| 0 Comments | 1802 Views
Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Masa Abbasiyah Kedua (850-1250)
Esai Mahasiswa 4: dipublikasikan 8-1-2025
Ibnu Qutaibah: Sang Penyair Jenius di Era Abbasiyah Kedua dan Telusur
Karya Fenomenal Sang Penyair
Oleh Taufan Al
Luthfi
Mohamad Anas dalam artikelnya Biografi Intelektual Ibnu Qutaibah
Al-Dinawari dan Kontribusinya dalam Ilmu Hadis menjelaskan bahwa Nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Marwazi al-Dinawari
(ada yang memberi nama al-Dainuri). Terkadang disebut dengan nama Ibn Qutaibah
al-Marwazi dan terkenal dengan nama Ibn Qutaibah. Terkadang disebut
al-Marwazi karena ayahnya lahir di Marwa. Terkadang juga dinamakan al-Kufiyi
karena Ibn Qutaibah lahir di Kuffah. Ibn Qutaibah merupakan nama yang
disandarkan kepada nama kakeknya sementara al-Qutabi menunjukkan nama yang
disandarkan pada nama kekek dan juga nama daerah asal nenek moyangnya.[i]
Nur Kholis dalam artikelnya Abrogasi
al-Qur’an dengan Sunah menurut Ibnu Qutaibah dalam Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts
mengatakan bahwa Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H/828 M di Baghdad,
dan ada yang mengatakan di Kufah. Pada masa itu, Baghdad merupakan ibu kota
negara yang berada di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Jadi dapat
dikatakan bahwa pusat pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Ibnu Qutaibah meninggal pada usia 63 tahun, di bulan Rajab tahun
276 H/ 889 M. Seluruh hidupnya digunakan untuk mengembangkan pemikiran
keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi perhatian
yang lebih besar iya tujukan untuk membela sunah dan ulama ahli hadis di
hadapan musuh-musuh Islam.[ii]
Selanjutnya, Mohammad Anas juga menambahkan bahwa Masa mudanya
dikenal sebagai seorang yang mempunyai rasa ingin tahu yang sangat besar.
Beliau mempunyai IQ lebih tinggi daripada anak muda seusianya karena setiap
waktu dihabiskan bersama untuk melakukan proses belajar kepada para ulama ahli
hadis, tafsir, fikih, nahwu (bahasa), teologi, sastra, dan juga ahli
sejarah. Selain hafal dan tahu sistem transmisi (sanad) dan metode periwayatan
suatu hadis atau asar, beliau juga menghafal dan mengetahui banyak bait (nazam).[iii]
Mohamad Anas dalam artikelnya juga menyebutkan bahwa banyak karya
yang dihasilkan oleh Ibn Qutaibah. Menurut Abu al-‘Ala’ al-Mu‘ari Ahmad bin
‘Abdillah bin Sulaiman (363- 449/973-1053), hasil karyanya mencapai 65 kitab
yang tidak hanya dalam bidang linguistik, tetapi juga dalam bidang tafsir dan
hadis. Banyak juga di antara kitab-kitab yang dapat diakses sampai pada saat
ini adalah Adab al-Katib (etika menjadi seorang penulis-sastrawan), Ta’wil
Mukhtalaf al-Hadis (interpretasi hadis-hadis yang tampak bertentangan), Islah
al-Galat (memperbaiki yang salah dari karya gurunya Abu ‘Ubaidillah tentang
Garib al-Hadis), Al-Syi‘r wa al-Syu’ara’ (dari judulnya sekilas
dapat dipahami bahwa kandungannya berisikan syair arab atau sastra arab serta
penyairnya), Garib al-Hadis (mengkaji hadis yang redaksinya tidak wajar
atau tampak aneh), Garib al-Qur’an (mengkaji al-Quran yang redaksinya
bukan termasuk kalam Arab), Al-Masail
wa al-Jawabat (menjawab seputar masalah hadis dan bahasa), Jami‘
al-Nahwi al-Kabir, I ‘rab al-Qur’an (Susunan al-Qur’an), Ta’wil Mushkil
al-Qur’an (interpretasi teks al-Qur’an yang tampak bertentangan).
