| 0 Comments | 109 Views

Card Image

Kover buku

Jurnal Thesis Eleven edisi khusus Peter Beilharz: The Life of the Mind, Friendship, and Cultural Traffic in Postmodern Times (Volume 179, Nomor 1, December 2023) langsung membetot perhatian saya, dan sekaligus mengintrik pandangan saya tentang suatu lanskap yang cukup samar di kepala (sebagai pembaca teori sosiologi dan karya-karya intelektual seputar ini), yaitu hal ihwal dunia intelektual Tiongkok dan relasinya dengan Indonesia. Hal paling pokok, seperti minat saya, adalah proyeksi penelusuran di bidang ilmu sosial atau khususnya sosiologi.

Saya mengenal nama Peter Beilharz sudah cukup lama, setidaknya di akhir-akhir masa kuliah S1 dan berlanjut ketika bacaan terus berkembang serius di bangku S2, terutama ketika saya menelusuri karya-karya dan sepak terjang Zygmunt Bauman (1925-2017). Pada dirinya, identitas sebagai intelektual kiri sudah terpaku, lebih-lebih ketika kita melihat jurnal Thesis Eleven ini dengan cakupan sebagai critical theory and historical sociology. Tertulis founding editor, yang sebenarnya juga menjadi salah satu pendiri jurnal tersebut, sudah patut menghadiahkannya edisi spesial karena kiprah intelektualnya di ranah ilmu sosial kritis—khususnya sosiologi—sudah tak terbantahkan.

Edisi khusus untuk 70 tahun usianya ini menandakan, meminjam penjelasan Thesis Eleven sendiri, “kontribusi signifikan terhadap teori kritis, sosiologi sejarah, dan teori budaya baik sebagai profesor sosiologi maupun peneliti dan ahli teori yang produktif. Di banyak karya utamanya, Peter membidani hubungan yang mendalam, sembari menghasilkan, menafsirkan, dan menelorkan kajian lintas budaya yang signifikan.” Bagi editor mereka, kontribusi yang dikumpulkan dalam edisi khusus ini memperhitungkan kualitas dan pencapaian luar biasa dengan kategori: Peter sang Intelektual (Peter the Intellectual), Peter sang Pendidik/Mentor (Peter the Educator/Mentor), dan Peter sang Sahabat/Mitra Pemikiran (Peter the Friend/Thought Partner) (Thesis Eleven, 2023).

Di luar itu semua, Peter Beilharz saat ini sedang bekerja di Sichuan University (SCU), sebuah universitas negeri di Chengdu, Sichuan, Tiongkok. Berangkat dari petunjuk kecil yang seolah tidak penting ini, rasa penasaran saya terhadap Chinese Sociology muncul secara sporadik, dan lebih-lebih sebagai kesukaan saja, selain itu juga karena saya mengampu mata kuliah Teori Sosiologi Kontemporer yang secara rutin memperhatikan perkembangan teori-teori sosiologi, utamanya dari selatan (southern theories). Pergumulan pendek tersebut melahirkan karya awal berjudul Masjid Berarsitektur Tionghoa di Indonesia: Teropong Sosiologi Arsitektur (Sujibto, 2024) dalam buku Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika Akulturasi Budaya Dua Bangsa (Sugandi and Sujibto, 2024).

Karena sejarah panjang hubungan kedua negara, Tiongkok-Indonesia yang sudah berusia 75 Tahun, esai ini setidaknya coba menyasar hubungan dan keterkaitan (pengaruh-mempengaruhi) jejak-jejak intelektual Tiongkok di Indonesia dengan desain: pertama, menelisik pengaruh intelektual Tiongkok terhadap founding fathers republik Indonesia; kedua, membongkar posisi intelektualisme sebagai bahan memperkokoh perspektif yang ingin saya kembangkan dalam tulisan ini; dan ketiga secara khusus menyoal proyeksi di bidang sosiologi.

 

Pada Founding Fathers

Melacak pengaruh intelektual Tiongkok terhadap para founding fathers Republik Indonesia sangat menarik, terutama pada aspek semangat dan diskursus di balik pembangunan bangsa dan negara. Jamak diketahui bahwa founding fathers kita seperti Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir, Ki Hajar Dewantara dan yang lain, sangat bersemangat menyerap ide-ide, belajar kepada, dan mengadopsi pemikiran dari para tokoh dunia. Selain itu, hal-hal mendasar terkait hubungan intelektual Tiongkok-Indonesia juga bisa dilacak dengan cukup mudah dari jejak-jejak pemikiran para founding fathers kita yang terekam dalam karya-karya mereka.

 Melalui bukti-bukti sejarah, utamanya dalam bentuk kebijakan dan dokumen-dokumen lainnya, kita tidak sekali dua kali mendengar Soekarno merujuk dan menyebut tokoh-tokoh seperti Sun Yat-sen (1866-1925), Mao Tse Tung, atau dikenal dengan sebutan Mao Zedong (1893-1976), dan Deng Xiaoping (1904-1997) yang bisa dipostulatkan sebagai bagian dari interaksi intelektual antara Tiongkok dan Indonesia. Kesadaran menyuplik dan merujuk suatu gagasan pada hakikatnya adalah kerja intelektual berupa elaborasi dan penjelajahan bacaan dan pergumulan pemahaman dengan dunia luar (baca: pemikiran tokoh Tiongkok). Cara-cara sederhana ini, jika hendak dibaca secara lebih hati-hati, dapat memberikan dampak signifikan terhadap pemikiran dan kebijakan dunia intelektual Indonesia.

Selain terkenal sebagai ideolog, tokoh penggerak dan teknokrat, mereka bertiga juga menegaskan dirinya menjadi bagian dari dunia intelektual Tiongkok dengan karya-karya berupa buku dan esai yang bisa diserap dan dipelajari oleh bangsa lain hingga hari ini. Sun Yat-sen menulis buku-buku terkenal dan sangat berpengaruh dalam konteks pembangunan negara-bangsa, seperti Plan for National Reconstruction (1917), The Principle of Democracy (1924), The Three Principles of the People (1925), dan yang lainnya. Mao juga menulis buku di antaranya seperti On Guerrilla Warfare (1937), Four Essays on Philosophy (1966), On Revolution and War (1969), dan sebagainya. Sementara Deng Xiaoping lebih leluasa mengamati perkembangan Tiongkok dengan visi yang berdasar pada karakter bangsa yang makin tajam, seperti dalam buku Building Socialism with Chinese Characteristics (1985), Fundamental Issues in Present-day China (1987), Selected Works of Deng Xiaoping (1984), On Reform (2013) dan lain-lain.

