| 0 Comments | 658 Views
Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Arab Masa Umayyah (661-750)
"Seribu Satu Tautan Sejarah Sastra Arab Klasik Era Bani Umayyah 661-750"
Kumpulan Esai Mahasiswa
Esai Mahasiswa 1:
Jarir, Al-Farazdaq, dan Al-Akhtal: Penyambung Lidah Para Khalifah
Atik Zaima Mursyidah (22101010010)
Esai ini membahas topik Sejarah sastra klasik pada periode bani Umayyah 1 di Damaskus antara tahun 661 sampai dengan tahun 750 masehi. Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh penyair diantaranya yaitu Jarir (w. 728 M), Al-Farazdaq (w. 730 M), dan Al-Akhtal (w. 708 M) dari golongan bani Umayyah, Al-Kumait bin Zaid Al-Asadi (w. 743 M) dari golongan Syiah dan Isa bin Fatik Al-Khatti dari golongan Khawarij. Topik yang akan dibahas yaitu mengenai penyair-penyair dari golongan Umayyah yang saling mendukung suku dan para khalifahnya serta menghina lawan dengan menyairkan puisi-puisinya.
Topik tentang Jarir, Al-Farazdaq dan Al-Akhtal sebagai penyambung lidah para khalifah sebagaimana ditulis di paragraf pertama dalam artikel berbahasa Indonesia dibahas dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya berisi tentang sejarah sastra dari masa pra Islam sampai dengan masa Umayyah tentang kondisi sosial, agama, ekonomi, politik, dan sastra. Dalam artikel Membaca Fungsi Sastra Dinasti Bani Umayyah berisi tentang fungsi-fungsi sastra baru yang muncul di masa Umayyah. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa Inggris topik ini dibahas dalam buku Arabic Literature to the end of The Umayyad Period berisi tentang sejarah sastra dimulai dari periode Pra Islam sampai periode Umayyah. Dalam artikel kedua berisi nilai-nilai keagamaan dalam puisi Umayyah. Sedangkan dalam artikel ketiga berisi puisi satire pada masa Umayyah. Adapun dalam penelusuran bahasa Arab, topik ini dibahas dalam kitab Tarikh al-Adab al-Arabiy berisi tentang sejarah sastra dari masa Islam sampai masa Umayyah. Dari artikel kedua berisi tentang dimensi psikologis yang ada dalam puisi naqaid Jarir, Al-Farazdaq dan Al-Akhtal. Sedangkan dalam artikel ketiga berisi seorang Badui yang memuji puisi Jarir.
Menurut Ahmad Al-Iskandari dan Musthafa Inaniy dalam buku Al-Wasith Fi Al-Adab Al-Abariy sebagaimana dikutip oleh Dadang Ismatullah dalam jurnalnya yang berjudul Membaca Fungsi Sastra Dinasti Umayyah, dalam periodesasi sejarah sastra disebutkan bahwa masa Dinasti Bani Umayyah dikategorikan ke dalam era shadr al-Islam (masa permulaan Islam). Masa ini dimulai sejak Islam datang ke jazirah Arab sekitar tahun 610-661 M hingga berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah yaitu tahun 661-750 M. Pada masa ini mengalami perkembangan kesusasteraan Arab yang sangat pesat.
Dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya karya Wildana Margadinata hal 281 menyatakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan perkembangan kesusasteraan Arab, yang pertama adalah futuhat (penyebaran Islam). Tersebarnya Islam ke berbagai penjuru daerah dan banyak orang non-Arab yang masuk islam, menyebabkan pemahaman terhadap bahasa Arab jauh dari sempurna sehingga menjadikan pemahaman mereka terhadap agama islam berkurang, sebagai konsekuensinya negara Islam harus memajukan pemahaman atas bahasa Arab. Yang kedua yaitu para khalifah Umayyah sendiri memang menggemari puisi, dan mereka memberi hadiah-hadiah besar kepada para penyair yang menciptakan puisi-puisi pujian bagi mereka, atau yang menghasilkan puisi-puisi yang indah. Puisi pada masa Umayyah ini juga memiliki kesamaan dengan masa Jahiliyah salah satunya yaitu adanya puisi satire.
Di samping memiliki persamaan dengan jenis puisi masa Jahiliyah, situasi politik masa Umayyah juga mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa sebelumnya. Munculnya aliran-aliran politik, mazhab-mazhab agama, fanatisme kesukuan dan kebangsaan telah melahirkan jenis-jenis puisi baru, yaitu 1) Puisi politik (as-siyasah), 2) Puisi polemik (naqaid), dan 3) Puisi cinta vulgar dan lembut (ghazal). Menurut Hafiz Md Nazrul Islam dalam artikel bahasa Inggrisnya yang berjudul Concept of Satire and Its Development during Umayyad Period bahwa menjadi penyair satire adalah profesi menguntungkan dan meresap dalam masyarakat Umayyah. Jika satire dalam pra-Islam jarang melewati batasan celaan atau teguran, tetapi pada periode Umayyah, satire tersebut menjadi kasar. Hanya sebagian kecil satire yang disusun pada periode ini yang sampai kepada kita, sisanya lenyap, karena tidak ada upaya serius untuk melestarikannya. Contoh yang masih ada termasuk hinaan dari tiga penyair terkenal Umayyah, yaitu Al-Akhtal, Al-Farazdaq, dan Jarir. Hinaan ini disebut al-Naqaid. Gaya puisi naqaid cenderung membosankan dan kaku, namun mereka mengandung informasi sejarah yang bernilai terkait perang dan urusan suku-suku dari ketiga penyair tersebut.
Puisi Naqaid dalam kitab Tarikh Al-Adab Al-Arabiy karya Syauqi Dhaif hal. 241 menyatakan bahwa puisi ini berkembang karena adanya faktor-faktor sosial yang dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat Arab, terutama di Bashra, akan bentuk hiburan yang memenuhi waktu luang mereka. Selain dari faktor sosial, puisi naqaid juga didorong oleh faktor-faktor psikologis. Pertumbuhan intelektual masyarakat Arab dan luasnya wawasan mereka dalam dialog, perdebatan, dan diskusi di bidang politik, keagamaan, dan hukum mendukung para penyair naqaid untuk berdebat tentang realitas suku dan kebesaran mereka. Masing-masing dari mereka menyelidiki topiknya dengan teliti dan mencari bukti untuk mendukung argumennya serta menentang bukti lawan untuk membuktikan ketidakbenaran mereka.
Menurut A.F.L. Beeston, T.M. Johnstone, R.B. Serjeant, dan G.R. Smith dalam buku Arabic Literature to the end of The Umayyad Period, Al-Farazdaq dan Jarir adalah penyair berasal dari suku Bani Tamim, berselisih ketika seorang penyair dari Mujashi', suku Al-Farazdaq, dikalahkan dalam satire oleh Jarir. Dalam satirenya, Jarir mencemooh wanita-wanita dari Mujashi', yang meminta al-Farazdaq untuk membela kehormatan mereka. Dua penyair terbesar di Irak ini kemudian memulai perselisihan terpanjang dalam puisi Arab. Naqaid mereka, yang jumlahnya setidaknya seratus, dikarang selama 40 tahun, dan baru berakhir dengan kematian al-Farazdaq. Naqaid tersebut menjadi sarana persaingan di mana keahlian sastra ditunjukkan. Masyarakat berkumpul di sekitar para penyair, masing-masing berdiri di sudut al-Mirbad, berpenampilan khusus untuk kesempatan tersebut. Para penonton seringkali tertawa terbahak-bahak, terutama ketika mereka mendengarkan cercaan Jarir, yang penuh dengan sindiran nakal dan gambaran yang lucu. Seiring berjalannya waktu, kedua penyair ini mengagumi satu sama lain karena seni dan ketahanannya di arena. Beberapa cerita diceritakan tentang kasih sayang saling mereka, dan ketika al-Farazdaq meninggal, Jarir menulis syair ratapan untuknya.
Dalam Diwan Al-Farazdaq yang disunting oleh Tahq Al-Bustani hal 353 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Walidin dalam artikenya yang berjudul Silang Sengketa Sastrawan Dinasti Umayyah, bait berikut ini puisi dari Al-Farazdaq yang menggambarkan kehinaan suku Jarir. Bila dirasakan, puisi hija’ ini dapat membuat biru telinga bani Kulaib. Belum lagi rasa malu yang akan ditanggung oleh suku ini bila puisi al-Farazdaq didengar oleh suku lain.
ولو ترمى بلؤم بني كليب # نجوم الليل ما وضحت لساري
ولو لبس النهار بنو كليب # لدنس لؤمهم وضح النهار
وما يغدو عزيز بني كليب # ليطلب حاجة إلا بجار
Mendengar hinaan itu, Jarir menyerang al-Farazdaq dengan cara membalikkan fakta. Menurutnya, al-Farazdaq telah berusaha mati-matian menghancurkan Mirba’ untuk membunuh karakter Jarir. Akan tetapi, ia dibuat kecele karena justru Mirba’nya tetap jaya sepanjang masa. Kemudian ia membuka aib al-Farazdaq sebagai pecundang yang berbuat mesum dengan mendatangi kekasihnya secara tidak hormat. Hal ini tentu menjadi aib besar bagi orang Arab yang mendewakan keberanian dan kejantanan:
يوصل حبليه اذا جن ليله # ليرقى الى جارته بالسلالم
هو الرجس يا أهل المدينة فا # حذروامداخل رجس بالخبيثات عالم
Kebiasaan seorang penyair dalam mengejek penyair lainnya dengan menghubungkan penyair dengan sukunya akan menambah pedas puisi yang dilontarkan. Al-Akhtal juga menggunakan teknik ini untuk menghina Jarir. Sukunya dari bani Kulaib bahkan moyangnya Yarbu’ tidak luput dari incaran puisi hija’nya.