Salah Satu karya fenomenal Ibnu Qutaibah adalah Kitab Asy- Syi’ir
Wa Asy-Su’ara’ yang membahas tentang puisi Arab (syair) dan para penyairnya. Nur Kholis dalam artikelnya Kritik
dan Penilaian Ibnu Qutaibah terhadap Puisi Arab dalam Kitab Al syi‘ru wal
syu‘ara menjelaskan bahwa melihat penyebarannya yang begitu luas dan
masif, semua itu timbul karena kitab ini dijadikan oleh para Ulama sesudahnya
sebagai referensi dan sumber utama bidang disiplin ilmu kajian kritik sastra
Arab, yang di dalamnya memuat pembahasan tentang kumpulan biografi dan riwayat
dari para penyair mulai dari Zaman Jahiliy (sebelum islam) hingga Bani
Abbasiyah, disertai kumpulan karya-karya mereka dengan ditambahi adanya kritik
dan penilaian darinya. Ada sisi perbedan dari kitab ini dengan kitab al-tabaqât
dan al-Ma’âjim, karena dalam kitab al-Syi‘ru wa al-Syu‘arâ tidak
mengklasifikasikan para penyair berdasarkan urutan abjad, tapi diklasifikasi
sesuai dengan urutan zaman.[iv]
Berikut kutipan salah satu kisah dalam sastra Kitab Asy-
Syi’ir Wa Asy-Syu’ara’ oleh Ibnu Qutaibah halaman 197-198[v],
diceritakan ketika Al-Harits bin Hillizah Al-Yasykari akan menyampaikan
syiirnya dihadapan Raja Amru bin Hind, ia mengimprovisasi syairnya secara
spontan, berikut ini kisah lengkapnya:
ٱلْحَارِثُ ٱبْنُ
حِلِزَةَ ٱلْيَشْكَرِيُّ
319. هُوَ مِنْ بَنِي يَشْكُرَ، مِنْ بَكْرِ
بْنِ وَائِلٍ، وَكَانَ أَبْرَصَ، وَهُوَ الْقَائِلُ:
آذَنَتْنَا
بِبَيْنِهَا أَسْمَاءُ رُبَّ ثَاوٍ يُمَلُّ مِنْهُ الثَّوَاءُ
وَيُقَالُ إِنَّهُ ارْتَجَلَهَا
بَيْنَ يَدَيْ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ ارْتِجَالًا، فِي شَيْءٍ كَانَ بَيْنَ بَكْرٍ
وَتَغْلِبَ بَعْدَ الصُّلْحِ، وَكَانَ يُنْشِدُهَا مِنْ وَرَاءِ السِّجْفِ،
لِلْبَرَصِ الَّذِي كَانَ بِهِ، فَأَمَرَ بِرَفْعِ السِّجْفِ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ،
اسْتِحْسَانًا لَهَا، وَكَانَ الْحَارِثُ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَنْزَةٍ،
فَارْتَزَّتْ فِي جَسَدِهِ وَهُوَ لَا يَشْعُرُ
320. وَكَانَ لَهُ ابْنٌ يُقَالُ
لَهُ: مِذْعُورٌ، وَالْمِذْعُورُ ابْنٌ يُقَالُ لَهُ: شِهَابُ بْنُ مِذْعُورٍ،
وَكَانَ نَاسِبًا، وَفِيهِ يَقُولُ مِسْكِينُ الدَّارِمِيُّ:
هَلُمَّ إِلَى ابْنِ مِذْعُورٍ شِهَابٍ يُنَبِّئُ بِالسَّفَالِ
وَبِالْمَعَالِي
321. قَالَ الْأَصْمَعِيُّ: قَدْ
أَقْوَى الْحَارِثُ بْنُ حِلِزَةَ فِي قَصِيدَتِهِ الَّتِي ارْتَجَلَهَا، قَالَ :
فَمَلَكْنَا
بِذَلِكَ النَّاسَ إِذْ مَا مَلَكَ الْمُنْذِرُ بْنُ مَاءِ السَّمَاءِ
قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: وَلَنْ
يَضُرَّ ذَلِكَ فِي هَذِهِ الْقَصِيدَةِ، لِأَنَّهُ ارْتَجَلَهَا فَكَانَتْ
كَالْخُطْبَةِ
Al-Harits bin Hillizah Al-Yasykari
319. Dia
berasal dari Bani Yasykur, cabang suku Bakar bin Wa’il. Ia mengidap penyakit
kusta (al-barash), dan dia adalah penyair yang berkata:
“Asma telah
memberi tahu kami tentang perpisahannya. Betapa seringnya seorang tamu yang
menetap terlalu lama akan membuat orang bosan.”
Dikatakan bahwa
ia mengimprovisasi syair ini di hadapan Raja Amru bin Hind secara spontan,
terkait perselisihan antara Bakar dan Taghlib setelah perdamaian mereka. Ia
membacakannya dari balik tirai karena penyakit kustanya. Namun, Raja Amru
memerintahkan agar tirai itu diangkat sebagai tanda kekaguman terhadap
syairnya. Saat itu, Al-Harits bersandar pada tombak pendek (‘anazah), yang
ternyata menusuk tubuhnya tanpa ia sadari.
320. Ia
memiliki seorang anak bernama Mudza‘ur, dan Mudza‘ur memiliki anak bernama
Sihab bin Mudza‘ur, yang dikenal sebagai ahli nasab (genealogi). Mengenai
dirinya, Miskin Ad-Darimi pernah berkata:
“Datanglah
kepada putra Mudza‘ur, yaitu Sihab, yang dapat memberitahumu tentang asal-usul
orang hina dan yang mulia.”
321. Al-Ashma‘i
berkata: Al-Harits bin Hillizah melakukan kesalahan dalam qasidahnya yang
diimprovisasi itu. Ia berkata:
“Kami menjadi
penguasa atas manusia saat itu, sebagaimana Al-Mundzir bin Maa’ As-Samaa’
menjadi raja mereka.”
Abu Muhammad
berkomentar: Hal itu tidak merugikan syairnya karena ia mengimprovisasi qasidah
tersebut, sehingga syair itu memiliki karakteristik seperti pidato.
…….
Uraian tokoh Ibnu
Qutaibah yang hidup pada tahun 828 – 889 M, sekitar 196 tahun setelah wafatnya
Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu
masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran
penulis, pada saat itu masa hidup Ibnu Qutaibah berada dalam periode awal
perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan yang terdeteksi adalah Kerajaan Sriwijaya yang
beribukota di Palembang, Sumatra Selatan. Selain itu juga Kerajaan Medang atau yang lebih dikenal
dengan Mataram Kuno yang terletak di Poh Pitu atau Jawa Tengah bagian selatan (Magelang atau Kedu) dan Yogyakarta.