Sebagai tokoh reformis yang sukses membangun Tiongkok menjadi negara yang disegani, nama Deng Xiaoping termasuk yang paling akrab bagi para teknokrat Indonesia. Apalagi suksesor Mao ini dikenal sosok yang terampil, mempunyai kekuatan imbang dalam memainkan peran di kancah internasional antara kekuatan Barat (diwakili Amerika) dan Timur (dengan raksasa Soviet). Pada aspek teknis dan intelektual, Xiaoping bisa ditempatkan sebagai gabungan Soekarno dan Hatta: mampu mengelola peran di kancah internasional seperti Soekarno dan beres dalam menata urusan internal negara seperti Hatta. Xiaoping menjadi the statesman, the economist dan the social reformer sekaligus (Whyte, 1993; Yahuda, 1993; Vogel, 2011) dan dinilai menjadi sosok yang berhasil mengubah citra Tiongkok secara positif, baik dalam negeri maupun di mata dunia, dengan transformasi komprehensif yang dilakukannya (Naughton, 1993; Fertasari, Musadad and Isawati, 2022).

Ada kalimat terkenal dari Deng yang kerap dirujuk, ketika menyoal spirit pembangunan bangsa yang berbasis pada integritas, etos dan nilai lokal (Hidayat, 2010). Kalimat tersebut: I don't care if it's a white cat or a black cat. It's a good cat as long as it catches mice.  Dalam catatan Airlambang, ciri khas dari ‘kucing’ Deng ialah menggali potensi yang ada di dalam negeri dengan keberanian menerapkan sistem ekonomi dunia dan bergelut dalam ekonomi dunia itu secara percaya diri. Secara singkat, rumusan Deng sesungguhnya ialah: mandiri, kemandirian. Ini garis dasar yang bukan kebetulan menjadi intisari dari ajaran Bung Karno: berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Sejak tahun 1920-an Bung Karno telah menggali nilai-nilai, potensi sumber daya dan modal sosial bangsa Indonesia, yang ia sebut sebagai marhaenisme. Sebelum Deng menemukan ‘kucing’-nya. Tahun 1963 Bung Karno mengelaborasi kucing marhaennya sebagai “Tri Sakti”, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Ketiganya, kata Bung Karno, adalah pijakan Indonesia untuk tinggal landas setelah meniti jembatan emasnya: kemerdekaan (Airlambang, 2013a, 2013b).

Selain tentang pembangunan yang mencakup sektor pertanian, industri, pertahanan, dan ilmu pengetahuan serta teknologi, Deng juga memperkenalkan konsep "sosialisme dengan karakteristik Tiongkok," yang menggabungkan prinsip-prinsip sosialis dengan mekanisme pasar bebas (Chen, 2010). Pendekatan ini menginspirasi para pemimpin dan intelektual Indonesia dalam mempertimbangkan kebijakan ekonomi yang fleksibel dan adaptif, guna mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar bangsa (Istiqomah, Susanto and Pratama, 2021). Tokoh-tokoh pendiri bangsa ini dengan sadar mempertimbangkan aspek-aspek yang komprehensif dalam menyiapkan fondasi negara dan menjalankannya dengan komitmen. Negara-negara besar seperti Tiongkok, Amerika, Soviet, dan kekuatan Islam ditempatkan sebagai diskursus dan dialog demi mencarikan ramuan dan formula sistem yang sesuai. Produk dan karya intelektual berupa Pancasila dan UUD 1945 harus dilihat sebagai hasil dari pergumulan panjang dengan keterlibatan ide-ide dan pokok pemikiran dari para pendiri, ideolog dan sosok berpengaruh dari bangsa lain, termasuk mereka dari Tiongkok.

Selain Xiaoping, Sun Yat-sen adalah intelektual dan negarawan yang lebih dulu mengembangkan gagasan dan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Konsep San Min Chu I (yang berisi nasionalisme, demokrasi, kesejahteraan sosial/rakyat) dari Sun Yat-sen berpengaruh terhadap konsep nasionalisme Indonesia. Pengaruh intelektual Tiongkok terhadap Soekarno terlihat jelas dari pemikiran Sun Yat-sen. Soekarno, sebagai salah satu founding fathers Indonesia, dikenal sebagai sosok yang banyak menyerap pemikiran dari berbagai tokoh dunia, termasuk dari Tiongkok. Salah satu tokoh yang memberikan pengaruh signifikan terhadap pemikiran Soekarno adalah Sun Yat-sen, bapak pendiri Republik Tiongkok. Melalui konsep San Min Chu I, Sun Yat-sen menebarkan inspirasi bagi Soekarno dalam merumuskan dasar-dasar negara Indonesia. Soekarno melihat relevansi antara perjuangan Sun Yat-sen melawan imperialisme di Tiongkok dengan perjuangan Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Konsep nasionalisme Sun Yat-sen, yang menekankan persatuan dan kemandirian bangsa, menjadi salah satu pilar penting dalam pemikiran Soekarno tentang nation-building.

Pengaruh Sun Yat-sen terhadap Soekarno juga terlihat dalam konsep demokrasi yang diusung oleh kedua tokoh ini. Soekarno mengadaptasi prinsip demokrasi Sun Yat-sen yang menekankan kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang berpihak pada kepentingan umum. Meskipun Soekarno kemudian mengembangkan konsep Demokrasi Terpimpin yang berbeda dengan sistem demokrasi liberal, nilai-nilai dasar tentang partisipasi rakyat dan keadilan sosial tetap menjadi inti dari pemikirannya. Hal ini menunjukkan bagaimana Soekarno tidak hanya meniru, tetapi juga mengkontekstualisasikan pemikiran Sun Yat-sen sesuai dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Bagi saya, Soekarno seperti menerjemahkan ide Sun Yat-sen dalam esai The Principle of Democracy (1924) dalam Demokrasi Terpimpin, terutama tentang kekuasaan atas pemerintahan, yaitu kekuasaan besar sepenuhnya berada di tangan rakyat, yang akan memiliki kedaulatan penuh dan akan mampu mengendalikan langsung urusan negara. Karena kekuasaan politik ini adalah kedaulatan rakyat itu sendiri. Namun di sisi lain, kekuasaan juga berada di ruang pemerintahan, yaitu kekuasaan yang di tangan lembaga-lembaga pemerintah, yang berkuasa dan mengelola semua urusan negara. Jika rakyat memiliki kedaulatan politik sepenuhnya dan metode pelaksanaan pengendalian rakyat atas pemerintahan dipikirkan dengan matang, kita tidak perlu takut bahwa pemerintahan akan menjadi terlalu kuat dan tidak terkendali (Yatsen, 2000).

