segala dosaku, karena engkaulah pengampun dosa-dosa besar

Dosaku seperti bilangan pepasir, maka berilah aku taubat wahai pemilik keagungan

Umurku berkurang setiap hari, sedang dosaku bertambah, bagaimana aku bisa menanggungnya.

Wahai, Tuhanku! Hamba Mu yang durhaka telah datang kepada Mu, dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada Mu.

Maka jika Engkau mengampuni, Engkaulah pemilik ampunan, akan tetapi jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku mengharap selain kepada Engkau?[iv]

 

Uraian tokoh Abu Nawas yang lahir pada tahun 756 M, sekitar 124 tahun setelah  wafatnya Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adala Kerajaan Medang (bahasa Jawa Kuno: ; kaḍatwan mḍaŋ) atau sering disebut juga Mataram Kuno adalah kerajaan agraris sekaligus talasokrasi yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10 Masehi, yang didirikan oleh Sanjaya. Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Syailendra dan wangsa Isyana.

 

 



[i] Khusnul Khatimah (2022), Perkembangan Sastra Arab Pada Masa Daulah Abbasiyah Dan Implikasinya Terhadap Ilmu Pengetahuan, Journal of Islamic Interdisciplinary Studies, Vol. 1, No. 2,

[ii] Muhammad Dedad Bisaraguna Akastangga, M.Hum, Abu Nawas Dan Kitab Diwan Abu Nawas,academia.edu

[iii] Siti Dea Ananda)2023), Syair Al-I’tirof Karya Abu Nawas dalam Perspektif Filsafat Bahasa, JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYA, Vol. 13, No. 1

[iv] Siti Dea Ananda)2023), Syair Al-I’tirof Karya Abu Nawas dalam Perspektif Filsafat Bahasa, JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN BUDAYA, Vol. 13, No. 1



Esai Mahasiswa 4: 

Menghapus Cinta Dunia, Mencari Keabadian: Puisi Zuhd Abu al-Atahiyah

Oleh Fina Aqila Masta Fariza

 

Abu al-Atahiya (826W) nama lengkapnya ialah Ismail bin Al-Qasim bin Suwayd, kuniahnya adalah Abu Ishaq dan nama panggilannya adalah Abu Al-Atahiya. Ia lahir di Ain Al-Tamr, sebuah desa di Hijaz, dan dibesarkan di Kufah dalam bidang kerajinan tangan keluarganya. Mereka adalah penjual guci, mereka membuat dan membawanya dalam keranjang dipunggungnya, dan menyusuri jalan dikufah untuk menjualnya. Meskipun demikian, beliau memiliki minat pada puisi dan kegemarannya terhadap sastra. Abu al-Atahiya berkulit putih, berambut hitam, dengan rambut keriting dan berpenampilan bagus. Puisinya seringkali hina dan rercela, dan puisi terbaiknya adalah dalam hal asketisme dan peribahasa. Argumentasinya adalah bahwa ia bertujuan untuk berdakwah dan bertapa, sehingga puisinya harus dipahami oleh semua orang. Beliaulah yang mendekati para pujangga dengan metode asketisme dan khotbah, sehingga mereka mencontoh teladan beliau di dalamnya. Beberapa orang mengaitkannya  dengan penolakan terhadap kebangkitan, dengan alas an bahwa puisinya hanya menyebutkan kematian dan kepunahan tanpa menyebutkan kebangkitan. Az-Zayyat Tarikh Al-Adab Al-Arabi[i]

Abu Al-Atahiya dikenal dan dikenang para penyair karena lirik-lirik syairnya yang cenderung anacreontic dan lebih banyak menonjolkan cinta. Syair-syairnya yang kerap menyentil kaum berpunya membuat Abul Atahiyah begitu populer di kalangan orang-orang miskin di Baghdad. Karya-karyanya yang cenderung menampilkan kezuhudan itu membuatnya dikenal sebagai penyair Arab yang memelopori tren filsafat dalam puisi. Bahasanya yang sederhana membuat syair-syairnya begitu digemari dan dikagumi masyarakat di zamannya, mulai dari orang miskin hingga Khalifah. Meski kerap mengingatkan para penguasa untuk menghindari kepalsuan dunia, Abul Atahiyah memiliki hubungan yang baik dengan para khalifah Abbasiyah. Tak heran jika ia sering diundang ke istana untuk melantunkan syair-syairnya yang indah. ia didaulat sebagai salah satu penyair filosofis paling awal dari Jazirah Arab. Ia menuliskan fenomena kehidupan yang terjadi pada masanya dalam bait-bait syairnya. Ia juga sangat perhatian dalam mengajak masyarakat di zamannya untuk mengutamakan moralitas di kehidupan. Terkadang juga syairnya melukiskan rasa pesimisme. Agung Sasongko, “Dalam sehari, Abul Atahiyah Mampu Menulis 100 Bait Syair[ii]

Karya fenomenal Abu Al-Atahiyah adalah Puisi Zuhdiyat yang terdiri dari 7 tema. Kasim Yahiji & Damhuri dalam artikelnya Nilai-Nilai Pendidikan Karakter  Dalam Syair Zuhdiyât Karya Abu Al-‘Atâhiyah menjelaskan bahwa Tema-tema  yang  terkadung  dalam  syair-syair  zuhdiyât  Abu  al-‘Atahiyah  sangat  beragam,  di  antaranya  tentang  kematian,  kritik  terhadap  kehidupan  duniawi,  nasihat  kepada  para  penguasa,  kritik  terhadap  gaya  hidup  penguasa,  hari  kiamat,  kebangkitan  dan  segala  konsekuensinya,  al-hikmah  dan  perumpamaan-perumpamaan,    dan  kritik  terhadap  orang  tua  yang berprilaku kekanak-kanakan. Syair-syair Abu al-Atahiyah sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter.  Nilai-nilai tersebut dijumpai dalam semua tema-tema syair yang dikemukakan. Secara umum, nilai-nilai pendidikan karakter yang dipetik dari bait-bait syair tersebut antara lain: mengajak masyarakat untuk berpikir kreatif, berprilaku jujur, cinta damai dan toleran terhadap sesama teman, religius, dan bertanggungjawab.  Nilai-nilai tersebut sangat terbuka untuk diimplementasikan dalam pembelajaran, baik formal maupun non-formal. Sebelum  memasuki  usia  remaja,  ia  sudah  menampakkan  prilaku  menyimpang.   Ia   mulai   mengikuti   gaya   hidup   banci,   bersolek   seperti   layaknya perempuan, dan mengenakan pakaian perempuan dengan berbagai atributnya.   Menurut   al-Ashfahani,   kemungkinan   prilaku   seperti   itu   ia   lakukan  karena  ia  dilahirkan  dan  dibesarkan  dalam  keluarga  miskin  yang  tidak memiliki keistimewaan yang dapat ditonjolkan.[iii]

