| 0 Comments | 658 Views

Seri Esai Mahasiswa Sejarah Sastra Arab Klasik # Topik Puisi Arab Masa Umayyah (661-750)

"Seribu Satu Tautan Sejarah Sastra Arab Klasik Era Bani Umayyah 661-750"

Kumpulan Esai Mahasiswa 

Esai Mahasiswa 1: 

Jarir, Al-Farazdaq, dan Al-Akhtal: Penyambung Lidah Para Khalifah

Atik Zaima Mursyidah (22101010010)

 

            Esai ini membahas topik Sejarah sastra klasik pada periode bani Umayyah 1 di Damaskus antara tahun 661 sampai dengan tahun 750 masehi. Pada periode ini lahir banyak sekali tokoh-tokoh penyair diantaranya yaitu Jarir (w. 728 M), Al-Farazdaq (w. 730 M), dan Al-Akhtal (w. 708 M) dari golongan bani Umayyah, Al-Kumait bin Zaid Al-Asadi (w. 743 M) dari golongan Syiah dan Isa bin Fatik Al-Khatti dari golongan Khawarij. Topik yang akan dibahas yaitu mengenai penyair-penyair dari golongan Umayyah yang saling mendukung suku dan para khalifahnya serta menghina lawan dengan menyairkan puisi-puisinya.

            Topik tentang Jarir, Al-Farazdaq dan Al-Akhtal sebagai penyambung lidah para khalifah sebagaimana ditulis di paragraf pertama dalam artikel berbahasa Indonesia dibahas dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya berisi tentang sejarah sastra dari masa pra Islam sampai dengan masa Umayyah tentang kondisi sosial, agama, ekonomi, politik, dan sastra. Dalam artikel Membaca Fungsi Sastra Dinasti Bani Umayyah berisi tentang fungsi-fungsi sastra baru yang muncul di masa Umayyah. Sedangkan dalam penelusuran artikel berbahasa Inggris topik ini dibahas dalam buku Arabic Literature to the end of The Umayyad Period berisi tentang sejarah sastra dimulai dari periode Pra Islam sampai periode Umayyah. Dalam artikel kedua berisi nilai-nilai keagamaan dalam puisi Umayyah. Sedangkan dalam artikel ketiga berisi puisi satire pada masa Umayyah. Adapun dalam penelusuran bahasa Arab, topik ini dibahas dalam kitab Tarikh al-Adab al-Arabiy berisi tentang sejarah sastra dari masa Islam sampai masa Umayyah. Dari artikel kedua berisi tentang dimensi psikologis yang ada dalam puisi naqaid Jarir, Al-Farazdaq dan Al-Akhtal. Sedangkan dalam artikel ketiga berisi seorang Badui yang memuji puisi Jarir.

            Menurut Ahmad Al-Iskandari dan Musthafa Inaniy dalam buku Al-Wasith Fi Al-Adab Al-Abariy sebagaimana dikutip oleh Dadang Ismatullah dalam jurnalnya yang berjudul Membaca Fungsi Sastra Dinasti Umayyah, dalam periodesasi sejarah sastra disebutkan bahwa masa Dinasti Bani Umayyah dikategorikan ke dalam era shadr al-Islam (masa permulaan Islam). Masa ini dimulai sejak Islam datang ke jazirah Arab sekitar tahun 610-661 M  hingga berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah yaitu tahun 661-750 M. Pada masa ini mengalami perkembangan kesusasteraan Arab yang sangat pesat.

Dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya karya Wildana Margadinata hal 281 menyatakan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan perkembangan kesusasteraan Arab, yang pertama adalah futuhat (penyebaran Islam). Tersebarnya Islam ke berbagai penjuru daerah dan banyak orang non-Arab yang masuk islam, menyebabkan pemahaman terhadap bahasa Arab jauh dari sempurna sehingga menjadikan pemahaman mereka terhadap agama islam berkurang, sebagai konsekuensinya negara Islam harus memajukan pemahaman atas bahasa Arab. Yang kedua yaitu para khalifah Umayyah sendiri memang menggemari puisi, dan mereka memberi hadiah-hadiah besar kepada para penyair yang menciptakan puisi-puisi pujian bagi mereka, atau yang menghasilkan puisi-puisi yang indah. Puisi pada masa Umayyah ini juga memiliki kesamaan dengan masa Jahiliyah salah satunya yaitu adanya puisi satire.