Sosok lain yang patut disebutkan di sini adalah Mao yang secara khusus mempunyai pengalaman interaksi langsung dengan Soekarno. Ada sebuah peristiwa menarik yang ditulis oleh Utomo (2017) terkait dengan hubungan antara Soekarno dengan Tiongkok. Berdasarkan undangan Mao dan Pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Soekarno tiba di Beijing pada 30 September 1956. Segera setelah mendarat, Soekarno merasakan bahwa penerimaan dari semua kunjungan kenegaraan lain yang sudah dilakukannya tidak ada artinya, oleh karena skala penerimaan RRT sangat luar biasa. Lebih dari 300.000 orang Tiongkok berjajar di sepanjang jalan dari bandara ke tengah kota untuk menyambut Soekarno. Dalam pidato penyambutannya, Mao memberi selamat kepada Soekarno atas kepemimpinannya yang luar biasa dalam perjuangan melawan kolonialisme, dan mengingatkan Soekarno bahwa kedua negara memiliki aspirasi yang sama. “Apa cita-cita bangsa Indonesia?” Mao mengajukan pertanyaan, “cita-cita tersebut adalah cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan dunia baru. Cita-cita ini sama persis dengan cita-cita bangsa Tiongkok.” Mengikuti Mao, Soekarno menyatakan, “Bangsa Tiongkok dan bangsa Indonesia memiliki banyak kesamaan. Cita-cita Anda adalah membangun dunia baru yang bebas dari eksploitasi, penderitaan, dan penindasan— dunia dengan kehidupan rakyat yang bebas dan bahagia. Seperti itu pulalah cita-cita kami.” Dalam atmosfer yang ramah ini, Soekarno berkeliling Tiongkok selama 17 hari dan mengunjungi sejumlah kota, yakni Beijing, Shenyang, Anshan, Changchun, Luda, Nanjing, Shanghai, Hangzhou, Wuhan, Guangzhou (Kanton), dan Kunming (Utomo, 2017).

Dalam konteks pembangunan negara dan bangsa, hal mendasar yang menjadi pelajaran penting bagi para founding fathers kita adalah dinamika dan pasang surut yang dialami Tiongkok sendiri. Mao yang memegang tampuk kekuasaan setelah menyingkirkan pemimpin nasionalis Kuomintang pada 1 Oktober 1949 langsung menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan sosialisme-komunisme. Tiongkok bisa dikatakan merupakan negara yang benar-benar menerapkan ekonomi proletar di periode awal Mao berkuasa (Chu-yuan, 1971). Di Indonesia, Soekarno-Hatta sendiri menerapkan kebijakan ekonomi kerakyatan dengan penekanan pada spirit sosialisme-demokratik. Dua praktik dan jalur berbeda, tetapi tetap mempunyai irisan-irisan yang bisa dilacak.

Selain itu, jejak sejarah yang tidak boleh dilupakan adalah pengalaman Bapak Republik Indonesia, Tan Malaka, ketika bertemu dengan Sun Yat-sen untuk menjalankan tugas khusus dari Komintern ke Kanton (Tohis, 2023). Tan Malaka sangat akrab dengan pemikiran revolusioner dari Tiongkok, terutama dalam konteks perjuangan anti-kolonial. Dari sejumah peta perjalanan Tan Malaka, mulai dari Bangkok, Manila, Amoy, Shanghai, Hongkong, Singapura, Rangon, hingga Penang, yang berkesan adalah ketika berkenalan dengan tokoh revolusioner Asia, salah satunya Sun Yat-sen. Dalam tulisan Utama (2017), Tan Malaka disebutkan mulai kagum dengan sosok Sun Yat Sen, seperti yang ditulisnya dalam Dari Penjara ke Penjara bagian I, “Berjumpa dengan revolusioner besar di Rusia adalah hal biasa, tetapi berjumpa revolusioner besar di Asia adalah sesuatu yang istimewa, karena revolusioner sejati yang jaya di kawasan ini jumlahnya sangat kurang”. Meski Sun Yat Sen adalah seorang nasionalis bukan marxis dan cara berpikirnya logis bukan dialektis, Tan Malaka mengakui kekuatan Dr. Sun terletak pada demokrasi dan sosialisme. Ia orang yang ulet, jujur, dan dekat dengan Murba (rakyat jelata), ujar Tan Malaka dalam autobiografinya (Utama, 2017).

 

Fondasi Intelektualisme

Deskripsi tentang jejak historis tersebut dapat diposisikan dan dibaca dalam konteks formulasi intelektualisme yang lahir sebagai semangat anti-kolonial pada zamannya. Di sini, saya tertarik menengok kembali cara pandang Francis Fukuyama ketika membaca kemunculan intelektualisme di Tiongkok dalam The Origins of Political Order (2011). Saya meminjam Fukuyama untuk memberikan konteks pada aspek bagaimana intelektualisme lahir, berkembang dan sekaligus bertarung di tengah carut-marut dan pergolakan sebuah bangsa.

Sejarah gerakan intelektualisme Tiongkok bangkit, seturut Fukuyama, sangat terkait erat dengan gejolak, pemberontakan dan peperangan. Situasi demikian membutuhkan jalan keluar yang harus diwujudkan demi masa depan sebuah bangsa. Dalam kondisi demikian pula Sun Yat-sen, Mao, maupun Deng, lahir dan memberikan solusi yang dibutuhkan Tiongkok. Proposisi ini bisa kita bawa ke dalam konteks lahirnya founding fathers Republik Indonesia dengan kebesaran dan kecemerlangan pemikirannya. Nama-mana seperti Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya lahir sebagai anak-anak revolusi yang dibutuhkan oleh zaman, oleh bangsa dan negara.