Berikut kutipan salah satu puisi Abu Al-Atahiya dalam kumpulan puisi oleh Kasim Yahiji & Damhuri halaman 94, diceritakan yang dimaksudkan agar manusia semakin yakin akan kepastian datangnya kematian. Menurut Abu al-Atâhiyah, manusia keliru jika   mendambakan   keabadian dalam hidup di dunia, sebab kematian akan memutuskan semua harapan tersebut. Hidup manusia di pagi hari bukan jaminan bahwa ia akan hidup sampai sore hari, begitupula sebaliknya. Hal ini digambarkan antara lain dalam bait berikut: 

 كان الأرض قد طُوِيتْ[1] عَلَيَّا  #  وَقَدْ أَخْرَجْتَ مِمَّ فِي يَدَيَّا

كاني قد صرت منفردًا وحيدًا  #  ومُرْتَهنا[2] لديك بما عليا

كأَنَّ البَاكِيَاتُ عَلَيَّ يَوْمًا  #  ولا يُغْنِي البُكَاءُ عَلَيَّ شيئا

ذكرت منيتِي[3] فَبَكَيْتُ نفسي  #  أَلَا أَسْعِدْ أَخَيَّكَ يَا أَخَيَّا

 

Bumi seakan-akan telah menelanku

Mengambil semua yang aku miliki

Seolah-olah saya telah menyendiri

Semua yang aku miliki tergadai di sisi-Mu

Suatu hari orang-orang akan meratapiku

Padahal ratapan tidak bermanfaat sedikitpun bagiku

Saya membayangkan kematianku lalu saya menangisi diriku

Bahagiakanlah saudaramu wahai saudaraku

Uraian tokoh Abu Al-Atahiya yang wafat pada tahun 826 M, sekitar 194 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah Mataram Kuno yang beribukota di mataram, wilayah saat ini menjadi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu juga kerajaan sriwijaya terletak saat ini di Palembang tepatnya di muara Sungai musi.   


[1] Kamus al-Ashri, “thuwiyat” berarti, “melipat”, hlm. 1241

[2] Kamus al-Ashri, “murtahinan” berarti, “mengambil”, hlm. 76

[3] Kamus al-Ashri, “maniyyati” berarti, “kematian”, hlm. 1850

 


[i] Az-Zayyat, “ Tarikh al-Adab al-Arabiy”, hlm. 195-196

[ii] Agung Sasongko 23 November 2022, “Dalam sehari, Abul Atahiyah Mampu Menulis 100 Bait Syair”

[iii] Kasim Yahiji & Damhuri, “NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER  DALAM SYAIR ZUHDIYÂT KARYA ABU AL-‘ATÂHIYAH”, hlm. 94

*** * ***

Esai Mahasiswa 5: dipublikasikan 1-1-2025

Cinta dan Perpisahan: Menyelami Kedalaman Makna dalam Puisi Cinta Karya Abu Tammam

Oleh Afifah Salsabila


 

Abu Tammam sebagai salah satu penyair paling terkenal dan paling kontroversial di era Abbasiyah. Ia lahir di kota Jasim dekat Damaskus di Suriah modern sekitar tahun 804 M (188 menurut kalender Hijriah). Ia lahir dalam keluarga Kristen. Ayahnya adalah seorang pemilik toko anggur di Damaskus. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Abu Tammam mengganti nama ayahnya dengan nama Arab, Aws, sebagai upaya untuk menciptakan silsilah Arab bagi dirinya sendiri. Meskipun upaya itu awalnya diejek 281), silsilah yang diciptakan itu kemudian diterima karena ia sering disebut setelah itu sebagai al-Taÿÿ, mengacu pada suku Arab TayySebagaimana dalam artikel Abu Tammam dan Abbasiyah Modernisme

Abu Tammam paling dikenal dalam dunia sastra melalui kompilasi puisi-puisi awalnya pada abad ke-9 yang dikenal sebagai Hamasah. Hamasah (bahasa Arab, "nasihat") adalah salah satu antologi sastra Arab terhebat yang pernah ditulis. Puisi-puisinya mencerminkan perubahan gaya dari konsep-konsep puisi Arab lisan yang berlaku, yang sering kali menggambarkan peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah. Puisi-puisinya terkenal karena kemurnian gayanya, kelebihan syairnya, dan cara yang sangat baik dalam membahas subjek-subjek, dan telah dikaitkan dengan filsafat Mu'tazilah yang berlaku pada periode Abbasiyah. Puisi-puisinya diterbitkan di Kairo pada tahun 1875. Ia meninggal di Mosul pada tahun 845.ii poemhunter

Abu Tammâm banyak menggunakan gharadh madh di dalam kasidah-kasidahnya, ia mulai menggunakan gharadh ini ketika berada di Homs. Bukan kasidah pujian saja tentunya, Abu Tammâm juga membuat kasidah-kasidah yang lain seperti hijâ, ghazal, fakhr, syu’ubiyyahdan dan sebagainya. Yang menjadi alasan Abu Tammâm banyak

menggunakan gharadh madh adalah karena ciri khas puisinya yang memiliki banyak majas hiperbola dan ini sangat cocok untuk kalimat-kalimat pujianiii.  Achmad Ibnu Ibad

Berikut kutipan salah satu puisi Abu Tammam dalam kanal youtubeiv تميم بن علي yang dibacakan oleh Dr. Ali bin Tamim. Beliau menyebutkan bahwa Abu Tammam adalah salah satu pangeran dengan pidato dan puisi nya yang indah, salah satu mahakarya nya yaitu

:

اجلْ أيها الربعُ الذي خفَّ آهِلهْ # لَقَدْ أَدرَكَتْ فيكَ النَّوَى ما تُحاوِلُه

وقَفْتُ وأحشَائي مَنَازلُ للَأسَى بهِ # وَهْوَ قَفْرٌ قَدْ تَعَفَّتْ مَنازِلُهْ

أُسَائلُكُمْ مابَالُهُ حَكَمَ البِلَى عليهِ # وإلا فاتركُوني أسائِلُهْ

لَقَد أحسَنَ الدَّمْعُ المُحَامَاةَ،مرَّة # بَعْدَما أَسَاءَ الأسَى إِذْ جَاوَرَ القَلْبَ دَاخِلُهْ دعا شوقُهُ يا ناصرَ الشوقِ دعوة # فلَبَّاهُ طَلُّ الدَّمْعِ يجْري ووَابِلُهْ

وقَفْنَا عَلَى جَمْرِ الوَدَاعِ، عَشِيَّةًولا قلبَ # إلا وهوَ تغلي مراجلُهْ

تيقنتُ أن البينَ أولُ فاتكٍ به # مذ رأيتُ الهجرَ، وهوَ يغازلهْ يُعَنفُني أنْ ضِقْتُ ذَرْعاً بنَأْيهِ # ويَجْزَعُ أَن ضاقَتْ عليه خَلاخلُهْ

wahai kaum yang malang, sungguh takdir telah berpihak kepadamu.

