| 0 Comments | 180 Views
Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Masa Abbasiyah Pertama (750-850)
Esai Mahasiswa 1:
Memahami
Nisbat Syair Al-I’tiraf: Meredakan kesalahpahaman Publik
Lubbi
Silmi Haris (22101010015)
www.linkedin.com/in/lubbisilmi
Esai ini membahas topik Sejarah sastra
klasik pada periode Abbasiyyah Pertama antara tahun 750 M sampai dengan tahun 1258 M. Pada periode ini lahir banyak sekali
tokoh-tokoh sastra / penyair/ prosais diantaranya Abu Dulama (w.776), Abu Nuwas (w.813) dan tokoh lainnya. Topik yang akan dibahas adalah Syair Al’Itiraf yang dinisbatkan kepada Abu Nuwas
Topik tentang syair Al’Itiraf yang dinisbatkan kepada Abu Nuwas sebagaimana ditulis di paragraph pertama dalam penelusuran artikel
berbahasa Indonesia dibahas isi dan gaya bahasa syair Al-I’tiraf. Sementara itu, dalam penelusuran artikel berbahasa
Inggris, topik ini mencakup syair-syair pada masa Abbasiyyah dan periode Abbasyiyyah pertama. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa Arab,
topik yang dibahas adalah biografi Abu Nuwas beserta diwannya.
Dalam melodi maghrib yang
syahdu di langit-langit masjid di Indonesia, Syair Al-I’tiraf merangkai pemohonan ampun yang menyentuh jiwa. Namun,
kesalahpahaman umum melekat, seolah-olah syair ini adalah karya murni Abu Nuwas, padahal diwan penyair tersebut sudah membantahnya. Kemudian penelusuran
lebih lanjut pada gaya bahasa dan stilistika sastra mengungkapkan perbedaan
mencolok dengan karya-karya Abu Nuwas. Abu Nuwas, atau kerap
dipanggil Al-Hasan ibn Hani, yang hidup pada masa Abbasyiyah pertama menjadi fokus kajian sastrawan yang mendalam,
termasuk dalam analisis psikologi sastra dan gaya bahasa.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
siapa sebenarnya penulis Syair Al-I’tiraf? Pencarian identitas pembuat syair ini menjadi
tantangan yang mendebarkan. Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan,
perbedaan gaya bahasa dan ketiadaan syair Al-I’tiraf dalam diwan Abu Nuwas memberikan petunjuk bahwa Syair Al-I’tiraf memiliki nisbat dan keunikannya sendiri, terpisah
dari karya-karya Abu Nuwas. Oleh karena itu, pemahaman lebih mendalam terhadap
kisah di balik kata-kata indah dalam syair ini akan membuka pintu menuju
keberagaman dan kompleksitas sastra Arab, sekaligus meredakan kesalahanpahaman
yang mungkin telah tumbuh di kalangan masyarakat.
Syair Al-I’tiraf telah menjadi familiar di telinga masyarakat
Indonesia karena mengandung makna permohonan ampunan kepada Allah atas banyak
dosa yang dilakukan, sering dinyanyikan pada waktu subuh dan maghrib di
masjid dan mushola. Popularitasnya semakin meluas melalui lantunan indah Hadad Alwi
dalam akun YouTube resminya, Hadad
Alwi Official. Syair ini tidak hanya memikat hati melalui keindahan melodi,
tetapi juga mempunyai makna mendalam yang menyentuh perasaan bagi mereka yang
mentadabburinya.
Berikut adalah isi dari Syair Al-I’tiraf sesuai
yang disebutkan dalam web herrysapuetra.blogspot.com karya Herry
Sapuetra
dalam artikelnya yang ber judul Text
Sya’ir Abu Nuwas (Al I'tiraf) dan Artinya.
