| 0 Comments | 224 Views

Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Jahiliyyah (450-610)

Esai Mahasiswa 1: 

 

Puisi Jahiliyah Menurut Pandangan Taha Husein

Diana Putri Maharani (20101010010)

 

Bangsa Arab dikenal sebagai salah satu peradaban yang memiliki keahlian luar biasa dalam bidang sastra, khususnya dalam bentuk syair. Identitas mereka sebagai penggiat sastra, terutama dalam syair, telah terbentuk jauh sebelum munculnya agama islam. Pada awal kemunculannya yang dikenal dengan periode jahiliyah, muallaqat menjadi pionir bagi para penyair bangsa arab sebagai produk fenomenal yang mereka ciptakan. Menurut Faruq dan Riyadi kemunculan  pertama kali puisi jahiliyah tidak dapat dipastikan waktunya, ia telah lahir ribuan tahun sebelum Nabi Muhammad diangkat sebagai Rasul. Beberapa ahli sejarah bersepakat bahwa zaman jahiliyah dimulai sekitar 150 tahun sebelum kedatangan Islam, khususnya pada abad ke-5 Masehi, dan berakhir pada awal abad ke-7 Masehi. Periode ini melahirkan banyak penyair besar yang memberikan sumbangan terhadap sastra Arab. Beberapa di antaranya adalah Imrul Qays (501-544 M) dari suku Kinda (Qahtan), Zuhair bin Abi Sulma (520-609 M), Antarah bin Shaddad (525-608 M), Labid bin Rabiah (560- 661 M) dari suku Qays, al-Nabighah al-Dzibyani (535-704 M), Amr bin Kalthum (526-584 M), dan al-Harits bin Hillizah (580-570 M) dari suku Rabiah. Namun, di tengah kehebatan syair jahiliyah, terdapat pertentangan yang muncul dari salah seorang kritikus sastra modern yaitu Thaha Hussein. Ia meragukan keorisinalitasan puisi jahiliyah bahkan menentang keberadaan pujangga klasik Imrul Qays.

Dalam mengemukakan pendapat dan hujahnya Taha Husein (1889-1973 M) memiliki teori khususnya dalam mempelajari sastra, peneliti harus bersikap kritis dan obyektif, menghadapi obyek penelitiannya seperti seorang ilmuwan, dan tidak terpengaruh oleh unsur-unsur subyektif dalam dirinya. Dalam bukunya yang berjudul fi syi’ril jahily, Taha Husein berhasil menunjukkan beberapa bukti untuk menyanggah keorisinalitasan puisi jahiliyah. Pertama, puisi Arab Jahiliah tidak mencerminkan kehidupan religi bangsa Arab pada masa Jahiliah. Kedua, puisi-puisi tersebut juga tidak menggambarkan aspek kehidupan politik bangsa Arab Jahiliah, dengan alasan bahwa Al-Qur'an mencatat peperangan antara bangsa Romawi dan bangsa Persia. Ketiga, kehidupan intelektual bangsa Arab Jahiliah tidak tergambar dengan jelas dalam puisi mereka. Keempat, meskipun bangsa Arab pada saat itu memiliki koneksi ke negeri-negeri jauh seperti Habsyi, Syam, Palestina, dan Mesir, namun puisi-puisi Jahiliah tidak mencerminkan kehidupan ekonomi mereka. Kelima, dalam puisi Arab Jahiliah, tidak ada gambaran tentang perbedaan logat bahasa Arab, terutama antara logat Arab Adnaniyah di bagian utara jazirah dengan logat Arab Himyariyah di selatan. Keenam, banyak pemalsuan, jiplakan, pendakuan, dan periwayatan yang tidak semestinya terdapat dalam puisi Arab Jahiliah (Sugiyono: 1991). Sebagaimana yang dikutip dalam artikel jurnal yang berjudul Dilema Penggunaan Syi’ir Jahiliyah Dalam Tafsir, berikut adalah bait yang dikritisi:

أَلَا لِلَّهِ قَوْمٌ وَ                  لَدَتْ أُخْتُ بَنِي سَهُم

هِشَامٌ وَأَبُو عَبْدِ                مَنَافٍ مدره الْخَصْمُ

 وَذُوا الرَّمْحَيْنِ أَشْبَاكَ              عَلَى الْقُوَّةِ وَالْحَزْمِ

 فَهَنَّانَ يَذُودَانِ                   وَذَا مِنْ كُتُبِ يَرْمِي

Puisi tersebut dianggap telah dimanipulasi untuk kepentingan agama. Yaitu peristiwa saat  Abdurrahman bin al-Haris bin Hisyam mencoba memberikan sejumlah uang kepada Abdul Aziz bin Abi Nahsyal agar dia mau menyampaikan sejumlah bait puisi yang diklaim sebagai ucapan Hasan bin Sabit di hadapan Rasulullah saw. Meskipun ditawari imbalan finansial, Abdul Aziz menolak tawaran tersebut karena khawatir akan dituduh oleh orang lain bahwa ia hanya mengada-ada dan tidak jujur dalam menyampaikan puisi tersebut.

