| 0 Comments | 109 Views
Jurnal Thesis Eleven edisi khusus Peter Beilharz: The Life of the Mind,
Friendship, and Cultural Traffic in Postmodern Times (Volume 179, Nomor 1,
December 2023) langsung membetot perhatian saya, dan sekaligus mengintrik
pandangan saya tentang suatu lanskap yang cukup samar di kepala (sebagai
pembaca teori sosiologi dan karya-karya intelektual seputar ini), yaitu hal
ihwal dunia intelektual Tiongkok dan relasinya dengan Indonesia. Hal paling
pokok, seperti minat saya, adalah proyeksi penelusuran di bidang ilmu sosial
atau khususnya sosiologi.
Saya mengenal
nama Peter Beilharz sudah cukup lama, setidaknya di akhir-akhir masa kuliah S1
dan berlanjut ketika bacaan terus berkembang serius di bangku S2, terutama
ketika saya menelusuri karya-karya dan sepak terjang Zygmunt Bauman
(1925-2017). Pada dirinya, identitas sebagai intelektual kiri sudah terpaku,
lebih-lebih ketika kita melihat jurnal Thesis
Eleven ini dengan cakupan sebagai critical
theory and historical sociology. Tertulis founding editor, yang sebenarnya juga menjadi salah satu pendiri
jurnal tersebut, sudah patut menghadiahkannya edisi spesial karena kiprah
intelektualnya di ranah ilmu sosial kritis—khususnya sosiologi—sudah tak
terbantahkan.
Edisi khusus
untuk 70 tahun usianya ini menandakan, meminjam penjelasan Thesis Eleven sendiri, “kontribusi signifikan terhadap teori
kritis, sosiologi sejarah, dan teori budaya baik sebagai profesor sosiologi
maupun peneliti dan ahli teori yang produktif. Di banyak karya utamanya, Peter
membidani hubungan yang mendalam, sembari menghasilkan, menafsirkan, dan menelorkan
kajian lintas budaya yang signifikan.” Bagi editor mereka, kontribusi yang
dikumpulkan dalam edisi khusus ini memperhitungkan kualitas dan pencapaian luar
biasa dengan kategori: Peter sang Intelektual (Peter the Intellectual), Peter sang Pendidik/Mentor (Peter the Educator/Mentor), dan Peter
sang Sahabat/Mitra Pemikiran (Peter the
Friend/Thought Partner) (Thesis Eleven, 2023).
Di luar itu
semua, Peter Beilharz saat ini sedang bekerja di Sichuan University (SCU),
sebuah universitas negeri di Chengdu, Sichuan, Tiongkok. Berangkat dari
petunjuk kecil yang seolah tidak penting ini, rasa penasaran saya terhadap Chinese Sociology muncul secara
sporadik, dan lebih-lebih sebagai kesukaan saja, selain itu juga karena saya
mengampu mata kuliah Teori Sosiologi Kontemporer yang secara rutin
memperhatikan perkembangan teori-teori sosiologi, utamanya dari selatan (southern theories). Pergumulan pendek
tersebut melahirkan karya awal berjudul Masjid
Berarsitektur Tionghoa di Indonesia: Teropong Sosiologi Arsitektur (Sujibto, 2024) dalam buku Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika
Akulturasi Budaya Dua Bangsa (Sugandi and Sujibto, 2024).
Karena sejarah
panjang hubungan kedua negara, Tiongkok-Indonesia yang sudah berusia 75 Tahun,
esai ini setidaknya coba menyasar hubungan dan keterkaitan
(pengaruh-mempengaruhi) jejak-jejak intelektual Tiongkok di Indonesia dengan
desain: pertama, menelisik pengaruh intelektual Tiongkok terhadap founding fathers republik Indonesia; kedua,
membongkar posisi intelektualisme sebagai bahan memperkokoh perspektif yang
ingin saya kembangkan dalam tulisan ini; dan ketiga secara khusus
menyoal proyeksi di bidang sosiologi.
Pada Founding Fathers
Melacak pengaruh
intelektual Tiongkok terhadap para founding
fathers Republik Indonesia sangat menarik, terutama pada aspek semangat dan
diskursus di balik pembangunan bangsa dan negara. Jamak diketahui bahwa founding fathers kita seperti Soekarno,
Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir, Ki
Hajar Dewantara dan yang lain, sangat bersemangat menyerap ide-ide, belajar
kepada, dan mengadopsi pemikiran dari para tokoh dunia. Selain itu, hal-hal
mendasar terkait hubungan intelektual Tiongkok-Indonesia juga bisa dilacak
dengan cukup mudah dari jejak-jejak pemikiran para founding fathers kita yang terekam dalam karya-karya mereka.
Melalui bukti-bukti sejarah, utamanya dalam bentuk kebijakan dan dokumen-dokumen lainnya, kita tidak sekali dua kali mendengar Soekarno merujuk dan menyebut tokoh-tokoh seperti Sun Yat-sen (1866-1925), Mao Tse Tung, atau dikenal dengan sebutan Mao Zedong (1893-1976), dan Deng Xiaoping (1904-1997) yang bisa dipostulatkan sebagai bagian dari interaksi intelektual antara Tiongkok dan Indonesia. Kesadaran menyuplik dan merujuk suatu gagasan pada hakikatnya adalah kerja intelektual berupa elaborasi dan penjelajahan bacaan dan pergumulan pemahaman dengan dunia luar (baca: pemikiran tokoh Tiongkok). Cara-cara sederhana ini, jika hendak dibaca secara lebih hati-hati, dapat memberikan dampak signifikan terhadap pemikiran dan kebijakan dunia intelektual Indonesia.
Selain terkenal sebagai ideolog, tokoh penggerak dan teknokrat, mereka bertiga juga menegaskan dirinya menjadi bagian dari dunia intelektual Tiongkok dengan karya-karya berupa buku dan esai yang bisa diserap dan dipelajari oleh bangsa lain hingga hari ini. Sun Yat-sen menulis buku-buku terkenal dan sangat berpengaruh dalam konteks pembangunan negara-bangsa, seperti Plan for National Reconstruction (1917), The Principle of Democracy (1924), The Three Principles of the People (1925), dan yang lainnya. Mao juga menulis buku di antaranya seperti On Guerrilla Warfare (1937), Four Essays on Philosophy (1966), On Revolution and War (1969), dan sebagainya. Sementara Deng Xiaoping lebih leluasa mengamati perkembangan Tiongkok dengan visi yang berdasar pada karakter bangsa yang makin tajam, seperti dalam buku Building Socialism with Chinese Characteristics (1985), Fundamental Issues in Present-day China (1987), Selected Works of Deng Xiaoping (1984), On Reform (2013) dan lain-lain.