Gambar 01. Sya’ir Abu Nuwas (Al-I’tiraf)
إِلَهِيْ
لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا
إِلَهِيْ
لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلَا * وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِيْ
تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِيْ * فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ الْعَظِيْمِ
ذُنُوْبِيْ
مِثْلُ أَعْدَادِ الرِّمَالِ * فَهَبْ لِيْ تَوْبَةً يَا ذَا الْجَلَالِ
وَعُمْرِيْ
نَاقِصٌ فِيْ كُلِّ يَوْمِ * وَذَنْبِيْ زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِ
إِلَهِيْ
عَبْدُكَ الْعَاصِيْ أَتَاكَ * مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَاكَ
فَإِنْ
تَغْفِرْ فَأَنْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ * فَإِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ يَرْجُوْ سِوَاكَ
Di awal esai ini, saya akan memberikan
gambaran singkat tentang biografi Abu Nuwas, terbatas pada beberapa aspek. Philip F. Kennedy dalam bukunya "Abu Nuwas: A Genius of Poetry"
mendefinisikan Abu Nuwas sebagai individu yang blak-blakan dan tak peduli
terhadap konsekuensinya. Meskipun beberapa orang memuji keberanian dan
kebebasannya, banyak yang menganggapnya menjengkelkan dan kadang-kadang
berbahaya. Abu Nuwas, berasal dari kota metropolitan, sering mengolok-olok
dirinya sendiri dan mencemooh petualang asmara yang seringkali malang. Awalnya
tinggal di Baghdad, ia kemudian pindah ke Mesir pada masa
pemerintahan Khalifah al-Khasib ibn 'Abd al-Hamid (805/807) dan kembali lagi ke Baghdad setelah Harun al-Rashid meninggal dan digantikan oleh Al-Amin.
Menurut Abbas Mahmud Al-'Aqqad (w.1964) dalam bukunya tentang Abu Nuwas , ia menyatakan bahwa Abu Nuwas adalah sosok yang skeptis terhadap hal-hal yang tidak beragama,
terus-menerus merenungkan aspek-aspek keagamaan, meskipun pandangannya sering
kali kontroversial. Dalam bab "al-Jahiduun wa al-laadinuun,"
disebutkan bahwa Abu Nuwas menyusun
syair pertobatan pada akhir hidupnya, menunjukkan pemikiran penyesalan yang
tulus dan kesedihan yang rendah hati.
Mengutip dari website sufiz.com, disebutkan bahwa sejak mendekam di penjara,
puisi-puisi Abu Nuwas berubah menjadi lebih religius. Jika sebelumnya ia
menciptakan syair yang memuji kehidupan pesta dan minuman keras, kini ia lebih
pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syair tentang taubat mencerminkan ekspresi
rasa keagamaannya yang mendalam.
Menurut
Hunaini dkk, dalam PENAOQ: jurnal sastra, budaya, dan
Pariwisata, yang mengutip Syukron Kamil dalam bukunya "Teori Kritik Sastra Arab Klasik
dan Modern," menyatakan bahwa jenis sastra Arab terbagi menjadi dua bagian
besar: pertama, al-adab al-washf (sastra deskriptif atau non-imajinatif),
kedua: al-adab al-insya’i (sastra kreatif atau fiksi). Syair Al-I’tiraf termasuk dalam jenis sastra Arab yang kedua, yaitu
al-adab al-insya’i. Dan disebutkan
juga dalam bukunya bahwasannya dalam dunia
Islam, syair Abu Nuwas yang terkenal adalah syair Al-I’tiraf. Banyak sumber penelitian psikologi dan analisis gaya
bahasa sastra menyebutkan bahwa syair Al-I’tiraf karya Abu Nuwas, sesuai dengan konteks perubahan sikap dan taubatnya.
Disamping
itu semua, salah satu karya terkenal Abu Nuwas adalah "Diwan Abu Nuwas." Diwan ini berisi kumpulan puisi Abu Nuwas berlatar
Irak pada akhir
abad kedelapan masehi pertama kali disusun dalam bahasa Arab pada pertengahan
abad kesepuluh, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1974.