……
***
[i] Anas M., Ibn
Qutaibah Al-Dinawari dan Kontribusinya dalam Bidang Hadis, Nabawi: Journal
of Hadith Studies, 2021
[ii] Sofwan A, Abrogasi
al-Qur’an dengan Sunah menurut Ibnu Qutaibah dalam Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts,
Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, 2018
[iii] Anas M., Ibn
Qutaibah Al-Dinawari dan Kontribusinya dalam Bidang Hadis, Nabawi: Journal
of Hadith Studies, 2021
[iv] Kholis, N. Kritik
dan Penilaian Ibnu Qutaibah terhadap Puisi Arab dalam Kitab al-Syi’ru wal
Syu’ara. El-Ibtikar, 2021
[v] Ibnu Qutaibah,
Ahmad Muhammad Syakur, Asy-Syi’ru Wa Asy-Syu’ara’ Juz Awwal, Kairo,
Daarul Ma’arif
Esai Mahasiswa 3: dipublikasikan 8-1-2025
Abu Al-‘Ala Al-Ma’arri: Sang Penyair Buta
Dengan Kecerdasan Pemikirannya Pada Masa Abbasiyah Kedua
Oleh Aldinna Nurmafaza
Abu al-‘Ala al-Ma’arri (973M) adalah Ahmad bin Abdullah
al-Tanukhi bin Sulayman al-Qudha’i al-Tanukhi al-Ma’arri,yang berasal dari
Ma’arrat al-Nu’man di Syam. Beliau adalah seorang penyair, filsuf, dan
sastrawan. Abu al-‘Ala al-Ma’arri dibesarkan dalam sebuah keluarga yang kaya
akan ilmu, keutamaan, dan kedudukan yang terhormat. Demikian uraian klasifikasi
Syekh Ahli Hukum Profesor Al-Tahwi Abu Muhammad bin Al-Sayyid Al-Batalyusi
dalam buku kumpulan puisi Sharh al-Mukhtar min
Luzumiyyat Abu al-‘Ala al-Ma‘arrī.
Abu al-‘Ala al-Ma’arri terkenal sebagai penyair yang terkemuka dan dianggap oleh kritikus pemikiran
sebagai filsuf yang terkemuka. Baik para penyair maupun para pemikir
mendapatkan darinya apa yang menjadi puncak dari harapan setiap jiwa dalam hal
pencitraan, inovasi, imajinasi, kreasi, pemahaman terdalam tentang hakikat
makhluk, dan penyingkapan kebenaran tentang keberadaan.
Karya fenomenal Abu al-‘Ala al-Ma’arri yang paling
terkenal adalah Luzumiyyat. Dr. Lamis Abdul Aziz Dawood dalam
jurnalnya السّخرية في لزوميّات أبي العلاء
المعري menjelaskan bahwa masa Abu al-‘Ala al-Ma’arri
ditandai dengan kekacauan dan ketidakstabilan. Kekacuan politik ini
mengakibatkan kondisi sosial dan ekonomi yang buruk, dengan meningkatnya
keserakahan, keinginan akan kekayaan, dan ambisi terhadap kekuasaan dalam diri
banyak orang. Kondisi inilah yang mengganggu Abu al-‘Ala al-Ma’arri dan
memberikan dampak langsung pada puisinya dengan menggunakan gaya sarkasme yang
tajam untuk mengkritik korupsi politik tersebut.
Berikut kutipan salah satu puisi Abu al-‘Ala al-Ma’arri
dalam kumpulan puisi oleh Amin Abdul Aziz Al-Khanji halaman 257 , puisi ini merupakan puisi yang mengkritik
kehidupan duniawi yakni mengkritik terhadap kondisi sosial, khususnya tentang
pernikahan yang tidak ideal, serta menunjukkan penderitaan manusia dan
ketidakseimangan dalam hubungan sosial.
أَشْهَدُ أَنِّي رَجُلٌ نَاقِصٌ # لاَ أَدَّعِى[i]
الفَضْلِ وَلَا أَنْتَحِلْ[ii]
جِئْتُ كَمَا شَاءَ الَذِي صَاغَنى[iii] # وَمَن يَصْفِى [iv]بِجَمِيلٍ
يُحِلُّ
تَزَوَّجُ الشَيْخُ فَالفَيْتَهُ # كَأَنَّهُ
مِثْقَلُ إِبِلٍ[v]
وَحِلٍ
وَعِرْسُهُ[vi]
في تَعْبٍ[vii]
دَائِمٍ # لَا تَخْضُبُ [viii]الكَفَّ
وَلَا تَكْتَحِلْ[ix]
Aku bersaksi bahwasannya aku adalah laki-laki yang kurang
(cacat)
Aku tidak mengaku memiliki kelebihan dan aku tidak
berlagak
Aku datang sebagaimana kehendak yang membentukku
Dan barangsiapa yang berbuat baik baik akan dihormati
Orang tua itu menikah maka aku mendapatkannya
Seolah-olah dia menanggung beban yang dibawa unta
Sementara isterinya selalu merasa kelelahan
Tangannya tidak diwarnai (pacar) dan tidak pula dicelaki (matanya).