Sebagai tokoh reformis yang sukses membangun Tiongkok menjadi negara yang disegani, nama Deng Xiaoping termasuk yang paling akrab bagi para teknokrat Indonesia. Apalagi suksesor Mao ini dikenal sosok yang terampil, mempunyai kekuatan imbang dalam memainkan peran di kancah internasional antara kekuatan Barat (diwakili Amerika) dan Timur (dengan raksasa Soviet). Pada aspek teknis dan intelektual, Xiaoping bisa ditempatkan sebagai gabungan Soekarno dan Hatta: mampu mengelola peran di kancah internasional seperti Soekarno dan beres dalam menata urusan internal negara seperti Hatta. Xiaoping menjadi the statesman, the economist dan the social reformer sekaligus (Whyte, 1993; Yahuda, 1993; Vogel, 2011) dan dinilai menjadi sosok yang berhasil mengubah citra Tiongkok secara positif, baik dalam negeri maupun di mata dunia, dengan transformasi komprehensif yang dilakukannya (Naughton, 1993; Fertasari, Musadad and Isawati, 2022).
Ada kalimat
terkenal dari Deng yang kerap dirujuk, ketika menyoal spirit pembangunan bangsa
yang berbasis pada integritas, etos dan nilai lokal (Hidayat, 2010). Kalimat tersebut: I don't care if it's a white cat or a black
cat. It's a good cat as long as it catches mice. Dalam catatan Airlambang, ciri khas dari
‘kucing’ Deng ialah menggali potensi yang ada di dalam negeri dengan keberanian
menerapkan sistem ekonomi dunia dan bergelut dalam ekonomi dunia itu secara
percaya diri. Secara singkat, rumusan Deng sesungguhnya ialah: mandiri,
kemandirian. Ini garis dasar yang bukan kebetulan menjadi intisari dari ajaran
Bung Karno: berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Sejak tahun 1920-an Bung
Karno telah menggali nilai-nilai, potensi sumber daya dan modal sosial bangsa
Indonesia, yang ia sebut sebagai marhaenisme. Sebelum Deng menemukan
‘kucing’-nya. Tahun 1963 Bung Karno mengelaborasi kucing marhaennya sebagai
“Tri Sakti”, yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan
berkepribadian secara sosial budaya. Ketiganya, kata Bung Karno, adalah pijakan
Indonesia untuk tinggal landas setelah meniti jembatan emasnya: kemerdekaan (Airlambang, 2013a, 2013b).
Selain tentang
pembangunan yang mencakup sektor pertanian, industri, pertahanan, dan ilmu
pengetahuan serta teknologi, Deng juga memperkenalkan konsep "sosialisme
dengan karakteristik Tiongkok," yang menggabungkan prinsip-prinsip
sosialis dengan mekanisme pasar bebas (Chen, 2010). Pendekatan ini menginspirasi para
pemimpin dan intelektual Indonesia dalam mempertimbangkan kebijakan ekonomi
yang fleksibel dan adaptif, guna mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa
meninggalkan nilai-nilai dasar bangsa (Istiqomah, Susanto and
Pratama, 2021). Tokoh-tokoh pendiri bangsa ini dengan
sadar mempertimbangkan aspek-aspek yang komprehensif dalam menyiapkan fondasi
negara dan menjalankannya dengan komitmen. Negara-negara besar seperti Tiongkok,
Amerika, Soviet, dan kekuatan Islam ditempatkan sebagai diskursus dan dialog
demi mencarikan ramuan dan formula sistem yang sesuai. Produk dan karya
intelektual berupa Pancasila dan UUD 1945 harus dilihat sebagai hasil dari
pergumulan panjang dengan keterlibatan ide-ide dan pokok pemikiran dari para
pendiri, ideolog dan sosok berpengaruh dari bangsa lain, termasuk mereka dari
Tiongkok.
Selain Xiaoping,
Sun Yat-sen adalah intelektual dan negarawan yang lebih dulu mengembangkan
gagasan dan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Konsep San Min Chu I (yang berisi nasionalisme, demokrasi, kesejahteraan
sosial/rakyat) dari Sun Yat-sen berpengaruh terhadap konsep nasionalisme
Indonesia. Pengaruh intelektual Tiongkok terhadap Soekarno terlihat jelas dari
pemikiran Sun Yat-sen. Soekarno, sebagai salah satu founding fathers
Indonesia, dikenal sebagai sosok yang banyak menyerap pemikiran dari berbagai
tokoh dunia, termasuk dari Tiongkok. Salah satu tokoh yang memberikan pengaruh
signifikan terhadap pemikiran Soekarno adalah Sun Yat-sen, bapak pendiri
Republik Tiongkok. Melalui konsep San
Min Chu I, Sun Yat-sen
menebarkan inspirasi bagi Soekarno dalam merumuskan dasar-dasar negara
Indonesia. Soekarno melihat relevansi antara perjuangan Sun Yat-sen melawan
imperialisme di Tiongkok dengan perjuangan Indonesia melawan kolonialisme
Belanda. Konsep nasionalisme Sun Yat-sen, yang menekankan persatuan dan
kemandirian bangsa, menjadi salah satu pilar penting dalam pemikiran Soekarno
tentang nation-building.
Pengaruh Sun Yat-sen terhadap Soekarno juga terlihat dalam konsep demokrasi yang diusung oleh kedua tokoh ini. Soekarno mengadaptasi prinsip demokrasi Sun Yat-sen yang menekankan kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang berpihak pada kepentingan umum. Meskipun Soekarno kemudian mengembangkan konsep Demokrasi Terpimpin yang berbeda dengan sistem demokrasi liberal, nilai-nilai dasar tentang partisipasi rakyat dan keadilan sosial tetap menjadi inti dari pemikirannya. Hal ini menunjukkan bagaimana Soekarno tidak hanya meniru, tetapi juga mengkontekstualisasikan pemikiran Sun Yat-sen sesuai dengan kondisi sosial-politik Indonesia. Bagi saya, Soekarno seperti menerjemahkan ide Sun Yat-sen dalam esai The Principle of Democracy (1924) dalam Demokrasi Terpimpin, terutama tentang kekuasaan atas pemerintahan, yaitu kekuasaan besar sepenuhnya berada di tangan rakyat, yang akan memiliki kedaulatan penuh dan akan mampu mengendalikan langsung urusan negara. Karena kekuasaan politik ini adalah kedaulatan rakyat itu sendiri. Namun di sisi lain, kekuasaan juga berada di ruang pemerintahan, yaitu kekuasaan yang di tangan lembaga-lembaga pemerintah, yang berkuasa dan mengelola semua urusan negara. Jika rakyat memiliki kedaulatan politik sepenuhnya dan metode pelaksanaan pengendalian rakyat atas pemerintahan dipikirkan dengan matang, kita tidak perlu takut bahwa pemerintahan akan menjadi terlalu kuat dan tidak terkendali (Yat‑sen, 2000).