Dalam kitab "Diwan Abu Nuwas" yang disyarah oleh Ahmad Abdul Majid
Al-Ghazali pada bagian "Fahrus Diwan," tertulis bahwa terdapat 8 bab
dalam diwan tersebut, dan setiap bab terdiri dari lebih 30 judul atau qafiyah, dengan jumlah terbanyak ada pada bab Ghazal, yaitu 367 judul. Namun, tidak ada satupun judul atau
bait yang mencantumkan syair Al-I’tiraf. Ini menimbulkan pertanyaan mengapa dalam kitab diwan Abu Nuwas karya Abu Nuwas sendiri tidak terdapat syair yang selalu diidentifikasi dan dikaitkan
dengan Abu Nuwas. Mari kita telaah lebih lanjut.
Dalam
diwan Abu Nuwas, meskipun tidak terdapat syair yang sepenuhnya
identik dengan syair Al-I’tiraf, terdapat beberapa bait yang memiliki kemiripan. Contohnya,
pada bab zuhud, pada judul tadhorru’ (halaman 618):
Gambar 02. Bait syair dalam bab zuhud pada judul tadhorru’.
تضرع
يا رَبِّ إِن عَظُمَت ذُنوبي كَثرَةً
فَلَقَد عَلِمتُ بِأَنَّ عَفوَكَ
أَعظَمُ
إِن كانَ لا يَرجوكَ إِلّا مُحسِنٌ
فَبِمَن يَلوذُ وَيَستَجيرُ
المُجرِمُ
أَدعوكَ رَبِّ كَما أَمَرتَ
تَضَرُّعاً
فَإِذا رَدَدتَ يَدي فَمَن ذا
يَرحَمُ
ما لي إِلَيكَ وَسيلَةٌ إِلّا الرَجا
وَجَميلُ عَفوِكَ ثُمَّ أَنّي
مُسلِمُ
Bait
pertama pada bab tadhorru’ memiliki makna mirip dengan bait keempat
dalam syair Al-I’tiraf yang di atas, yang berbicara tentang pengakuan seorang
hamba yang memiliki banyak dosa dan memohon pengampunan. Begitu pula, pada bait
ke tiga, maknanya mirip dengan bait ke tujuh syair Al-I’tiraf, yang berisi pengaduan seorang hamba jika Tuhan tidak
mengampuni dosanya, dan mencari siapa lagi yang bisa memberikan ampunan. Maka meskipun tidak ada kecocokan 100%, beberapa bait
dalam diwan Abu Nuwas memiliki kesamaan makna dengan syair Al-I’tiraf.
Selain dalam diwan Abu Nuwas, terdapat kemiripan dengan syair Al-I’tiraf dalam Maqolah yang terdapat dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad" karya Imam Nawawiy Al-Bantaniy. Maqolah ini terletak pada bab tsunaai dan bab rubaai. Berikut Maqolah nomor 28 dalam bab tsunaai:
Gambar 03. Maqolah dalam bab tsunaai dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad"
إلَهِي
لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً ... وَلاَ أقوَى عَلى نارِ الجَحِيْم
فَهَبْ
لِيْ تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنوُبي ... فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَنْبِ العَظِيْمِ
وَعَامِلْنِيْ
مُعًامَلَةَ الكَرِيْمِ ... وَتُثْبِ تُنِي عَلَى النَهْجِ القَوِيْمِ
Terlihat jelas kemiripan, bahkan kesamaan, pada bait pertama, kedua, dan ketiga antara maqolah dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad" dengan bait pertama, kedua, dan ketiga dari sya’ir Al-I’tiraf. Bahkan, memungkinkan bahwa maqolah karya Imam Nawawiy Al-Bantaniy ini lebih dulu ada daripada syair Al-I’tiraf. Selain terdapat pada bab tsunaai, kemiripan makna maqolah juga dapat ditemukan pada bab rubaai:.