Uraian tokoh Abu al-‘Ala al-Ma’arri yang wafat pada tahun
1057 M, jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan ini jika dikontekskan pada
sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam
kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran, kerajaan yang terdeteksi adalah kerajaan Sriwijaya yang beribukota di Palembang, dan kerajaan kahuripan yang beribukota di Watan Mas.
[i] Kamus Al-Munawwir, “Adda’i” berarti,
mengaku, hlm 406
[ii] Kamus Al-Munawwir, “Antakhil”, berasal
dari kata “nakhala”, yang berarti, mendaku, hlm 1396
[iii] Kamus Al-Munawwir, “shagha”, yang berarti
pembentukan, hlm 803
[iv] Kamus Al-Munawwir, “yashfi”, yang berarti
tulus, hlm 784
[v] Kamus Al-Munawwir, “ibili”, yang berarti
unta, hlm 3
[vi] Kamus Al-Munawwir, “’irsu”, yang berarti
isteri, hlm 915
[vii] Kamus Al-Munawwir, “ta’bin” yang berarti
kelelahan, hlm 134
[viii]Kamus Al-Munawwir, “takhdlubu”, berasal
dari kata “khadlaba”, yang berarti mewarnai, hlm 345
[ix] Kamus Al-Munawwir, “taktahil”, berasal
dari kata “kahala”, yang berarti mencelaki, hlm 1193
*** * ***
Esai Mahasiswa 2:
Kontroversi Dan Kecemerlangan Puisi
Ali Bin Jaham : Sorotan Kehidupan Dan Karya
Sastranya
Sabil Lillah (22101010018 )
Masa Kekhalifahan Abbasiyah kedua, yang dimulai
pada abad ke-9 Masehi,tepatnya 750 Masehi – 1258 Masehi menggambarkan periode
gemilang dalam sejarah sastra Arab yang beriringan dengan kehadiran sejumlah
penyair ternama, salah896), Ibn Mu’taz ( 861M-908), dan lain lainya)
Abbasiyah kedua menandai
masa keemasan dalam
perkembangan sastra Arab,
di mana keberagaman genre
sastra dan penciptaan karya monumental menjadi ciri khasnya. Pada tugas essay kali ini penulis
akan membahas penyair
yang bernama Ali Bin Jahm dengan judul
,Kontroversi dan kecemerlangan puisi Ali Bin jahm :sorotan
kehidupan dan karya
sastranya,
Ali
Bin Jahm (803-863
M) ,adalah Ali bin al-jahm Bin Badr Bin Masoud Bin Usayd Al- Quraisy ,yang nama panggilanya adalah Abu Al-Hasan
dan berasal dari Khorasan lahir pada tahun 188
H di Bagdad ,keturunan keluarga
Arab ,keturunan Baduy sehingga wataknya
agak kasar dan membuatnya fasih dan mengelilingi bakat puitisnya dengan ketenangan dan
kekuatan ,dan melindungi dari pengaruh kota Bagdad yang penuh dengan ekspatriat
dan negara sekitarnya.Seperti yang disebutkan di pragraf pertama ,bahwa essay
ini membahas tentang kontroversi dan kecemerlangan puisinya Ali Bin Jaham , dan essay ini membahas
kehidupan dan karya sastranya .Dalam penelusuran saya dengan artikel berbahasa
indonesia yang di tulis oleh Dr.Muhammad Ar rafi
,namun sebenarnya artikel ini berbahasa arab,namun saya terjemahkan
kedalam Bahasa Indonesia .karna sedikitnya artikel
Bahasa Indonesia yang saya temukan
.Artikel ini membahas karya sastranya ali bin jahm , yang mana di
artikel ini bercerita kisah ali bin jahm dan
al -mutawakil , Suatu hari, Ali ibn Jahm pergi berjalan-jalan di kota Baghdad.
Lalu, di tengah jalan, seseorang berkata kepadanya, “Siapa saja yang memuji khalifah,
ia akan di beri kedudukan dan berbagai macam hadiah
olehnya.” Ali sangat
gembira mendengar kabar
tersebut. Maka, ia pun
bergegas pergi menuju ke istana sang khalifah. Sesampainya di istana, ia
langsung men- jumpai Khalifah al-Mutawakkil; sementara itu para penyair yang
lain tengah saling bergantian melantunkan syair pujian untuk sang khalifah dan
setelah itu masing-masing menerima hadiah darinya.
Al-Mutawakkil adalah al-Mutawakkil;
seorang khalifah yang sangat dik- tator dan haus pujian serta penghormatan.
Singkat cerita,
tibalah giliran Ali ibn Jahm untuk melantunkan syair pujian- nya. Ia maju ke depan dan langsung melantunkan beberapa
bait syair pujian untuk sang khalifah yang berbunyi sebagaimana berikut:
Engkau laksana anjing dalam memelihara persahabatan
Dan laksana kambing
hutan dalam menghadapi pertempuran Engkau laksana timba, tapi aku tak akan
menyebutmu timba #
Dari sekian banyak dermawan yang berlumuran dosa
Demikianlah. Dengan
lugu dan percaya
diri ia terus melantunkan bait- bait pujian
yang berisi pengumpamaan sang khalifah dengan
seekor kambing, domba,
sumur, dan pasir.