Sosok lain yang patut disebutkan di sini adalah Mao yang secara khusus mempunyai pengalaman interaksi langsung dengan Soekarno. Ada sebuah peristiwa menarik yang ditulis oleh Utomo (2017) terkait dengan hubungan antara Soekarno dengan Tiongkok. Berdasarkan undangan Mao dan Pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Soekarno tiba di Beijing pada 30 September 1956. Segera setelah mendarat, Soekarno merasakan bahwa penerimaan dari semua kunjungan kenegaraan lain yang sudah dilakukannya tidak ada artinya, oleh karena skala penerimaan RRT sangat luar biasa. Lebih dari 300.000 orang Tiongkok berjajar di sepanjang jalan dari bandara ke tengah kota untuk menyambut Soekarno. Dalam pidato penyambutannya, Mao memberi selamat kepada Soekarno atas kepemimpinannya yang luar biasa dalam perjuangan melawan kolonialisme, dan mengingatkan Soekarno bahwa kedua negara memiliki aspirasi yang sama. “Apa cita-cita bangsa Indonesia?” Mao mengajukan pertanyaan, “cita-cita tersebut adalah cita-cita kemerdekaan, perdamaian dan dunia baru. Cita-cita ini sama persis dengan cita-cita bangsa Tiongkok.” Mengikuti Mao, Soekarno menyatakan, “Bangsa Tiongkok dan bangsa Indonesia memiliki banyak kesamaan. Cita-cita Anda adalah membangun dunia baru yang bebas dari eksploitasi, penderitaan, dan penindasan— dunia dengan kehidupan rakyat yang bebas dan bahagia. Seperti itu pulalah cita-cita kami.” Dalam atmosfer yang ramah ini, Soekarno berkeliling Tiongkok selama 17 hari dan mengunjungi sejumlah kota, yakni Beijing, Shenyang, Anshan, Changchun, Luda, Nanjing, Shanghai, Hangzhou, Wuhan, Guangzhou (Kanton), dan Kunming (Utomo, 2017).
Dalam konteks
pembangunan negara dan bangsa, hal mendasar yang menjadi pelajaran penting bagi
para founding fathers kita adalah
dinamika dan pasang surut yang dialami Tiongkok sendiri. Mao yang memegang
tampuk kekuasaan setelah menyingkirkan pemimpin nasionalis Kuomintang pada 1
Oktober 1949 langsung menerapkan kebijakan ekonomi yang berasaskan
sosialisme-komunisme. Tiongkok bisa dikatakan merupakan negara yang benar-benar
menerapkan ekonomi proletar di periode awal Mao berkuasa (Chu-yuan, 1971). Di Indonesia, Soekarno-Hatta sendiri
menerapkan kebijakan ekonomi kerakyatan dengan penekanan pada spirit
sosialisme-demokratik. Dua praktik dan jalur berbeda, tetapi tetap mempunyai
irisan-irisan yang bisa dilacak.
Selain itu, jejak
sejarah yang tidak boleh dilupakan adalah pengalaman Bapak Republik Indonesia,
Tan Malaka, ketika bertemu dengan Sun Yat-sen untuk menjalankan tugas khusus
dari Komintern ke Kanton (Tohis, 2023). Tan Malaka sangat akrab dengan
pemikiran revolusioner dari Tiongkok, terutama dalam konteks perjuangan
anti-kolonial. Dari sejumah peta perjalanan Tan Malaka, mulai dari Bangkok,
Manila, Amoy, Shanghai, Hongkong, Singapura, Rangon, hingga Penang, yang
berkesan adalah ketika berkenalan dengan tokoh revolusioner Asia, salah satunya
Sun Yat-sen. Dalam tulisan Utama (2017), Tan Malaka disebutkan mulai
kagum dengan sosok Sun Yat Sen, seperti yang ditulisnya dalam Dari Penjara ke Penjara bagian I,
“Berjumpa dengan revolusioner besar di Rusia adalah hal biasa, tetapi berjumpa
revolusioner besar di Asia adalah sesuatu yang istimewa, karena revolusioner
sejati yang jaya di kawasan ini jumlahnya sangat kurang”. Meski Sun Yat Sen
adalah seorang nasionalis bukan marxis dan cara berpikirnya logis bukan
dialektis, Tan Malaka mengakui kekuatan Dr. Sun terletak pada demokrasi dan
sosialisme. Ia orang yang ulet, jujur, dan dekat dengan Murba (rakyat jelata),
ujar Tan Malaka dalam autobiografinya (Utama, 2017).
Fondasi
Intelektualisme
Deskripsi tentang
jejak historis tersebut dapat diposisikan dan dibaca dalam konteks formulasi
intelektualisme yang lahir sebagai semangat anti-kolonial pada zamannya. Di
sini, saya tertarik menengok kembali cara pandang Francis Fukuyama ketika
membaca kemunculan intelektualisme di Tiongkok dalam The Origins of Political Order (2011). Saya meminjam Fukuyama untuk
memberikan konteks pada aspek bagaimana intelektualisme lahir, berkembang dan
sekaligus bertarung di tengah carut-marut dan pergolakan sebuah bangsa.
Sejarah gerakan
intelektualisme Tiongkok bangkit, seturut Fukuyama, sangat terkait erat dengan gejolak, pemberontakan dan peperangan.
Situasi demikian membutuhkan jalan keluar yang harus diwujudkan demi masa depan
sebuah bangsa. Dalam kondisi demikian pula Sun Yat-sen, Mao, maupun Deng, lahir
dan memberikan solusi yang dibutuhkan Tiongkok. Proposisi ini bisa kita bawa ke
dalam konteks lahirnya founding fathers
Republik Indonesia dengan kebesaran dan kecemerlangan pemikirannya. Nama-mana
seperti Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sjahrir, Mohammad Yamin, Mohammad
Natsir, Ki Hajar Dewantara, dan lainnya lahir sebagai anak-anak revolusi yang
dibutuhkan oleh zaman, oleh bangsa dan negara.