Menurut Taha Husein dalam (Khobir: 2020) puisi-puisi jahiliyah justru menafikan faktor-faktor eksternal tersebut. Menurutnya puisi-puisi jahiliyah telah disusupi oleh beberapa kepentingan, baik pribadi, fanatisme suku, politik, agama, dan kepentingan lebih luas lagi. Argumennya ini membuat Taha Husein mendapat kecaman dari para ulama mesir. Kendati demikian, Dr. Medhat Al-Jayar dalam artikel yang diterbitkan al-jazeera pada 18 Maret 2021, menganggap bahwa Taha Husein benar pada salah satu hujahnya karena puisi pra-Islam tidak ditulis sampai setelah Al-Qur'an dikumpulkan, maka perawi dalam hal ini adalah seorang Muslim Arab. Taha Husain, dalam karyanya "Fi Syi’ril Jahiliyyah" (Tentang Puisi Era Pra-Islam), menyoroti tudingannya terhadap pemalsuan dan penjiplakan puisi jahiliyyah. Ia secara rinci juga membahas faktor-faktor yang menjadi latar belakang praktik pemalsuan dan penjiplakan tersebut, sebagaimana dikutip dalam ((Faruq & Riyadi: 2022).

1.     Kepentingan politik

Dalam sejarah Arab terkait erat dengan agama, dan pemahaman mendalam terhadap politik dan agama diperlukan untuk memahami peristiwa sejarah. Pada masa awal Islam, perang komunikatif antara Nabi dan para sahabat melawan kaum kafir Quraisy menjadi perdebatan murni tentang penggunaan Al-Qur'an. Setelah hijrah ke Madinah, kaum Quraisy merasa terancam oleh kekuatan politik Islam, memicu perang besar seperti Perang Badar dan Perang Uhud.

2.     Kepentingan keagamaan

Sebagaimana dijelaskan oleh Taha Husein, kepentingan agama mirip dengan kepentingan politik dan tidak hanya terbatas pada masa Khulafa' al-Rasyidin, tetapi juga berlanjut pada masa Bani Umayyah. Faktor ini melibatkan upaya umat Islam untuk membuktikan keabsahan dan kebenaran Nabi Muhammad SAW dari risalahnya. Puisi dan narasi menjadi sarana untuk mempropagandakan keyakinan ini kepada masyarakat, dengan menciptakan legitimasi tambahan berdasarkan kepentingan agama. Selain itu, puisi juga digunakan untuk membuktikan kebenaran Nabi Muhammad SAW dan ajarannya. Namun, Taha Husain menjadi skeptis terhadap autentisitas puisi tersebut, menganggap bahwa beberapa kisah dalam puisi jahiliyyah tidak selaras dengan gambaran yang diwahyukan dalam Al-Qur'an.

3.     Fanatisme suku

Faktor kebanggaan suku juga memainkan peran dalam pemanfaatan puisi untuk kepentingan politik sehingga menjadi pendorong pemalsuan puisi. Setelah kekalahan Persia, tawanan yang "mengarabkan" diri mereka melalui pembelajaran bahasa Arab menjadi sekutu Arab dalam pembentukan puisi politik, meskipun kadang-kadang hasil karya tersebut dipalsukan karena fanatisme suku.

4.     Kepentingan pribadi

Narator puisi juga menjadi faktor dalam pemalsuan puisi. Narator, baik yang berasal dari Arab asli atau yang dipengaruhi oleh mereka, dapat menggunakan puisi untuk mengejar kepentingan pribadi mereka, seperti yang terlihat pada pemimpin Kuffah dan Başrah yang terlalu berlebihan dan kurang bermartabat.

Dalam penafsiran Taha Husain, meskipun Al-Qur'an mencakup sejarah Arab pra-Islam, dia skeptis terhadap autentisitas puisi jahiliyyah. Ia menolak penggunaan puisi tersebut sebagai acuan atau alat penafsiran Al-Qur'an, mengingat ketidaksesuaian antara kondisi jahiliyyah dalam puisi dengan gambaran yang diwahyukan dalam Al-Qur'an. Kesimpulan Taha adalah perlunya konsistensi dan kehati-hatian dalam menggunakan sumber-sumber sejarah, bahasa, dan tafsir untuk menghindari penafsiran yang tidak konsisten dengan keilmuan yang baik.