أما كليب بن يربوع فليس لهم # عند التفارط إيراد ولا صدر
مخلفون ويقضي الناس أمرهم # وهم بغيب وفي عمياء ما شعروا
Mendengar ejekan terhadap moyangnya dalam puisi hija’ al-Akhtal, Jarir tidak bisa menahan emosinya untuk membalas ejekan al-Akhtal. Segera saja suku Taghlib menjadi sasaran puisi hija’ Jarir dengan menyebut mereka sebagai sebuah suku yang tidak jantan, keturunan budak, dan penganut agama yang akan menerima azab, diambil dari Diwan Jarir hal 363 :
ولوانَّ تغلب جمَّعت أحسابها ... يوم التفاضل لم تزن مثقالا
لا تطلبنَّ خؤولة في تغلب ... فالزنج أكرم منه أخوالا
Perselisihan diantara mereka dalam puisi-puisi hija' terjadi sampai sampai Al-Akhtal meninggal pada tahun 92 H/710 M, Al-Farazdaq pada tahun 110 H/728 M, dan diikuti oleh kematian Jarir enam bulan kemudian pada tahun yang sama.
*** * ***
Esai Mahasiswa 2:
Pesona Pujangga Cinta Dari Bani Udzrah: Jamil bin Abdullāh bin Ma'mar
al-'Udzrī
Oleh Erika Mawarni (23101010092)
Dikutip dari Wikipedia yang mengutip Salma Jayyusi (1994) dalam bukunya The
Legacy of Muslim Spain Brill
halaman 460 Jamil bin Abdullāh bin Ma'mar
al-'Udzrī wafat pada
tahun 701 M, juga dikenal dengan sebutan "Jamil Buthayna", adalah
seorang penyair romantis (ghazal) Arab klasik. Ia berasal
dari suku Bani 'Udzrah yang terkenal dengan tradisi puitis cinta yang murni. Menurut
damas Abu Amr Jamil adalah penyair terkenal dan
kekasih Buthaina, adalah putra Abd Allah Ibn Mamar Ibn Subah Ibn Zabyan Ibn
Hunn Ibn Rabia Ibn Haram Ibn Dubba Ibn Abd Ibn Kathir Ibn ´Udhra Ibn Saad Ibn
Hudaim Ibn Zaid Ibn Laith Ibn Sud Ibn Aslam Ibnu Alhaf Ibnu Kudaa. Jamil adalah
salah satu kekasih Arab yang terkenal pada zaman Bani Umayyah.
Diambil
dari arabnews dalam
artikel yang berjudul A timeless love story from heart of Saudi Arabia’s Alula yang
telah diterjemahkan dari bahasa inggris Puisi cinta Badui akhir abad
ketujuh ditulis oleh Jamil ibn Mamar, yang juga dikenal sebagai Jamil
Buthainah, seorang penyair dari suku Bani Udhra di Madinah selama periode
Umayyah. Ia adalah pelopor dalam gaya puisi ghazal, sebuah elemen sastra Islam
yang mengusung tema cinta dalam gaya liris. Ia terkenal karena tradisi
puitisnya tentang cinta suci, sebuah tema umum di suku Badui pada masa itu.
Menurut موضوع.كوم dengan judul ما_هو_الحب_العذري yang telah diterjemahkan dari Bahasa arab
Jamil adalah seorang penyair, fasih, dan pecinta Arab yang terkenal. Dia
mencintai Buthaina, yang merupakan salah satu gadis di sukunya, dan memiliki
ketertarikan padanya sejak kecil. Dia menulis puisi tentangnya, saat dia
meminta ayahnya untuk menikahkannya dengannya, tapi dia menolak. Karena takut
akan skandal; Dianggap memalukan bagi orang Arab pada waktu itu untuk
menikahkan anak perempuannya dengan orang yang jatuh cinta padanya, dan
menikahkannya dengan pria lain, namun hal ini tidak menghalangi Jamil untuk
mengarang puisi tentang dirinya dan bertemu dengannya.
Pada
akhirnya perbuatan mereka diketahui oleh kabilah Butsainah lalu mereka
melaporkan Jamil dan
Butsainah kepada Raja Marwan bin Hisyam al-Hadromi.Setelah Jamil kepergok
menemui Butsainah secara diam-diam, akhirnya ia lari ke Yaman, akan tetapi Raja
Marwan tetap memburunya, dan akhirnya Jamil kembali ke Negerinya. Setelah cukup
lama berada di negerinya, ia pergi ke Syam dan selalu mengirim surat kepada
Butsainah melalui perempuan kepercayaan Jamil. Ia pergi ke Syam dengan rasa
takut akan dibunh oleh raja Marwan, akhirnya ia hijrah ke Mesir dengan membawa
hati yang kecewa, namun ia selalu membuat syair-syair yang menggambarkan
tentang cintanya terhadap Butsainah.
Pada
akhirnya, ia mengabdi pada raja Abdul aziz bin Marwan, karena beliau selalu
membantu Jamil. Beliau ingin menyatukan kembali cinta anatara Jamil dan
Butsainah, namun, sebelum keinginan itu tercapai, Jamil telah meninggal dengan
membawa cintanya yang lama yaitu Butsainah. Setelah Butsainah mengetahui akan
kematian Jamil, ia sangat sedih dan meratapi kepergian Jamil sampai matanya
buta. Puisi Jamil bin Ma’mar dalam buku
د يوان جميل yang berjudul شعرالحب العذى pada halaman 21 berbunyi:
إذ
خَطَرَتْ من ذكر بـثـنـةَ خطرةٌ #
عصتني شؤون العين فانهلّ ماؤها
فإن
لم أزرْها عادني الشوقُ والهوى #
وعاود قلـبـي من بثينـة داؤها
وكيف
بنفـسٍ أنتِ هيّجتِ سُقمهـا #
ويُمنع منها يـا بثيـنَ شفـاؤهـا
لقد
كنتُ أرجـو أن تجـودي بنائل # فأخلف
نفسـي من جداك رِجاؤه
(1)Sungguh telah membekas dalam hatiku dengan jelas # bayangan Butsainah
di hari ketika selendangnya terbang. (2) begitu sulit aku mengingat Butsainah #
membuat perasaanku padanya semakin dalam seakan air mata ini memancarkan. (3)
Jikalau aku tak mengunjunginya, hatiku galau diliputi
hasrat kerinduan yang begitu dalam # dan butsainahlah yang mampu memulihkan
hatiku. (4)Dan bagaimana dengan diriku, engkaulah yang
membuat aku sakit # dan engkau pula pengobat rasa sakit hatiku wahai Butsainah.(5) Sungguh aku berharap dapat merubahnya menjadi lebih baik # maka tidak
dapat dipungkiri bahwa diri ini berharap untuk memilikimu.
Berdasarkan
uraian yang ada di atas, bisa disimpulkan bahwa pada abad ke – 700 Indoesia mulai
berdiri Kerajaan - Kerajaan yang bercorak
Hindu Budha seperti halnya Sriwijaya
dan Mataram Kuno. Saat abad itu juga Agama Islam baru saja masuk ke Indonesia.
Pulau Sumatera menjadi daerah pertama yang menerima penyebaran agama islam.
Ketika dunia arab dikenalkan pada puisi – puisinya tentang cinta maka Eropa sedang tidak baik - baik saja
dikarenakan pada tahun itu Eropa
memasuki Periode
Abad Pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.
Periode ini juga dikenal sebagai zaman kegelapan ( dark age) karena Masyarakat
eropa mengalami kemunduran di bidang ilmu pengetahuan dan intelektual.
*** * ***
Esai Mahasiswa 3:
Puisi Pada Masa Umayyah Awwal, Biografi Al-Farazdaq
Oleh Ahmad Farhan Alfauzan
Hamam bin Hammam Ibn Ghalib Al-Tamimi; lahir
tahun 641 M /20 H/ meninggal 728 – 730 M/110-112 H), ia lebih dikenal dengan
nama Al-Farazdaq ( الفرزدق adalah seorang penyair dan bangsawan dari Basrah, yang sangat
besar pengaruhnya terhadap bahasa Arab, sampai ada salah satu ucapan yang
mengucapkan jika bukan karena puisi Al farazdaq naka akan hilang sepertiga
bahasa Arab dan dan jika bukan
karena puisinya, separuh berita masyarakat akan hilang[1]
Al-Farazdaq hidup pada masa Dinasti Umayyah. Dinasti Umayah adalah periode
pemerintahan Islam yang ketiga setelah masa Rasul dan Khulafa Rasyidin.
Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, Dinasti Umayyah berdiri akibat
perebutan kekuasaan antara keluarga Umayyah dan keluarga Ali bin abi Thalib
dalam peristiwa tahkim (arbitrase)ز[2]
Al-farazdaq berasal dari suku Dārim, salah satu divisi paling
dihormati dari bani Tamīm, dan ibunya berasal dari suku Ḍabba. Kakeknya Sa'sa'
adalah seorang Badui yang sangat terpandang, ayahnya Ghālib menjalani cara
hidup yang sama hingga Basra didirikan, dan terkenal karena kemurahan hati dan
keramahtamahannya. Pada usia lima belas tahun Farazdaq dikenal sebagai seorang
penyair, dan meskipun sempat dicegah oleh nasihat khalifah Ali untuk
mengabdikan perhatiannya pada studi Al-Qur'an, ia segera kembali membuat syair.[3]
Ia menikah dengan seorang gadis yang
bernama al-Nawar, namun demikian ia juga terkenal memiliki banyak perempuan, di
antaranya: Hadra binti zaiq ibn Bustham ibn Qais, Thayyibah binti al- ‘Ajjaj
al-Majasyi’i, Rahimah binti Ghani ibn dirham al-Namiriyah, dan lainnya.