Dengan tegas,
Fukuyama memastikan bahwa masa-masa kekacauan dan pergolakan, sebuah periode
perang, memicu munculnya refleksi-refleksi kritis-filosofis mengenai moral dan
politik di kalangan warga Tiongkok sehingga mendorong lahirnya para pemikir,
filsuf, penulis dan penyair. Pada masa itu, kelompok filsuf, intelektual dan
kaum terdidik menempati kasta tertinggi, lebih tinggi dari prajurit militer dan
pendeta, imam atau agamawan (Fukuyama, 2011). Di masa itu, kata Nio Joe Lan
dalam Tiongkok Sepandjang Abad, masyarakat
Tiongkok terbagi ke dalam empat “kasta” atau kelompok sosial berdasarkan
profesi dan pekerjaannya: (1) golongan terpelajar atau intelektual (Shih), (2) golongan petani (Nung), (3) golongan pengrajin/tukang (Kung), dan (4) golongan saudagar (Shang).
Hal itu menunjukkan bahwa pada periode Dinasti
Zhou Barat terjadi pergeseran budaya di kalangan masyarakat Tiongkok di mana
kepandaian atau kecakapan otak mulai lebih dihargai tinggi daripada kepandaian
mengumpulkan materi atau uang (Lan, 1952). Di tengah situasi yang kelam dan
kacau-balau akibat peperangan antarkelompok dan negara bagian, masyarakat
Tiongkok di masa itu lebih membutuhkan pencerahan pemikiran dan kejernihan hati
untuk menghadapi dan mengatasi kemelut politik yang mengungkungnya. Ini sebentuk
kesadaran mendasar, dan sekaligus eksistensial, yang muncul dari proyeksi
panjang demi masa depan dengan cara memberikan ruang dan apresiasi tinggi
kepada para ilmuwan.
Menggeliatnya
gerakan intelektual dan pemikiran di masa-masa kacau, penuh gejolak dan
instabilitas politik ini, tulis Fukuyama, paling tidak memiliki dua
signifikansi politik: pertama, refleksi
pemikiran dan filsafat yang dilakukan para filsuf, cendekiawan dan kaum
terpelajar telah mengkristal menjadi semacam ideologi, yakni serangkaian ide
atau pemikiran tentang sistem pemerintahan dan politik yang ideal sehingga
dengan ide-ide dan gagasan-gagasan tersebut, masyarakat Tiongkok memiliki
pegangan dan panduan moral untuk menilai dan mengkritisi perilaku dan kebijakan
politik para pemimpin politik dan pemerintahan, di masanya dan di masa depan.
Singkatnya, ide-ide dan pemikiran-pemikiran para filsuf dan kaum intelektual
yang berkaitan moral dan politik mencerminkan apa yang seharusnya secara
normatif (das sollen) sebagai dasar
atau pijakan untuk menilai, mengkritik dan bahkan menggugat apa yang secara
konkret terjadi (das sein).
Signifikansi
politik kedua dari munculnya ide-ide
dan pemikiran-pemikiran para filsuf dan kaum cendekiawan adalah terjadinya
mobilitas intelektual di seluruh Tiongkok yang mendorong pertumbuhan budaya
nasional. Karya-karya sastra Tiongkok kuno yang diciptakan pada periode ini
menjadi dasar pendidikan kaum elit dan menjadi basis kebudayaan Tiongkok pada
masa-masa berikutnya (Fukuyama, 2011). Artinya, pergulatan intelektualisme dan
produksi-produksi pengetahuan yang lahir dari kultur ilmu di masa lalu mereka
berperan besar terhadap pembangunan Tiongkok di masa depan.
Semangat dan formulasi intelektualisme di sini bisa dilihat sebagai “panjang tangan” dari situasi dan kondisi sosial Masyarakat—menjadi gerakan bersama rakyat yang membutuhkannya. Tugas intelektual dalam konteks ini sangat kentara bernuansa perjuangan kelas, yaitu bergerak langsung dan “turun ke jalan” bersama masyarakat demi perubahan (Hsu, 1931). Jika ditarik ke Karl Marx, kaum intelektual seperti ini diartikan sebagai anggota kelas atas teralienasi yang dapat melampaui batas pengalaman kelasnya hanya pada saat revolusi mendekat (Sadri, 1992). Meski tidak semuanya harus berakhir revolusi, gerakan dan mobilisasi rakyat yang masif melawan segala bentuk penindasan juga menjadi jalan bagi dunia intelektual untuk membuktikan keberpihakan dan partisipasinya secara praktis. Istilah intelektualisme di sini berbeda dengan definisi para filsuf etika dan aliran idealisme, atau bahkan melampaui apa yang disebut sosiolog Bourdieu sebagai intellectual field yang masih bertendensi pada ruang otonom dalam aspek hukum dan sistem yang sepenuhnya dikelola secara mandiri (Bourdieu, 1969) dan membuat dunia intelektual, satu sisi, sangat mungkin tetap berkutat pada “menara gading” dan, di sisi lain, merestriksi dirinya dengan semboyan independensi, atau bahkan menuju ketidakberpihakan! Cara pandang (tentang dan terhadap dunia) intelektual seperti itu sangat naif di tengah situasi masyarakat yang membutuhkan dukungan dan kekuatan untuk berubah menuju kehidupan merdeka dan berkeadilan.
Lebih lanjut, dalam konteks pergerakan, dan terutama terkait dengan perlawanan langsung terhadap dominasi—baik di bawah kolonialisme maupun dominasi lokal seperti terjerat dalam sistem feudalisme dan tirani—komposisi dan formasi dunia intelektual semestinya semakin meruncing menjadi organik, meminjam istilah Gramsci, yaitu menubuh dan terinternalisasi ke dalam spirit gerakan bersama rakyat, karena intelektual mempunyai fungsi langsung di tengah masyarakat (Said, 1996). Potret intelektual begini dibahas oleh Noam Chomsky dalam esai tinjauan buku Anarchism: From Theory to Practice karya Daniel Guerin, khususnya ketika membicarakan Zaragoza Congress (1872). Bagi Chomsky, ketika syarat-syarat seperti semua orang dijamin akses terhadap ilmu pengetahuan, seni, dan penelitian dalam bentuk apa pun, dengan tetap memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut sesuai dengan produksi sumber daya material, masyarakat tidak lagi dibagi menjadi pekerja manual dan kaum intelektual: semuanya harus menjadi salah satu dari keduanya secara bersamaan. Praktik kegiatan paralel semacam itu memastikan keseimbangan yang sehat pada sifat alamiah manusia (Chomsky, 2003).