Aku berdiri, dan bagian dalamku adalah rumah kesedihan untuknya, dan dia adalah gurun yang rumahnya telah membusuk.

Aku bertanya kepadamu mengapa ia dikuasai oleh kebusukan, kalau tidak biar aku yang bertanya kepadanya.

Air mata telah menjadi pembela yang baik, setelah kesedihan menjadi buruk, karena ia telah menjadi dekat di hati di dalamnya.

Kerinduannya memanggil, wahai pujangga, sebuah panggilan, dan hujan air mata menjawabnya, mengalir dan mengguyur.

Kami berdiri di atas bara api perpisahan, di malam hari, dan tak ada hati, kecuali kualinya yang mendidih.

Saya yakin bahwa perpisahan adalah hal pertama yang akan membunuhnya karena saya melihat pengabaian menggoda dirinya.

Dia memarahi saya ketika saya muak dengan jarak yang ditempuhnya, dan dia kesal ketika gelang kakinya menjadi terlalu ketat untuknya


Ada beberapa makna yang terkandung didalam puisi diatas, diantaranya yaitu:

1.      Kesedihan akan Kehilangan

2.      Duka yang Mendalam

3.      Penderitaan Akibat Perpisahan

4.      Kerinduan yang Tak Tertahankan

Uraian tokoh Abu Tammam yang lahir pada tahun 804 M, dan wafat pada 845 M jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu mulai adanya sejarah Sastra Jawa yang dimulai dengan ditemukannya sebuah Prasasti yang ditenukan didaerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi vini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno.

Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).

  

i Abu Tammam and Abbasid Modernism, Huda J. Fakhreddine, University of Pennsylvania, USA

ii Abu Tammam, poemhunter

iii Abu Tammâm Sang PenaklukAmmuriya, adabi.net. Ilustrasi oleh Achmad Ibnu Ibad 22 Sep 2024

علي بن تميم من تمائم أبي تمام | وقفنا على جمر الوداع iv

v Wikipedia, Prasasti Sukabumi

 *** * *** 


Esai Mahasiswa 6: dipublikasikan 1-1-2025

"Sang Pendekar Pena Dari Baghdad Abbas Ibn Al-Ahnaf (750-808) Dan Kisah Cintanya Yang Tak Pernah Padam"

Muhammad Faishal Labib Nufa 

              Beliau adalah Al-Abbas bin Al-Ahnaf bin Al-Aswad bin Talha bin Jardan bin Kalada bin Bani Khadim bin Shihab bin Salim bin Hayya bin Kulayb bin Abdullah bin Adi bin Hanifa bin Lajim Al-Hanafi Al-Yamami. Abbas Ibn al-Ahnaf lahir pada tahun 750 di Basra. Beliau menjadi penduduk Irak dari sekitar tahun 750 hingga setelah tahun 808. Dia menjadi favorit khalifah Abbasiyah Harun al-Rashid dan terhubung dengan Barmakids. Dia mengembangkan genre puisi erotiko-elegiak, yang dikenal sebagai ghazal, menggunakan bahasa yang sederhana dan fasih. Puisi-puisinya menjadi bahan siap pakai untuk komposer dan penyanyi. Abbas Ibn al-Ahnaf adalah seorang penyair Arab Abbasiyah dari klan Hanifa. Karyanya hanya terdiri dari puisi cinta (ghazal). Puisi-puisinya terutama berkaitan dengan keputusasaan cinta, dan orang-orang yang dia ciptakan tampaknya pasrah pada hubungan yang kekurangan. Kosakata yang dipilih Abbas sederhana dan gayanya lancar dan mudah.

               

              Sholeh bin Abdul wahhab berkata : Abbas Ibn al-Ahnaf adalah salah satu orang arab khurasan yang hidup di Baghdad. Abbas Ibn al-Ahnaf dan keluarganya dikenal dengan kebaikan akhlaknya, kedermawanannya, dan kemuliaannya. Sebab itulah Abbas Ibn al-Ahnaf dijuluki dengan Abu al-fadl. Abbas Ibn al-Ahnaf dianggap sebagai pribadi yang unik dikalangan para penyair abbasiyah, karena pada saat itu keadaan zaman yang sangat keras dan sengit membuat para penyair terhanyut, sehingga aspek tuturan dan bidang seni syair menjadi bercabang dan beragam, dan membuat satu penyair tidak fokus dengan satu bidang puisi. Mereka menyusun berbagai macam puisi dengan seni dan tujuan yang berbeda-beda, seperti satu penyair yang meyusun tentang madah, ritsa’, ghazal, wasf dan lain sebagainya. Sedangkan Abbas Ibn al-Ahnaf hanya fokus dalam ghazal atau syair cinta dan berpaling dari syair lainnya.

 

              Abbas Ibn al-Ahnaf menjalani kehidupan mewah yang membuatnya terhindar dari puisi pujian, yang merupakan prinsip kebanyakan penyair yang memuji uang atau kekuasaan. Menurut Faraj Al-Isfahani (897-967 M) Al-Abbas adalah penyair yang menulis puisi yang indah dan tertulis. Selain itu, dia memiliki doktrin yang kuat. Pembukaan Puisinya anggun, dan maknanya yang sangat manis yang didalmnya terdapat rayuan, pujian ataupun sindiran. Dan ketika orang yang melihat koleksinya, maka akan  menemukan bahwa topiknya hanya meminta pujian dan deskripsi, meskipun eranya terkenal karena maksiat, penyimpangan, dan keinginan terhadap laki-laki dan dosa. Dalam rayuan dan deskripsinya terhadap wanita, penyair Abbas Ibn al-Ahnaf mengungkap cinta dan kasih sayang yang tulus.

 

              Ringkasnya Penyair Abbas Ibn al-Ahnaf menjalani hidupnya untuk puisi dan cinta, dan dia menggunakan kemampuan puitisnya yang murah hati untuk menggambarkan banyak hal. Karena siapa pun yang membaca koleksinya akan menemukan bahwa Nisreen, Narjis, Hanth, Fawz, dan Zaloum semuanya membuatnya terpesona. Namun, dua yang terakhir merupakan bagian terbesar dari puisinya, dan kehidupannya dipenuhi dengan cinta, kerinduan, dan harapan untuk pertemuan. (Muhammad Ali Sabah 1990 M: 107-108).