Penting untuk diketahui bahwa sumber-sumber dan penelitian terus berkembang, yang dapat menghasilkan penafsiran yang beragam. Penelitian lebih lanjut dan pendekatan multidisiplin keilmuan diperlukan agar kita bisa lebih memahami apakah puisi jahiliyah tersebut benar-benar asli. Dalam pandangan netral, kita harus mengakui nilai historis sumber-sumber tersebut, sambil menyadari bahwa ada keterbatasan dan kemungkinan perubahan dalam penggunaan lisan dan tulisan selama bertahun-tahun. Dari sudut pandang mahasiswa bahasa dan sastra, hal ini memperlihatkan pentingnya terus mengembangkan penelitian dan perspektif ilmiah untuk memahami warisan sastra khususnya dunia sastra arab.

  

Daftar Pustaka 

 

Husain, Taha, Fi al-Adab al-Jahiliy, Mesir; Dar al-Ma'arif, 1969

Sugiono. Sugeng. Ṭaha Husain Pandangan Dan Teorinya Tentang Puisi Jahiliyyah. Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2008

Ayalon,Y. Revisiting Ṭāhā Ḥusayn’s Fī al-Shi ʿr al-Jāhilī and its sequel,Brill, Vol 49, Tahun 2009

Mohammad Azza Nasrul Khobir. (2020). Dilema Penggunaan Syi’ir Jahiliyah Dalam Tafsir: Kajian Atas Pemikiran Thaha Husein.

Muzakki, A. Unveiling Thaha Husein's Controversy On Classical Arabic Literature Existence (Critical Methodology Of The Book ‘Fi Al-Adab Al-Jahili’)

\Faruq, U., & Riyadi, A. K. (2022).Ṭaha Husain’S Skepticism of Jᾱhilī Poet and Its Position in the Qur’an: Analysis of Ṭaha Husain’S Thought in Fī Al-Syi’Ri Al-Jāhilī.

 Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Alqur’an Dan Tafsir, 7(1), 171–186. https://doi.org/10.32505/at-tibyan.v7i1.3838

Al-Munir, 2. http://jurnalalmunir.com/index.php/al-munir/article/view/64

*** * *** 

Esai Mahasiswa 2: 

Labid bin Rabi'ah ; Penyair Non Muslim yang Mendapat Pujian dari Nabi Karena Keindahan Puisinya

Nafito Maulana Hasan (22101010024)

 

Esai ini membahas topik Sejarah Sastra Arab Klasik pada periode Jahiliyyah antara tahun 450 M sampai dengan tahun 610 M. Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh sastra/penyair/prosais diantaranya ; Umru al-Qais (w. 544), Tarafah bin Abid (w. 569), Harits bin Khilizah, Amru bin Kultsum (w. 584), Zuhair bin Abi Sulma (w. 609), Antarah bin Syaddad (w. 608) dan Labid bin Rabi’ah (w. 661). Topik yang akan dibahas adalah Labid bin Rabi'ah ; Penyair Non Muslim yang mendapat pujian dari Nabi karena keindahan puisinya.

Topik tentang Penyair, Labid bin Rabi'ah (w. 661). Sebagaimana ditulis di paragraph pertama dalam penelusuran artikel berbahasa Indonesia dibahas “Kisah Saat Nabi Muhammad Saw Memuji Orang Kafir Karena Karyanya”. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa inggris topik ini dibahas “Umar Ibn-Khattab used to love the poem of Labid Ibn Rabi'ah” (Umar Ibnu Khattab dulu sangat menyukai puisi Labid Ibnu Rabi'ah). Topik ini dalam penelusuran artikel berbahasa Arab adalah “ من هو لبيد بن ربيعة - Labid Bin Rabiah”(Siapa Labid bin Rabi'ah itu?).

Menurut Hanuf Ukil Kaila dalam artikel Alif.id yang berjudul “Al-Mu'allaqat;Saksi Bisu Pertemuan Sastra Jahiliyyah dan Al-Qur'an” menjelaskan Labid bin Rabi’ah (w. 661) adalah satu-satunya penyair yang menjadi bukti betapa hidupnya sastra Arab masa Jahiliyah sebab ia hidup dalam dua masa yaitu masa jahili dan Islam sampai-sampai ia memiliki julukan “Al-Mukhadramun”. Setelah Islam hadir, ia pun memeluknya dan tak melupakan sejarah hidupnya dahulu sebagai penyair jahiliyah.

Menurut Inayatullah Hasyim dalam artikel “thayyibah.com” yang berjudul Lubaid Bin Rabi’ah dan Syair Terakhirnya mendeskripsikan Biografi Labid bin Rabi'ah (w. 661). Nama lengkapnya adalah Lubaid bin Rabi’ah bin Malik (w. 661). Ia sering juga dijuluki Abu ‘Uqail al-‘Amiry. Ia termasuk salah satu penyair yang disegani pada masa jahiliyyah (Pra-Islam). Ibunya berasal dari kabilah ‘Abas. Lubaid dilahirkan sekitar tahun 560 M. Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai orang dermawan dan pemberani. Sifat kedermawanannya diwarisi dari ayahnya yang dijuluki dengan “Rabi’ al-Muqtarin”. Sedangkan sifat keberaniannya diwarisi dari kabilahnya. Lubaid bin Rabiah dikarunia usia cukup panjang. Dia hidup di atas seratus tahun, sekitar enam puluh tahun usianya dihabiskan dalam masa jahiliyah dan sisanya dalam kedamaian Islam.