Sampai di sini,
makna intelektualisme harus dibawa melampaui soal produksi pengetahuan dan
etika, tetapi bagaimana ia mampu mengejawantahkannya ke ranah praksis,
memberdayakan dan sekaligus menggerakkan demi cita-cita luhur kemanusiaan yang
berkeadilan. Jaringan intelektual dengan formasi seperti ini dapat memperkuat
aspek-aspek pembangunan masyarakat menjadi lebih maju, kuat, berdaya dan
merdeka. Contoh-contoh pertautan intelektualisme dan dunia pergerakan seperti
ini bisa ditelaah pada nama-nama ideolog-penggerak dan sekaligus intelektual
dari kedua negara yang saya jabarkan sebelumnya. Pada diri mereka tertanam
semangat melawan segala bentuk penjajahan dan penindasan yang diproduksi oleh
kolonialisme, termasuk intellectual
imperialism. Untuk lepas dari
cengkraman terakhir ini, Alatas menawarkan ilmu sosial mandiri yang dapat
dikembangkan (Alatas, 2000, 2002).
Proyeksi
Sosiologi Tiongkok di Indonesia
Dengan dihantar
oleh Peter Beilharz, pada bagian ini saya berfokus pada perkembangan sosiologi
Tiongkok modern, dalam rentang abad 20 hingga kontemporer. Ini sekaligus untuk
merayakan 75 tahun hubungan Indonesia-Tiongkok yang sudah mendekati satu abad.
Meskipun hubungan panjang sudah terjadi antara kedua bangsa, pembahasan secara
spesifik pada ranah sosiologi masih tergolong awalan (masih semacam preliminary)
dan membutuhkan elaborasi lebih jauh. Secara logis, hubungan intelektual, dalam
hal ini ilmu-ilmu sosial, antara Tiongkok dan Indonesia dapat ditelusuri
kembali ke masa lalu. Tetapi, saya membatasinya pada abad ke-20, ketika banyak
intelektual Indonesia yang terinspirasi oleh revolusi komunis Tiongkok pada
tahun 1949, sementara Tiongkk juga melihat Indonesia sebagai mitra penting
dalam gerakan non-blok selama Perang Dingin.
Berbekal beberapa
bacaan awal seperti A Sociology of Modern
China (Rocca, 2015), The
Origins and Continuity of Chinese Sociology (Jing, 2022), The
Sociology of Chinese Capitalism in Southeast Asia (Santasombat, 2019)—terutama Post-Western
Sociology: From China to Europe (Roulleau-Berger
and Li, 2018) dan European
and Chinese Sociologies: A New Dialogue (Roulleau-Berger
and Peilin, 2012)—juga artikel-artikel di jurnal yang konsen
dengan isu Tiongkok seperti The China
Quarterly dan Chinese Journal of
Sociology, saya membaca Chinese
Sociology dengan dua pendekatan. Pertama,
menelusuri isu dan topik yang menjadi kajian mereka dalam beberapa kategori:
politik dan kekuasaan, sosial-budaya, kelas dan stratifikasi sosial, sosial
ekonomi, dan masyarakat dan teknologi; kedua,
mempelajari dan mencermati sepak terjang dan profil sosiolognya itu sendiri.
Berbekal pada dua cara tersebut, saya menemukan beberapa aspek menarik yang
bisa dibaca dan dirayakan sebagai “mencari metode alternatif” terhadap dominasi
ilmu sosial Barat dewasa ini. Perkembangan sosiologi di Tiongkok berkelindan
dengan struktur sosialnya—menubuh dalam kondisi politik dan ekonomi masyarakat
Tiongkok saat itu (Hanlin et al., 1987).
Secara khusus,
dalam esai ini saya mengkategorisasikan berdasarkan pada isu/topik—lebih ke
aspek tematik untuk bisa melihat kemungkinan adanya proyeksi bagi sosiologi
Indonesia. Pendekatan tematik ini juga memudahkan saya dalam mendialogkan
dengan problem-problem lokal dan nasional di Indonesia. Cara ini pula bertujuan
untuk memperkaya diskursus pada konteks faktual yang menjadi topik riset dan
perdebatan di ranah akademik maupun praktis, terutama dalam dan oleh para
sosiolog Tiongkok. Selain itu, fokus pada aspek-aspek tematik memudahkan saya
dalam melacak kajian-kajian terbaru yang bisa diarsir secara lebih luwes dan
dipertemukan dengan isu-isu yang relevan di Indonesia.
Dalam konteks
politik dan kekuasaan, pembangunan negara Tiongkok menjadi modern, dan termasuk
revolusi kebudayaan di dalamnya, menjadi topik menarik yang patut dipelajari
secara mendalam. Fondasi dan formasi masyarakat di bawah struktur pemerintahan
di masa-masa awal Tiongkok modern menjadi topik penting dalam konteks politik
dan kekuasaan. Pertarungan ideologi terus terjadi secara sengit, misalkan bisa
dibaca dalam buku The Decline of
Communism in China: Legitimacy Crisis, 1977-1989 (Ding, 1994). Selain itu, ideologi sosialisme dan
kapitalisme dengan menekankan pada karakteristik Tiongkok juga menjadi variasi
lain dari topik politik. Hu Angang secara tekun membongkar bagaimana
kepemimpinan kolektif mempengaruhi pembangunan sosialis di Tiongkok, terutama
dalam buku China's Collective Presidency (Hu, 2014).
Topik tentang
politik dan kekuasaan, meski tidak sepenuhnya sama dengan pengalaman para
sosiolog Tiongkok, juga menjadi lapangan riset yang sangat atraktif di
Indonesia. Sosok paling menonjol adalah Vedi Hadiz, terutama pada
karya-karyanya tentang kekuasaan dan politik oligarki: Reorganizing
political power in Indonesia: A reconsideration of so-called 'democratic
transitions' (Hadiz, 2003), Reorganising Power in Indonesia:
The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Robison and Hadiz, 2004), The Localization of Power in
Southeast Asia (Hadiz, 2007), Localising Power in
Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective (Hadiz, 2010), dan The Political Economy of
Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia (Hadiz and Robison, 2013). Selain itu, riset di bidang yang sama
dan lebih awal bisa dilacak dalam Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi
Indonesia 1950-1980 (Muhaimin, 1991) dan juga Sosiologi Politik: Makna
Kekuasaan dan Transformasi Politik (Maliki, 2010).
Transformasi dari
rural ke urban dengan dorongan modernisasi dan urbanisasi menjadi topik yang
menginisiasi sosiologi Tiongkok modern. Nama Hsiao-Tung Fei (1910-2005),
yang disebut bapak sosiolog modern Tiongkok, menjadi rujukan utama yang
mengangkat topik ini dalam Peasant Life
in China (Fei, 1939). Hsiao-Tung Fei meneliti struktur
sosial pedesaan dan dampak modernisasi dengan mengeksplorasi kehidupan
masyarakat desa dan perubahan yang mereka alami akibat modernisasi. Sebagai
fondasi awal membahas struktur masyarakat, para sosiolog dan antropolog seperti
Koentjaraningrat, Soerjono Soekanto, dan Nasikun mempunyai perhatian khusus
terhadap tema ini. Topik ini terus berkembang dengan terfragmentasi dan
terspesifikasi pada isu-isu urban dan segala problem kehidupan urban. Baik di
Tiongkok maupun Indonesia, proyeksi untuk mengembangkan riset di ranah ini akan
terus terbuka dengan beragam kemajuan teknologi yang merambah kehidupan sosial
urban, seperti dilanjutkan oleh Peilin Li (1955-sekarang).