Padahal, para
penyair-penyair sebelumnya selalu mengumpamakan sang
khalifah dengan matahari, rembulan, gunung, dan lain sebagainya.
Tak
ayal, sang khalifah terpancing kemarahannya dan para pengawalnya pun menjadi
geram. Tanpa ada komando,
mereka dengan serta-merta meng- hunuskan pedang masing-masing dan siap
untuk membunuh Ali ibn Jahm.
Namun, rupaya Khalifah
Mutawakkil segera menyadari bahwa Ali ibn Jahm
adalah orang Badui yang telah terbiasa dengan tabiatnya yang lugu dan kasar,
sehingga wajar bila bait-bait syairnya terkesan kasar dan tak santun.Maka, ia
menahan tindakan para pengawalnya dan bermaksud ingin mengubah tabiat
Ali ibn Jahm tersebut. Lalu,
ia menempatkan Ali ibn Jahm
di salah satu bangunan istananya yang megah dan di dalamnya disediakan para
pelayan wanita yang cantik-cantik dan berbagai macam kenikmatan dan kemewahan.
Sejak itu, Ali ibn Jahm pun merasakan kehidupan mewah yang belum pernahdirasakannyasebelum itu. Di istana
khalifah ini, setiap saat Ali ibn Jahm bisa bertelekan di atas dipan-dipan
mewah, bergaul dengan para penyair ternama, dan bercengkerama dengan para
sastrawan kota.Dalam artikel ini biisa kita nilai
bahwa dari segi karya sastranya ali bin jaham
sangat kontroversi dengan segi kata katanya nya ,berbeda
dengan penyair-penyair yang lain , namun dari syair yang kontroversi membuat hidup dia yang sangat cemerlang ,ia
menjadi penyair kerajaan ,namun ia tidak tidak dekat dengan para khalifahnya
,namun ia adalah keturunan bangasawan
,pernyataan ini hampir sama saya temukan dengan artikel berbahasa arab yang di
tulis oleh ﯾﺤﯿﻰ ﺮو ,dalam artikel ini dikatan Ali Bin Jahm adalah
seorang penyair yang meremehakn khalifah namun menghadiahinya ,dan artikel ini juga membahas
kejeniuasan ali bin jahm , Kejeniusan Ali bin Al- Jahm sangat terlihat di masa mudanya,
ia selalu hadir di kalangan ilmu pengetahuan untuk mempelajari segala sesuatu
yang ada, antara filsafat dan sastra, sehingga puisi menjadi impian hidupnya,
apalagi setelah bertemu dengan orang paling terkenal. penyair , termasuk
penyair terkenal Abu Tammam,
yang kemudian menjadi
temannya. Ali tidak berusaha untuk dekat dengan para khalifah, namun bakat puitisnya itulah yang mendorongnya untuk
menemui mereka satu per satu, untuk
mengungkapkan kepada mereka kejeniusan sastranya yang tak tertandingi, karena
ia memiliki hubungan yang baik dengan Khalifah Al-Ma'mun, sebagai serta dengan Khalifah Al- Wathiq dalam Tuhan dan Khalifah Al-Mu'tasim,
yang pada masa pemerintahannya ia memegang Diwan Ketidakadilan, dan Khalifah
Al-Mutawakkil, yang juga mengalami banyak situasi lucu dan
sedih bersamanya, mungkin yang paling terkenal yang memanggilnya anjing di awal
puisinya
Dalam pragraf ini membahas tentang keilmuwan atau kecemerlangan dari seorang penyair Ali Bin jahm Yang mana kejeniusan ali bin jahm terlihat dari ia mempelajari fiilsafat dan sastra seperti yang diterangkan di pragraf sebelumnya ,dan dari kegiatan belajarnya yang gigih ia menjadi penyair terkanal pada masa itu ,dan di jelaskan juga dalam jurnal arabiyah أﻋﻼم أﺣﺪ اﻟﺠﮭﻢ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺮ ﺜﻟﺎﻧﻲ اﻌﻟﺒﺎﺳﻲ
ﺣاﻼم اﻟﺒﻜﺮي oleh ditulis yangاﻌﻟﺼﺮ
Ali bin jahm merupakan salah satu penyair abbasiyah yang berbudi luhur yang menjadi terkenal dengan puisinya ,namun di balik kecemerlangan di dalam syair syai Ali bin jaham juga mengandung krtikan menyindir musuh dan penentang khalifah menimbulkan. Permusuhan semua pihak terhadapnya ,yang pada akhirnya menyebakan sebagian penentang menfitnah khalifah Mutawakil
Kemudian di kutip dari https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jba/article/view/24192 yang ditulis oleh tayabeh ,Zahra,dan
seifuri tentang syair Ali bin jahm yang membahas tentang penciptaan adam Puisi cerita
sebagai salah satu cabang dari pohon besar
puisi dan sastra
pada masa Bani Abbasiyah, merupakan salah satu sarana penting
untuk mengungkap fakta sejarah. Kajian
ini
menunjukkan bahwa 'Alī ibn al-Jahm
dapat dianggap sebagai
salah satu pionir seni sastra ini pada era
Abbasiyah. Ia membuka
jalan bagi para penyair untuk
mendaggambarkan sejarah dalam
format ini dan menciptakan karya-karya baru di era ini dan mengabadikan
peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. Dengan menganalisis setiap unsur cerita dalam bab “Penciptaan Adam” karya 'Alī ibn al- Jahm, penelitian ini membuktikan bahwa
karya ini adalah puisi cerita dan juga mencoba menentukan tujuan penyair dari
urutan karya ini untuk penontonnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
tujuan 'Alī ibn al-Jahm dalam puisi ini adalah untuk mengajarkan ajaran Islam kepada penonton dan orang-orang pada masanya selain menceritakan kembali
peristiwa dan sejarah para
nabi.Adapun syair contoh syair dari Ali
bin jahm, h. 228 :
حَمداً كَثيراً وُهوَ أُهلُ الحَمدِ
الحَمدُ لِلَّهِ المُعيدِ المُبدي
عَلى النَبِيِّ باطِناً
وَظاهِرا
ثُمَّ الصَلاةُ أَوَّلاً وَآخِرا
Hasil dari beberapa referensi tentang pembahasan” Kontroversi dan
kecemerlangan puisi Ali bin Jaham : Sorotan kehidupan dan karya sastranya”dapat
disimpulkan bahwa Ali bin Jaham telah melambangkan sebuah kontroversi yang
menghadirkan sorotan tajam terhadap kehidupan dan karyanya. Ali bin Jaham
bukanlah hanya seorang penyair, tetapi juga seorang tokoh yang menciptakan
gelombang tajam dalam dunia sastra Arab. Karya-karyanya telah mengundang
perdebatan sengit, memicu perbincangan yang meluas tentang kecemerlangan dan
kontroversi di balik kata-kata indahnya.