Menurut Wikipedia yang berjudul “Labid”, di masa mudanya, dia adalah seorang pejuang yang aktif dan syairnya Sebagian besar berkaitan dengan perselisihan antar suku. Setelah memeluk Islam dia berhenti menuiis. Adapun salah satu puisinya terdapat dalam Mu’allaqat.

Walaupaun Lubaid bin Rabi’ah (w. 661) memeluk Islam, namun para kritikus sastra Arab tetap memasukan dia sebagai penyair era Jahiliyah. Hal itu dikarenakan, setelah menyatakan diri masuk Islam, Lubaid tak lagi membuat syair. Dia telah terpukau dengan keindahan Al-Qur’an. Padahal, sebelum memeluk Islam, dia membuat ribuan bait-bait syair, termasuk yang selalu digantungkan di Ka’bah. Bahkan, Aisyah (radiallahu anha) istri Rasulallah SAW, menghafal sekitar seribu bait syair karya Lubaid bin Rabiah.

Dalam artikel Bahasa dan Sastra Arab yang berjudul Lubaid bin Rabi'ah”, pada masa awal-awal Islam, syair Lubaid bertemakan Al Qur’an yang isinya berupa ajaran-ajaran Islam. Meskipun ia sendiri belum memeluk Islam.

Salah satu karya puisinya Lubaid sebelum Islam yaitu:

اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ ماَ خَلا الله باَطِلُ # وَكلّ نــَعِيْمٍ لاَ مـَحَالـَةَ زَائِلُ

Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap # dan setiap kenikmatan, tanpa terkecuali,pasti akan sirna

وكُلُّ أُناسٍ سَوْفَ تَدْخُلُ بَيْنَهُمْ # دَوِيـْهِيَّةٌ تـَصْفَرُّ مِنْها اْلأنامِلُ

Dan pada suatu saat, setiap orang pasti akan didatangi # oleh maut yang memutihkan jari-jarimereka

و كُلّ امْرِئٍ يـَوْمًا سيَعْلَمُ غَيْبَهُ # إذا كُشِفَتْ عِنْد اْلاِلَهِ الْحَصَائِلُ

Setiap orang kelak pada suatu hari pasti akan mengetahui amalannya # ketika telah dibuka di sisi Tuhan segala catatannya”.

Adapun Puisi diatas menurut Fahmina yang dikutip dari Artikel Buya Husein yang berjudul “Nabi Memuji Penyair Pagan”, dijelaskan bahwa ketika mendengar puisi ini Nabi saw memberikan apresiasi yang tinggi. Beliau mengatakan :

اَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالـَها شَاعِرٌ كـَلِمَةُ لُبـَيْدٍ : الا كلّ شيئ ما خلا الله باطل …..

“Puisi terbaik yang pernah digubah seorang penyair adalah puisi Labid : “Sesungguh, segala sesuatu selain Allah pasti akan hilang lenyap”.

Adapun menurut Inayatullah Hasyim dalam artikel thayyibah.com yang berjudul “Lubaid bin Rabi’ah dan Syair Terakhirnya. Satu-satunya bait syair yang dibuat oleh Lubaid bin Rabi’ah setelah ia masuk Islam adalah berikut ini:

الحمدُ لله ان لـَمْ يَأتـِنِى أَجَلِىْ * حـَتىَّ لـَبِسْتُ مِنَ اْلإسلامِ سِرْبالا

“Segala puji bagi Allah, yang belum mempertemukanku kepada ajalku * sampai aku mengenyam dalam Islam nafas kedamaian”.

Sesuai yang telah disebutkan di paragraf ketiga diatas bahwa Labid hidup pada dua masa yakni masa Jahiliyyah dan Islam. Menurut Artikel Hijai dalam Jurnal Journal on Arabic Language and Literature, Labid adalah salah satu dari penyair-penyair zaman Jahiliyyah yang telah mengenal Islam. Dia berumur panjang dikatakan bahwa umurnya mencapai 145 tahun. 90 tahun di masa Jahiliyyah dan sisanya pada zaman Islam (Abdullah, 1985:14). Syair-syair Labid di kumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Diwan Labid ibn Rabi’ah al-‘Amiri”. Dalam diwan (kumpulan syair) tersebut terdapat 11 qafiyah yang terdiri dari 66 judul dengan jumlah sekitar 1.163 bait. Dalam diwan tersebut digunakan 8 metrum (bahr) dari total 16 metrum yang ada dalam ilmu ‘Arudl. 8 metrum tersebut ialah thawil, kamil, rajaz, wafir, khafif, munsarih, basit dan ramal.