            Pengamalan puisi Abbas Ibn al-Ahnaf tidak hanya terkait dengan keangkuhan Bani Abbasiyah; sebaliknya, ia menggunakan pendekatan yang berbeda untuk menulis puisi dan menunjukkan cintanya yang tulus sampai mati. Dia tidak menyukai budak perempuan yang suka bermaksiat dan mengikuti naluri seksualnya. Hatinya memiliki tempat bagi banyak wanita dengan cinta yang murni dan suci yang memadukan ketulusan dan pluralisme dengan tidak ada kecabulan dan maksiat. Sebaliknya, puisinya bebas dari godaan, keluhan, dan subjektivitas. kata-katanya manis dan tenang. Dan dia tidak menyindir atau memanjakan diri dalam pujian.

            Abbas Ibn al-Ahnaf adalah salah satu penyair yang hanya menulis puisi ghazal. Mereka terus berbicara tentangnya, dan menceritakan penderitaan, keluhan, kesedihan dan kesulitan hidupnya. Dia menguasai dramatisasi dialog, metafora refresional, dan perumpamaan naratif dengan ikatan cinta dari hati, jiwa dan raga. Sang dokter menyela hati yang sakit setelah dia mengadu pada dirinya sendiri. Komitmennya terhadap kesucian dan kata-kata genit perawan adalah salah satu ciri puisinya yang paling menonjol. Puisi-puisinya sangat tulus, seperti kata-kata yang keluar langsung dari hati.

            Hubungan cinta Abbas Ibn al-Ahnaf dengan Fawz dimulai ketika ia berkenalan dengan Muhammad bin Mansur bin Ziyad yang dijuluki "Pemuda Tentara". Kebetulan ia melihat seorang dayang cantik bernama Fawz di tempatnya, dan jatuh cinta padanya. Ia mulai sering berkunjung, padahal sebenarnya ia hanya ingin bertemu Fawz. Fawz mengetahui cintanya namun bersikap acuh. Al-abbas semakin mencintainya dan mengeluhkan sikap Fawz yang tidak mempedulikannya. Abbas Ibn al-Ahnaf sering menggambarkan penolakan Fawz dalam syairnya seperti:

قالت ظلوم سميّة الظّلم # مالى رأيتك ناحل الجسم

يا من رمى قلبى فأقصده # أنت العليم بموضع السّهم

Dia berkata dengan tidak adil, kenapa aku melihatmu dengan tubuh yang kurus?

Wahai yang memanah hatiku hingga tepat sasaran, Kau yang paling tahu di mana letak anak panah itu berada.

            Dia terus mengeluh dan memohon, menggambarkan kesedihannya dan api cinta yang membakar hatinya. Dia begitu tergila-gila pada Fawz, mencintainya sepenuh hati hingga seolah-olah dia adalah Laila dan dia adalah Majnun. Dia selalu menggambarkan kerinduannya dengan cara yang belum pernah dilakukan orang lain, penderitaan yang membakarnya dengan api yang menyala-nyala. Dia terus menggambarkan hal itu bukan hanya dalam satu atau beberapa sajak, melainkan dalam sebuah diwan yang menakjubkan, yang di dalamnya ditemukan jiwa spiritual yang menyenangkan, karena dia melampaui makna dan materi setinggi puisi Udzri di masa Umayyah, dengan apa yang telah digambarkannya tentang cinta yang tak pernah padam, seperti perkataannya:

الحبّ أول ما يكون لجاجة # تأتى به وتسوقه الأقدار

حتى إذا سلك الفتى لجج الهوى # جاءت أمور لا تطاق كبار

نزف البكاء دموع عينك فاستعر # عينا لغيرك دمعها مدرار

من ذا يعيرك عينه تبكى بها # أرأيت عينا للبكاء تعار

Cinta adalah hal pertama yang mendesak, ia dibawa olehnya dan takdir mendorongnya.

Bahkan jika anak laki-laki itu berjalan di atas gelombang gairah nafsunya, hal-hal yang tak tertahankan datang.

Menangis telah membuat matamu berlinang air mata, Maka pinjamlah mata orang lain yang air matanya deras.

Siapa pun yang meminjamkan matanya kepadamu, menangislah bersamanya, Pernahkah kamu melihat mata yang malu untuk menangis?

            Antara dia dan Fawz sering terjadi surat-menyurat. Terkadang Fawz mengunjunginya sebentar lalu pergi, meninggalkan penyesalan, kesakitan, dan penderitaan. Terkadang Fawz terpaksa meninggalkannya dalam waktu lama atau singkat, atau berpaling darinya dalam beberapa kunjungannya. Abbas Ibn al-Ahnaf sangat sedih dan menangis dengan tangisan yang paling panas, seperti perkataannya:

أبكى الذين أذاقونى مودّتهم # حتى إذا أيقظونى للهوى رقدوا

جاروا علىّ ولم يوفوا بعهدهم # قد كنت أحسبهم يوفون إن عهدوا

لأخرجنّ من الدنيا وحبّكم # بين الجوانح لم يشعر به أحد

Aku menangisi mereka yang membuatku merasakan kasih sayang mereka, hingga ketika mereka membangunkanku dengan penuh gairah, mereka tertidur.

Mereka tidak adil kepadaku dan tidak menepati janjinya, aku pikir mereka akan menepati janjinya jika mereka berjanji.

Aku akan meninggalkan dunia ini dengan cintamu, di antara sayap dan tidak ada yang bisa merasakannya.

            Abbas Ibn al-Ahnaf terus menggubah puisi cinta yang murni dan suci. Puisinya dicirikan dengan keindahan kata-kata yang manis dan kaya akan makna dan pemikiran, seolah-olah bersumber dari mata air di dalam jiwanya yang tak pernah kering. Terkadang dia menggunakan beberapa bentuk badi' (gaya bahasa), namun itu datang secara alami dan tidak mempengaruhi kekuatan emosi dan alirannya yang mengalir seperti banjir.

            Abbas Ibn al-Ahnaf wafat pada tahun 192 H atau sekitar tahun 809 M di Bagdad, Irak. Diriwayatkan bahwa dia pergi dengan pelayannya ke salah satu taman, ketika dalam keadaan sangat lemah. Dia berbaring di bawah pohon dan mengangkat pandangannya yang hampir tak mampu dia angkat karena sangat lemahnya, lalu mulai berkata sebagaimana dalam Diwannya halaman 278:

يا سقيم الجسم من محنه # مفردا يبكى على شجنه

كلما جدّ البكاء به # دبّت الأسقام فى بدنه

Wahai badan yang sakit karena kesusahannya sendiri, dia menangisi kesedihannya.

Semakin banyak ia menangis, penyakitnya menyebar keseluruh tubuhnya.