Dengan tegas, Fukuyama memastikan bahwa masa-masa kekacauan dan pergolakan, sebuah periode perang, memicu munculnya refleksi-refleksi kritis-filosofis mengenai moral dan politik di kalangan warga Tiongkok sehingga mendorong lahirnya para pemikir, filsuf, penulis dan penyair. Pada masa itu, kelompok filsuf, intelektual dan kaum terdidik menempati kasta tertinggi, lebih tinggi dari prajurit militer dan pendeta, imam atau agamawan (Fukuyama, 2011). Di masa itu, kata Nio Joe Lan dalam Tiongkok Sepandjang Abad, masyarakat Tiongkok terbagi ke dalam empat “kasta” atau kelompok sosial berdasarkan profesi dan pekerjaannya: (1) golongan terpelajar atau intelektual (Shih), (2) golongan petani (Nung), (3) golongan pengrajin/tukang (Kung), dan (4) golongan saudagar (Shang).

 Hal itu menunjukkan bahwa pada periode Dinasti Zhou Barat terjadi pergeseran budaya di kalangan masyarakat Tiongkok di mana kepandaian atau kecakapan otak mulai lebih dihargai tinggi daripada kepandaian mengumpulkan materi atau uang (Lan, 1952). Di tengah situasi yang kelam dan kacau-balau akibat peperangan antarkelompok dan negara bagian, masyarakat Tiongkok di masa itu lebih membutuhkan pencerahan pemikiran dan kejernihan hati untuk menghadapi dan mengatasi kemelut politik yang mengungkungnya. Ini sebentuk kesadaran mendasar, dan sekaligus eksistensial, yang muncul dari proyeksi panjang demi masa depan dengan cara memberikan ruang dan apresiasi tinggi kepada para ilmuwan.

Menggeliatnya gerakan intelektual dan pemikiran di masa-masa kacau, penuh gejolak dan instabilitas politik ini, tulis Fukuyama, paling tidak memiliki dua signifikansi politik: pertama, refleksi pemikiran dan filsafat yang dilakukan para filsuf, cendekiawan dan kaum terpelajar telah mengkristal menjadi semacam ideologi, yakni serangkaian ide atau pemikiran tentang sistem pemerintahan dan politik yang ideal sehingga dengan ide-ide dan gagasan-gagasan tersebut, masyarakat Tiongkok memiliki pegangan dan panduan moral untuk menilai dan mengkritisi perilaku dan kebijakan politik para pemimpin politik dan pemerintahan, di masanya dan di masa depan. Singkatnya, ide-ide dan pemikiran-pemikiran para filsuf dan kaum intelektual yang berkaitan moral dan politik mencerminkan apa yang seharusnya secara normatif (das sollen) sebagai dasar atau pijakan untuk menilai, mengkritik dan bahkan menggugat apa yang secara konkret terjadi (das sein). 

Signifikansi politik kedua dari munculnya ide-ide dan pemikiran-pemikiran para filsuf dan kaum cendekiawan adalah terjadinya mobilitas intelektual di seluruh Tiongkok yang mendorong pertumbuhan budaya nasional. Karya-karya sastra Tiongkok kuno yang diciptakan pada periode ini menjadi dasar pendidikan kaum elit dan menjadi basis kebudayaan Tiongkok pada masa-masa berikutnya (Fukuyama, 2011). Artinya, pergulatan intelektualisme dan produksi-produksi pengetahuan yang lahir dari kultur ilmu di masa lalu mereka berperan besar terhadap pembangunan Tiongkok di masa depan.

Semangat dan formulasi intelektualisme di sini bisa dilihat sebagai “panjang tangan” dari situasi dan kondisi sosial Masyarakat—menjadi gerakan bersama rakyat yang membutuhkannya. Tugas intelektual dalam konteks ini sangat kentara bernuansa perjuangan kelas, yaitu bergerak langsung dan “turun ke jalan” bersama masyarakat demi perubahan (Hsu, 1931). Jika ditarik ke Karl Marx, kaum intelektual seperti ini diartikan sebagai anggota kelas atas teralienasi yang dapat melampaui batas pengalaman kelasnya hanya pada saat revolusi mendekat (Sadri, 1992). Meski tidak semuanya harus berakhir revolusi, gerakan dan mobilisasi rakyat yang masif melawan segala bentuk penindasan juga menjadi jalan bagi dunia intelektual untuk membuktikan keberpihakan dan partisipasinya secara praktis. Istilah intelektualisme di sini berbeda dengan definisi para filsuf etika dan aliran idealisme, atau bahkan melampaui apa yang disebut sosiolog Bourdieu sebagai intellectual field yang masih bertendensi pada ruang otonom dalam aspek hukum dan sistem yang sepenuhnya dikelola secara mandiri (Bourdieu, 1969) dan membuat dunia intelektual, satu sisi, sangat mungkin tetap berkutat pada “menara gading” dan, di sisi lain, merestriksi dirinya dengan semboyan independensi, atau bahkan menuju ketidakberpihakan! Cara pandang (tentang dan terhadap dunia) intelektual seperti itu sangat naif di tengah situasi masyarakat yang membutuhkan dukungan dan kekuatan untuk berubah menuju kehidupan merdeka dan berkeadilan.

Lebih lanjut, dalam konteks pergerakan, dan terutama terkait dengan perlawanan langsung terhadap dominasi—baik di bawah kolonialisme maupun dominasi lokal seperti terjerat dalam sistem feudalisme dan tirani—komposisi dan formasi dunia intelektual semestinya semakin meruncing menjadi organik, meminjam istilah Gramsci, yaitu menubuh dan terinternalisasi ke dalam spirit gerakan bersama rakyat, karena intelektual mempunyai fungsi langsung di tengah masyarakat (Said, 1996). Potret intelektual begini dibahas oleh Noam Chomsky dalam esai tinjauan buku Anarchism: From Theory to Practice karya Daniel Guerin, khususnya ketika membicarakan Zaragoza Congress (1872). Bagi Chomsky, ketika syarat-syarat seperti semua orang dijamin akses terhadap ilmu pengetahuan, seni, dan penelitian dalam bentuk apa pun, dengan tetap memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan produksi sumber daya material, masyarakat tidak lagi dibagi menjadi pekerja manual dan kaum intelektual: semuanya harus menjadi salah satu dari keduanya secara bersamaan. Praktik kegiatan paralel semacam itu memastikan keseimbangan yang sehat pada sifat alamiah manusia (Chomsky, 2003).