Seturut dengan
tema di atas, persoalan tentang stratifikasi sosial dan kelas baru juga terus
berkembang menjadi topik penting di tengah transformasi sosial politik Tiongkok
yang semakin masif, dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi mendunia. Sosiolog
Lu Xueyi menyelami perubahan struktur kelas di Tiongkok. Karyanya berjudul Social
Structure and Social Stratification in Contemporary China (Xueyi, 2020b), Social Construction and Social
Development in Contemporary China (Xueyi, 2020a), dan Social Mobility in Contemporary China (Xueyi, 2005) membongkar secara mendalam tentang
struktur sosial, stratifikasi sosial dan mobilitas sosial serta munculnya kelas
menengah baru. Topik seperti ini juga sangat masif dalam riset-riset ilmu
sosial kita di Indonesia dengan menekankan pada struktur masyarakat urban
dengan infiltrasi gerakan keagamaan dan ekonomi.
Tokoh lain yang
patut diperhitungkan adalah Sun Liping, seorang sosiolog yang fokus pada studi
ketimpangan sosial, konflik kelas, dan transformasi masyarakat Tiongkok di era
reformasi ekonomi. Sun Liping dikenal karena analisisnya yang tajam mengenai
dampak globalisasi dan modernisasi terhadap struktur sosial Tiongkok.
Karya-karyanya sering menjadi rujukan dalam memahami dinamika sosial-ekonomi
Tiongkok kontemporer. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada akademisi, tetapi
juga meluas ke kebijakan publik, di mana pemikirannya sering dijadikan
pertimbangan dalam merumuskan strategi pembangunan sosial. Melalui kontribusi
mereka, termasuk Li Yinhe, sosiologi Tiongkok semakin merangkak di peta global
sebagai disiplin yang relevan dan transformatif.
Dalam aspek
gender, perkembangan sosiologi di Tiongkok juga sangat progresif, misalkan
dengan munculnya kajian terhadap gender dan peran perempuan, seperti ditulis
oleh Li Yinhe dalam Subculture of
Homosexuality (2009). Li mengeksplorasi isu-isu gender, transgender, dan
peran perempuan dalam masyarakat Tiongkok modern. Selain itu, topik terkait
yang perlu diperhatikan adalah kebijakan satu anak dan dinamika studi tentang
keluarga (family studies), misalkan
kita bisa membacanya pada tulisan Wang Feng yang menganalisis dampak demografis
dan sosial dari kebijakan satu anak.
Proyeksi menarik
yang perlu dibaca secara lebih mendalam adalah hal ihwal agama dan kebangkitan
spiritualitas di tengah masyarakat Tiongkok. Buku-buku penting yang terkait
topik ini adalah karya Yang Fenggang berjudul Religion in China: Survival and Revival under Communist Rule (Yang, 2012), Social Scientific Studies of
Religion in China (Yang and Lang, 2015), Atlas of Religion in China (Yang, 2018), dan sebagainya. Fenggang coba
mempelajari kebangkitan agama di Tiongkok dengan mengeksplorasi dinamika agama
dan spiritualitas dalam konteks modern, juga agama Tiongkok dalam pentas
internasional. Topik terakhir tentang agama memungkinkan kita membuka ruang
yang lebih luas lagi sebagai ruang interaksi dan mengembangkan riset kedua
negara.
Terakhir, para
sosiolog Indonesia sendiri yang mempunyai keistimewaan sebagai keturunan
Tionghoa juga dapat menjadi jembatan paralelisme dan relasi intelektual antara
Tiongkok dan Indonesia dalam ranah disiplin sosiologi. Nama-nama sosiolog
seperti Arief Budiman (1941-2020) dan terutama Mely G. Tan (1930-2024) yang
kajiannya terkait dinamika warga Tionghoa di Indonesia, dapat menjadi rujukan
untuk memotret paralelisme ilmu sosial Tiongkok-Indonesia secara lebih dekat
dan akrab. Di samping itu, ada nama-nama lain di ranah sosial dan humaniora
seperti Thung Ju Lan, Leo Suryadinata dan ilmuwan sosial lainnya juga membuka
jalan ke arah yang sama dengan lebih kaya. Saya menyebutkan nama-nama ilmuwan
sosial keturunan Tionghoa di Indonesia semata-mata demi menghidupkan relasi
intelektual dari aspek kolegial-aktor sebagai saudara sebangsa dan setanah air.
Jika cara ini yang dipakai, mereka yang bergerak dan berkarya di ranah
keseniaan dan sastra juga dapat memperkaya dan memperkuat dialog
intelektualisme Indonesia-Tiongkok.
Penutup
Dari elaborasi
sederhana dan terbatas dalam esai ini, saya mengajukan sebuah alternatif
pengembangan teoritik dalam disiplin sosiologi dengan menghadirkan “narasi
sosiologi Tiongkok” sebagai pengkayaan untuk melengkapi, atau bahkan
menandingi, “narasi sosiologi Barat”. Jika mau agak congkak sedikit, kehadiran
sosiologi Tiongkok dapat menjadi counter narration dengan formasi
“Sosiologi Barat vs Sosiologi Timur”, karena kebesaran sejarah Tiongkok sendiri
dapat mewakili semua kebutuhan terjadinya kontra narasi seperti ini. Tawaran
“Sosiologi Timur” sepenuhnya adalah percobaan saya untuk memperkuat artikulasi
dan narasi tandingan yang sudah terkonstruksi dalam ekonomi dan politik dan
sejauh ini cenderung vis-a-vis antara Barat dengan Tiongkok. Meskipun
itu relatif agak sulit, melihat tren akademia Tiongkok sendiri juga terjebak
pada ukuran dan standar Barat dalam hal publiksi dengan indeks seperti Scopus,
WoS dan sebagainya, penawaran narasi “Sosiologi Timur” dapat membuka ruang
kemungkinan terciptanya diskursus ilmu-ilmu sosial yang beragam dan otonom. Dan
Tiongkok sangat mempunyai perkakas dan kapasitas untuk ke sana.