            Kemudian dia pingsan, dan datang seekor burung hinggap di pohon dan mulai berkicau. Dia mendengar kicauannya, membuka matanya, dan berkata:

ولقد زاد الفؤاد شجى # طائر يبكى على فننه

شفّه ما شفّنى فبكى # كلّنا يبكى على سكنه

Dan kesedihan hati bertambah, Seekor burung menangisi kematiannya.

Dia tidak menyembuhkanku, maka ia menangis, Kami semua menangisi hidupnya.

Kemudian dia menghembuskan nafas panjang dan meninggal dunia. Demikian kutipan dari kitab Tarikh Adab al-Arabi Karya Ashr al-Abbasiyah al-Awwal Karya Syauqi Dlaif.

 *** * ***

 


 Esai Mahasiswa 7: dipublikasikan 30-12-2024

Abu Al - Atahiyyah : Sang Penyair Tanpa Lelah

Oleh : Fadwa Thafaimal Akhyar

Abu Al –Atahiyyah adalah nama panggilan dari ismail bin Qasim bin suwaid bin kisan budaknya anzah dan biasa di panggil juga abu Ishaq, ibunya bernama ummu zaid binti ziyad al muharabi[i]. Beliau lahir sekitar tahun 748 M dan wafat nya sekitar tahun 826 di bagdad[ii]. Seorang penyair zuhud yang hidup pada masa yang sama dengan Abu Nawas, dikenal karena sifat kezuhudannya. Melalui syair-syairnya, ia sering memberikan peringatan yang tulus kepada penguasa pada waktu itu, Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga kadang-kadang sang khalifah merasa tersentuh mendengar ajaran yang disampaikan melalui puisi-puisinya.

Ia memiliki hubungan baik dengan para khalifah, sehingga cukup dikenal di kalangan mereka. Meskipun pernah meninggalkan dunia kepenyairan, ia akhirnya kembali menekuni bidang tersebut. Ia adalah sosok yang cepat tanggap dan menciptakan banyak inovasi dalam syairnya, mampu menghasilkan 100 bait [iii] dalam sehari. Karya-karyanya yang terkenal sering kali membahas tentang kezuhudan, kata-kata bijak, peribahasa, dan nasihat. Ia merupakan penyair zuhud yang terkenal pada zaman khalifah Harun al rasyid dan sering mengingatkan sang khalifah apabila lalai.Apabila sang khalifah sudah sampai kegembiraan, sehingga lupa akan kewajibannya dan kemiskinan rakyat, ia dengan syairnya memberikan  peringatan-peringatan yang jujur. Sehingga kadang-kadang Harun Al rasyid tersedu-sedu mendengarkan ajaran yang diberikannya.

 Para ahli sejarah tidak berhasil mengumpulkan semua syair-syairnya, karena jumlahnya sangat banyak. Imam Yusuf bin Abdullah al Qurthubi menulis syair-syair beliau dalam satu jilid. Manuskripnya masih ada hingga sekarang di perpustakaan Mesir dan belum diterbitkan. Salah seorang sastrawan kristen pernah membaca dan menyalinnya, dan menyusun syair-syairnya berdasarabjad hijaiyah dan menerangkan sebagian kata-katanya yang diberi judul Al Anwar az Zahiyah fi Diwan Abil Atahiyah.

Puisi Abū l-ʻAtāhiyya terkenal karena menghindari kepalsuan yang hampir universal selama hidupnya. Puisi lama di padang pasir terus-menerus ditiru hingga saat ini, meskipun tidak alami dalam kehidupan kota. Abū l-ʻAtāhiyya adalah salah satu orang pertama yang menyingkirkan bentuk qasidah ( elegi ) lama. Ia sangat fasih dan menggunakan banyak meter . Ia juga dianggap sebagai salah satu penyair filsafat Arab paling awal. Sebagian besar puisinya berkaitan dengan pengamatan kehidupan umum dan moralitas, dan terkadang pesimis. Karena itu, ia sangat dicurigai sebagai bid'ah .[iv] 

 

 

Ibn Abi Tahir Ṭayfur (819/20 —893/94) menerbitkan sebuah antologi puisi Abū al-'Atāhiyah [v] ia juga termasuk dalam antologi yang belum selesai karya Hārūn ibn 'Alī al-Munajjim yang berjudul “Traditions of the Poets,” bersama dengan penyair kontemporer Abu Nuwas dan Bashshar[vi] .  Wazir Ibn 'Ammār al-Thaqafī (w. 931/ 319 H) menulis Tradisi tentang Abū al-'Atāhiyah.

Diantara bait beliau yang terkenal adalah :

رغيف خبز يابس تأكله في زاوية

وكوز ماء بارد تشربه من صافية

وغرفة ضيقة نفسك فيها خالية

أو مسجد بمعزل عن الورى في ناحية[vii]

Sepotong roti basi yang Anda makan di sudut ruangan

Segelas air dingin yang Anda minum dari siphon

Sebuah ruangan sempit di mana Anda kosong

Atau sebuah masjid yang terisolasi dari dunia di sebuah sudut

Kemudian jika dikaitkan dengan indosesia pada masa abu al - Athahiyyah adalah salah satunya terdapat Kerajaan mataram kuno. Kerajaan Mataram Kuno, yang juga dikenal sebagai Kerajaan Medang, adalah salah satu kerajaan Hindu-Buddha yang berpengaruh di Pulau Jawa. Kerajaan ini didirikan pada abad ke-8 dan memiliki dua periode utama berdasarkan lokasi ibu kotanya: di Jawa Tengah dan kemudian di Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya pada tahun 732 M. Ia merupakan raja pertama dari Wangsa Sanjaya. Pada masa ini, kerajaan ini terletak di Bhumi Mataram, yang diperkirakan berada di sekitar Yogyakarta[viii]. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-9 dan ke-10, terutama di bawah Dinasti Syailendra, yang muncul pada akhir abad ke-8. Dinasti ini dikenal karena pembangunan candi-candi megah seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan setelah masa pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan terpecah menjadi dua bagian: satu di bawah Dinasti Sanjaya yang bercorak Hindu dan satu lagi di bawah Dinasti Syailendra yang bercorak Buddha. Perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan sangat pesat pada masa ini[ix].

 Pada tahun 929 M, Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Beberapa faktor yang mendorong perpindahan ini termasuk bencana alam (letusan Gunung Merapi), konflik politik, dan ancaman dari kerajaan lain seperti Sriwijaya Setelah perpindahan, kerajaan ini dikenal sebagai Kerajaan Medang dan dipimpin oleh Dinasti Isyana, dengan Mpu Sindok sebagai raja pertamanya. Meskipun demikian, masa kekuasaan di Jawa Timur tidak berlangsung lama, dan banyak raja penerusnya tidak meninggalkan banyak catatan sejarah[x]. Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan banyak peninggalan berharga, termasuk prasasti dan candi. Beberapa prasasti penting yang ditemukan antara lain Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, dan Prasasti Mantyasih. Candi-candi seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan juga merupakan warisan budaya yang signifikan dari kerajaan ini.