Sampai di sini, makna intelektualisme harus dibawa melampaui soal produksi pengetahuan dan etika, tetapi bagaimana ia mampu mengejawantahkannya ke ranah praksis, memberdayakan dan sekaligus menggerakkan demi cita-cita luhur kemanusiaan yang berkeadilan. Jaringan intelektual dengan formasi seperti ini dapat memperkuat aspek-aspek pembangunan masyarakat menjadi lebih maju, kuat, berdaya dan merdeka. Contoh-contoh pertautan intelektualisme dan dunia pergerakan seperti ini bisa ditelaah pada nama-nama ideolog-penggerak dan sekaligus intelektual dari kedua negara yang saya jabarkan sebelumnya. Pada diri mereka tertanam semangat melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang diproduksi oleh kolonialisme, termasuk intellectual imperialism. Untuk lepas dari cengkraman terakhir ini, Alatas menawarkan ilmu sosial mandiri yang dapat dikembangkan (Alatas, 2000, 2002).

 

Proyeksi Sosiologi Tiongkok di Indonesia

Dengan dihantar oleh Peter Beilharz, pada bagian ini saya berfokus pada perkembangan sosiologi Tiongkok modern, dalam rentang abad 20 hingga kontemporer. Ini sekaligus untuk merayakan 75 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok yang sudah mendekati satu abad. Meskipun hubungan panjang sudah terjadi antara kedua bangsa, pembahasan secara spesifik pada ranah sosiologi masih tergolong awalan (masih semacam preliminary) dan membutuhkan elaborasi lebih jauh. Secara logis, hubungan intelektual, dalam hal ini ilmu-ilmu sosial, antara Tiongkok dan Indonesia dapat ditelusuri kembali ke masa lalu. Tetapi, saya membatasinya pada abad ke-20, ketika banyak intelektual Indonesia yang terinspirasi oleh revolusi komunis Tiongkok pada tahun 1949, sementara Tiongkk juga melihat Indonesia sebagai mitra penting dalam gerakan non-blok selama Perang Dingin.

Berbekal beberapa bacaan awal seperti A Sociology of Modern China (Rocca, 2015), The Origins and Continuity of Chinese Sociology (Jing, 2022), The Sociology of Chinese Capitalism in Southeast Asia (Santasombat, 2019)terutama Post-Western Sociology: From China to Europe (Roulleau-Berger and Li, 2018) dan European and Chinese Sociologies: A New Dialogue (Roulleau-Berger and Peilin, 2012)—juga artikel-artikel di jurnal yang konsen dengan isu Tiongkok seperti The China Quarterly dan Chinese Journal of Sociology, saya membaca Chinese Sociology dengan dua pendekatan. Pertama, menelusuri isu dan topik yang menjadi kajian mereka dalam beberapa kategori: politik dan kekuasaan, sosial-budaya, kelas dan stratifikasi sosial, sosial ekonomi, dan masyarakat dan teknologi; kedua, mempelajari dan mencermati sepak terjang dan profil sosiolognya itu sendiri. Berbekal pada dua cara tersebut, saya menemukan beberapa aspek menarik yang bisa dibaca dan dirayakan sebagai “mencari metode alternatif” terhadap dominasi ilmu sosial Barat dewasa ini. Perkembangan sosiologi di Tiongkok berkelindan dengan struktur sosialnya—menubuh dalam kondisi politik dan ekonomi masyarakat Tiongkok saat itu (Hanlin et al., 1987).

Secara khusus, dalam esai ini saya mengkategorisasikan berdasarkan pada isu/topik—lebih ke aspek tematik untuk bisa melihat kemungkinan adanya proyeksi bagi sosiologi Indonesia. Pendekatan tematik ini juga memudahkan saya dalam mendialogkan dengan problem-problem lokal dan nasional di Indonesia. Cara ini pula bertujuan untuk memperkaya diskursus pada konteks faktual yang menjadi topik riset dan perdebatan di ranah akademik maupun praktis, terutama dalam dan oleh para sosiolog Tiongkok. Selain itu, fokus pada aspek-aspek tematik memudahkan saya dalam melacak kajian-kajian terbaru yang bisa diarsir secara lebih luwes dan dipertemukan dengan isu-isu yang relevan di Indonesia.

Dalam konteks politik dan kekuasaan, pembangunan negara Tiongkok menjadi modern, dan termasuk revolusi kebudayaan di dalamnya, menjadi topik menarik yang patut dipelajari secara mendalam. Fondasi dan formasi masyarakat di bawah struktur pemerintahan di masa-masa awal Tiongkok modern menjadi topik penting dalam konteks politik dan kekuasaan. Pertarungan ideologi terus terjadi secara sengit, misalkan bisa dibaca dalam buku The Decline of Communism in China: Legitimacy Crisis, 1977-1989 (Ding, 1994). Selain itu, ideologi sosialisme dan kapitalisme dengan menekankan pada karakteristik Tiongkok juga menjadi variasi lain dari topik politik. Hu Angang secara tekun membongkar bagaimana kepemimpinan kolektif mempengaruhi pembangunan sosialis di Tiongkok, terutama dalam buku China's Collective Presidency (Hu, 2014).

Topik tentang politik dan kekuasaan, meski tidak sepenuhnya sama dengan pengalaman para sosiolog Tiongkok, juga menjadi lapangan riset yang sangat atraktif di Indonesia. Sosok paling menonjol adalah Vedi Hadiz, terutama pada karya-karyanya tentang kekuasaan dan politik oligarki: Reorganizing political power in Indonesia: A reconsideration of so-called 'democratic transitions' (Hadiz, 2003), Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Robison and Hadiz, 2004), The Localization of Power in Southeast Asia (Hadiz, 2007), Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Hadiz, 2010), dan The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia (Hadiz and Robison, 2013). Selain itu, riset di bidang yang sama dan lebih awal bisa dilacak dalam Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Muhaimin, 1991) dan juga Sosiologi Politik: Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik (Maliki, 2010).