Ketika al-Farazdaq menceraikan alNawwar istrinya yang pertama, ia sangat menyesal [4]Hal ini tampak pada syairnya:
ندمت ندامة الكعسى ملا
ىي مطلّقة غدت من نوار
“Akupun
menyesal seperti al-Ka’sa ketika
#
Nawwar yang kuceraikan pergi dariku”.
Ia kemudian kembali menulis puisi dan mulai menggunakan
syair yang merupakan bakatnya untuk menyerang Bani Nahsyal dan Bani Fuqaim. Ia
terpaksa melarikan diri ke Kufah ketika Ziyad, seorang anggota suku Bani Fuqaim
menjadi gubernur Basrah pada tahun 669. Emir kota Kufah, Said Ibn Al-As
menerimanya dengan baik dan ia tinggal di sana selama sepuluh tahun sambil
menulis satir tentang suku Badui namun ia memilih untuk menjauhkan diri dari
politik di kota tersebut.[5]
Kondisi Umum Pemerintahan Bani
Umayyah
Masa
pemerintahan dinasti umayyah, di mana ketiga penyair ini hidup, dimulai dari
tampilnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan memimpin pemerintahan yang bersifat monarkhi
tahun 41 H/661 M yang berpusat di Damaskus hingga pemerintahan Marwan bin
Muhammad tahun 132 H/750 M. Tidak jauh berbeda dengan masa awal
Islam, kehidupan masyarakat pada masa ini tetap dipengaruhi oleh ruh agama yang
bersumber dari al-Qur’an, baik dari aspek kehidupan intelektualitas maupun
aspek politik. Di samping itu, terdapat pula aspek-aspek yang berpengaruh
secara luas baik bagi kepentingan Islam secara umum maupun bagi perkembangan
sastra secara khusus. Aspek-aspek tersebut disebabkan oleh semakin luasnya
wilayah kekuasaan, penyebaran orang Arab ke berbagai daerah taklukan dan proses
terjadinya penyerapan kebudayaan baru, pertumbuhan partai-partai politik,
munculnya fanatisme golongan.
Secara detil, kita akan
mengetahui bahwa faktor-faktor di atas berpengaruh kuat terhadap perkembangan
bahasa dan sastra pada masa kekhalifahan Bani Umayyah ini adalah sebagai
berikut.
1. Sistem Pemerintahan
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam di masa Khulafa’ al-Rasyidun yang
berasaskan ‘musyawarah’ untuk segala macam problem ummat termasuk di antaranya
masalah suksesi, sistem pemerintahan yang diletakkan oleh Mu’awiyah berasaskan
monarki absolut. Suksesi atas dasar musyawarah diganti dengan ‘putra mahkota’
yang akan melanjutkan kekuasaan berikutnya. Sistem ini diyakini lebih aman
daripada sistem musyawarah karena akan menghindarkan perbedaan pendapat dan
meminimalisir kecenderungan perpecahan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bukti
sebaliknya. Sistem ini justru membangkitkan kemarahan pihak-pihak lain seperti
puak Qurais dll. Hingga munculah fanatisme golongan yang didukung oleh para
penyair maupun orator. Implikasinya, muncul puisi-puisi pujian yang mendukung
seseorang dan muncul pula puisi-puisi politik.
2. Munculnya primordialisme
Pada masa ini muncul fanatisme golongan yang memuji kelebihan golongan
tertentu, seperti golongan Adnaniyah dan Qahtaniyah. Yang pertama, adalah
penyokong dinasti Umayyah. Kedua kelompok ini terlibat dalam pertikaian
sepanjang masa pemerintahan dinasti ini. Fanatisme golongan ini menghidupkan
kembali tradisi jahiliyah yang sangat gandrung dengan persatuan kelompok dengan
puisi-puisi ‘fakhr’nya, yang dilantunkan di pasar- pasar sastra, sehingga
mereka membuat suq al-marbad di Basra dan suq al-Kinasah di Kufah.
Bersamaan dangan fanatisme golongan, muncul pula fanatisme kebangsaan (arab
oriented). Daerah-daerah taklukan yang berbahasa non-Arab, seperti Irak dengan
bahasanya Persia, Damaskus dengan bahasa Romawi, dan Mesir dengan bahasa Qibti
dipaksa untuk memakai bahasa Arab dalam berbagai keperluan administrasi
kenegaraan. Belum merasa cukup dengan usaha ini, orang-orang Umawiyah mengirim
putra-putranya untuk dididik di pedalaman Badui untuk mendapatkan cita rasa
bahasa Arab yang murni. Mereka memotivasi perkembangan sastra dengan
menghormati para penyair. Tentu saja hal ini berpengaruh besar bagi
perkembangan bahasa puisi khususnya.
3. Hedonisme
Setelah kuatnya konstruksi negara secara internal, dinasti Umayyah melakukan
ekspansi ke wilayah-wilayah sekitar untuk menyebarkan Islam. Seiring dengan
kemakmuran yang tercipta akibat hasil harta rampasan dan pajak, banyak orang
terutama pejabat, yang menduplikasi peradaban negara taklukan dan masuk ke
dalam budaya baru, yaitu hedonisme. Istana-istana diisi oleh para penyanyi,
seperti Quraid, Jamilah, dan Salamah. Para pejabat tidak segan memberikan
hadiah yang diambil dari Bait al-Mal untuk keperluan membayar pujian yang
didedikasikan pada mereka.
4. Partai Politik dan Sekte Agama
Munculnya partai-partai politik pada masa ini dipicu oleh peristiwa arbitrase
yang dilakukan dalam perang Siffin dan berlanjut dengan peristiwa-peristiwa
lain. Zainal Abidin mencatat empat partai yang eksis pada masa ini. 1)
Partai Umawy, 2) Partai Aly, 3) Partai Khowarij, dan 4) Partai Zubair (mereka
adalah pengikut Abdullah bin Zubair yang keluar dari pemerintahan umawiyyah
pada masa Yazid bin Mu’awiyah dan mendirikan khilafah sendiri, akan tetapi
partai ini paling pendek umurnya, dengan terbunuhnya Abdullah pada masa Abdul
Malik bin Marwan. Sementara di bidang agama juga terjadi perpecahan yang
dikenal dengan aliran ilmu kalam, yaitu Qodariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah dsb.
Baik partai politik maupun aliran keagamaan yang tumbuh pada masa ini memiliki
para penyair dan orator yang membela keyakinan mereka dan membalas serangan
para pesaingnya.
Tidak
pelak lagi, Damaskus sebagai pusat pemerintahan dan para pejabat menjadi basis
bagi pertumbuhan sastra yang berorientasi politis. Hubungan khalifah dan
pejabat dengan para penyair bersifat simbiosis mutulaisme. Khalifah berusaha
mendekatkan para penyair dengannya untuk meminta bantuan mereka menyerang dan
bertahan dari serangan musuh. Sementara para penyair mendapatkan kehormatan
dengan menemani khalifah dalam setiap majelis dan memperoleh kesenangan.
Damaskus, telah menjadi tempat favorite bagi para penyair pujian.
Sementara di
Irak, kecenderungan puisi politik, fanatisme kesukuan dan mazhab lebih
mendominasi. Hal ini disebabkan oleh banyak peperangan dan fitnah. Lalu muncul
puisi-puisi satiris dan politis yang dibawakan oleh para penyair di al marbad
Basrah dan al Kinasah Kufah dan di masjid-masjid di kedua kota itu sebagaimana
mereka berkumpul di pasar Ukkaz pada masa Jahiliyah.
Sementara di
kawasan Hijaz, berkembang juga puisi politik dan fanatisme golongan sebagaimana
di Syam dan Irak, hanya saja juga masih terdapat puisi dengan jenis al-ghazal
atau percintaan. Berkembangnya puisi politik di kawasan ini disebabkan
ketakutan Mu’awiyah dan khalifah sesudahnya terhadap daya destruktif dan
ancaman orang-orang Quraisy terhadap pemerintahannya. Taktik politik Mu’awiyah
adalah menyibukkan mereka dengan pemberian harta, meracuni dengan kultur foya-foya
agar mereka lupa dan tidak berfikir untuk melakukan kudeta. Lalu, lagu, santai,
foya-foya, dan mengagumi keindahan menjadi alat politik yang jitu untuk
menidurkan suku Quraisy dari keterjagaan politik.
Di sisi yang
lain, penduduk Hijaz melihat ini sebagai peluang untuk lebih menikmati hidup.
Setelah Gerakan Dakwah Islam melemah di kawasan ini dan diikuti dengan
lemahnnya pengawasan pemerintah karena pusat pemeritahan berpindah ke Damaskus,
banyak pemuda Makkah dan Madinah yang cenderung berfoya-foya sehingga meluaslah
jenis puisi ghazal ini[6]
Berikut kutipan salah satu puisi Al-farazdaq dalam
kumpulan puisi oleh
Alī Fā’ūr, dalam kitab Diwan Al-farazdaq
menjelaskan tentang budaya satire puisi pada zaman Ummayah salah satunya
Al-hijā al-ijtimā’i (Satire Sosial) Budaya satire lainnya yang juga berkembang pada masa
Bani Umayah adalah satire sosial atau al-hijā al-ijtimā’i. Secara umum penyair
dikenal memiliki kepekaan khusus terkait dengan masalah sosial yang ada di
sekitarnya. Begitu juga dengan al-Farazdaq. Ia tidak segan-segan mengkritisi
kondisi sosial yang tidak sesuai dengan budaya dan etika saat itu.