[i] Diwan abi al Tahiyyahhal, 5

[ii] ibid

[iv]  Satu atau beberapa kalimat sebelumnya memuat teks dari publikasi yang sekarang menjadi domain publik :  Chisholm, Hugh , ed. (1911). " Abu-l-'Atahiya ". Encyclopædia Britannica . Vol. 1 (edisi ke-11). Cambridge University Press. hlm. 79.

[v] Nadīm (al), Abū al-Faraj Muḥammad ibn Isḥāq Abū Ya'qūb al-Warrāq (1970). Menghindar , Bayard (ed.). Fihrist al-Nadim; survei budaya Muslim abad kesepuluh . New York & London: Pers Universitas Columbia. hal.151, 206, 315, 321, 325, 352, 355, 721, 965.

[vi] ibid

[vii] Menurut kamus al munawwir hal 927 عزل adalah mengasingkan diri / isolasi

[ix] ibid

[x] ibid

*** * ***

*** * ***

Esai Mahasiswa 8:

Jatuh Sinta Sama Siapa, Nikahnya Sama Siapa? Inisial ‘Ulayya binti al Mahdi (777-825): Penyair Perempuan Era Abbasiyah I

Lutfia Mustika Yasriyanti Saleh (22101010014)

Esai ini membahas topik Sejarah sastra Arab klasik pada periode Abbasiyah I di Baghdad antara tahun 750 M sampai dengan tahun 1250 M. Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh sastra, penyair dan prosais diantaranya adalah Abū Nuwās أبو نواس (747 M-814 M), Abu< Dula أبو دلامة (718/728 M-777 M) dan masih banyak lagi tokoh yang lainnya. Namun, menariknya pada masa ini lahir juga seorang penyair perempuan, salah satunya adalah ‘Ulayya binti al-Mahdi. Adapun topik yang akan dibahas adalah mengenal sosok penyair perempuan pada masa Abbasiyah yaitu ‘Ulayya binti al-Mahdi.

Topik tentang ‘Ulayya binti al-Mahdi sebagaimana yang telah ditulis pada paragraf pertama dalam penelusuran dengan bahasa Indonesia dibahas oleh Syarifah Qamariyah dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan berkesetaraan Gender Perpektif Pemikiran Muhammad Atiyyah al-Abrashi. Nama ‘Ulayya binti al-Mahdi juga disebut dalam artikel lainnya yang ditulis Solihah dan Armin dengan judul artikel yang berbeda. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa Inggris, topik ini dibahas di dalam buku yang berjudul Two Queens of Baghdad Mother and Wife of Harun al-Rashid yang ditulis oleh Nadia Abbott. Adapun topik ini dalam penelusuran artikel berbahasa arab dibahas dalam buku yang berjudul I’la<’ yang ditulis oleh ‘Umar Rid}a< Kahapada tahun 1984.

Solihah Titin Sumanti dalam tesisnya yang berjudul Peranan Wanita Muslim dalam Kegiatan Pendidikan pada masa Abbasiyah berpendapat bahwa wanita pada masa ‘Abbasiyah memiliki akses untuk menuntut ilmu yang lebih dibatasi dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Wanita pada masa ini tidak sebebas laki-laki yang pada saat itu bebas untuk menuntut ilmu dimana saja. Walaupun dibatasi, wanita pada masa ini tetap mendapat pelajaran, baik wanita dari kalangan budak maupun wanita yang sudah merdeka.  Para wanita budak lebih cenderung bebas selama majikannya memberikan izin. Sementara itu, wanita yang sudah merdeka akan mendapat pengajaran yang terbatas di suatu tempat dengan mendatangkan guru. Bahkan berpendapat dalam artikelnya yang berjudul Dinamika Sejarah Pendidikan dalam Potret Timur Tengah dan Indonesia bahwa harga budak wanita menjadi lebih tinggi sesuai dengan kecakapan yang dimilikinya. Adapun Solihah menyebutkan beberapa tokoh wanita yang memiliki kemampuan intelektual bahkan bekerja di lapangan kesusastraan, salah satunya adalah tokoh yang menjadi topik pada tulisan ini, yaitu ‘Ulayyah binti al-Mahdi yang masih hidup pada masa ‘Abbasiyah awal. Disebutkan bahwa ‘Ulayyah merupakan seorang tokoh tersohor yang memiliki pengetahuan mendalam tentang puisi dan lagu serta merupakan anak dari khalifah al-Mahdi< yang berkuasa dari tahun 775 M-785 M.

Nama ‘Ulayyah juga disebut dalam artikel berjudul Pendidikan berkesetaraan Gender Perspektif Pemikiran Muhammad Atiyyah al-Abrashi yang ditulis oleh Syarifah Qamariyah. Ia berpendapat bahwa ketika islam datang, kehidupan intelektual bagi perempuan (muslimah) mengalami perkembangan yang pesat sehingga mereka mendapat hak-haknya dalam masyarakat. Dalam hal ini, Syarifah juga menyebut tokoh ‘Ulayyah sebagai wanita muslimah yang professional di bidang agama, sastra dan seni dari masa ke masa.

Menurut ‘‘Umar Rid}a< Kaha dalam bukunya yang berjudul I’la<’, ia berpendapat bahwa tokoh ‘Ulayyah merupakan seorang wanita yang terhormat. ‘Ulayya yang lahir pada tahun 160 H atau 777 M ini merupakan salah satu wanita yang memiliki paras yang paling cantik, dia juga memiliki kepribadian yang anggun, serta memiliki sifat yang paling bijaksana. ‘Ulayya dikatakan sebagai perempuan yang memelihara dirinya sendiri serta kesuciannya. Tidak hanya itu, ‘Ulayya memiliki sikap yang mulia seperti sopan santun. ‘Ulayya memiliki dahi yang lebar sehingga ia memakai ikat kepala yang dihias untuk menutupi dahinya.

‘Umar juga berpendapat bahwa ‘Ulayya membacakan puisi yang bagus dan mengubahnya menjadi melodi yang sangat indah. Namun, dia tidak menyanyi atau minum anggur saat ia sedang dalam keadaan tidak suci atau sedang berhalangan untuk melakukan sholat. Ketika ia suci, ‘Ulayya akan mengabdikan dirinya untuk melakukan sholat, membaca Al-Qur’an serta membaca beberapa buku. Ia tidak akan menikmati apapun selain dari membaca puisi pada waktu-waktu tertentu terkecuali ketika khalifah mengajaknya untuk melakukan sesuatu maka ia akan menurutinya.