Meskipun mungkin
statemen ini cenderung menjadi klaim, saya tetap melihat ruang dan diskursus
yang dinisiasi oleh Tiongkok dalam ranah pengembangan intelektual sangat
mungkin terbuka dan menjadi determining factors bagi pengokohan
dominasinya terhadap Barat. Tiongkok bisa menjalankan bentuk-bentuk freedom
of speech dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dengan cara, pola dan
karakteristik mereka sendiri, untuk memastikan bahwa ruang-ruang inovasi dan
karya-karya kreatif dari komunitas akademia dan seniman terus tumbuh subur dan
dapat berkontribusi terhadap pembangunan peradaban Timur secara lebih
menyeluruh.
Buku Post-Western
Sociology: From China to Europe sebenarnya sudah membuka dan menawarkan diskusi yang menarik
terkait proyeksi sosiologi Tiongkok di pentas internasional dengan meneropong
sosiologi pasca-Barat. Para kontributor dalam buku ini menulis beragam ikhtiar
yang dapat dikembangkan dalam upaya memberikan alternatif terhadap dominasi
sosiologi Barat, mulai dari (1) Methodological cosmopolitanism dengan
menekankan tentang the plurality of modernities and the multiplicity of
collective narratives of societies, sebagai (2) A weapon to deconstruct
the hegemony of Western discourse dengan menjembatani usaha bersama yang beyond
the binary opposition of the West and the non-West dan bukan an
antithesis of “Western sociology”, but is intended to develop beyond Western
sociology, juga, seperti Li Peilin, menyadari tentang (3) “Problem-oriented”
contemporary Chinese sociology sehingga ia membutuhkan peleburan dan
penyediaan a powerful knowledge support about the “Chinese experience” and
is an important part of “Post-Western Sociology”, memperkaya kekuatan (4) Global
South, dan menawarkan (5) Diversity of epistemic autonomies and Chinese
sociology, atau juga menghidupkan diskursus sebagai (6) Oriental modernisation
atau “Oriental
society”, hingga (7) transnationalism
methodology.
Akhirnya, dari
semua usaha tersebut, sebagai sesama bangsa non-Western, pengkayaan
diskusi terkait sosiologi alternatif dengan kesadaran pada otonomi pengetahuan
dengan bingkai Global South (untuk mewadahi arah gerakan pasca-kolonial
maupun dekolonial) tetap harus terus dirayakan secara akamik: dimunculkan,
dikritik, ditolak, atau diterima sebagai sintesis. Pada akhirnya, saya
membayangkan sebuah proyek besar pengetahuan di masa depan—ketika oriental
sociology dengan basis-basis pengalaman faktual yang lahir dan tumbuh dari
negara-negara selatan, disokong melalui metodologi yang ketat dari dalam dunia
mereka—dapat lahir sebagai alternatif (pada awalnya) dan lalu berkembang
menjadi lokus mainstream yang dapat menjawab dan menyelesaikan
problem-problem dari dalam/internal suatu masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Airlambang (2013a) Kucing Deng dan
Bung Karno [1], kbr.id. Available at: https://kbr.id/opini-anda/kucing-deng-dan-bung-karno-[1]
(Accessed: 1 March 2025).
Airlambang (2013b) Kucing Deng dan
Bung Karno [2], kbr.id. Available at:
https://kbr.id/opini-anda/kucing-deng-dan-bung-karno-[1] (Accessed: 1 March
2025).
Alatas, S. H. (2000) ‘Intellectual
Imperialism: Definition, Traits, and Problems’, Southeast Asian Journal of
Social Science, 28(1), pp. 23–45.
Alatas, S. H. (2002) ‘The Development
of an Autonomous Social Science Tradition in Asia: Problems and Prospects’, Asian
Journal of Social Science, 30(1), pp. 150–157.
Bourdieu, P. (1969) ‘Intellectual field
and creative project’, Social Science Information, 8(2), pp. 89–119.
Chen, A. H. Y. (2010) ‘Pathways of
western liberal constitutional development in asia: A comparative study of five
major nations’, International Journal of Constitutional Law, 8(4), pp.
849–884.
Chomsky, N. (2003) For Reasons of
State. New York City: The New Press.
Chu-yuan, C. (1971) The Economy of
Communist China 1949-1969. Michigan: Ann Arbor.
Ding, X. L. (1994) The Decline of
Communism in China: Legitimacy Crisis, 1977-1989. Cambridge: Cambridge
University Press.
Fei, H.-T. (1939) Peasant Life in
China. London: Routledge & Kegan Paul.
Fertasari, S. A., Musadad, A. and
Isawati (2022) ‘Dampak Sosial dan Politik Reformasi Ekonomi Era Deng Xiaoping
Tahun 1978-1992’, Jurnal Candi, 22(1), pp. 136–154.
Fukuyama, F. (2011) The Origins
of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution, New York: Farrar: Straus and Giroux.
Hadiz, V. R. (2003) ‘Reorganizing
political power in Indonesia: A reconsideration of so-called “democratic
transitions”’, Pacific Review, 16(4), pp. 591–611.
Hadiz, V. R. (2007) ‘The Localization
of Power in Southeast Asia’, Democratization, 14(5), pp. 873–892.
Hadiz, V. R. (2010) Localising power
in post-authoritarian Indonesia: A Southeast Asia perspective. Stanford:
Stanford University Press.
Hadiz, V. R. and Robison, R. (2013)
‘The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in
Indonesia’, Indonesia, 73(4), pp. 35–57.
Hanlin, L. et al. (1987)
‘Chinese Sociology, 1898-1986’, Social Forces, 65(3), pp. 612–640.
Hidayat, K. (2010) Demokrasi Model
China, Kompas. Available at:
https://nasional.kompas.com/read/2010/02/13/05120239/index-html (Accessed: 1
March 2025).
Hsu, L. S. (1931) ‘The Sociological
Movement in China’, Pacific Affairs, 4(4), pp. 283–307.
Hu, A. (2014) China’s Collective Presidency. London:
Springer.
Istiqomah, L., Susanto, H. and Pratama,
R. A. (2021) ‘Orientasi Bernegara Republik Indonesia Periode 1959-1965’, Journal
of Social Education, 2(2), pp. 65–72.
Jing, T. (2022) The Origins and
Continuity of Chinese Sociology. Beijing: Social Sciences Academic Press.
Lan, Nio Joe. (1952). Tiongkok
Sepandjang Abad. Djakarta: Balai Pustaka.
Maliki, Z. (2010) Sosiologi Politik:
Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Muhaimin, Y. A. (1991) Bisnis dan
Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta: LP3ES.
Naughton, B. (1993) ‘Deng Xiaoping: The
Economist’, The China Quarterly, 135(29), pp. 491–514. doi:
10.1017/S0305741000013886.