Berikut contoh satire sosial al-Farazdaq yang ditujukan
untuk para perempuan penggoda pada masa itu[7]:
تضاحكت أن رأت شيبا تفرعني # كاأنها أبصرت بعص الأعاجب
Ia (wanita) tertawatawa melihatku di caci maki orang tua
itu, seakan-akan ia melihat sesuatu yang aneh”
من نسوة لبني ليث وجيرتهم # برحن بالعين منحسن ومن طيب
“Ia
(wanita) itu dari Bani Laits dan sekitarnya yang selalu berhias dan memakai
celak mata setiap malam”
فقلت ان الحواريات معطية # اذا تقتلن من تحت الجلابيب
“Lalu
aku katakan, “sesungguhnya gadisgadis itu akan hancur ketika berlengganglenggok
dengan jilbabnya”
يدنون ابلقول، واألحشاء انئية #كدأب ذي الصعن من
أني وتقريب
“Melembut-lembutkan
suara, dan napas mendesah-desah, bagaikan orang yang mengejar pencuri”
وبالأماني حتي يختلبن بها # من كان يحسب منا غير
مخلوب
“Kalian
juga menggoda laki-laki yang tidak mudah tergoda dengan harapan-harapan (palsu)
Syair ini sesungguhnya digunakan
alFarazdaq untuk memuji Abdul Malik bin Marwan dan mencela al-Hakam bin Ayyub
at-Tsaqafi yang menghalanghalanginya untuk berpuisi satire”[8]
[2] Ahmad Hasan
Basbah, Al-Ahthal Syāir Bani Umayyah, 7–8.
[8] Alī Fā’ūr, Diwan Al-farazdaq
*** * ***
Esai Mahasiswa 4:
Historiografi Al-Farazdaq:
Penyair Satire yang Menelanjangi Realita Sosial Bani Umayyah
Oleh : Lukman Hakim El- Ma’alie
Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwasanya Pada masa Bani Umayyah, kekhalifahan
islam berkembang sangat pesat, baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun
budaya. Setelah penguasaan Bani Umayyah atas kekhalifahan, pusat pemerintah
mereka berada di Damaskus, Suriah. Hal ini membawa pengaruh
besar terhadap perkembangan sastra Arab, yang terpengaruh oleh berbagai budaya,
termasuk budaya Persia, Bizantium, dan India. Sastra Arab pada masa itu, juga
sangat dipengaruhi oleh ajaran islam, yang mulai meresap ke dalam kehidupan
sosial dan budaya. Pengaruh ini terlihat dalam puisi dan prosa yang mulai
mengangkat tema-tema keagamaan, baik itu tentang keimanan, kebijakan, maupun
moralitas. Namun, pada masa itu, Sebagian besar karya sastra masih mengandung
unsur-unsur kebudayaan pra-Islam, meskipun ada transisi ke pemikiran yang lebih
Islami.
Selain itu juga, meskipun Bani
Umayyah berkuasa dengan kekuatan yang besar, banyak penyair yang tidak ragu dan
takut untuk mengkritik kekuasaan dan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah
Umayyah. Kritikan tersebut sering kali muncul dalam bentuk sindiran halus dalam
sebuah puisi dan pidato, dengan menggunakan bahasa yang halus dan penuh dengan
makna. Salah satu penyair yang berani mengutarakan kritikannya dengan bentuk
puisi yaitu : sang penyair satire Al- Farazdaq.
Siapa yang tidak kenal dengan
Al-Farazdaq, Farazdaq adalah salah satu di antara Penyair Muslim besar di
Istana Kekhalifahan Bani Umayyah Timur yang lahir pada tahun ahir 641 M /20 H,
selain Jarir dan al-Akhtal. Bernama lengkap Abu
Faris Hammam bin Gholib at-Tamimi,
tetapi biasa dikenal sebagai al-Farazdaq. Ia lahir di Kadhima (sekarang Kuwait) dan
tinggal di Basra. Ia adalah anggota Darim (dewan sesepuh) salah satu divisi
paling terhormat di Bani Tamim, dan ibunya berasal dari suku Dabbah. Kakeknya
Sa’sa’ adalah seorang Badui terkenal, ayahnya Ghalib mengikuti cara hidup yang
sama hingga Bashrah didirikan, dan terkenal akan kelemah lembutannya.[1]
Puisinya dinilai kaya dengan ungkapan-ungkapan indah, diksi
terpilih dan unik, dan memiliki kedalaman makna serta cenderung mengikuti gaya
puisi Jahiliyah yang murni. al-Farazdaq terkadang bersifat “gila” dan berani,
seperti syi’ir dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat seorang tirani,
al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama berabad-abad. Kekayaan
kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab terdahulu berkata, “Jika
syi’ir-syi’ir al-Farazdaq tidak ada, sepertiga bahasa arab akan hilang”.
Diwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan.
al-Farazdaq meninggal tahun 110 H di Basroh.
Salah satu contoh Puisi Al-Farazdaq, sebagaimana dalam blog
sasmitowae, dan syair berikut ini menggambarkan pertikaian antara
al-Farazdaq dengan Jarir. Sya’ir ini didahului dengan prolog al-Farazdaq yang
membanggakan kaumnya, kemudian baru menyerang Jarir dan sukunya, seperti : Jika
ditelusur dalam diwannya yang disunting
‘Ali Fa’ur oleh halaman 489.
إنَّ
الذى سَمَكَ السَمَاءَ بَنَى لَنَا #
بَيْتًا دَعَائِمُـهُ أَعَزُ وأَطْـوَلُ
بَيْـتًا
بَنَاهُ لَنَا الملِيكُ, ومــــــــــا بَنَى #
حَكَمُ السمَاء فَإِنَّهُ لا يُنْقَلُ
بَيْتًا
زُرَارَةُ مُحْتَبٍ بِفِنَائِــــــــهِ #
ومُجَاشِعُ, و أَبُو الفَوارسِ نَهْشَلُ
لا
يَحْتَبِى بِفِنَاءِ بَيْتِكَ مِثْلُهُمْ # أَبَدًا إِذَا عُدَّ الْفَعَالُ
الأَفْضَلُ
ضَرَبَتْ
عَلَيْكَ الْعَنْكَبوتُ بِنَسْجِهَا
# و قَضَى عَليْكَ بِهِ
الْكِتَابُ المنزَلُ
و
إذا بَذَخْتُ فرايِتَي يَمْشِي بِهَــــــــا
# سُفْيَانُ, أو عُدُسُ
الفَعَالِ, و جَنْدَلُ
Makna dan maksud dari syair Al-
Farazdaq :
Ø Sesungguhnya Allah yang mengangkat
langit dan yang telah memberikan kita kemuliaan lebih kuat dan besar
dari segala kemuliaan.
Ø Kemuliaan ini merupakan ciptaan Allah dzat
yang mengangkat langit, dan apa-apa yang dibangun oleh Allah tidak akan lemah
dan hancur.
Ø Dan di pelataran kemuliaan ini hiduplah nenek
moyang yang besar, diantaranya Zararah, Majasyi’, dan Nahsyal.
Ø Tidak ada di kaummu wahai Jarir seperti mereka
yang pemberani, dimana kamu bisa berbangga-bangga dengan mereka.
Ø Maka kamu dari rumah yang lemah seperti rumah
laba-laba, dimana Allah menjadikannya permisalan dalam kelemahan di dalam
firman-Nya.
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah.
Dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka
Mengetahui”. (QS: Al-‘Ankabuut: 41).
Ø Jika aku berbangga-bangga wahai Jarir, maka
sesungguhnya kami berbangga-bangga dengan nenek moyang yang mulia, seperti
Sufyan (سفيان), ‘Udus al-fa’aali (عدس
الفعال) dan Jandal (جندل).[2]
Ada beberapa
alasan mengapa beliau dijuluki dengan Penyair satire yang menelanjangi realita
sosial Bani Umayyah, diantaranya:
Ø Dijadikan
sebagai alat untuk menyapaikan kritik sosial dan politik terhadap ketidakadilan
dan penyalahgunaan kekuasaan. Beliau juga tidak ragu untuk mengungkapkan
pandangannya yang pedas terhadap pemerintah, ketimpangan sosial, dan kondisi
moral masyarakat.
Ø Banyak
menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa bani umayyah yang penuh dengan
ketidaksetaraan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan. Beliau juga mampu
menelanjangi sisi gelap masyarakat yang disembunyikan oleh kekuasaan dan elit,
dan memberikan gambaran yang lebih jujur tentang kehidupan pada masa itu.
Ø Keberaniannya untuk menentang elit kekuasaan dan para penguasa yang korup. Beliau terkenal karena menghadapi dan mengkritik tokoh-tokoh besar pada zaman itu, termasuk dengan menuliskan puisi yang secara langsung mengecam perilaku mereka. Wallahu A’lam.