Dalam artikel berjudul Aliya binti Al-Mahdi yang dipublikasi oleh website bernama marefa.com, disebutkan bahwa ‘Ulayya merupakan seorang penyair perempuan arab dan juga merupakan saudara perempuan dari khalifah Hārūn al-Rashīd هارون الرشيد (763/766 M- 809 M). Ia merupakan seorang putri dari khalifah Abbasiyah yang ketiga, yaitu Al-Mahdi Billa أبو عبد الله محمد المهدي (775 M-785 M) yang terkenal di era Abbasiyah. ‘Ulayya memiliki seorang ibu bernama Maknouna yang merupakan selir raja, sebelumnya ia merupakan seorang budak perempuan dari kaum Marwan. Kemudian ‘Ulayyah tumbuh dan dibesarkan oleh saudara tirinya yaitu khalifah Hārūn al-Rashīd yang menggantikan ayahnya setelah kematiannya dalam pemerintahan Abbasiyah periode 786 M-809 M. Tidak hanya ‘Ulayyah yang dikatakan unguul dalam puisi dan musik, saudara tirinya yang bernama Ibram al-Mahdi> إبراهيم بن المهدي (779 M-839 M). Bahkan dalam artikel ini disebutkan bahwa ‘Ulayyah melampaui Ibrahim dalam hal keterampilan.

Merujuk pada website marefa.com dan kitabat.com, banyak puisinya yang terdiri dari syair yang pendek yang dirancang untuk dinyanyikan. Syair-syair tersebut berkaitan dengan cinta, persahabatan, kerinduan, pujian terhadap khalifah Hārūn al-Rashīd, perayaan anggur serta serangan yang sengit terhadap musuh.

Dalam beberapa referensi Arab yang telah ditelusuri oleh penulis, diceritakan bahwa ‘Ulayyah pernah jatuh cinta kepada salah satu pelayan khalifah Harun. ‘Ulayyah kemudian bertukar surat dengan berisi syair didalamnya dengan pelayan tersebut.  Dalam artikel kitabat.com, ‘Ulayyah jatuh cinta dengan pelayan Harun yang bernama Tal dan yang lainnya yang bernama Rasha, meskipun pada akhirnya ‘Ulayyah menikah dengan Mu>sa> bin ‘I> al-Abba>s موسى بن عيسى العباس (746 M-798 M). Disebutkan bahwa ‘Ulayyah sering menemui pelayannya Harun yang bernama Tal dan berbincang dengan Tal mengenai cinta.

Berikut potongan syi’ir pendek ‘Ulayyah ketika bertemu dengan pelayan bernama Tal yang diambil dari buku I’la<’.

قَد كانَ ما كُلِّفتُهُ زَمَنا ً        يا طَلُّ مِن وَجدٍ بِكُم يَكفي

حَتّى أَتَيتُكَ زائِراً عَجِلا ً    أَمشي عَلى حَتفٍ إِلى حَتفِ

Butuh waktu yang lama

Wahai Tal, siapapun yang menemukanmu sudah cukup

Hingga aku datang kepadamu sebagai pengunjung

Aku berjalan dari kematian menuju kematian

Berita tentang sepasang kekasih itu kemudian sampai dan diketahui oleh Harun. Tal dijauhkan dari ‘Ulayyah oleh kakaknya yang bernama Harun itu. Hal ini tentu membuat ‘Ulayyah merasa sedih atas perpisahannya dengan Tal. Ia masih terus mengingat dan merindukan Tal. Mengetahui adiknya yang mengingat Tal, Harun mengancam adiknya untuk tidak menyebut nama Tal lagi.

Dalam  I’la<’, kisah ini dilanjutkan dengan kejadian dimana Harun mendengar adiknya ‘Ulayyah yang sedang membaca surah al-Baqarah kemudian sampai pada ayat dimana ia menemukan nama Tal didalamnya. Seketika ‘Ulayyah mengingat ancaman Harun untuk tidak menyebut nama Tal. Melihat hal tersebut Harun mencium kepala ‘Ulayyah dan mengatakan “Aku telah memberimu Tal, dan setelah ini aku tidak melarangmu dari sesuatu yang kamu inginkan”.

Selain kisah cintanya sendiri, ‘Ulayya juga pernah membantu istri Harun yaitu Zubaidah (765/766 M-831 M). Dalam buku berjudul Two Queens of Baghdad Mother and Wife of Harun al-Rashid yang ditulis oleh Nadia Abott, diceritakan bahwa pada saat itu Zubaidah sedang cemburu kepada Harun. Ia kemudian mengadu kepada ‘Ulayyah dan ‘Ulayya mengatakan “jangan biarkan kejadian itu membuatmu khawatir, karena demi Allah dia akan kembali kepadamu”. ‘Ulayyah menyusun rencana dan memberi tahu kepada Zubaidah. Ia mengarang syair baru dan menyusunnya kedalam melodi baru. Kemudian, ‘Ulayyah meminta kepada Zubaidah untuk menyuruh pelayannya mempelajari syair tersebut bersama-sama. Harun kemudian tersanjung dan merasa sangat bahagia. Ketika malam tiba, Harun sedang menghirup udara segar di halaman istanya. Dengan pakaian yang bagus dan berwarna-warni, ‘Ulayyah dan Zubaidah berdiri dan memimpin barisan pelayan mereka. Didepan Harun, mereka sama-sama bernyanyi dengan satu suara dan melodi yang baru. Harun tersanjung dan merasa sangat bahagia. Ia kemudian bangkit dan bergabung mengatakan bahwa ia belum pernah mengalami hari yang begitu bahagia. Kebahagiaan itu terus berlanjut hingga diakhiri dengan hujan lebat dari ribuan dirham yang bertebaran di tengah-tengah mereka.           

*** * *** 

Esai Mahasiswa 9: 

Menghapus Cinta Dunia, Mencari Keabadian: Puisi Zuhd Abu al-Atahiyah

Oleh Fina Aqila Masta Fariza

 

Abu al-Atahiya (826W) nama lengkapnya ialah Ismail bin Al-Qasim bin Suwayd, kuniahnya adalah Abu Ishaq dan nama panggilannya adalah Abu Al-Atahiya. Ia lahir di Ain Al-Tamr, sebuah desa di Hijaz, dan dibesarkan di Kufah dalam bidang kerajinan tangan keluarganya. Mereka adalah penjual guci, mereka membuat dan membawanya dalam keranjang dipunggungnya, dan menyusuri jalan dikufah untuk menjualnya. Meskipun demikian, beliau memiliki minat pada puisi dan kegemarannya terhadap sastra. Abu al-Atahiya berkulit putih, berambut hitam, dengan rambut keriting dan berpenampilan bagus. Puisinya seringkali hina dan rercela, dan puisi terbaiknya adalah dalam hal asketisme dan peribahasa. Argumentasinya adalah bahwa ia bertujuan untuk berdakwah dan bertapa, sehingga puisinya harus dipahami oleh semua orang. Beliaulah yang mendekati para pujangga dengan metode asketisme dan khotbah, sehingga mereka mencontoh teladan beliau di dalamnya. Beberapa orang mengaitkannya  dengan penolakan terhadap kebangkitan, dengan alas an bahwa puisinya hanya menyebutkan kematian dan kepunahan tanpa menyebutkan kebangkitan. Az-Zayyat Tarikh Al-Adab Al-Arabi[i]