Puisi-puisi
Ali bin Jaham adalah perwakilan sastra yang tak hanya mencerminkan kehidupan, tetapi
juga menyoroti realitas sosial, emosi manusia, dan konflik yang melilit
kehidupan sehari- hari. Meskipun dikenal
dengan kecerdasan penyampaian makna yang dalam, puisi-puisinya sering kali memancing kontroversi karena
keberanian dalam menghadirkan tema-tema yang provokatif serta pendekatan yang
tak konvensional.
Pemikiran dan gaya penyair ini menjadi buah bibir di kalangan para
pembaca dan kritikus sastra. Kecemerlangan karyanya tak dapat dipungkiri,
karena mampu menyentuh dan meresapi benak pembacanya, namun kontroversi yang
diusungnya turut menimbulkan polemik yang menghadirkan pertanyaan tentang
batas-batas ekspresi sastra.
*** * ***
Esai Mahasiswa 1:
“Tinta Abadi
Al-Buhturi (821-897): Telusur Jejak Hidup Dan Karya Gemilang Sang Penyair Di
Masa Emas Abbasiyah Kedua”
Disusun
Oleh :
22101010020
22101010020@student.uin-suka.com
Esai ini membahas topik Sejarah
sastra klasik pada periode Dinasti
Abbasiyah Kedua antara tahun 775
Masehi sampai dengan tahun 1258
Masehi. Pada periode
ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh sastra / penyair/ prosais diantaranya Ali
Ibn Jahm ( 803 M- 863 M ) ,
Al-Buhturi ( 821M
- 897 M ), Ibn
Rumii ( 836 M - 896 M ), Ibn
Mu’taz ( 861 M - 908 M ) dan lain-lain. Pada pembahasan kali
ini, Penulis mengangkat tema “Al-Buhturi
: kilas balik hidup dan karya indah Abbasiyah kedua” dengan
judul esai “Tinta Abadi Al-Buhturi
: Telusur jejak hidup dan karya gemilang sang penyair
di masa emas Abbasiyah
Kedua”
Topik tentang “Tinta Abadi Al-Buhturi
: Telusur jejak hidup dan karya gemilang sang penyair
di masa emas Abbasiyah
Kedua” sebagaimana
ditulis di paragraph pertama dalam penelusuran artikel berbahasa Indonesia
dibahas mengenai Alur Kepemimpinan
Dinasti Abbasiyah yakni The
Golden Age dan Kemunduran
yang terjadi Pada Dinasti
Abbasiyah, juga mengulik pembahasan mengenai kesusastraan
pada masa Abbasiyah Kedua sekaligus memberikan penjelasan tentang Lingusitik
pada masa ini. Penelusuran artikel berbahasa Indonesia ini dengan tujuan
memberikan gambaran kondisi yang terjadi pada masa Abbasiyah kedua
guna mencari tahu keterkaitan antara kondisi kehidupan dan tema-tema puisi
/ syair
yang muncul pada masa itu. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa
inggris topik ini membahas penelitian mengenai tema dari puisi pada Masa
Abbasiyah kedua, tidak hanya sekedar tema saja tetapi juga menarasikan teknik,
cara pembawaan, penyampaian dan pemaknaan dari puisi atau syair Masa Abbasiyah
Kedua. Terutama pemaknaan syair yang dibuat penyair terkenal Masa Abbasiyah
Kedua yakni Al-Buhturi.
Topik ini dalam penelusuran artikel berbahasa Arab membahas pemaknaan
dan pesan-pesan yang ada di syair Al-Buhturi, terlebih jika dikaitkan dengan
konteks keadaan Dinasti Abbasiyah pada masa itu mengalami penurunan dalam
bidang kesusastraan. Menjadikan Al-Buhturi memberikan makna dan pembawaan
syairnya sesuai dengan konteks masa itu agar terlihat lebih menarik ditelinga
pendengar.