Dalam Artikel Dr Shafie Abu Bakar yang berjudul Labid Bin Rabi`ah Penyair Al-Mu`allaqat Berumur Panjang Berkesempatan Perkukuh Islam”, dijelaskan bahwa Labid (w. 661), tidak saja istimewa dari segi sebagai penyair Al-Mu`allaqah, tetapi pembawa bendera dua zaman-zaman Jahiliyyah yang berciri badawi yang ditinggalkan dan zaman Islam yang diperjuangkan. Dengan latarnya, maka Abu Yazid al-Qurashiyy berpendapat, Labid mempunyai kedudukan tinggi zaman Jahiliyyah dan Islam. Tidak ada lagha pada ungkapan.  Ibn Salam (w. 663) meletakkannya sebagai penyair golongan ketiga. Sebagai kesimpulan, peranan Labid di dalam berpuisi penting, meskipun tidak setara dengan Imrul-Qays (w.544) dari segi bandingan dan istiarah, juga tidak setara dengan Tarfah (w. 569) dari segi gambaran dan dari Zuhayr (w. 609) tentang gambaran peperangan dan siasat qabilah, tetapi Labid mengatasi semua mereka di dalam meilustrasikan suasana dan padangan. Dia istimewa dari segi rintihan dan waaz serta nasihat dan mencetuskan hikam mendalam yang mengukuhkan keimanan terhadap Allah.          

            Akhirnya, Lubaid bin Rabi’ah mengembuskan nafas terakhirnya di Kufah, Iraq pada sekitar tahun 661M / 41 Hijriah.

 

Daftar Pustaka

Hanuf Ukil Kaila, “Al-Mu'allaqat;Saksi Bisu Pertemuan Sastra Jahiliyyah dan Al-Qur'an”, alif.id, 2022, Link : https://alif.id/read/huk/al-muallaqat-saksi-bisu-pertemuan-sastra-jahiliyah-dan-al-quran-b244887p/ diakses pada 23 Desember 2023, pukul 08.56

Inayatullah Hasyim, “Lubaid Bin Rabi’ah dan Syair Terakhirnya”, thayyibah.com, 2023, Link : https://thayyibah.com/2019/12/16/37672/lubaid-bin-rabiah-dan-syair-terakhirnya/ diakses pada 23 Desember 2023, pukul 09.00

Wikipedia, “Labid”, Wikipedia, 2023, Link : https://en.wikipedia.org/wiki/Lab%C4%ABd di akses pada 23 Desember 2023, pukul 09.03

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, “Lubaid Bin Rabi’ah”, Bahasa Dan Sastra Arab, 2019, Link : https://bsaiainska.wordpress.com/2019/04/27/lubaid-bin-rabiah/ diakses pada 23 Desember 2023, pukul 09.07

Deden Suganda, Mohammad Syasi, Nurlinah UIN Sunan Gunung Djati, ” Metrum Dan Tema Dalam Diwan Labid Bin Rabi’ah Al-‘Amiri (Kajian Ilmu ‘Arudl)”, Vol. 02 No. 02, Juli-Desember 2019,

Dr Shafie Abu Bakar, Labid Bin Rabi`ah Penyair Al-Mu`allaqat Berumur Panjang Berkesempatan Perkukuh Islam”, Dr Shafie Abu Bakar, 2015, Link : http://drshafie.blogspot.com/2015/01/labid-bin-rabiah-penyair-al-muallaqat.html?m=1 diakses pada 23 Desember 2023, Pukul 09.16

Fahmina oleh KH. Husein Muhammad, “Nabi Memuji Penyair Pagan”, fahmina Institute, 2018, Link : https://fahmina.or.id/nabi-memuji-penyair-pagan/ diakses pada 23 Desember 2023, Pukul 09.23

 

*** * *** 

Esai Mahasiswa 3: 

Labid Bin Rabiah Penyair Muallaqat Terkemuka Masa Pra-Islam

OlehSiti Mahdiah (Mahasiswa Kelas Sejarah Sastra Arab Klasik 2023_Kelas Prodi_Bahasa Dan Sastra Arab)

 

Esai ini membahas topik Sejarah sastra klasik pada periode Jahiliyah antara tahun 505 sampai dengan tahun 661 Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh sastra / penyair/ prosais diantaranya ada Imru’ul QaisTharafah Bun Abdul BakriZuhair Bin Abi SulmaAntarah Bin SyuddadLubaid Bin Rabiah Al-AmiriAmr Bin KultsumHarist Bin Hillizah. Mereka adalah tujuh penyair Muallaqat yang menjadi bukti hidupnya Sastra Arab dalam dua masa, jahiliyah dan islam. Labid adalah satu-satunya penyair yang hidup di kedua masa tersebut, dan dia juga dikenal sebagai “al-mukhadramun.” Setelah memeluk islam, dia tidak melupakan sejarahnya sebagai penyair jahiliyah. Topik yang akan dibahas adalah tentang Labid Bin Rabi’ah dan Muallaqat.