Transformasi dari rural ke urban dengan dorongan modernisasi dan urbanisasi menjadi topik yang menginisiasi sosiologi Tiongkok modern. Nama Hsiao-Tung Fei  (1910-2005), yang disebut bapak sosiolog modern Tiongkok, menjadi rujukan utama yang mengangkat topik ini dalam Peasant Life in China (Fei, 1939). Hsiao-Tung Fei meneliti struktur sosial pedesaan dan dampak modernisasi dengan mengeksplorasi kehidupan masyarakat desa dan perubahan yang mereka alami akibat modernisasi. Sebagai fondasi awal membahas struktur masyarakat, para sosiolog dan antropolog seperti Koentjaraningrat, Soerjono Soekanto, dan Nasikun mempunyai perhatian khusus terhadap tema ini. Topik ini terus berkembang dengan terfragmentasi dan terspesifikasi pada isu-isu urban dan segala problem kehidupan urban. Baik di Tiongkok maupun Indonesia, proyeksi untuk mengembangkan riset di ranah ini akan terus terbuka dengan beragam kemajuan teknologi yang merambah kehidupan sosial urban, seperti dilanjutkan oleh Peilin Li (1955-sekarang).

Seturut dengan tema di atas, persoalan tentang stratifikasi sosial dan kelas baru juga terus berkembang menjadi topik penting di tengah transformasi sosial politik Tiongkok yang semakin masif, dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi mendunia. Sosiolog Lu Xueyi menyelami perubahan struktur kelas di Tiongkok. Karyanya berjudul Social Structure and Social Stratification in Contemporary China (Xueyi, 2020b), Social Construction and Social Development in Contemporary China (Xueyi, 2020a), dan Social Mobility in Contemporary China (Xueyi, 2005) membongkar secara mendalam tentang struktur sosial, stratifikasi sosial dan mobilitas sosial serta munculnya kelas menengah baru. Topik seperti ini juga sangat masif dalam riset-riset ilmu sosial kita di Indonesia dengan menekankan pada struktur masyarakat urban dengan infiltrasi gerakan keagamaan dan ekonomi.

Tokoh lain yang patut diperhitungkan adalah Sun Liping, seorang sosiolog yang fokus pada studi ketimpangan sosial, konflik kelas, dan transformasi masyarakat Tiongkok di era reformasi ekonomi. Sun Liping dikenal karena analisisnya yang tajam mengenai dampak globalisasi dan modernisasi terhadap struktur sosial Tiongkok. Karya-karyanya sering menjadi rujukan dalam memahami dinamika sosial-ekonomi Tiongkok kontemporer. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada akademisi, tetapi juga meluas ke kebijakan publik, di mana pemikirannya sering dijadikan pertimbangan dalam merumuskan strategi pembangunan sosial. Melalui kontribusi mereka, termasuk Li Yinhe, sosiologi Tiongkok semakin merangkak di peta global sebagai disiplin yang relevan dan transformatif.

Dalam aspek gender, perkembangan sosiologi di Tiongkok juga sangat progresif, misalkan dengan munculnya kajian terhadap gender dan peran perempuan, seperti ditulis oleh Li Yinhe dalam Subculture of Homosexuality (2009). Li mengeksplorasi isu-isu gender, transgender, dan peran perempuan dalam masyarakat Tiongkok modern. Selain itu, topik terkait yang perlu diperhatikan adalah kebijakan satu anak dan dinamika studi tentang keluarga (family studies), misalkan kita bisa membacanya pada tulisan Wang Feng yang menganalisis dampak demografis dan sosial dari kebijakan satu anak.

Proyeksi menarik yang perlu dibaca secara lebih mendalam adalah hal ihwal agama dan kebangkitan spiritualitas di tengah masyarakat Tiongkok. Buku-buku penting yang terkait topik ini adalah karya Yang Fenggang berjudul Religion in China: Survival and Revival under Communist Rule (Yang, 2012), Social Scientific Studies of Religion in China (Yang and Lang, 2015), Atlas of Religion in China (Yang, 2018), dan sebagainya. Fenggang coba mempelajari kebangkitan agama di Tiongkok dengan mengeksplorasi dinamika agama dan spiritualitas dalam konteks modern, juga agama Tiongkok dalam pentas internasional. Topik terakhir tentang agama memungkinkan kita membuka ruang yang lebih luas lagi sebagai ruang interaksi dan mengembangkan riset kedua negara.

Terakhir, para sosiolog Indonesia sendiri yang mempunyai keistimewaan sebagai keturunan Tionghoa juga dapat menjadi jembatan paralelisme dan relasi intelektual antara Tiongkok dan Indonesia dalam ranah disiplin sosiologi. Nama-nama sosiolog seperti Arief Budiman (1941-2020) dan terutama Mely G. Tan (1930-2024) yang kajiannya terkait dinamika warga Tionghoa di Indonesia, dapat menjadi rujukan untuk memotret paralelisme ilmu sosial Tiongkok-Indonesia secara lebih dekat dan akrab. Di samping itu, ada nama-nama lain di ranah sosial dan humaniora seperti Thung Ju Lan, Leo Suryadinata dan ilmuwan sosial lainnya juga membuka jalan ke arah yang sama dengan lebih kaya. Saya menyebutkan nama-nama ilmuwan sosial keturunan Tionghoa di Indonesia semata-mata demi menghidupkan relasi intelektual dari aspek kolegial-aktor sebagai saudara sebangsa dan setanah air. Jika cara ini yang dipakai, mereka yang bergerak dan berkarya di ranah keseniaan dan sastra juga dapat memperkaya dan memperkuat dialog intelektualisme Indonesia-Tiongkok.

 

Penutup

Dari elaborasi sederhana dan terbatas dalam esai ini, saya mengajukan sebuah alternatif pengembangan teoritik dalam disiplin sosiologi dengan menghadirkan “narasi sosiologi Tiongkok” sebagai pengkayaan untuk melengkapi, atau bahkan menandingi, “narasi sosiologi Barat”. Jika mau agak congkak sedikit, kehadiran sosiologi Tiongkok dapat menjadi counter narration dengan formasi “Sosiologi Barat vs Sosiologi Timur”, karena kebesaran sejarah Tiongkok sendiri dapat mewakili semua kebutuhan terjadinya kontra narasi seperti ini. Tawaran “Sosiologi Timur” sepenuhnya adalah percobaan saya untuk memperkuat artikulasi dan narasi tandingan yang sudah terkonstruksi dalam ekonomi dan politik dan sejauh ini cenderung vis-a-vis antara Barat dengan Tiongkok. Meskipun itu relatif agak sulit, melihat tren akademia Tiongkok sendiri juga terjebak pada ukuran dan standar Barat dalam hal publiksi dengan indeks seperti Scopus, WoS dan sebagainya, penawaran narasi “Sosiologi Timur” dapat membuka ruang kemungkinan terciptanya diskursus ilmu-ilmu sosial yang beragam dan otonom. Dan Tiongkok sangat mempunyai perkakas dan kapasitas untuk ke sana.