Gambar 04. Maqolah dalam bab rubaai dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad"
ذنوبي إن فكرت فيها كثيرة • ورحمة ربي من ذنوبي أوسع
وما طمعي فى صالح إن عملته • ولكنني فى رحمة الله أطمع
هو الله مولاي الذي هو خالقي • وإني له عبد أقر وأخضع
فإن يك غفران فذلك رحمة • وإن تكن الأخرى فما أنا أصنع
Jika
dibandingkan antara bait pertama maqolah tersebut dengan bait keempat syair Al-I’tiraf, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki makna yang serupa, yakni
pengaduan seorang hamba yang memiliki banyak dosa kepada Allah. Menurut Hanif
Fathoni dalam Jurnal At-Ta’dib yang berjudul “Gaya Bahasa Dalam Syair “Al-i’tiraf” Karya Abu Nuwas:
Sebuah Analisis Stilistik” bahwasannya
ketika dibandingkan dengan beberapa puisi Abu Nuwas yang terdapat dalam Diwan Abi Nuwas cukup jelas
perbedaannya. Puisi Al-I’tiraf ini memakai
bahasa yang lebih bebas dan bermakna lugas, sedangkan puisi-puisi Abu Nuwas
yang diakui dalam Diwan Abi Nuwas memakai bahasa yang lebih terikat oleh aturan qafiyah maupun ‘arudh dan cenderung
memakai kata-kata yang tinggi tingkat pemahaman maknanya.
Melalui penelusuran dan analisis
mendalam terhadap berbagai sumber, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun syair
Al-I’tiraf sering kali diasosiasikan dengan Abu Nuwas, bukti-bukti
menunjukkan bahwa syair tersebut tidak dapat diidentifikasi sebagai karya Abu
Nuwas. Penelitian pada Diwan Abu Nuwas, yang merupakan kumpulan puisi penyair tersebut, tidak memberikan bukti
adanya syair Al-I’tiraf di dalamnya.
Selain itu, terdapat kemiripan makna dan bahkan bait pada Maqolah dalam kitab "Nashoihul ‘Ibad" dengan syair Al-I’tiraf, yang menimbulkan pertanyaan mengenai siapa sebenarnya pembuat asli syair
tersebut.
Dengan demikian, pemahaman mengenai
nisbat pembuat syair Al-I’tiraf menjadi penting untuk meredakan kesalahpahaman publik.
Seiring dengan kepopuleran syair ini di masyarakat Indonesia, pemahaman yang
lebih akurat tentang asal-usul dan pembuatnya dapat menghindarkan kita dari
kesalahan interpretasi. Oleh karena itu, perlunya kajian yang lebih mendalam
dan pemahaman yang cermat untuk memastikan bahwa informasi yang disampaikan
kepada publik sesuai dengan fakta sejarah dan sastra. Dengan demikian, kita
dapat menghargai warisan sastra dengan lebih tepat dan menghindari penyebaran
kesalahpahaman yang tidak perlu.
Daftar Pustaka
Nawas, A. Diwan Abu Nuwas, syarah
oleh Ahmad ‘Abdul Majid Al-Gazhaliy, Cairo : Misr Press, 1953
Philip F. Kennedy. Abu Nuwas: A Genius of Poetry , London England: Oneworld Publications, 2005
Abbas Mahmoud Al-Aqqod, Abu Nuwas al hasan ibn Hani, Mesir, yayasan Hadawi, 2017,
Syihabuddin, Nashoihul ‘Ibaad, syaroh oleh Muhammad Nawawiy ibn ‘amru al-jawiy,
Anonim, Sekelumit tentang Sosok Abu Nawas yang Perlu Dikenal, sufiz.com, 13 Mei 2018, Link : https://www.sufiz.com/jejak-sufi/sekelumit-tentang-sosok-abu-nawas-yang-perlu-dikenal.html.