Menurut
Nurtanti
dalam jurnal Masa golden age dan kemunduran dinasti abbasiyah , Jambora history
and culture journal, Vol. 5 no. 2 , 2023
mengatakan
Abbasiyah memiliki 5 abad keemasan Islam mencakup masa keemasan berbagai Ilmu
Pengatahuan salah satunya adalah bidang
Kebangkitan Intelektual dirintis oleh khalifah Ja’far
Al-Manshur tahun 762 M yang menjadikan Bagdad
sebagai ibu kota negara. Banyak ulama yang datang dan hadir untuk menyebarkan
ilmu pengatahuan termasuk pada Ilmu Sastra. Masa ini menjadi awal dari
penyebaran ilmu di Bagdad dan mulai munculnya para penyair Masa Abbasiyah
kedua. Tetapi Nurtanti juga
mengatakan 3 abad berselang Abbasiyah menjadi masa keemasan Islam, terjadi masa
kemunduran Abbasiyah beserta aspek-aspek di dalamnya termasuk
juga Ilmu pengatahuan. Mundurnya kekuasaan Abbasiyah disebabkan oleh beberapa
hal Internal dan Eksternal. Salah satunya adalah lemahnya penguasa yang
mengendalikan kekuasaan juga dualisme pemerintah. Hal ini membuat pemerintah
Abbasiyah melakukan perubahan sistem ketahanan dan mulai menyebarkan Ilmu
Kemiliteran bagi masyarakat. Ilmu pengatahuan mulai mengalami penurunan
dikarenakan Bidang Militer bergerak begitu pesat .Menyebabkan minat masyarakat mengalami penurunan di
bidang Ilmu pengatahuan terlebih pada Ilmu Sastra.
Dikutip
dari jurnal Perkembangan
Linguistik Era Daulah Abbasiyah bahwa periode kedua
daulah Abbasiyah ( 847 M - 945 M ) tepatnya dibawah kepemimpinan Al-Mutawakkil.
Pada masa ini tidak memperbolehkan perdebatan dan diskusi dalam pemikiran,
akhirnya keadaan ini berimbas pada perkembangan puisi,
khotbah
dan insya’
karena masyarakat takut dan lebih memilih berfikiran tertutup serta enggan
mengungkapkan hasil pemikiran mereka. Pada masa ini gejolak sastra berpengaruh
terhadap lafadz bahasa
arab,
banyak makna yang tidak mu’jam sehingga menyulitkan para sastrawan.
Akhirnya banyak pecinta ilmu yang meninggalkan Bagdad menuju wilayah-wilayah
kekuasaan Islam sehingga pecinta Ilmu banyak bermunculan diluar Bagdad.
Keadaaan ini juga disebabkan karena kacaunya pemerintahan dan memburuknya
keadaan bangsa turki
akibat terbunuhnya khalifah Al-Mutawakil
( 945 1055 M ) .
Dijelaskan
di dalam jurnal Eksistensi
sastra arab pada masa kemunduran paska dinasti abbasiyah ” , El-Afaq , Vol. 2 No.1 2023 bahwa
kemunduran Sastra Arab mulai terlihat ketika mongol
menyerang Abbasiyah. Ditambah dengan minimnya pengatahuan dalam penggunaan
bahasa Arab disebabkan para ilmuan yang sudah banyak keluar dari Bagdad, geliat
perkembangann sastra Arab pada masa ini seakan mati. Pada masa ini, para
penyair, terutama penyair muslim, banyak menunjukkan karyanya pada pemujaan
terhadap Nabi
Muhammad SAW. Maraknya perkembangan tasawuf
mendorong para pengikutnya mengarang bait-bait syair yang hanya bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Dikatakan bidang kesastraan arab di masa-masa sengit masih berkembang, tetapi
tidak berkembang pesat seperti di era awal daulah Abbasiyah.
Pada
masa ini diantara masa keemasan Dinasti Abbasiyah dan masa Kemundurannya,
muncul beberapa penyair yang masih melanjutkan syair-syairnya salah satunya
adalah Al-Buhturi
( 821M - 897 M ), dikutip dari buku
karangan Syauqi Daif تاريخ
الادب العرب في عصر عبسي الثاني , dalam
satu riwayat mengatakan Al-Buhturi dipupuk dengan hafalan Al-Quran,
ia juga hafal banyak puisi dan khotbah, tumbuh dilingkungan para ulama ia
belajar bahasa dan tata bahasa mengenai puisi. Al-Buhturi merupakan penyair
terkenal pada masa Abbasiyah kedua, ia melahirkan banyak puisi dengan tema
beragam, mulai dari pujian ratapan dan sindiran. Akan tetapi, karya syairnya
lebih banyak ke pujian disebabkan karena latar belakang kondisi pada masa
Abbasiyah kedua itu sendiri. Banyak karya-karyanya di dalam Diwan Al-Buhturi yang
memang 60% dari karyanya adalah berisi syair pujian.