Robison, R. and Hadiz, V. R. (2004) Reorganising
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London:
Routledge.
Rocca, J.-L. (2015) A Sociology of
Modern China. Oxford: Oxford University Press.
Roulleau-Berger, L. and Li, P. (2018) Post-Western
Sociology: From China to Europe. London: Routledge.
Roulleau-Berger, L. and Peilin, L.
(eds) (2012) European and Chinese Sociologies: A New Dialogue. Leiden:
Brill.
Sadri, A. (1992) Max Weber’s
Sociology of Intellectuals. Oxford: Oxford University Press.
Said, E. W. (1996) Representations
of the Intellectual. London: Vintage Books.
Santasombat, Y. (ed.) (2019) The
Sociology of Chinese Capitalism in Southeast Asia. Singapore: Palgrave
Macmillan.
Sugandi, B. and Sujibto, B. J. (eds)
(2024) Pertautan Muslim Indonesia dan Tiongkok: Sejarah dan Dinamika
Akulturasi Budaya Dua Bangsa. Yogyakarta: Ircisod.
Sujibto, B. J. (2024) ‘Masjid
Berarsitektur Tionghoa di Indonesia: Teropong Sosiologi Arsitektur’, in
Sugandi, B. and Sujibto, B. J. (eds) Pertautan Muslim Indonesia dan
Tiongkok: Sejarah dan Dinamika Akulturasi Budaya Dua Bangsa. Yogyakarta:
Ircisod, pp. 234–247.
Thesis Eleven (2023) Peter Beilharz:
The Life of the Mind, Friendship, and Cultural Traffic in Postmodern Times,
Thesis Eleven. Available at:
https://thesiseleven.com/home/peter-beilharz-the-life-of-the-mind-friendship-and-cultural-traffic-in-postmodern-times/
(Accessed: 1 March 2025).
Tohis, R. A (2023) ‘Biografi dan Karya
Intelektual Tan Malaka: Studi Historis-Faktual Tokoh’, Historia Islamica 2(1),
pp. 75-98.
Utama, W. S. (2017) Warisan Komunis
Tan Malaka, Tirto.id. Available at:
https://tirto.id/warisan-komunis-tan-malaka-csS5#:~:text=Meski Sun Yat Sen
adalah,terletak pada demokrasi dan sosialisme. (Accessed: 6 March 2025).
Utomo, S. P. (2017) ‘Indonesia,
Tiongkok dan Komunisme, 1949-1965’, Indonesian Perspective, 2(1), pp.
65–75. doi: 10.14710/ip.v2i1.15539.
Vogel, E. F. (2011) Deng Xiaoping
and the Transformation of China. Cambridge: The Belknap Press.
Whyte, M. K. (1993) ‘Deng Xiaoping: The
Social Reformer’, The China Quarterly, (135), pp. 515–535.
Xueyi, L. (2005) Social Mobility in
Contemporary China. New York: Quantum Media.
Xueyi, L. (2020a) Social
Construction and Social Development in Contemporary China. London:
Routledge.
Xueyi, L. (2020b) Social Structure
and Social Stratification in Contemporary China. London: Routledge.
Yahuda, M. (1993) ‘Deng Xiaoping: The
Statesman’, The China Quarterly, (135), pp. 551–572.
Yang, F. (2012) Religion in China:
Survival and Revival under Communist Rule. Oxford: Oxford University Press.
Yang, F. (2018) Atlas of Religion in
China. Leiden: Brill.
Yang, F. and Lang, G. (eds) (2015) Social
Scientific Studies of Religion in China. Leiden: Brill.
Yat‑sen, S. (2000) ‘The Principle of
Democracy’, in Bary, T. De and Lufrano, R. (eds) Sources of Chinese
Tradition: From 1600 Through the Twentieth Century. New York: Columbia
University Press, pp. 323–324.
Bernando J. Sujibto adalah staf pengajar di Program
Studi Sosiologi, Fakulas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM), UIN Sunan
Kalijaga. Selain aktivitas mengajar dan meriset di dunia kampus, Cak Bje,
sapaan akrabnya, juga aktif mengeditori dan menulis baik buku, artikel ilmiah
dan esai untuk media massa. Fokus risetnya di dunia akademik mencakup youth
studies, cultural sociology and religiosity, pariwisata, dan, di
luar itu, juga minat terhadap Turkish studies. Tulisan-tulisannya
terkait studi Turki sudah terbit berupa buku (baik sebagai kurator maupun
penulis tunggal) seperti Erdoganisme (2023), Endonezya'da Türkçeden
Çeviriler: Tartişma Ve Gelecek Umudu (2022), Kitab Hitam Turki
(2021), Turki yang Sekuler (2020), Jalan-Jalan ke Turki (2019), Aku
Mendengarmu, Istanbul (2019), Bahasa Turki Dasar (2018), Seribu
Warna Turkiye (2018), Harun Yahya Undercover (2018), dan Turki
yang Tak Kalian Kenal (2017). Karya buku akademiknya terbaru bersama
Mochamad Sodik adalah Agama Faktual: Pertarungan Wacana dan Dinamika
Sosiologis Jemaat Ahmadiyah di Indonesia (Cantrik, 2025). Selain itu, Cak
Bje juga menerbitkan book chapter berjudul Masjid Berarsitektur
Tionghoa di Indonesia: Teropong Sosiologi Arsitektur (2024), Non-Muslim
Acceptance of Halal Products in the Context of Business Development
(Springer, 2023), Digging into Digital Waves: How Youth Tourism
Emerged in Indonesia (dijadwalkan terbit oleh Routledge), Challenges
of youth rites of passage in post-COVID-19 Indonesia (dijadwalkan terbit
oleh Routledge), dll. Karya-karya terjemahan dari bahasa Turki yang sudah
terbit seperti Terapi Rumi untuk Keluarga Bahagia (Penerbit Qaf, Nevzat
Tarhan, 2023), Terapi Rumi (Penerbit Qaf [cet ke-2], Nevzat Tarhan,
2020), Raksasa Bermata Biru (Basabasi, Nazim Hikmet, 2018), dan Si
Pandir Zubuk (Bentang, Aziz Nesin, dalam proses terbit); menerjemahkan esai
Bejan Matur (dari bahasa Turki ke Inggris) untuk buku dalam acara Jakarta
International Literary Festival (JILF, 2019) dan dokumen-dokumen untuk
Pameran Danarto di İstanbul Biennial ke-17 (2021), dll. Bisa berkorepondensi
via email bj.sujibto@uin-suka.ac.id atau media sosial X/Twitter @_bje.
Leave a Comment