Fathoni, H. Gaya Bahasa Dalam Syair “Al-i’tiraf” Karya Abu Nuwas: Sebuah Analisis Stilistik, Jurnal At-Ta’dib, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, Link Jurnal : https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tadib/article/view/72
Hunaini, dkk “Psikologi Tokoh Utama dalam Syair al-I’tiraf Karya Abu Nawas”, PENAOQ : Jurnal Sastra, Budaya dan Pariwisata, Vol 3 No 2, 31 Oktober (2022), Link Jurnal : http://ejournal.unwmataram.ac.id/penq/index
Yalman, S. The Art of the Abbasid Period (750–1258, www.metmuseum.org, 2021, Link : https://www.metmuseum.org/toah/hd/abba/hd_abba.htm
Sapuetra H, Teks Syi’ir Abu Nawas (Al-I’tiraf) dan Artinya, herrysapuetra.blogspot.com, 6 Februari 2015, li k : https://herrysapuetra.blogspot.com/2015/02/text-syiir-abu-nawas-al-itiraf-dan.html
*** * ***
Esai Mahasiswa 2:
Jatuh Sinta Sama Siapa, Nikahnya Sama Siapa? Inisial ‘Ulayya
binti al Mahdi (777-825): Penyair Perempuan Era Abbasiyah I
Lutfia Mustika Yasriyanti Saleh (22101010014)
Esai ini
membahas topik Sejarah sastra Arab klasik pada periode Abbasiyah I di Baghdad antara tahun
750 M sampai dengan tahun 1250 M. Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh sastra, penyair dan prosais diantaranya
adalah Abū Nuwās أبو نواس (747
M-814 M), Abu< Dula<mah أبو دلامة (718/728 M-777 M) dan masih banyak lagi tokoh yang lainnya. Namun, menariknya pada masa ini
lahir juga seorang penyair perempuan, salah satunya adalah ‘Ulayya binti
al-Mahdi. Adapun topik yang akan dibahas adalah mengenal sosok penyair
perempuan pada masa Abbasiyah yaitu ‘Ulayya binti al-Mahdi.
Topik tentang ‘Ulayya binti al-Mahdi sebagaimana yang telah ditulis pada
paragraf pertama dalam penelusuran dengan bahasa Indonesia dibahas oleh Syarifah
Qamariyah dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan berkesetaraan
Gender Perpektif Pemikiran Muhammad Atiyyah al-Abrashi. Nama ‘Ulayya binti al-Mahdi juga disebut dalam artikel lainnya yang
ditulis Solihah dan Armin dengan judul artikel yang berbeda. Sedangkan dalam
penelusuran artikel berbahasa Inggris, topik ini dibahas di dalam buku yang
berjudul Two Queens of Baghdad Mother and Wife of Harun al-Rashid yang
ditulis oleh Nadia Abbott. Adapun topik ini dalam penelusuran artikel berbahasa
arab dibahas dalam buku yang berjudul I’la<m an-Nisa<’
yang ditulis oleh ‘Umar Rid}a< Kaha<l pada tahun 1984.
Solihah
Titin Sumanti dalam tesisnya yang berjudul Peranan Wanita Muslim dalam Kegiatan
Pendidikan pada masa Abbasiyah berpendapat bahwa wanita
pada masa ‘Abbasiyah memiliki akses untuk menuntut ilmu yang lebih dibatasi
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Wanita pada masa ini tidak sebebas
laki-laki yang pada saat itu bebas untuk menuntut ilmu dimana saja. Walaupun
dibatasi, wanita pada masa ini tetap mendapat pelajaran, baik wanita dari
kalangan budak maupun wanita yang sudah merdeka. Para wanita budak lebih cenderung bebas
selama majikannya memberikan izin. Sementara itu, wanita yang sudah merdeka
akan mendapat pengajaran yang terbatas di suatu tempat dengan mendatangkan
guru. Bahkan berpendapat dalam artikelnya yang berjudul Dinamika Sejarah Pendidikan dalam Potret
Timur Tengah dan Indonesia bahwa harga budak wanita
menjadi lebih tinggi sesuai dengan kecakapan yang dimilikinya. Adapun Solihah
menyebutkan beberapa tokoh wanita yang memiliki kemampuan intelektual bahkan
bekerja di lapangan kesusastraan, salah satunya adalah tokoh yang menjadi topik
pada tulisan ini, yaitu ‘Ulayyah binti al-Mahdi yang masih hidup pada masa
‘Abbasiyah awal. Disebutkan bahwa ‘Ulayyah merupakan seorang tokoh tersohor
yang memiliki pengetahuan mendalam tentang puisi dan lagu serta merupakan anak
dari khalifah al-Mahdi<
yang berkuasa dari tahun 775 M-785 M.