Meskipun mungkin statemen ini cenderung menjadi klaim, saya tetap melihat ruang dan diskursus yang dinisiasi oleh Tiongkok dalam ranah pengembangan intelektual sangat mungkin terbuka dan menjadi determining factors bagi pengokohan dominasinya terhadap Barat. Tiongkok bisa menjalankan bentuk-bentuk freedom of speech dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dengan cara, pola dan karakteristik mereka sendiri, untuk memastikan bahwa ruang-ruang inovasi dan karya-karya kreatif dari komunitas akademia dan seniman terus tumbuh subur dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan peradaban Timur secara lebih menyeluruh.

Buku Post-Western Sociology: From China to Europe sebenarnya sudah membuka dan menawarkan diskusi yang menarik terkait proyeksi sosiologi Tiongkok di pentas internasional dengan meneropong sosiologi pasca-Barat. Para kontributor dalam buku ini menulis beragam ikhtiar yang dapat dikembangkan dalam upaya memberikan alternatif terhadap dominasi sosiologi Barat, mulai dari (1) Methodological cosmopolitanism dengan menekankan tentang the plurality of modernities and the multiplicity of collective narratives of societies, sebagai (2) A weapon to deconstruct the hegemony of Western discourse dengan menjembatani usaha bersama yang beyond the binary opposition of the West and the non-West dan bukan an antithesis of “Western sociology”, but is intended to develop beyond Western sociology, juga, seperti Li Peilin, menyadari tentang (3) “Problem-oriented” contemporary Chinese sociology sehingga ia membutuhkan peleburan dan penyediaan a powerful knowledge support about the “Chinese experience” and is an important part of “Post-Western Sociology”, memperkaya kekuatan (4) Global South, dan menawarkan (5) Diversity of epistemic autonomies and Chinese sociology, atau juga menghidupkan diskursus sebagai (6) Oriental modernisation atau “Oriental society”, hingga (7) transnationalism methodology.

Akhirnya, dari semua usaha tersebut, sebagai sesama bangsa non-Western, pengkayaan diskusi terkait sosiologi alternatif dengan kesadaran pada otonomi pengetahuan dengan bingkai Global South (untuk mewadahi arah gerakan pasca-kolonial maupun dekolonial) tetap harus terus dirayakan secara akamik: dimunculkan, dikritik, ditolak, atau diterima sebagai sintesis. Pada akhirnya, saya membayangkan sebuah proyek besar pengetahuan di masa depan—ketika oriental sociology dengan basis-basis pengalaman faktual yang lahir dan tumbuh dari negara-negara selatan, disokong melalui metodologi yang ketat dari dalam dunia mereka—dapat lahir sebagai alternatif (pada awalnya) dan lalu berkembang menjadi lokus mainstream yang dapat menjawab dan menyelesaikan problem-problem dari dalam/internal suatu masyarakat.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Airlambang (2013a) Kucing Deng dan Bung Karno [1], kbr.id. Available at: https://kbr.id/opini-anda/kucing-deng-dan-bung-karno-[1] (Accessed: 1 March 2025).

Airlambang (2013b) Kucing Deng dan Bung Karno [2], kbr.id. Available at: https://kbr.id/opini-anda/kucing-deng-dan-bung-karno-[1] (Accessed: 1 March 2025).

Alatas, S. H. (2000) ‘Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems’, Southeast Asian Journal of Social Science, 28(1), pp. 23–45.

Alatas, S. H. (2002) ‘The Development of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospects’, Asian Journal of Social Science, 30(1), pp. 150–157.

Bourdieu, P. (1969) ‘Intellectual field and creative project’, Social Science Information, 8(2), pp. 89–119.

Chen, A. H. Y. (2010) ‘Pathways of western liberal constitutional development in asia: A comparative study of five major nations’, International Journal of Constitutional Law, 8(4), pp. 849–884.

Chomsky, N. (2003) For Reasons of State.  New York City: The New Press.

Chu-yuan, C. (1971) The Economy of Communist China 1949-1969. Michigan: Ann Arbor.

Ding, X. L. (1994) The Decline of Communism in China: Legitimacy Crisis, 1977-1989. Cambridge: Cambridge University Press.

Fei, H.-T. (1939) Peasant Life in China. London: Routledge & Kegan Paul.

Fertasari, S. A., Musadad, A. and Isawati (2022) ‘Dampak Sosial dan Politik Reformasi Ekonomi Era Deng Xiaoping Tahun 1978-1992’, Jurnal Candi, 22(1), pp. 136–154.

Fukuyama, F. (2011) The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French             Revolution, New York: Farrar: Straus and Giroux.

Hadiz, V. R. (2003) ‘Reorganizing political power in Indonesia: A reconsideration of so-called “democratic transitions”’, Pacific Review, 16(4), pp. 591–611.

Hadiz, V. R. (2007) ‘The Localization of Power in Southeast Asia’, Democratization, 14(5), pp. 873–892.

Hadiz, V. R. (2010) Localising power in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford: Stanford University Press.

Hadiz, V. R. and Robison, R. (2013) ‘The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia’, Indonesia, 73(4), pp. 35–57.

Hanlin, L. et al. (1987) ‘Chinese Sociology, 1898-1986’, Social Forces, 65(3), pp. 612–640.

Hidayat, K. (2010) Demokrasi Model China, Kompas. Available at: https://nasional.kompas.com/read/2010/02/13/05120239/index-html (Accessed: 1 March 2025).

Hsu, L. S. (1931) ‘The Sociological Movement in China’, Pacific Affairs, 4(4), pp. 283–307.

Hu, A. (2014) China’s Collective Presidency. London: Springer.

Istiqomah, L., Susanto, H. and Pratama, R. A. (2021) ‘Orientasi Bernegara Republik Indonesia Periode 1959-1965’, Journal of Social Education, 2(2), pp. 65–72.

Jing, T. (2022) The Origins and Continuity of Chinese Sociology. Beijing: Social Sciences Academic Press.

Lan, Nio Joe. (1952). Tiongkok Sepandjang Abad. Djakarta: Balai Pustaka.

Maliki, Z. (2010) Sosiologi Politik: Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muhaimin, Y. A. (1991) Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES.