Topik tentang Labid Bin Rabi’ah sebagaimana ditulis di paragraph pertama, dalam penelusuran artikel berbahasa Indonesia dibahas “AL-Muallaqat; saksi bisu pertemuan sastra jahiliyah dan Al-Qur’an”  jahilyah yang berarti bodoh, bukanlah julukan yang disematkan kepada bangsa arab karena kebodohan mereka akan ilmu-ilmu pengetahuan. Julukan tersebut didasarkan atas kelemahan etika mereka pada saat itu sebab belum mengenal Islam. Bahkan jauh sebelum Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Masyarakat Arab telah lama bergelut dengan sastra berupa puisi. Kepiawaian penyair-penyair padang pasir itu menjadikan sastra arab kuno tetap menarik diteliti dan dikembangkan hingga saat ini. Salah satu syair monumental yang masih lestari sampai sekarang adalah Al-Mu’allaqāt.

Al-Mu’allaqāt (yang digantung) merupakan kumpulan puisi para penyair terbaik jahiliyah yang ditulis dengan tinta emas dan digantung di ka’bah sebagai bentuk penghormatan kepada penyairnya. Maka pantaslah andai kita mengatakan bahwa Ka’bah merupakan saksi bisu betapa diagungkannya syair-syair Al-Mu’allaqāt itu. Tercatat ada 7 penyair yang namanya diabadikan sebab syairnya yakni Imru’ul QaisTharafah Bun Abdul BakriZuhair Bin Abi SulmaAntarah Bin SyuddadAmr Bin KultsumHarist Bin Hillizah,  Lubaid Bin Rabiah Al-Amiri. Nama terakhir, Labid bin Rabi’ah adalah satu-satunya penyair yang menjadi bukti betapa hidupnya Sastra Arab masa jahiliyah sebab ia hidup dalam dua masa yaitu masa jahiliyah dan Islam sampai-sampai ia memiliki julukan “Al-Mukhadramun”. Setelah Islam hadir, ia pun memeluknya dan tak melupakan sejarah hidupnya dahulu sebagai penyair jahiliyah.

Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa inggris topik ini dibahas Dalam sebuah artikel yang berjudul truth behind the untold story – explaining the origins of islam – part ii of ii” yang ditulis oleh Asif M Basit. Dalam artikel itu membahas atau menceritakan tentang sebuah tradisi penulisan dan penghargaan terhadap Muallaqat, kumpulan puisi terbaik dari Era Pra-Islam yang dipajang di ka’bah. Penulis menekankan bahwa tradisi ini telah menjadi bagian inetgral dari sejarah muslim, dan mencatat adanya tradisi penulisan dan pengakuan terhadap muallaqat. Artikel tersebut juga menyoroti bahwa upaya untuk meragukan keaslian tradisi ini akan sia-sia, karena keberadaannya dianggap sebagai bagian yang sangat penting dari sejarah, khusus dalam masyarakat modern. Tradisi ini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya dan sejarah, dan memiliki peran penting dalam memahami perkembangan sastra dan budaya arab, oleh karena itu akan sia- sia. Keberadaan dan pengakuan terhadap Muallaqat menunjukan betapa pentingnya tradisi ini dalam sejarah dan budaya muslim, terutama dalam masyarakat kontemporer.

Topik ini dalam penelusuran artikel berbahasa Arab yang berjudul “فاعلية الزمان والمكان في شعر لبيد وذي الرّمة “ atau dalam bahasa indonesianya itu artinya adalah Efektifitas ruang dan waktu dalam puisi Labid dan Dhu Al- Rumma. Dalam artikel itu juga membahas pada sebuah penelitian yang berfokus pada eksplorasi dan pemahaman tentang bagaimana dua elemen penting, yaitu waktu dan tempat, berperan dalam karya-karya dua penyair arab terkemuka, Labid Bin Rabi’ah dan Dhu Al- Rumma. Penelitian ini menyoroti hubungan yang erat dan saling ketergantungan antara waktu dan tempat dalam karya-karya mereka, menunjukkan bagaimana kedua elemen tersebut tidak hanya saling melengkapi, tetapi juga memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk dan mempengaruhi karya sastra mereka. Penelitiannya mencoba untuk mengungkap dan memahami bagaimana perasaan dan makna yang beragam dan kompleks dapat terwujud dan diekspresikan dalam karya sastra melalui penggunaan waktu dan tempat. Ini mencakup analisis mendalam tentang bagaimana perasaan dan makna tersebut dapat dipahami dan ditafsirkan oleh pembaca, dan bagaimana mereka dapat mempengaruhi pengalaman dan pemahaman pembaca tentang Karya Sastra.