Abu Al-Atahiya dikenal dan dikenang para penyair karena lirik-lirik syairnya yang cenderung anacreontic dan lebih banyak menonjolkan cinta. Syair-syairnya yang kerap menyentil kaum berpunya membuat Abul Atahiyah begitu populer di kalangan orang-orang miskin di Baghdad. Karya-karyanya yang cenderung menampilkan kezuhudan itu membuatnya dikenal sebagai penyair Arab yang memelopori tren filsafat dalam puisi. Bahasanya yang sederhana membuat syair-syairnya begitu digemari dan dikagumi masyarakat di zamannya, mulai dari orang miskin hingga Khalifah. Meski kerap mengingatkan para penguasa untuk menghindari kepalsuan dunia, Abul Atahiyah memiliki hubungan yang baik dengan para khalifah Abbasiyah. Tak heran jika ia sering diundang ke istana untuk melantunkan syair-syairnya yang indah. ia didaulat sebagai salah satu penyair filosofis paling awal dari Jazirah Arab. Ia menuliskan fenomena kehidupan yang terjadi pada masanya dalam bait-bait syairnya. Ia juga sangat perhatian dalam mengajak masyarakat di zamannya untuk mengutamakan moralitas di kehidupan. Terkadang juga syairnya melukiskan rasa pesimisme. Agung Sasongko, “Dalam sehari, Abul Atahiyah Mampu Menulis 100 Bait Syair[ii]

Karya fenomenal Abu Al-Atahiyah adalah Puisi Zuhdiyat yang terdiri dari 7 tema. Kasim Yahiji & Damhuri dalam artikelnya Nilai-Nilai Pendidikan Karakter  Dalam Syair Zuhdiyât Karya Abu Al-‘Atâhiyah menjelaskan bahwa Tema-tema  yang  terkadung  dalam  syair-syair  zuhdiyât  Abu  al-‘Atahiyah  sangat  beragam,  di  antaranya  tentang  kematian,  kritik  terhadap  kehidupan  duniawi,  nasihat  kepada  para  penguasa,  kritik  terhadap  gaya  hidup  penguasa,  hari  kiamat,  kebangkitan  dan  segala  konsekuensinya,  al-hikmah  dan  perumpamaan-perumpamaan,    dan  kritik  terhadap  orang  tua  yang berprilaku kekanak-kanakan. Syair-syair Abu al-Atahiyah sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter.  Nilai-nilai tersebut dijumpai dalam semua tema-tema syair yang dikemukakan. Secara umum, nilai-nilai pendidikan karakter yang dipetik dari bait-bait syair tersebut antara lain: mengajak masyarakat untuk berpikir kreatif, berprilaku jujur, cinta damai dan toleran terhadap sesama teman, religius, dan bertanggungjawab.  Nilai-nilai tersebut sangat terbuka untuk diimplementasikan dalam pembelajaran, baik formal maupun non-formal. Sebelum  memasuki  usia  remaja,  ia  sudah  menampakkan  prilaku  menyimpang.   Ia   mulai   mengikuti   gaya   hidup   banci,   bersolek   seperti   layaknya perempuan, dan mengenakan pakaian perempuan dengan berbagai atributnya.   Menurut   al-Ashfahani,   kemungkinan   prilaku   seperti   itu   ia   lakukan  karena  ia  dilahirkan  dan  dibesarkan  dalam  keluarga  miskin  yang  tidak memiliki keistimewaan yang dapat ditonjolkan.[iii]

Berikut kutipan salah satu puisi Abu Al-Atahiya dalam kumpulan puisi oleh Kasim Yahiji & Damhuri halaman 94, diceritakan yang dimaksudkan agar manusia semakin yakin akan kepastian datangnya kematian. Menurut Abu al-Atâhiyah, manusia keliru jika   mendambakan   keabadian dalam hidup di dunia, sebab kematian akan memutuskan semua harapan tersebut. Hidup manusia di pagi hari bukan jaminan bahwa ia akan hidup sampai sore hari, begitupula sebaliknya. Hal ini digambarkan antara lain dalam bait berikut:

 

 

كان الأرض قد طُوِيتْ[1] عَلَيَّا  #  وَقَدْ أَخْرَجْتَ مِمَّ فِي يَدَيَّا

كاني قد صرت منفردًا وحيدًا  #  ومُرْتَهنا[2] لديك بما عليا

كأَنَّ البَاكِيَاتُ عَلَيَّ يَوْمًا  #  ولا يُغْنِي البُكَاءُ عَلَيَّ شيئا

ذكرت منيتِي[3] فَبَكَيْتُ نفسي  #  أَلَا أَسْعِدْ أَخَيَّكَ يَا أَخَيَّا

 

 

Bumi seakan-akan telah menelanku

Mengambil semua yang aku miliki

Seolah-olah saya telah menyendiri

Semua yang aku miliki tergadai di sisi-Mu

Suatu hari orang-orang akan meratapiku

Padahal ratapan tidak bermanfaat sedikitpun bagiku

Saya membayangkan kematianku lalu saya menangisi diriku

Bahagiakanlah saudaramu wahai saudaraku

Uraian tokoh Abu Al-Atahiya yang wafat pada tahun 826 M, sekitar 194 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah Mataram Kuno yang beribukota di mataram, wilayah saat ini menjadi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu juga kerajaan sriwijaya terletak saat ini di Palembang tepatnya di muara Sungai musi.   

 


[1] Kamus al-Ashri, “thuwiyat” berarti, “melipat”, hlm. 1241

[2] Kamus al-Ashri, “murtahinan” berarti, “mengambil”, hlm. 76

[3] Kamus al-Ashri, “maniyyati” berarti, “kematian”, hlm. 1850

 


[i] Az-Zayyat, “ Tarikh al-Adab al-Arabiy”, hlm. 195-196

[ii] Agung Sasongko 23 November 2022, “Dalam sehari, Abul Atahiyah Mampu Menulis 100 Bait Syair”

[iii] Kasim Yahiji & Damhuri, “NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER  DALAM SYAIR ZUHDIYÂT KARYA ABU AL-‘ATÂHIYAH”, hlm. 94

*** * ***


Leave a Comment