Naughton, B. (1993) ‘Deng Xiaoping: The Economist’, The China Quarterly, 135(29), pp. 491–514. doi: 10.1017/S0305741000013886.

Robison, R. and Hadiz, V. R. (2004) Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.

Rocca, J.-L. (2015) A Sociology of Modern China. Oxford: Oxford University Press.

Roulleau-Berger, L. and Li, P. (2018) Post-Western Sociology: From China to Europe. London: Routledge.

Roulleau-Berger, L. and Peilin, L. (eds) (2012) European and Chinese Sociologies: A New Dialogue. Leiden: Brill.

Sadri, A. (1992) Max Weber’s Sociology of Intellectuals. Oxford: Oxford University Press.

Said, E. W. (1996) Representations of the Intellectual. London: Vintage Books.

Santasombat, Y. (ed.) (2019) The Sociology of Chinese Capitalism in Southeast Asia. Singapore: Palgrave Macmillan.

Sugandi, B. and Sujibto, B. J. (eds) (2024) Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika Akulturasi Budaya Dua Bangsa. Yogyakarta: Ircisod.

Sujibto, B. J. (2024) ‘Masjid Berarsitektur Tionghoa di Indonesia: Teropong Sosiologi Arsitektur’, in Sugandi, B. and Sujibto, B. J. (eds) Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika Akulturasi Budaya Dua Bangsa. Yogyakarta: Ircisod, pp. 234–247.

Thesis Eleven (2023) Peter Beilharz: The Life of the Mind, Friendship, and Cultural Traffic in Postmodern Times, Thesis Eleven. Available at: https://thesiseleven.com/home/peter-beilharz-the-life-of-the-mind-friendship-and-cultural-traffic-in-postmodern-times/ (Accessed: 1 March 2025).

Tohis, R. A (2023) ‘Biografi dan Karya Intelektual Tan Malaka: Studi Historis-Faktual Tokoh’, Historia Islamica 2(1), pp. 75-98.

Utama, W. S. (2017) Warisan Komunis Tan Malaka, Tirto.id. Available at: https://tirto.id/warisan-komunis-tan-malaka-csS5#:~:text=Meski Sun Yat Sen adalah,terletak pada demokrasi dan sosialisme. (Accessed: 6 March 2025).

Utomo, S. P. (2017) ‘Indonesia, Tiongkok dan Komunisme, 1949-1965’, Indonesian Perspective, 2(1), pp. 65–75. doi: 10.14710/ip.v2i1.15539.

Vogel, E. F. (2011) Deng Xiaoping and the Transformation of China. Cambridge: The Belknap Press.

Whyte, M. K. (1993) ‘Deng Xiaoping: The Social Reformer’, The China Quarterly, (135), pp. 515–535.

Xueyi, L. (2005) Social Mobility in Contemporary China. New York: Quantum Media.

Xueyi, L. (2020a) Social Construction and Social Development in Contemporary China. London: Routledge.

Xueyi, L. (2020b) Social Structure and Social Stratification in Contemporary China. London: Routledge.

Yahuda, M. (1993) ‘Deng Xiaoping: The Statesman’, The China Quarterly, (135), pp. 551–572.

Yang, F. (2012) Religion in China: Survival and Revival under Communist Rule. Oxford: Oxford University Press.

Yang, F. (2018) Atlas of Religion in China. Leiden: Brill.

Yang, F. and Lang, G. (eds) (2015) Social Scientific Studies of Religion in China. Leiden: Brill.

Yat‑sen, S. (2000) ‘The Principle of Democracy’, in Bary, T. De and Lufrano, R. (eds) Sources of Chinese Tradition: From 1600 Through the Twentieth Century. New York: Columbia University Press, pp. 323–324.

 

 

 

Bernando J. Sujibto adalah staf pengajar di Program Studi Sosiologi, Fakulas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM), UIN Sunan Kalijaga. Selain aktivitas mengajar dan meriset di dunia kampus, Cak Bje, sapaan akrabnya, juga aktif mengeditori dan menulis baik buku, artikel ilmiah dan esai untuk media massa. Fokus risetnya di dunia akademik mencakup youth studies, cultural sociology and religiosity, pariwisata, dan, di luar itu, juga minat terhadap Turkish studies. Tulisan-tulisannya terkait studi Turki sudah terbit berupa buku (baik sebagai kurator maupun penulis tunggal) seperti Erdoganisme (2023), Endonezya'da Türkçeden Çeviriler: Tartişma Ve Gelecek Umudu (2022), Kitab Hitam Turki (2021), Turki yang Sekuler (2020), Jalan-Jalan ke Turki (2019), Aku Mendengarmu, Istanbul (2019), Bahasa Turki Dasar (2018), Seribu Warna Turkiye (2018), Harun Yahya Undercover (2018), dan Turki yang Tak Kalian Kenal (2017). Karya buku akademiknya terbaru bersama Mochamad Sodik adalah Agama Faktual: Pertarungan Wacana dan Dinamika Sosiologis Jemaat Ahmadiyah di Indonesia (Cantrik, 2025). Selain itu, Cak Bje juga menerbitkan book chapter berjudul Masjid Berarsitektur Tionghoa di Indonesia: Teropong Sosiologi Arsitektur (2024), Non-Muslim Acceptance of Halal Products in the Context of Business Development (Springer, 2023), Digging into Digital Waves: How Youth Tourism Emerged in Indonesia (dijadwalkan terbit oleh Routledge), Challenges of youth rites of passage in post-COVID-19 Indonesia (dijadwalkan terbit oleh Routledge), dll. Karya-karya terjemahan dari bahasa Turki yang sudah terbit seperti Terapi Rumi untuk Keluarga Bahagia (Penerbit Qaf, Nevzat Tarhan, 2023), Terapi Rumi (Penerbit Qaf [cet ke-2], Nevzat Tarhan, 2020), Raksasa Bermata Biru (Basabasi, Nazim Hikmet, 2018), dan Si Pandir Zubuk (Bentang, Aziz Nesin, dalam proses terbit); menerjemahkan esai Bejan Matur (dari bahasa Turki ke Inggris) untuk buku dalam acara Jakarta International Literary Festival (JILF, 2019) dan dokumen-dokumen untuk Pameran Danarto di İstanbul Biennial ke-17 (2021), dll. Bisa berkorepondensi via email bj.sujibto@uin-suka.ac.id atau media sosial X/Twitter @_bje.

 


Leave a Comment