[1] https://dadanrusmana.com/2011/08/11/farazdaq-penyair-muslim-transisi-masa-ali-ke-bani-umayyah-timur/
Esai Mahasiswa 5:
Al-Quthami ath-Thaglabiy : Penyair Penyair Yang Terkalahkan Oleh Wanita
Oleh: Muhammad Yahdinarrohman
Penyair Al-Qatamial-Taghlibi dengan nama asli Amir binShu'aym bin Amr bin 'Abad bin Bakr bin 'Amir bin Usama bin Malik bin Jashm binBakr bin Habib bin 'Amr bin Ghanam bin Taghlib dijuluki al-Qatami. Ia juga dikenal
dengan julukan Abu Sa’id, dan berasal dari Bakr bin Habib bin Amr bin Ghanam
bin Taghlib, yang merupakan penyair terkemuka pada masa Dinasti Umayyah. Ia seorang penyair terkenal dalam puisi cinta. Ia awalnya seorang
Nasrani dari Tigris di Irak, kemudian memeluk Islam. Ia merupakan keponakan Al-
Akhtal, penyair nasrani terkenal. Merskipun ia keponakan Al- Akhtal ada
terdapat perbedaan mengenai puisinya. Dan al-Qatami adalah seorang penyair
terkenal, memiliki gaya yang khas, dan puisinya manis. Sedangkan al-Akhtal
lebih dikenal darinya dan puisinya lebih kuat.
Dan ketika pertama kali yang diangkat dari Al-Qatami dan
mengangkat namanya adalah ketika ia datang pada masa kekhalifahan Al-Walid bin
Abdul Malik ke Damaskus untuk memujinya. Namun, dikatakan kepadanya: "Dia
pelit, tidak memberi para penyair." Ada juga yang mengatakan bahwa ia
datang pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, dan dikatakan kepadanya:
"Seni puisi tidak dihargai di sini dan tidak diberi imbalan." Dan ini
adalah Abdul Wahid bin Suleiman, maka pujilah dia.
Ibn Salam
berpendapat bahwa ia menempatkannya dalam lapisan kedua dari para Muslim
setelah Al- Akhtal, dan ia berkata: "Al-Akhtal lebih dikenal darinya dan
puisinya lebih kuat." Al-Abbasi (dalam *Ma'ahid al-Tanseeq) menyebutkan
sejumlah berita baik tentangnya yang menunjukkan bahwa ia masih muda pada masa
kejayaan al-Akhtal, dan al-Akhtal merasa iri terhadap bait-bait puisinya.
Dikatakan bahwa al-Qatami adalah orang pertama yang dijuluki "Penyair yang
Terkalahkan oleh Wanita" dengan ungkapannya: "Penyair yang
Terkalahkan oleh wanita yang memikatnya hingga ia tumbuh dewasa hingga
rambutnya memutih." Al-Marzabani menyatakan bahwa di awal Islam (?), salah
satu puisinya yang terkenal adalah: "Kadang-kadang orang yang sabar bisa
mencapai kebutuhannya, dan bisa jadi orang yang terburu-buru mengalami
kesalahan." Ia memiliki "Diwan Syair" - yang diterbitkan dan
dijelaskan di Leiden, dan dicetak ulang dengan penelitian di Baghdad. Al-Qatami
dapat dibaca dengan mengharfiahkan qaf dan membukanya. Al-Zubaidi berkata:
"Pembukaan untuk Qais, dan seluruh Arab membacanya dengan menutup."
Al-Abbasi juga
menambahkan dalam karyanya (dalam Al-Ma'ahid al-Tansis) ia menyebutkan bahwa
ada beberapa kisah baik tentangnya, yang menunjukkan bahwa ia masih muda ketika
al-Akhtal terkenal, dan al-Akhtal merasa iri terhadap beberapa bait puisinya.
Dikatakan bahwa al-Qatami adalah orang pertama yang dijuluki 'Sari' al-Ghawan'
dengan ucapannya: 'Sari' al-Ghawan yang dirayu dan direngkuh, hingga ia tumbuh
dewasa dan rambutnya mulai memutih.'
Dalam perang
suku Taghlib dan Qais, ia ditangkap oleh salah seorang dari suku Qais pada hari
maksin. Pada saat itu iya akan dihukum mati beserta sukunya. Namun, Zafar bin al-Harith Al- Kalabi mengenalinya ia membebaskannya dari penangkapan dalam perang antara Qais dan Taghlib, lalu ia memberi ampun kepadanya
dan memberinya seratus unta serta mengembalikan hartanya. Maka al-Qatami
pun memuji Zafar bin al-Harith.
Berikut kutipan
puisi dalam buku yang ditulis oleh Dr. Syauqi Dhaif dalam buku Al- Ashr Al-
Islami tentang al-Qatami yang memuji Zafar bin
al-Harith Al- Kalabi atas perilakunya kepada dirinya ketika ia dilepaskan
dari tawanan:
ومن يكن استلام إلى ثوىّ # فقد أحسنت ، يا زُفَرُ ، المتاعا
أأكفر بعد رد الموت عنى #وبعد عطائك المائة الرتاعا
ولم أر منعمين أقلَّ مَنَّا # وأكرم عندما اصطنعوا اصطناعا
من البيض الوجوه بنى نُفَيْلٍ #أبت أخلاقهم إلا اتساعا[i]
Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada yang
telah meninggal, Maka engkau telah melakukan yang terbaik, wahai Zufar.
Apakah aku akan mengingkari (Tuhan) setelah
kematian menjauhkan dariku, Dan setelah pemberian-Mu yang begitu banyak?
Dan aku tidak melihat orang-orang yang hidup
dalam kemewahan. Lebih sedikit pujian dan lebih mulia ketika mereka memberikan.
Dari orang-orang berkulit putih, keturunan
Nufail, Akhlak mereka tidak menerima kecuali keluasan (kemurahan hati).
Al- Quthami mengungkapkan rasa syukur dan penghargaan atas pertolongan yang diberikan oleh Zufar. Ia menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari Tuhan setelah diselamatkan dari kematian, dan menyatakan bahwa orang-orang kaya yang hidup dalam kemewahan tidak lebih mulia daripada orang-orang berkulit putih dari keturunan Nufail, yang memiliki akhlak yang terbuka dan dermawan. Karya-karya puisi lainnya bisa dibaca dalam kumpulan puisinya "diwan al-Quthanmiy"
Dalam puisi tersebut, penyair mengungkapan rasa
sedih atas pertempuran yang terjadi antara suku Taghlib dan Qais, meskipun
mereka memiliki hubungan dan sebab-sebab yang mengikat. Penyair tulus berdoa
untuk perdamaian dan penghentian perang yang merusak ini, yang terkadang
berhenti sejenak namun kemudian kembali berkobar lebih hebat, menyiksa
anak-anak dari kedua suku tersebut.
Mengenai
kematiannya sekitar tahun 101 H, ada keraguan, dan ada juga yang berpendapat
bahawasannya ia meninggal pada tahun 130 H, karena Sibawaih dan orang lain mengutip beberapa puisinya, dan mereka tidak mengutip puisi dari
lapisan yang datang setelah Jarir dan al-Farazdaq.[ii]
Uraian tokoh Al-Qatami yang wafat pada tahun 719 M,
sekitar 87 tahun setelah wafat Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah
Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam
kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah kerajaan Sriwijaya menjadi sebagai sebuah kerajaan yang berhasil
berkuasa dalam mengendalikan jalur perdagangan utama di wilayah Selat Malaka.
Serta berhasil pula untuk menaklukkan berbagai kerajaan yang ada di Pulau
Jawa.Sebagai kerajaan yang berada di jalur perdagangan yang melintasi Selat
Malaka, terdapat banyak sekali para pedagang yang singgah di jalur perdagangan
ini guna membeli rempah-rempah. Tidak hanya barang berupa rempah-rempah saja,
awal mula berdirinya kerajaan Sriwijaya juga terjadi pula sebuah pertukaran kebudayaan
yang dibawa oleh para pedagang yang berasal dari India, Arab, dan China yang
membawa dampak terhadap budaya di Pulau Sumatera sampai sekarang ini.
[i] Dr.
Syauqi Dhaif , Al- Ashr Al- Islami, hal 225
Esai Mahasiswa 6: dipublikasikan 1-1-2025
Jejak Sang Inovator Bahasa Arab yang Mendeklarasikan Keikhlasan
(Abu Al Aswad Ad-Du’ali)
Oleh: Abdul Muis
Abul Aswad Ad- Dualiy Merupakan penggagas ilmu nahwu dan di juluki sebagai bapak Bahasa arab. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Aswad Zalium ibn Amr ibn Sufyan ibn jandal ibn Yamar ibn Hils ibn Nufatha ibn al-Adi ibn al-Dil ibn Bakr. Lebih dikenal Abu al-Aswad ad-Dualiy ( atau Ads-Dili), Orang hyang di ambil ilmunya dan yang memiliki keutamaan,l Dia dilahirkan pada masa kenabian Muhammad SAW, Ia yang pertamakali mendefinisikan Bahasa afrab dan dijuluki sang Inovator Bahasa Arab. Hal yang melatar belakangi hal tersebuty ialah ketia pada saat itu abu al aswad ad dualiy mendenbgar secara langsung kesalahan bacaan seseorang yang sangat fatal dari Al-Qur’an. Kesalahan dalam pelafalan Al-Quran itu menjadi suatu keresahan para tokoh-tokoh islam, Salah satunya Gubernur Basrah Ubaydillah bin ziyad. Ubaydillah bahkan meminta kepada ad-Dualy umtuk mencarikan Solusi atas permasalahan itu. Ad-dualy pun mulai mengerjakan tugasnya dalam merumuskan sistem Shakl (Dlommah,Kasrah Fathah dan Sukun), Setelah itu ad-Dualy pun terus mengembangkan sampai dengan pengembangan pada Huruf nashab sehingga pada saat itu Terbentuklah suatu tata Bahasa atau gramatika Bahasa arab sehingga hal kitu yang menjadikan abu Al-asdwad Ad- Dualiy dijuluki sebagai Ummuy Bahasa arab dan sang inovator Bahasa arab. Abu al aswad Ad-Dualiy wafat pada tahun 69 H (688 M) Ad- Dualiy wafat karena wabah ganas pada saat itu pada saat ad-Dualiy dalam usia 85 Tahun.