Dengan demikian pembahasan tersebut memberikan wawasan baru dan mendalam bahwa Labid adalah satu-satunya penyair yang hidup dalam dua era, yaitu era jahiliyah dan era islam, sehingga ia mendapatkan julukan al-mukhadramun. Setelah islam hadir, ia memeluk agama islam, namun tidak melupakan sejarah hidupnya sebagai seorang penyair jahiliyah. Pembahasan diatas juga membahas tradisi kepenulisan dan penghargaan terhadap Muallaqat yang telah menjadi bagian integral dari sejarah umat muslim dan memiliki peran penting dalam memahami perkembangan sastra dan budaya arab. Pembahasan tersebut juga memberikan wawasan tentang bagaimana waktu dan tempat dapat digunakan sebagai alat yang efektif dalam Sastra untuk mengungkapkan dan menyampaikan perasaan dan makna, dan bagaimana juga mereka dapat membantu dalam memahami dan menghargai Karya-Karya Sastra dua penyair Arab ini. pembahasan tersebut juga menunjukkan bagaimana pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara waktu dan tempat dalam Sastra dapat membantu dalam memahami dan menghargai Karya Sastra secara lebih umum.

Dalam sebuah buku yang berjudul “Nasihat Untuk Orang-Orang Lalai” karya Khalid Abdul Muthfi Khalif, dalam buku tersebut pada halaman 114 dikatakan bahwa Rasulullah saw diakui pernah terkagum-kagum dengan bait-bait syair yang dilantunkan oleh Labid Bin Rabiah. Abu Hurairah Ra. Meriwayatkan bahwa bersabda”,

أَشْعَرُ كَلِمَةٍ تَكَلَّمَتْ بِهَا الْعَرَبِ كَلِمَةُ لَبِيدٍ أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللَّهَ باطل

"syair terbaik yang pernah dilantunkan oleh orang arab adalah syairnya labid (yang berbunyi), "ketahuilah segala sesuatu selain Allah akan binasa (hr Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Salah satu bait syairnya Labid adalah berikut ini:

اَلاَ كُلُّ شَيْئٍ ماَ خَلا الله باَطِلُ * وَكلّ نــَعِيْمٍ لاَ مـَحَالـَةَ زَائِلُ

Sesungguhnya segala sesuatu selain Allah pasti akan lenyap dan setiap kenikmatan, tanpa terkecuali, pasti akan sirna.

Dan dalam sebuah artikel yang berjudul “لبيد بن ربيعة.. حينما أذهل القرآن قلب أفضل الشعراء” yang diterbitkan pada 01 Juli 2018 tersebut,  membahas tentang ketertarikan Khalifah Umar Bin Khattab terhadap Bahasa Arab, Sastra, Adab. Khalifah Umar juga diakui sebagai sosok yang sangat peduli terhadap kebudayaan Arab dan Bahasa Arab, dan dia dikatakan bahwa dia bahkan pernah mengirim permintaan kepada Labid Bin Rabi’ah untuk menggantikan Syair dengan Ayat Al-Qur’an. Ini menunjukkan betapa Khalifah Umar memahami dan menghargai nilai estetika dan keindahan Bahasa Arab. Dia juga menghargai warisan Sastra Arab dan berusaha untuk mempromosikan dan melestarikannya. Selain itu, dia juga mempromosikan penghormatan terhadap Islam melalui penggunaan bahasa yang bermartabat dan indah.



Esai Mahasiswa 4: 

“Penyair Hebat Pra Islam Imru, Ul-Qais”

Muhammad Taufik Hidayat (22101010025)_Kelas A

 

Esai Ini Membahas Topik Sejarah Sastra Klasik Pada Periode Pra Islam Tepatnya Pada Abad Ke-6 M Antara Tahun 501 M Sampai Dengan Tahun 544 M.Pada Periode Ini Lahir Banyak Sekali Tokoh-Tokoh Sastra / Penyair / Prosais Di Antaranya Yaitu Ada 7 Tokoh Penyair : 1.Imru, Ul-Qais (501 M-544 M) ; 2.Tharafah Bin Abdul Bakri (543 M-569 M) ; 3.Zuhair Bin Abi Sulma (520 M-609 M) ; 4.Antarah Bin Sya (525 M-608 M)5.Lubaid Bin Rabi’ah Al-Amiri (560 M-661 M)6.Amr Bin Kultsum (526 M-584 M) ; 7.Harist Bin Hillizah (497 M-545 M) ; dan topik yang  akan dibahas Adalah “Penyair Hebat Pra Islam Imru, Ul-Qais

Topik Tentang Penyair Hebat Pra Islam Imru, Ul-Qais Sebagaimana Di Tulis Di Paragraf Pertama Dalam Penelusuran Artikel Di Berbahasa Indonesia Di Bahas Tentang Gambaran Imru' Al-Qais, Seorang Penyair Ghazal Pra-Islam, Yang Lahir Dalam Keluarga Penguasa. Diketahui Dia Mendapat Julukan "Raja Yang Banyak Melakukan Kesalahan," Artikel Membahas Tiga Fase Hidupnya, Melibatkan Masa Remaja, Dendam Yang Berujung Kegagalan, Dan Perpindahan Antar-Kabilah. Kontroversi Dalam Syairnya, Termasuk Deskripsi Cabul, Juga Menjadi Sorotan.