Nama
‘Ulayyah juga disebut dalam artikel berjudul Pendidikan
berkesetaraan Gender Perspektif Pemikiran Muhammad Atiyyah al-Abrashi yang
ditulis oleh Syarifah Qamariyah. Ia berpendapat bahwa ketika islam datang,
kehidupan intelektual bagi perempuan (muslimah) mengalami perkembangan yang
pesat sehingga mereka mendapat hak-haknya dalam masyarakat. Dalam hal ini, Syarifah
juga menyebut tokoh ‘Ulayyah sebagai wanita muslimah yang professional di
bidang agama, sastra dan seni dari masa ke masa.
Menurut ‘‘Umar Rid}a< Kaha<l dalam bukunya yang berjudul I’la<m
an-Nisa<’, ia
berpendapat bahwa tokoh ‘Ulayyah merupakan seorang wanita yang terhormat.
‘Ulayya yang lahir pada tahun 160 H atau 777 M ini merupakan salah satu wanita
yang memiliki paras yang paling cantik, dia juga memiliki kepribadian yang
anggun, serta memiliki sifat yang paling bijaksana. ‘Ulayya dikatakan sebagai
perempuan yang memelihara dirinya sendiri serta kesuciannya. Tidak hanya itu,
‘Ulayya memiliki sikap yang mulia seperti sopan santun. ‘Ulayya memiliki dahi
yang lebar sehingga ia memakai ikat kepala yang dihias untuk menutupi dahinya.
‘Umar juga berpendapat bahwa ‘Ulayya membacakan puisi yang bagus dan
mengubahnya menjadi melodi yang sangat indah. Namun, dia tidak menyanyi atau
minum anggur saat ia sedang dalam keadaan tidak suci atau sedang berhalangan
untuk melakukan sholat. Ketika ia suci, ‘Ulayya akan mengabdikan dirinya untuk
melakukan sholat, membaca Al-Qur’an serta membaca beberapa buku. Ia tidak akan
menikmati apapun selain dari membaca puisi pada waktu-waktu tertentu terkecuali
ketika khalifah mengajaknya untuk melakukan sesuatu maka ia akan menurutinya.
Dalam
artikel berjudul Aliya binti Al-Mahdi yang dipublikasi oleh website bernama marefa.com,
disebutkan bahwa ‘Ulayya merupakan seorang penyair perempuan arab dan juga
merupakan saudara perempuan dari khalifah Hārūn al-Rashīd هارون الرشيد (763/766 M-
809 M). Ia merupakan seorang putri dari
khalifah Abbasiyah yang ketiga, yaitu Al-Mahdi Billa<h أبو عبد الله محمد المهدي
(775 M-785 M) yang terkenal
di era Abbasiyah. ‘Ulayya memiliki seorang ibu bernama Maknouna yang merupakan
selir raja, sebelumnya ia merupakan seorang budak perempuan dari kaum Marwan.
Kemudian ‘Ulayyah tumbuh dan dibesarkan oleh saudara tirinya yaitu khalifah Hārūn al-Rashīd yang menggantikan ayahnya setelah
kematiannya dalam pemerintahan Abbasiyah periode 786 M-809 M. Tidak hanya
‘Ulayyah yang dikatakan unguul dalam puisi dan musik, saudara tirinya yang
bernama Ibra<hi>m al-Mahdi> إبراهيم
بن المهدي (779 M-839 M). Bahkan dalam artikel ini disebutkan bahwa
‘Ulayyah melampaui Ibrahim dalam hal keterampilan.
Merujuk pada
website marefa.com dan kitabat.com, banyak puisinya yang terdiri
dari syair yang pendek yang dirancang untuk dinyanyikan. Syair-syair tersebut
berkaitan dengan cinta, persahabatan, kerinduan, pujian terhadap khalifah Hārūn al-Rashīd, perayaan anggur serta serangan
yang sengit terhadap musuh.
