| 0 Comments | 71 Views

Card Image

Selokan di perkotaan

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk mendukung kehidupan di bumi. Sekitar 70% bagian dari bumi tersusun atas air. Namun kuantitas tersebut tidak berimbang dengan jumlah air yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia sehari-hari. Menurut perkiraan, dari 70% kandungan air di bumi, hanya sekitar 4% nya yang berupa freshwater atau air tawar yang dapat dipergunakan untuk bahan baku air minum, selebihnya tersimpan dalam bentuk air asin di lautan, uap air, dan es di kutub. 

Sementara itu, air tawar yang berada di permukaan bumi, yakni di sungai, danau, waduk, maupun jenis resevoir lain terus menerus mengalami penurunan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Padahal sumber air permukaan ini masih dimanfaatkan oleh sekitar 380 juta penduduk dunia. 

Salah satu ancaman terhadap kualitas air permukaan adalah senyawa kimia organik. Senyawa ini mengandung rantai C dan banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya yakni pestisida dari golongan organoklorin dan organofosfat yang banyak digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit pada tanaman. 

Umumnya pencemaran oleh senyawa organik yang masuk ke badan air dikategorikan sebagai diffused-pollution atau non-point source pollution. Artinya, sumber pencemaran tidak dapat ditentukan titik asalnya karena sumbernya menyebar. Penyebaran pencemaran oleh senyawa organik karena adanya aliran air dan limpasan air hujan. Sebagai ilustrasi, pencemaran pestisida sangat sulit ditentukan darimana titik asalnya, hanya secara umum diketahui bahwa pestisida berasal dari areal pertanian. Senyawa organik merupakan penyumbang  pencemaran air permukaan seperti sungai dan danau. 

Pada sumber air bawah tanah (ground water) keberadaan senyawa kimia organik ditentukan melalui tes laboratorium.  Pada umumnya, senyawa kimia organik tersebut telah berkurang konsentrasinya ketika memasuki air bawah tanah akibat adanya sistem filtrasi, sedimentasi, dan reaksi kimia alamiah yang terjadi di lapisan batuan dan sedimen. Sehingga konsentrasi pencemar air tanah berupa senyawa kimia organik bergantung kepada tipe batuan dan lapisan sedimen tempat air tanah tersebut berada.

Pada air tanah yang terletak di lapisan batuan kapur, pencemaran senyawa kimia organik lebih mudah terjadi. Sebagai contoh, pada daerah karst yang tersusun oleh batuan kapur, pencemaran oleh pestisida ataupun herbisida akan sangat mudah mencapai air tanah karena sifat batuan kapur yang memiliki pori-pori besar (porous), sehingga tidak memungkinkan adanya filtrasi maupun permurnian pencemar sebelum mencapai akuifer. 

Akan tetapi, pada sistem air permukaan, seperti sungai dan danau, pencemaran oleh senyawa kimia organik dapat berakibat lebih fatal. Sistem air permukaan yang mendukung hidupnya berbagai hewan dan tumbuhan akan terganggu oleh pencemaran senyawa kimia organik.

Kematian berbagai jenis hewan air dapat disebabkan oleh masuknya senyawa dari golongan pestisida. Di dalam air, pestisida golongan organoklorin maupun organofosfat, yang dikenal luas sebagai DDT, dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup yang tinggal di air. Lebih lanjut, senyawa ini dapat terakumulasi oleh hewan-hewan di dalam rantai makanan yang terdapat di perairan.

Bioakumulasi senyawa beracun pada rantai makanan menyebabkan turunnya fertilitas dan fekunditas hewan-hewan. Ada pula yang melaporkan bahwa bioakumulasi senyawa organoklorin menyebabkan kegagalan pembentukan cangkang pada burung-burung air pemangsa ikan maupun makroonvertebrata air yang lain.

Konsentrasi senyawa kimia organik di dalam sumber air permukaan dapat diukur di laboratorium dengan berbagai macam alat, diantaranya dengan menggunakan Gas Chromatography (GC) dan ECD (Elctron Capture Detector). Namun, uji seperti ini hanya bisa dilakukan di laboratorium besar dan berbiaya mahal, sehingga keberadaan senyawa kimia organik di dalam air cenderung diabaikan oleh masyarakat awam.

Secara alamiah pada sistem air permukaan, konsentrasi pencemar sangat berfluktuasi tergantung kepada musim, musim tanam, dan ada tidaknya buangan industri. Akibat kompleksitas tersebut, senyawa kimia organik, khususnya pestisida dan herbisida jarang masuk dalam pemantauan kualitas air yang secara rutin dilakukan oleh pemangku kepentingan.

Padahal, pemantauan terhadap kadar senyawa kimia berbahaya ini perlu untuk dilakukan, karena dalam jangka panjang senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan persoalan kesehatan masyarakat. Berbagai penyakit degenerasi dapat muncul sebagai akibat dari kontaminasi senyawa kimia organik di dalam air yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai contoh, pestisida golongan organofosfat dapat menyebabkan kepikunan dini, hilang kesadaran, tubuh lemah, sakit kepala, diare, dan gangguan syaraf. 

Di Indonesia, larangan penggunaan senyawa kimia organik yang berbahaya bagi lingkungan dilakukan sejak meratifikasi Konvensi Stockholm melalui Undang-Undang No. 19 tahun 2009. Undang-undang ini mengatur tentang Bahan Pencemar Organik Persisten (POPs). POPs sendiri merupakan bentuk klasifikasi terhadap bahan pencemar yang bertahan lama di lingkungan karena sulit terurai. Selain itu POPs juga  bersifat semivolatil, sulit diurai melalui proses kimia, fisik, dan biologi, serta dapat terakumulasi dalam jaringan makhluk hidup melalui mekanisme bioakumulasi.

Menurut Konvensi Stockholm (2011) yang sudah diratifikasi tersebut, senyawa kimia organik dilarang penggunaannya termasuk pestisida dichloro-diphenyl-trichloroetane (DDT). Namun, beberapa penelitian masih melaporkan adanya akumulasi DDT pada lahan pertanian. Salah satu penelitian yang mengungkapkan hal tersebut adalah Shofyan dan Andy (2014) yang memantau DDT di Cibodas selama 3 tahun. Penelitian ini melaporkan masih adanya DDT di dalam sedimen sungai.

Penelitian tersebut menjadi peringatan bagi pemerhati lingkungan dan pemangku kepentingan terkait bahwa lingkungan perairan kita belum terbebas dari pencemar berupa senyawa kimia organik. Langkah-langkah pencegahan penggunaan senyawa kimia berbahaya harus terus dilakukan. Termasuk upaya pemantauan terhadap kualitas air sehingga dapat dilakukan deteksi dini apabila senyawa tersebut mulai memasuki badan air.

Deteksi sedini mungkin dapat mencegah lebih banyak senyawa berbahaya yang dapat mencemari lingkungan. Tentunya, hal ini perlu diikuti dengan upaya-upaya dan instrumen penegakan oleh stakeholder yang berkepentingan untuk mencegah, memitigasi, dan menanggulangi pencemaran air. 

***

Referensi
1) Konvensi Stockholm. Bahan Kimia Organik yang Persisten. Kementrian Lingkungan Hidup. 2011.
2) Shofyan, Y & Andri, Y. Pemantauan Senyawa DDT dan Turunannya di Cianjur, Jawa Barat. Ecolab (8):2. 2014


Leave a Comment