Selain itu Abu Al Awad Ad-Dualiy juga salah satu penyair zuhud yang menyuarakan keihklasan, Ad-Dualiy. Dari sekian banyak syairnya, Abu al-Aswad menunjukkan konsep zuhud yang ia terapkan dalam hidupnya. Adapun syair yang bermuatan zuhud dalam syair Abu al-Aswad al-Duali dan keterkaitan zuhud tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an .
1. Tawakal
Dalam syairnya, Abu al-Aswad mengingatkan akan pentingnya tawakal dalam hidup. Banyak syairnya yang mengandung anjuran untuk tawakal, memasrahkan diri kepada Allah Swt. Dan menurutnya tawakal bukan berarti bahwa seseorang tak perlu berusaha apapun, dalam hal ini Abu al-Aswad menyebutkan bahwa tawakal tetap harus diiringi dengan usaha. Abu al-Aswad berkata:
فما للمضاء والتوكل من مث | إذا كنت معنيا بأمر تريده |
يراد به آتيك أنت له مُخْلِ | توكل وحمل أمرك الله إنما |
Bila kau sedang berusaha untuk mencapai suatu hal yang kau inginkan #
(ketahuilah bahwa pada) tekad yang kuat dan tawakkal tak ada bandingannya # Bertawakkallah dan sertakan Allah dalam urusanmu, sungguhlah apa #yang engkau inginkan akan mendatangimu dan tak ada penghalang.
2. Sabar
Dalam syairnya Abu al-Aswad pun menyampaikan bagaimana ia menghadapi cobaan hingga akhirnya bisa berlapang dada dan sabar:
وأسلمني طولُ البلاء إلى الصبر | تعوّدتُ من الضرّ حتى ألفتُه |
وكان قديماً قد يضيق به صدري | ووسّع صدري للأذى كثرةُ الأذى |
ألاقيه منه كال عتبي على الدهر | إذا أنا لم أقبل من الدهر كلّ ما |
Aku sudah biasa ditimpa bahaya hingga aku menjadi terbiasa #
Dan cobaan yang berlangsung lama mengantarkanku pada kesabaran#
Hatiku menjadi lapang dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan #
Dan (padahal sebelumnya) dulu hal yang menyakitkan itu membuat hatiku sesak #Bila aku tidak menerima “masa” (semua kejadian yang ada), maka setiap kali Aku menjumpainya akan memanjanglah celaanku pada “masa.
Dalam hal ini Abu Al-Aswad Ad-dualiy yang terus mengembangan dan menyuarakan bentuk ekspresi zuhud melalui syairnya yang mampu mendeklarasikan zuhud dalam kehidupannya dan syairnya. Abu Al aswad Ad-Dualiy pun dikenal sebagai politikus , Sebelum berkiprah dalam dunia Ilmu Nahwu, sahabat sekaligus murid Khalifah Ali bin Abi Thalib RA ini pernah berkiprah di dunia perpolitikan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, beliau pernah diangkat menjadi Hakim di Bashrah dan menjadi gubernur pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib di kota yang sama. Beliau juga pernah menjadi juru runding perdamaian pada saat perang Jamal, dan diutus oleh Abdullah bin Anas, sahabat Rasulullah SAW untuk memerangi kaum Khawarij.
Uraian tokoh Abu Al-Aswad Ad-Dualiy yang wafat pada tahun 688 M. jika dikontekskan pada Sejarah Indonesia, Indonesia pada saat itu mengalami perkembangan yang mencangkup transisi penting dalam Sejarah Indonesia dengan kemunculan Kerajaan-kerajaan awal di berbagai wilayah Nusantara.Seperti Kerajaan Sriwijaa pada abad ke 7 tepatnya sekita pada tahun 600 M sriwijaya menjadi Kerajaan maritim yang sangat pentinhg yang menguasaisebagia besar wilayah pesisir Sumatra dan sekoitarnya.Sriwijaya pun berhasil menaklukkan lkerajaan melayu di wilayah jambi yang semakin memperkuat kedudukannya . Selain itu pada abad ke 7 pula ada Kerajaan Tarumanegara yanhg gterletak di jawa barat,Masih berada dalam masa kejayaannya.Namun, pada tahun 630 himhha 670 kerajaan ini mulai mengalami kemunduran.kerajaan ini mulai kehilangan kekuatan poitik dan gterpecah menjadi Kerajaan-kerajaan kecil yang terlokalisasi.
*** * ***
Esai Mahasiswa 7:
Uday bin Al-Raqa': Penyair Istana Dinasti Umayyah yang tak terkenal
saat ini
Oleh: Sabik
Ma’ruf
Nama lengakap
Uday bin Al- Raqa’ adalah Uday bin Zaid bin Malik bin Uday bin Raqa' bin'Asr bin Akkh bin Sya'l,
Ia mempunyai nama panggilan Abu Dawud. Dia tinggal dan besar di Damaskus dan
hidup pada zaman Bani Umayyah sebagaimana dijelaskan dalam buku ديوان
عدي بن الرقاع العالمي [i]
karangan
Hasan Muhammad Nuruddin Uday pernah tinggal di daerah Al-Hawlah, Yordania, dan
kota Madinah dimana ia sering bepergian. Uday bin Al-Raqa’ wafat pada tahun
95H/714M di Damaskus, para sejarawan tidak ada yang menyebutkan tanggal
kelahirannya, akan tetapi meraka menyakini bahwasannya ia lahir pada dekade
keempat dari tahun kalender hijiriyyah yaitu antara tahun 30-40 H. Ia merupakan
sorang penyair besar dari Bani Umayyah dan seorang terkemuka di kalangan Bani
Umayyah.
Menurut Muhammad Izzudin dalam artikelnya, Penyair Politik Masa Dinasti Bani
Umayyah[ii] menjelaskan
Uday bin Al-Raqa’ merupakan seorang penyair istana yang sangat patuh dalam
berkhidmat untuk pemerintahan Bani Umayyah serta para khalifahnya, memuji para
bangsawan baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, serta mendukung
penuh pemerintahan dan memberikan semangat. Syair-sayir beliau banyak
mengandung pujian terhadap bangsawan, khususnya Walid bin Abdul Malik yang
dimana pujiannya terlalu berlebihan. Selain itu, ia juga penyair istana yang
berbeda dengan kebanyakan penyair istana lainnya yang mencari keuntungan
melalui pujian dalam sya’irnya.
Uday bin
Al-Raqa’ yang sebagai penyair istana pernah disuruh oleh Walid bin Abdul Malik
untuk menghadiri majelis pembacaan puisi yang dimana isi dari puisi beliau
berisi tentang kepemimpinan khalifah Walid bin Abdul Malik, dan hampir
mengungguli puisi dari Jarir, sehingga Jarir pun masuk kedalam majelis dan
mencelanya[iii],
dan kemudian Walid bin Abdul Malik mengancam Jarir akan memasang pelana dan
kekang padanya, lalu menungganginya seperti seekor kuda jika kembali mengejak[iv].
menurut جبل عامل dalam artikelnya yang berjudul عدي بن الرقاع العاملي [v] yang
dimana Uday bin Al-Raqa’ mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan
oleh orang lain, yakni mengalahkan Jarir dan memaksanya untuk mengakui
kekalahan, dimana awal mulanya Jarir meremehkan Uday, sebagai seoarang penyair
dari pegungan yang datang ke Damaskus untuk bersaing dengannya di istana raja.
Jarir mencoba mengejeknya dalam sebuah puisi (sya’ir), dan mengira dengan
ejekan melalui puisi tersebut akan mempermalukan dan membungkan Uday. Namun,
Uday segera membalas dengan Puisi juga yang membuat Jarir terdiam. Jarir yang
sebelumnya tidak pernah dikalahkan, menjadi terkejut dan takut menghadapi
perdapatan lebih jauh dengan Uday. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Jarir
memilih untuk mudur dari perdebatan dan mengakui kekalahannya dengan mengatakan
“ بل أنا امرؤ لم أدر كيف أقول’’
yang artinya Sebenarnya, aku hanyalah seseorang yang tidak tahu apa yang harus
kukatakan.
Selain itu, Hasan
Muhammad Nuruddin mengatakan dalam bukunya ديوان
عدي بن الرقاع [vi] العالمي Uday bin Al Riqa’ dikenal dengan kecerdasanya
dalam merespon penghinaan. Suatu ketika, seorang gubernur Umayyah yakni Ubaidah
bin Abdurrahman yang dipermalukan oleh khalifah Walid, dan Uday membela
gubernur tersebut dengan puisi yang memuji kebaikannya, dan membuat khalifah
marah akan tetapi Udy mampu menjelaskan alasannya dengan cara yang bijaksana
dan akhirnya dimaafkan.
Syair-syair
Uday bin Al-Raqa’ menggambarkan keindahan unta dan pemandangan padang pasir.
