| 0 Comments | 446 Views

Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Masa Umayyah (661-750)

Esai Mahasiswa 1: 

Jarir, Al-Farazdaq, dan Al-Akhtal: Penyambung Lidah Para Khalifah

Atik Zaima Mursyidah (22101010010)

 

            Esai ini membahas topik Sejarah sastra klasik pada periode bani Umayyah 1 di Damaskus antara tahun 661 sampai dengan tahun 750 masehi. Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh penyair diantaranya yaitu Jarir (w. 728 M), Al-Farazdaq (w. 730 M), dan Al-Akhtal (w. 708 M) dari golongan bani Umayyah, Al-Kumait bin Zaid Al-Asadi (w. 743 M) dari golongan Syiah dan Isa bin Fatik Al-Khatti dari golongan Khawarij. Topik yang akan dibahas yaitu mengenai penyair-penyair dari golongan Umayyah yang saling mendukung suku dan para khalifahnya serta menghina lawan dengan menyairkan puisi-puisinya.

            Topik tentang Jarir, Al-Farazdaq dan Al-Akhtal sebagai penyambung lidah para khalifah sebagaimana ditulis di paragraf pertama dalam artikel berbahasa Indonesia dibahas dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya berisi tentang sejarah sastra dari masa pra Islam sampai dengan masa Umayyah tentang kondisi sosial, agama, ekonomi, politik, dan sastra. Dalam artikel Membaca Fungsi Sastra Dinasti Bani Umayyah berisi tentang fungsi-fungsi sastra baru yang muncul di masa Umayyah. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa Inggris topik ini dibahas dalam buku Arabic Literature to the end of The Umayyad Period berisi tentang sejarah sastra dimulai dari periode Pra Islam sampai periode Umayyah. Dalam artikel kedua berisi nilai-nilai keagamaan dalam puisi Umayyah. Sedangkan dalam artikel ketiga berisi puisi satire pada masa Umayyah. Adapun dalam penelusuran bahasa Arab, topik ini dibahas dalam kitab Tarikh al-Adab al-Arabiy berisi tentang sejarah sastra dari masa Islam sampai masa Umayyah. Dari artikel kedua berisi tentang dimensi psikologis yang ada dalam puisi naqaid Jarir, Al-Farazdaq dan Al-Akhtal. Sedangkan dalam artikel ketiga berisi seorang Badui yang memuji puisi Jarir.

            Menurut Ahmad Al-Iskandari dan Musthafa Inaniy dalam buku Al-Wasith Fi Al-Adab Al-Abariy sebagaimana dikutip oleh Dadang Ismatullah dalam jurnalnya yang berjudul Membaca Fungsi Sastra Dinasti Umayyah, dalam periodesasi sejarah sastra disebutkan bahwa masa Dinasti Bani Umayyah dikategorikan ke dalam era shadr al-Islam (masa permulaan Islam). Masa ini dimulai sejak Islam datang ke jazirah Arab sekitar tahun 610-661 M  hingga berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah yaitu tahun 661-750 M. Pada masa ini mengalami perkembangan kesusasteraan Arab yang sangat pesat.

Dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya karya Wildana Margadinata hal 281 menyatakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan perkembangan kesusasteraan Arab, yang pertama adalah futuhat (penyebaran Islam). Tersebarnya Islam ke berbagai penjuru daerah dan banyak orang non-Arab yang masuk islam, menyebabkan pemahaman terhadap bahasa Arab jauh dari sempurna sehingga menjadikan pemahaman mereka terhadap agama islam berkurang, sebagai konsekuensinya negara Islam harus memajukan pemahaman atas bahasa Arab. Yang kedua yaitu para khalifah Umayyah sendiri memang menggemari puisi, dan mereka memberi hadiah-hadiah besar kepada para penyair yang menciptakan puisi-puisi pujian bagi mereka, atau yang menghasilkan puisi-puisi yang indah. Puisi pada masa Umayyah ini juga memiliki kesamaan dengan masa Jahiliyah salah satunya yaitu adanya puisi satire.

Di samping memiliki persamaan dengan jenis puisi masa Jahiliyah, situasi politik masa Umayyah juga mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa sebelumnya. Munculnya aliran-aliran politik, mazhab-mazhab agama, fanatisme kesukuan dan kebangsaan telah melahirkan jenis-jenis puisi baru, yaitu 1) Puisi politik (as-siyasah), 2) Puisi polemik (naqaid), dan 3) Puisi cinta vulgar dan lembut (ghazal). Menurut Hafiz Md Nazrul Islam dalam artikel bahasa Inggrisnya yang berjudul Concept of Satire and Its Development during Umayyad Period bahwa menjadi penyair satire adalah profesi menguntungkan dan meresap dalam masyarakat Umayyah. Jika satire dalam pra-Islam jarang melewati batasan celaan atau teguran, tetapi pada periode Umayyah, satire tersebut menjadi kasar. Hanya sebagian kecil satire yang disusun pada periode ini yang sampai kepada kita, sisanya lenyap, karena tidak ada upaya serius untuk melestarikannya. Contoh yang masih ada termasuk hinaan dari tiga penyair  terkenal Umayyah, yaitu Al-Akhtal, Al-Farazdaq, dan Jarir. Hinaan ini disebut al-Naqaid. Gaya puisi naqaid cenderung membosankan dan kaku, namun mereka mengandung informasi sejarah yang bernilai terkait perang dan urusan suku-suku dari ketiga penyair tersebut.