Dikutip
dari jurnal اللون
و دلالته في الشعر العباسي halaman 176 menyebutkan sebagian besar
syiir Al-Buhturi mencerminkan referensi budaya, intelektual dan keadaan
menggunakan warna. Hal ini memudahkan Al-Buhturi dan pendengar memahami makna
syaiir yang diutarakan. Adapun konotasi warna dan maknanya meliputi : Konotasi
Hitam ( kesedihan ), konotasi Putih ( kesucian ), konotasi Merah ( kematian ),
konotasi Hijau ( kehidupan ), konotasi Kuning ( cahaya ), konotasi Biru (
tenang ). Dalam syairnya Al-Buhturi seringkali menggunakan konotasi Putih dan
Hijau. Hal ini dilatar belakangi dengan situasi dan kondisi Abbasiyah kedua.
Seperti syair berikut :
حَضَرَت
رَحلِيَ الهُمومُ فَوَجَّهـ *** ـتُ إِلى أَبيَضِ المَدائِنِ عَنسي
أَتَسَلّى
عَنِ الحُظوظِ وَآسى *** لِمَحَلٍّ مِن آلِ ساسانَ دَرسِ
أَذكَرتِنيهُمُ
الخُطوبُ التَوالي *** وَلَقَد تُذكِرُ الخُطوبُ وَتُنسي
Melalui
telusur jurnal عناصر
القصص في شعر البحتري kita
bisa mengetahui unsur narasi
dan naratif
dalam
syiirnya. Al-Buhturi adaah penyair yang cenderung memberikan contoh-contoh dari
pengalaman hidup yang nyata untuk mempresentasikan kenyataan yang pahit. Ia
juga merepresentasikan syairnya dalam sebuah keadaan atau tempat yang sedang ia
alami, sehingga pendengar atau pembaca syairnya ikut merasakan apa yang ia
rasakan. Seperti syair berikut :
وَلَيلٍ
كَأَنَّ الصُبحَ في أُخرَياتِهِ حُشاشَةُ
نَصلٍ ضَمَّ إِفرِندَهُ غِمدُ
تَسَربَلتُهُ
وَالذِئبُ وَسنانُ هاجِعٌ بِعَينِ اِبنِ
لَيلٍ ما لَهُ بِالكَرى عَهدُ
أُثيرَ
القَطا الكُدرِيَّ عَن جَثَماتِهِ وَتَألَفُني فيهِ الثَعالِبُ وَالرُبدُ
وَأَطلَسَ
مِلءِ العَينِ يَحمِلُ زَورَهُ وَأَضلاعَهُ
مِن جانِبَيهِ شَوى نَهدُ
لَهُ
ذَنَبٌ مِثلُ الرَشاءِ يَجُرُّهُ وَمَتنٌ كَمَتنِ القَوسِ أَعوَجَ مُنئَدُّ
Melihat
perbandingan dari ketiga jurnal bahasa Inggris The night in sifat
al mutanabbi, Al-Buhtari's Poetics
between Abi Tammam and Al-Mutanabbi, Techniques of Argument in Poetry of Wisdom upon
the two Judicious and the Poet peneliti
menemukan kesamaan pendapat mengenai puisi karya Al-Buhturi baik dari segi
teknik penulisan ataupun pemaknaan syiir. Syiir Al-Buhturi hampir sama dengan
syiir Abi Tammam dan Al-Mutanabbi. Yakni menggunakan
teknik pengalaman dan memanfaatkan situasi ataupun kondisi yang telah dilewati
sehingga pendengar yang mendengarkan merasakan inti dari puisi yang dibacakan.
Sedikit - demi sedikit penyair seperti Al-Buhturi bisa melewati masa sulit dan
gencatan peraturan dari pemerintahan Abbasiyah Kedua. Hal ini menjadi alasan
mengapa penulis melakukan analisis beberapa jurnal dan memberikan judul esai “Tinta
Abadi Al-Buhturi : Telusur Jejak Hidup Dan Karya Gemilang Sang Penyair Di Masa
Emas Abbasiyah Kedua”
DAFTAR
PUSTAKA
Nurtanti.(
2023 ). Masa the Golden Age dan Kemunduran Dinasti Abbasiyah.Jambura History and Culture Journal,
Vol.5, no.2, Halaman 70- 81.
Susanto,
A. ( 2023 ). Eksistensi bahasa arab pasca
Masa Kejatuhan Dinasti Abbasiyah.
El-Afaq, Vol 2, No.1, Halaman
44-54.
Chotimah,
N. ( 2018 ). Perkembangan Linguistik era daulah Abbasiyah. Uin maulana malik ibrahim, Vol. 2 Halaman
803-818.
Mirani,
N S. ( 2021 ) . Al-Buhtari's Poetics between Abi Tammam and Al- Mutanabbi. Journal of Education for Humanities, Vol 1 Halaman 197- 222.
Abbas,
K Zahra. ( 2019 ). Techniques of Argument in Poetry of Wisdom upon the two
Judicious and the Poet. Journal of College of Education, Vol 2 Issue 2, Halaman 123-154.
Fahad,
J M naim. ( 2020 ) The Night In Sifat Al Mutanabbi (Artistic Study). Journal Of
Archaeology Of Egypt/Egyptology . Vol 17 no 5. Halaman 1783-1791.
تاريخ
الادب العربي , بيروت : دار المعارف , ١٩٧٣
اللون
و دلالته في الشعر العباسي – قراءة في شعر البحتري , ٢٠٢٢
عناصر
السرد القصصي في شعر البحتري , مجلة العلوم التربوية والدراسات اإلنسانية، ٢٠١٨
*** * ***
Leave a Comment