Syairnya sering menjadi bahan diskusi di majelis penyair besar seperti
Al-Farazdaq dan Jarir, dalam satu kejadian Al-Farazdaq dan Jarir ingin
mengkritik Syair Uday tetapi ketika mendengarkan deskripsi indahnya, mereka
akhrinya mengakui kualitas dari syai’irnya. Dan juga sya’ir Uday menarik
perhatian dari khalifah-khalifah Bani Abbasyiah, yang dimana dalam suatu
pertemuan khalifah Harun Al-Rasyid menikmati sya’ir Uday yang dibacakan seorang
Perawi dan khalifah Harun meminta perawi untuk membacakan sya’ir bagian yang
lainnya.
Selain
menggambarkan unta dan pemandangan padang pasir dalam sya’irnya, dalam
artikelnya Sura Ahmed
Salih yang bejudul Methodism
In Pre-Islamic And Umayyad Poetry [vii]
Uday bin Al-Raqa’ juga menggambarkan kuda dalam sya’irnya karena kuda memiliki
banyak sifat dan makna yang membanggakan, seperti kebranian, dan kebringasan.
Dan kuda merupakan alat yang digunakan orang-orang Bani Umayyah untuk berburu dan berpindah dari satu tempat
ke tempat lainnya. Uday menggambarkan kuda dalam sya’irnya dengan segala hal
yang berhubungan dengan kebranian,
kecepatan, dan keagungan.
Di dalam
bukunya تحسين محمد الصلاح yang berjudul [viii]عدي بن الرقاع العاملي : حياته وشعره Uday
bin Al-Raqa’ menggambarkan kuda dalam sya’irnya sangat detail dan melukiskannya
dalam potret yang indah, melibatkan setiap detail anggota tubuh, gerakannya,
energinya, dan kecepatannya. Ia tidak melewatkan satu bagian pun dari kuda
tersebut. Saat membaca
sya’irnya tentang deskripsi kuda, kita seolah melihat sebuah lukisan artistik
yang jelas dan rinci, dan diciptakan oleh tangan seorang seniman yang ulung.
Berikut sya’ir-sya’ir Uday bin Al-Raqa’ tentang kuda (hlm. 115) :
وَلَقَدْ أَغْتَدِي بِأَجْرَدٍ نَهْدٍ لَاحَهُ بَعْدَ صُنْعِهِ الْمِضْمَارُ
أَيِّدُ الْقَصْرِيِّينَ مَا قُيِّدَ يَوْمًا فَيُعْنَى يَصْرَعُهُ بَيْطَارُ
حَوْشَبُ الْخَلْقِ أَفْرَعَتْ كِيفَاهُ عَنْ مَحَانِي ضُلُوعِهِ إِجْفَارُ
وَإِذَا اهْتَرَّ مُقْبِلًا زَانَ مِنْهُ أَتْلَعٌ مَا يَنَالُ مِنْهُ الْعِذَارُ
وَيُرَى مُجَفَّرًا إِذَا هُوَ وَلَّى فِي حُمَاتَيْهِ شِدَّةٌ وَالْبَتَّارُ
وَنُسُورٌ لَهَا حَوَافِرُ مِنْهُ لَا يُرَى فِي أَرْسَاعِهِنَّ انْتِشَارُ
كَالْجَلَامِيدِ بِالْمَسِيلِ عَلَا هُنَّ مِنَ الْمَاءِ خُضْرَةٌ وَاصْفِرَارُ
مَشَقَّ اللَّحْمَ عَنْ حُمَاتَيْهِ مَشْقًا فَتَعَالَى وَاشْتَدَّتِ الْأَوْتَارُ
وَعَلَى الزُّورِ مُنْبَضُ الْقَلْبِ مِنْهُ بِحَيَازِيمَ بَيْنَهَا أَسْيَارُ
فَهُوَ طَافٍ أَقَبٌ كَالْمَسَدِ الْأَمْلَسِ عَارِيَ الشَّوَى مَمَرُّ مَغَارُ
شَاخِصُ الْحَرْثَيْنِ يَنْفَعُ مِنْهُ قَطْعُ الرَّبْوِ مَنْخَرٌ نِثَارُ
وَهُوَ شَاحٌ كَأَنَّ الْحَيَّةَ حَنَّوْا قَلْبًا لَاحَ مِنْهُمَا النَّجَارُ
Terjemahnya :
· Aku memulai pagi dengan kuda yang kuat dan
cepat, mendukung para pemberani dengan kekuatan tak terkalahkan
· Tidak pernah terikat bahkan saat berlari
kencang, sayapnya seperti elang, melindungi dada
· Bila Ia lari, debu berterbangan, tidak ada
yang bisa menghentikannya
· Bila ia berhenti, kekuatan terlihat, dan
keberanian yang tak terkalahkan
· Dengan kuku tajam dan sayap kuat, ia
melompat seperti batu yang digelindingkan
· Ia berlari cepat, tidak terhenti,
meninggalkan jejak diatas tanah
· Hatinya teguh tidak tergoyahkan, seperti
batu karang di tengah badai
· Kuda itu seperti pedang tajam, memotong
segala rintangan
· Ia membawa rider dengan percaya diri,
menyebrangi lembah dan bukit
· Ia seperti ular yang meluncur, membela
tanah dengan kekuatan
· Kuda itu mendaki bukit dengan mudah,
menjadi kebanggaan bagi rider
· Dan ketika ia berhenti keindahan terlihat,
dalam kekuatan dan kebranian
Uraian Uday bin
Al-Raqa’ yang wafat pada tahun 714 M, jika dikontekskan pada sejarah Indonesia,
Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan.
Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah kerajaan Tarumanegara
yang beribukota di sunda Pura, wilayah saat ini menjadi Jawa Barat. Selain itu Kerajaan
Sriwijaya, kerajaan ini berpusat di Palembang, beberapa ada di Muara Takus
dan Jambi dan pusatnya di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Kerajaan
Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Selain itu juga kerajaan
Kutai
Martapura terletak saat ini di Kalimantan Timur. Agamma Hindu-Budda masih
mendominasi di setiap derah-daerah, begitu juga kepercayaan ainimisme. Dan tulisan-tulisan
sudah berkembang dengan bukti adanya prasasti-prasasti yang ada.
[i] حسن محمد نور الدين, ديوان عدي بن
الرقاع العالمي، دار الكتب العلمية, 1990
[ii] Muhammad Izzuddin, Penyair Politik Masa Dinasti Bani
Umayyah, Academia
[iii] Muhammad Izzuddin, Penyair Politik Masa Dinasti Bani
Umayyah, Academia
[iv] جبل عامل،عدي بن الرقاع العاملي, marefa 2 April 2014
[v] جبل عامل،عدي بن الرقاع العاملي, marefa 2 April 2014
[vi] حسن محمد نور الدين,
ديوان عدي بن
الرقاع العالمي، دار الكتب العلمية, 1990
[vii]
Sura Ahmed Salih, METHODISM
IN PRE-ISLAMIC AND UMAYYAD POETRY, 2022
[viii]تحسين محمد الصلاح, عدي بن الرقاع العاملي : حياته
وشعره, تم اعداد
بيانات الفهرسة والتصنيف الأولية من قبل دائرة المكتبة الوطنية, 1999
Esai Mahasiswa 8:
Al- Akhtal Penyair pada masa Umayyah
Oleh Rayhan Maulana
Al-Akhtal (640-710 M) merupakan salah satu penyair terkemuka dalam sejarah Sastra Arab Klasik. Nama aslinya adalah Ghiyath bin Ghawth bin al-Salt. Lahir di Hira, Irak, Al-Akhtal berasal dari keluarga Kristen Arab. Meskipun non-Muslim, ia menjadi penyair istana Bani Umayyah dan dekat dengan Khalifah Abd al-Malik bin Marwan.[1]
Karya-karya Al-Akhtal mencerminkan kepiawaiannya dalam menggunakan bahasa Arab. Puisi-puisinya kaya akan metafora, simbolisme dan permainan kata. Ia dikenal sebagai ahli dalam jenis puisi "qasidah" (puisi panjang) dan "takhallus" (puisi pendek). Tema-tema puisinya meliputi pujian, satire, cinta dan peperangan.[2]
Berikut kutipan
salah satu puisi Al-Akhtal dalam kumpulan puisi oleh Cahaya Buana halaman 7
& 9, diceritakan Ketika Yazid ingin menunjukan kepada Ka’ab bin Ju’ail
seorang pemuda Nasrani yang lidahnya ibarat banteng dan pemuda yang ia maksud
adalah Al-Akhtal.
إسقني
شُربَة تُرَوّي مُشاشي # ثُمَّ مِل فَاسْقِ مِثْلَهَا ابْنَ
زِيَادِ صاحِبَ السِرِ وَالأَمانَةِ عِندي # وَلِتَسديدِ
مَعْنَمي وجهادي
ذَهَبَت قُرَيشُ بِالمَكارِمِ وَالعُلى # وَاللُّؤْمُ تَحْتَ عَمَائِمِ
الأَنصارِ فذروا المكارِمَ لَستُمُ
مِنْ أَهْلِها # وَخُذُوا مَسَاحِيَكُم بَنِي النَجَارِ
Kaum Quraisy
telah pergi dengan segala kehormatan dan kemualiaannya
Dan kehinaan
bagi para pemimpin Anshor
Tinggalkanlah
kemuliaan itu, karena tidak pantas untuk kalian
Lalu
ambillah kulit-kulit kayu kalian wahai Dinasti Najjar (kaum tukang kayu)
Uraian tokoh Al-Akhtal: Akhir dari Seorang Penyair Besar
Al-Akhtal, penyair Arab terkenal pada masa
Umayyah, wafat pada tahun 710 M di Jazirah, Mesopotamia (sekarang wilayah
Turki). Kematian ini menandai akhir dari sebuah era keemasan sastra Arab.