Puisi Naqaid dalam kitab Tarikh Al-Adab Al-Arabiy karya Syauqi Dhaif hal. 241 menyatakan bahwa puisi ini berkembang karena adanya faktor-faktor sosial yang dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat Arab, terutama di Bashra, akan bentuk hiburan yang memenuhi waktu luang mereka. Selain dari faktor sosial, puisi naqaid juga didorong oleh faktor-faktor psikologis. Pertumbuhan intelektual masyarakat Arab dan luasnya wawasan mereka dalam dialog, perdebatan, dan diskusi di bidang politik, keagamaan, dan hukum mendukung para penyair naqaid untuk berdebat tentang realitas suku dan kebesaran mereka. Masing-masing dari mereka menyelidiki topiknya dengan teliti dan mencari bukti untuk mendukung argumennya serta menentang bukti lawan untuk membuktikan ketidakbenaran mereka.

Menurut A.F.L. Beeston, T.M. Johnstone, R.B. Serjeant, dan G.R. Smith dalam buku Arabic Literature to the end of The Umayyad Period, Al-Farazdaq dan Jarir adalah penyair berasal dari suku Bani Tamim, berselisih ketika seorang penyair dari Mujashi', suku Al-Farazdaq, dikalahkan dalam satire oleh Jarir. Dalam satirenya, Jarir mencemooh wanita-wanita dari Mujashi', yang meminta al-Farazdaq untuk membela kehormatan mereka. Dua penyair terbesar di Irak ini kemudian memulai perselisihan terpanjang dalam puisi Arab. Naqaid mereka, yang jumlahnya setidaknya seratus, dikarang selama 40 tahun, dan baru berakhir dengan kematian al-Farazdaq. Naqaid tersebut menjadi sarana persaingan di mana keahlian sastra ditunjukkan. Masyarakat berkumpul di sekitar para penyair, masing-masing berdiri di sudut al-Mirbad, berpenampilan khusus untuk kesempatan tersebut. Para penonton seringkali tertawa terbahak-bahak, terutama ketika mereka mendengarkan cercaan Jarir, yang penuh dengan sindiran nakal dan gambaran yang lucu. Seiring berjalannya waktu, kedua penyair ini mengagumi satu sama lain karena seni dan ketahanannya di arena. Beberapa cerita diceritakan tentang kasih sayang saling mereka, dan ketika al-Farazdaq meninggal, Jarir menulis syair ratapan untuknya.

Dalam Diwan Al-Farazdaq yang disunting oleh Tahq Al-Bustani hal 353 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Walidin  dalam artikenya yang berjudul Silang Sengketa Sastrawan Dinasti Umayyah, bait berikut ini puisi dari Al-Farazdaq yang menggambarkan kehinaan suku Jarir. Bila dirasakan, puisi hija’ ini dapat membuat biru telinga bani Kulaib. Belum lagi rasa malu yang akan ditanggung oleh suku ini bila puisi al-Farazdaq didengar oleh suku lain. 

ولو ترمى بلؤم بني كليب  #  نجوم الليل ما وضحت لساري

ولو لبس النهار بنو كليب #  لدنس لؤمهم وضح النهار

وما يغدو عزيز بني كليب #  ليطلب حاجة إلا بجار

Mendengar hinaan itu, Jarir menyerang al-Farazdaq dengan cara membalikkan fakta. Menurutnya, al-Farazdaq telah berusaha mati-matian menghancurkan Mirba’ untuk membunuh karakter Jarir. Akan tetapi, ia dibuat kecele karena justru Mirba’nya tetap jaya sepanjang masa. Kemudian ia membuka aib al-Farazdaq sebagai pecundang yang berbuat mesum dengan mendatangi kekasihnya secara tidak hormat. Hal ini tentu menjadi aib besar bagi orang Arab yang mendewakan keberanian dan kejantanan:

يوصل حبليه اذا جن ليله # ليرقى الى جارته بالسلالم
هو الرجس يا أهل المدينة فا # حذروامداخل رجس بالخبيثات عالم

Kebiasaan seorang penyair dalam mengejek penyair lainnya dengan menghubungkan penyair dengan sukunya akan menambah pedas puisi yang dilontarkan. Al-Akhtal juga menggunakan teknik ini untuk menghina Jarir. Sukunya dari bani Kulaib bahkan moyangnya Yarbu’ tidak luput dari incaran puisi hija’nya.

أما كليب بن يربوع فليس لهم # عند التفارط إيراد ولا صدر
مخلفون ويقضي الناس أمرهم # وهم بغيب وفي عمياء ما شعروا

Mendengar ejekan terhadap moyangnya dalam puisi hija’ al-Akhtal, Jarir tidak bisa menahan emosinya untuk membalas ejekan al-Akhtal. Segera saja suku Taghlib menjadi sasaran puisi hija’ Jarir dengan menyebut mereka sebagai sebuah suku yang tidak jantan, keturunan budak, dan penganut agama yang akan menerima azab, diambil dari Diwan Jarir hal 363 :  

ولوانَّ تغلب جمَّعت أحسابها ... يوم التفاضل لم تزن مثقالا

لا تطلبنَّ خؤولة في تغلب ... فالزنج أكرم منه أخوالا

 

Perselisihan diantara mereka dalam puisi-puisi hija' terjadi sampai sampai Al-Akhtal meninggal pada tahun 92 H/710 M, Al-Farazdaq pada tahun 110 H/728 M, dan diikuti oleh kematian Jarir enam bulan kemudian pada tahun yang sama.

*** * *** 

Esai Mahasiswa 2: 


Leave a Comment