Sedangkan Dalam Penelusuran Artikel Berbahasa Inggris Topik Ini Dibahas Yaitu Mencakup Tiga Topik Utama. Pertama, Mengkritisi Pandangan Umum Yang Menyatakan Imru Al-Qais Sebagai Satu-Satunya Pencetus Konvensi Puisi Jahili, Menekankan Perlunya Studi Lebih Dari Tiga Puluh Penyair Untuk Memahami Tradisi Yang Sudah Mapan. Kedua, Eksplorasi Hubungan Rumit Antara Ingatan Dan Waktu Dalam Puisi Pra-Islam, Menyoroti Peran Waktu Sebagai Cermin Kreativitas Penyair Dan Pengaruh Identitas Kesukuan. Terakhir, Membahas Kehidupan Dan Pengalaman Imru Al-Qais, Dianggap Sebagai Bapak Puisi Arab, Menekankan Kecemerlangan Puitisnya, Dari Garis Keturunan Hingga Kematian Karena Keracunan.

Sedangkan Dalam Penelusuran Topik Artikel Berbahasa Arab Topik Ini Dibahas Membahas Secara Menyeluruh Kehidupan Penyair Terkenal Arab, Imru' Al-Qais Pada Masa Pra-Islam. Artikel Juga Mencakup Dua Tahap Hidupnya Masa Mudanya Yang Sembrono Dan Penuh Kesenangan, Serta Masa Pencarian Jabatan Raja Setelah Kematiannya Ayahnya. Puisinya Mencakup Aspek Kehidupan Badui, Tradisi Budaya, Dan Transformasi Kemanusiaannya Dengan Kejelasan Dan Metafora Kaya. Selain Itu, Artikel Juga Menyoroti Berbagai Aspek Lainnya, Seperti Pengembaraan Terus-Menerus, Hubungan Dengan Wanita, Konsumsi Alkohol, Serta Pengaruh Dan Kehalusan Kata-Katanya.Dalam Konteks Sejarah, Imru' Al-Qais Sejaman Dengan Nabi Muhammad, Dan Artikel Menjelaskan Keterkaitannya Dengan Berhala Dan Agama.Akhir Tragis Hidup Imru' Al-Qais, Yang Meninggal Akibat Penyakit Cacar Di Ankara, Dan Tempat Pemakamannya Juga Di Ankara.

Pembahasan “Penyair Hebat Masa Pra Islam Umru, Ul-Qais” Menurut Abdurrahman Al-Musthowi Dalam Kitab Nya “Diwan Umru, Ul-Qais”, Ia Berpendapat Imru' Al-Qais Adalah Penyair Ghazal  Arab Pra-Islam, Yang Mencatat Perjalanan Hidup Yang Mencengangkan. Latar Belakangnya Sebagai Pangeran Dari Najd, Arab Saudi, Membentuk Fase Hidupnya Yang Penuh Kesenangan, Dendam, Dan Perpindahan Antarkabilah. Karya-Karyanya, Terutama Ghazal, Menandai Pembukaan Genre Tersebut, Dengan Fokus Pada Deskripsi Mendalam Tentang Alam Dan Cinta.

Meskipun Diakui Sebagai Pemimpin Sastra, Imru' Al-Qais Juga Kontroversial. Syairnya Mencakup Elemen Deskripsi Cabul Dan Pengambilan Pakaian Wanita, Menciptakan Ketidaksetujuan Di Kalangan Peneliti.Sebagai Sosok Yang Membuka Pintu Ghazal Dan Mencerminkan Kehidupan Serta Kontroversinya, Imru' Al-Qais Tetap Menjadi Tokoh Sastra Yang Menggugah Minat Dan Kontroversi Sampai Sekarang.

Contoh Puisi Umru, Ul-Qais :

أيقتلني والمشرفي مُضَاجِعِي وَمَسْئُونَةً زُزْقٌ كَأَنيابٍ أَغْوَالِ

مِكَرٌ، مِفَرُ، مُقْبِلِ ، مُدْبِرٍ معاً كَجُلْمُودِ صَخْرٍ حَطَّهُ السَّيْلُ مِنْ عَلِ

Artinya : “Akankah Dia Membunuhku Sementara Lelaki Terhormat Itu Berbaring Bersamaku Dan Kutukanku Menggeram Seperti Taring Binatang Buas”.

“Licik, Melarikan Diri, Mendekat, Merancang, Semuanya Seperti Bongkahan Batu  Yang Terbawa Arus Deras Dari Atas”.

 *** * ***


 

 

 

 


 



Leave a Comment