Karya-Karya Al-Akhtal
Al-Akhtal, penyair Arab terkenal,
meninggalkan banyak karya sastra yang indah dan mendalam. Salah satu karyanya
yang paling terkenal adalah "Khaffat al-Qatīnu" (Puisi Pembukaan
Pintu), yang ditujukan untuk Khalifah Abd al-Malik bin Marwan. Puisi ini
menggambarkan kekuasaan dan kebijaksanaan khalifah dengan bahasa yang indah dan
ekspresif.
Puisi-puisi Al-Akhtal lainnya mencakup "Qasidah al-Madh" (Puisi Pujian), yang memuji keberanian dan kebijaksanaan Bani Umayyah, serta "Takhallus" (Puisi Pendek), yang menggambarkan cinta dan kesedihan. Karya-karyanya juga mencakup puisi-puisi satire yang mengkritik lawan-lawan politik.
Selain itu, Al-Akhtal juga menulis "Al-Mu'allaqat" (Puisi-Puisi Tergantung), yang merupakan kumpulan puisi-puisi terkenal Arab. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan tetap dipelajari hingga saat ini.
Tema dan Gaya
Karya-karya Al-Akhtal mencerminkan
tema-tema seperti:
- Pujian dan kekuasaan
- Cinta dan kesedihan
- Satire dan kritik sosial
- Kebijaksanaan dan keberanian
Gaya penulisannya dikarakteristikkan oleh:
- Bahasa yang indah dan ekspresif
- Metafora dan simbolisme
- Permainan kata yang cerdas
- Struktur puisi yang kompleks
Pengaruh
Karya-karya Al-Akhtal telah mempengaruhi
penyair-penyair Arab lainnya, seperti Al-Farazdaq dan Al-Mutanabbi. Warisannya
tetap hidup dalam sastra Arab dan menjadi inspirasi bagi generasi baru.
[1]
Tengku Ghani Tengku Jusso, A Qafiah of Al-Akhtal(Umayyad Poet 640-713M),
MillahV^ol.V,
No. 1,Agustus2005
[2]
Tengku Ghani Tengku Jusso, A Qafiah of Al-Akhtal(Umayyad Poet 640-713M),
MillahV^ol.V,
No. 1,Agustus2005
Esai Mahasiswa 9:
Jamil bin Ma’mar: Antara Keindahan Syair dan Luka Hati
Oleh Rahdila
Humaira
Jamil Buthainah adalah sebuah julukan yang diberikan kepada seorang laki-laki dari tanah Wadi al- Qura. Kira-kira siapakah dia?. Kenapa Masyarakat pada zaman itu memanggilnya dengan julukan Jamil Buthainah?
Di dalam buku تاريخ الادب العربي karya Umar Farukh (1987W) halaman 478-479, ia menceritakan
bahwa Jamil Buthainah adalah sebuah julukan yang diberikan kepada seorang
laki-laki yang Bernama asli Abu Amr Jamil bin Ma’mar atau yang lebih dikenal
Jamil bin Ma’mar. Ia lahir sekitar tahun 40 H (660 M) di Wadi al Qura’ yang ada
di utara Hijaz. Jamil bin Ma’mar tumbuh dan besar di sana. Jamil bin Ma’mar
adalah seorang penyair fasih Hijaz dari
bani Udrah yang diakui oleh para kritikus sebagai penyair cinta terbaik di
zamannya. Syairnya lembut, mudah dipahami, dan penuh emosi.
Di dalam buku تاريخ الادب العربي العصر الإسلامي karya Syauqi Dhaif halaman 367, beliau menyatakan bahwa Jamil bin Ma’mar belajar syair dari
Hudbah bin al-Hushram, murid al-Hutai’ah. Al-Hutai’ah adalah murid Zuhair bin
Abi Sulma. Maka tidak heran jika Jamil memiliki karya syair yang halus dan
berkualitas. Sebagian besar isi syair Jamil adalah tentang Buthainah,
kekasihnya. Buthainah adalah seorang Wanita dari kaumnya. Jamil dan Buthainah
adalah sepasang kekasih sejak kecil, mereka saling mencintai dengan tulus.
Namun karena masalah status sosial, keluarga Buthainah menyuruh Buthainah untuk
menjauhi Jamil. Beberapa kali mereka bertemu secara diam-diam. Tapi gosip
tentang mereka berdua menyebar luas hingga membuat keluarga Buthainah marah.
Jamil bin Ma’mar pernah menunjukkan kesungguhan cintanya kepada
Buthainah, namun keluarga kekasihnya itu menolak karena ayah Buthainah tidak
ingin Buthainah menikah dengan laki-laki yang menulis syair tentang putrinya. Konon,
adat kebiasaan bangsa Arab menganggap jika ada seorang gadis yang diam-diam
menjalin hubungan dengan seorang laki-laki maka hal itu dapat mencemarkan nama
baik keluarga, Apalagi Jamil sampai menuliskan syair tentang Buthainah, hal itu
makin membuat ayah Buthainah marah.
Di dalam buku تاريخ الادب العربي karya Umar Farukh (1987W) halaman 478-479, dikatakan bahwa
keluarga Buthainah mengadukan Jamil bin Ma’mar kepada Marwan bin al-Hakam,
gubernur Madinah di bawah pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada periode
kedua (56-57 H). Saat itu, gubernur Wadi al-Qura adalah Dajajah bin Rubai', ia
mengancam akan menghukum Jamil jika ia kembali mendekati atau mengunjungi
Buthainah. Karena ancaman tersebut, Jamil melarikan diri ke Yaman, tempat
tinggal keluarga ibunya dari Bani Judzam. Pada bulan Dzulqa’dah tahun 57 H
(musim gugur 676 M), Marwan diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur
Madinah. Pada waktu yang sama, keluarga Buthainah pindah ke Syam bersama ternak
mereka. Jamil kemudian menyusul ke Syam, tetapi akhirnya kembali ke Wadi
al-Qura.
Meskipun Buthainah menikah dengan Nabih bin al-Aswad al-'Udzhri,
Jamil tetap menggubah syair-syair tentang cintanya dan terus mengunjunginya.
Namun, ancaman hukuman mati dari Dajajah bin Rubai' atau Amir bin Rubai' bin
Dajajah, yang masih menjabat sebagai gubernur Bani Umayyah di Wadi al-Qura,
membuat Jamil merasa tidak aman. Karena itu, ia meninggalkan Hijaz dan pergi ke
Mesir untuk mencari perlindungan dan memuji gubernurnya, Abdul Aziz bin Marwan
(684-705 M). Namun, Jamil tidak tinggal lama di Mesir. Ia jatuh sakit dan
meninggal pada tahun 82 H (701 M). Itulah mengapa Jamil bin Ma’mar diberi
julukan Jamil Buthainah, syair-syair tulusnya selalu merujuk kepada sang
kekasih Buthainah.
Syair-syair cinta Jamil kepada Buthainah dapat dibaca dalam Diwan
Jamil. Berikut adalah kutipan salah satu syair ghazal karya Jamil bin
Ma’mar dalam Diwan
Jamil halaman 21:
يوم طار رداؤها
بثينة صَدْعا يومَ طَار[1]
رِدَاؤُهَا |
لقدْ أَوْرَثَتْ قَلبيْ وكَانَ مصْححًا[2] |
عَصَتْنى شئون العين فانْهَل ماؤها |
إذا خطرت من ذِكْرِ بَثْنَة[3]
خَطْرَةٌ |
وعاود قلبي من بثينة داؤها |
فإن لم أزرها عادني الشوق والهوى |
وَيُمْنَعُ منها يا بُنَيْنُ شفاؤها |
وكيف بنفسٍ أَنتِ هَيِّجتِ سُقْمَها |
فأخلف[4]
نفسي من جداك رجاؤها |
لقد كنتُ أرجو أن تجودى بنائل |
Terjemahannya:
“Hari selendangnya terbang”
Dia telah mewarisi hatiku dan itu menjadi sembuh
Buthainah retak pada hari jubahnya terbang
Apabila teringat Wanita yang cantik datanglah sebuah perasaan
Mata tidak mematuhiku dan airnya tercurah
Jika aku tidak mengunjunginya, kerinduan dan gairah Kembali
kepadaku
Dan hatiku Kembali dari Buthainah obatnya
Dan bagaimana kamu menggungah sakitnya
Dan kamu mencegahnya menyembuhkannya
Aku berharap kamu memberikan sesuatu yang berharga
Maka diriku mengingkari janji dari kesungguhan harapanmu.
…….
Uraian tokoh Jamil bin Ma’mar yang wafat pada tahun 701 M, sekitar 130
tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah
Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam masa Kerajaan-kerajaan awal dan belum
berbentuk negara seperti sekarang. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang
terdeteksi adalah kerajaan
Tarumanegara yang beribukota di Sundapura, wilayah saat ini menjadi Jawa
Barat. Selain itu juga ada Kerajaan Kalingga yang
beribukota Keling, wilayah saat ini menjadi Jepara. Selain itu ada Kerajaan Sriwijaya yang
beribukota Minanga yang saat ini menjadi Palembang.
***
[1] Thara
dalam kamu Al Munawwir berarti “terbang”, hlm 876
[2] Mushahhahan dalam kamus Al Munawwir
berarti “menyembuhkan” hlm. 746
[3] Bathnah dalam kamus Al Munawwir berarti
“wanita yang cantik” hlm. 57
[4] Akhlafa dalam kamus Al Munawwir bearti
“Tidak menepati janji” hlm. 362
Esai Mahasiswa 10
Leave a Comment