Dalam beberapa referensi Arab yang telah ditelusuri oleh penulis,
diceritakan bahwa ‘Ulayyah pernah jatuh cinta kepada salah satu pelayan
khalifah Harun. ‘Ulayyah kemudian bertukar surat dengan berisi syair didalamnya
dengan pelayan tersebut. Dalam artikel kitabat.com,
‘Ulayyah jatuh cinta dengan pelayan Harun yang bernama Tal dan yang lainnya
yang bernama Rasha, meskipun pada akhirnya ‘Ulayyah menikah dengan Mu>sa>
bin ‘I><sa> al-Abba>s موسى بن عيسى العباس (746 M-798 M). Disebutkan bahwa
‘Ulayyah sering menemui pelayannya Harun yang bernama Tal dan berbincang dengan
Tal mengenai cinta.
Berikut potongan syi’ir pendek ‘Ulayyah ketika bertemu dengan pelayan
bernama Tal yang diambil dari buku I’la<m an-Nisa<’.
قَد كانَ ما
كُلِّفتُهُ زَمَنا ً يا طَلُّ مِن
وَجدٍ بِكُم يَكفي
حَتّى أَتَيتُكَ
زائِراً عَجِلا ً أَمشي عَلى حَتفٍ إِلى
حَتفِ
Butuh waktu yang lama
Wahai Tal, siapapun yang menemukanmu
sudah cukup
Hingga aku datang kepadamu sebagai
pengunjung
Aku berjalan dari kematian menuju
kematian
Berita tentang sepasang kekasih itu kemudian sampai dan diketahui oleh
Harun. Tal dijauhkan dari ‘Ulayyah oleh kakaknya yang bernama Harun itu. Hal
ini tentu membuat ‘Ulayyah merasa sedih atas perpisahannya dengan Tal. Ia masih
terus mengingat dan merindukan Tal. Mengetahui adiknya yang mengingat Tal,
Harun mengancam adiknya untuk tidak menyebut nama Tal lagi.
Dalam I’la<m an-Nisa<’,
kisah ini dilanjutkan dengan kejadian dimana Harun mendengar adiknya ‘Ulayyah
yang sedang membaca surah al-Baqarah kemudian sampai pada ayat dimana ia
menemukan nama Tal didalamnya. Seketika ‘Ulayyah mengingat ancaman Harun untuk
tidak menyebut nama Tal. Melihat hal tersebut Harun mencium kepala ‘Ulayyah dan
mengatakan “Aku telah memberimu Tal, dan setelah ini aku tidak melarangmu dari
sesuatu yang kamu inginkan”.
Selain kisah cintanya sendiri, ‘Ulayya juga pernah membantu istri Harun
yaitu Zubaidah
(765/766 M-831 M). Dalam buku berjudul Two
Queens of Baghdad Mother and Wife of Harun al-Rashid yang
ditulis oleh Nadia Abott, diceritakan bahwa pada saat itu Zubaidah sedang
cemburu kepada Harun. Ia kemudian mengadu kepada ‘Ulayyah dan ‘Ulayya
mengatakan “jangan biarkan kejadian itu membuatmu khawatir, karena demi Allah
dia akan kembali kepadamu”. ‘Ulayyah menyusun rencana dan memberi tahu kepada
Zubaidah. Ia mengarang syair baru dan menyusunnya kedalam melodi baru.
Kemudian, ‘Ulayyah meminta kepada Zubaidah untuk menyuruh pelayannya
mempelajari syair tersebut bersama-sama. Harun kemudian tersanjung dan merasa
sangat bahagia. Ketika malam tiba, Harun sedang menghirup udara segar di
halaman istanya. Dengan pakaian yang bagus dan berwarna-warni, ‘Ulayyah dan
Zubaidah berdiri dan memimpin barisan pelayan mereka. Didepan Harun, mereka
sama-sama bernyanyi dengan satu suara dan melodi yang baru. Harun tersanjung
dan merasa sangat bahagia. Ia kemudian bangkit dan bergabung mengatakan bahwa
ia belum pernah mengalami hari yang begitu bahagia. Kebahagiaan itu terus
berlanjut hingga diakhiri dengan hujan lebat dari ribuan dirham yang bertebaran
di tengah-tengah mereka.
*** * ***
Esai Mahasiswa 3
Leave a Comment