Di samping memiliki persamaan dengan jenis puisi masa Jahiliyah, situasi politik masa Umayyah juga mengalami perkembangan yang berbeda dengan masa sebelumnya. Munculnya aliran-aliran politik, mazhab-mazhab agama, fanatisme kesukuan dan kebangsaan telah melahirkan jenis-jenis puisi baru, yaitu 1) Puisi politik (as-siyasah), 2) Puisi polemik (naqaid), dan 3) Puisi cinta vulgar dan lembut (ghazal). Menurut Hafiz Md Nazrul Islam dalam artikel bahasa Inggrisnya yang berjudul Concept of Satire and Its Development during Umayyad Period bahwa menjadi penyair satire adalah profesi menguntungkan dan meresap dalam masyarakat Umayyah. Jika satire dalam pra-Islam jarang melewati batasan celaan atau teguran, tetapi pada periode Umayyah, satire tersebut menjadi kasar. Hanya sebagian kecil satire yang disusun pada periode ini yang sampai kepada kita, sisanya lenyap, karena tidak ada upaya serius untuk melestarikannya. Contoh yang masih ada termasuk hinaan dari tiga penyair  terkenal Umayyah, yaitu Al-Akhtal, Al-Farazdaq, dan Jarir. Hinaan ini disebut al-Naqaid. Gaya puisi naqaid cenderung membosankan dan kaku, namun mereka mengandung informasi sejarah yang bernilai terkait perang dan urusan suku-suku dari ketiga penyair tersebut.

Puisi Naqaid dalam kitab Tarikh Al-Adab Al-Arabiy karya Syauqi Dhaif hal. 241 menyatakan bahwa puisi ini berkembang karena adanya faktor-faktor sosial yang dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat Arab, terutama di Bashra, akan bentuk hiburan yang memenuhi waktu luang mereka. Selain dari faktor sosial, puisi naqaid juga didorong oleh faktor-faktor psikologis. Pertumbuhan intelektual masyarakat Arab dan luasnya wawasan mereka dalam dialog, perdebatan, dan diskusi di bidang politik, keagamaan, dan hukum mendukung para penyair naqaid untuk berdebat tentang realitas suku dan kebesaran mereka. Masing-masing dari mereka menyelidiki topiknya dengan teliti dan mencari bukti untuk mendukung argumennya serta menentang bukti lawan untuk membuktikan ketidakbenaran mereka.

Menurut A.F.L. Beeston, T.M. Johnstone, R.B. Serjeant, dan G.R. Smith dalam buku Arabic Literature to the end of The Umayyad Period, Al-Farazdaq dan Jarir adalah penyair berasal dari suku Bani Tamim, berselisih ketika seorang penyair dari Mujashi', suku Al-Farazdaq, dikalahkan dalam satire oleh Jarir. Dalam satirenya, Jarir mencemooh wanita-wanita dari Mujashi', yang meminta al-Farazdaq untuk membela kehormatan mereka. Dua penyair terbesar di Irak ini kemudian memulai perselisihan terpanjang dalam puisi Arab. Naqaid mereka, yang jumlahnya setidaknya seratus, dikarang selama 40 tahun, dan baru berakhir dengan kematian al-Farazdaq. Naqaid tersebut menjadi sarana persaingan di mana keahlian sastra ditunjukkan. Masyarakat berkumpul di sekitar para penyair, masing-masing berdiri di sudut al-Mirbad, berpenampilan khusus untuk kesempatan tersebut. Para penonton seringkali tertawa terbahak-bahak, terutama ketika mereka mendengarkan cercaan Jarir, yang penuh dengan sindiran nakal dan gambaran yang lucu. Seiring berjalannya waktu, kedua penyair ini mengagumi satu sama lain karena seni dan ketahanannya di arena. Beberapa cerita diceritakan tentang kasih sayang saling mereka, dan ketika al-Farazdaq meninggal, Jarir menulis syair ratapan untuknya.

Dalam Diwan Al-Farazdaq yang disunting oleh Tahq Al-Bustani hal 353 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Walidin  dalam artikenya yang berjudul Silang Sengketa Sastrawan Dinasti Umayyah, bait berikut ini puisi dari Al-Farazdaq yang menggambarkan kehinaan suku Jarir. Bila dirasakan, puisi hija’ ini dapat membuat biru telinga bani Kulaib. Belum lagi rasa malu yang akan ditanggung oleh suku ini bila puisi al-Farazdaq didengar oleh suku lain. 

ولو ترمى بلؤم بني كليب  #  نجوم الليل ما وضحت لساري

ولو لبس النهار بنو كليب #  لدنس لؤمهم وضح النهار

وما يغدو عزيز بني كليب #  ليطلب حاجة إلا بجار

Mendengar hinaan itu, Jarir menyerang al-Farazdaq dengan cara membalikkan fakta. Menurutnya, al-Farazdaq telah berusaha mati-matian menghancurkan Mirba’ untuk membunuh karakter Jarir. Akan tetapi, ia dibuat kecele karena justru Mirba’nya tetap jaya sepanjang masa. Kemudian ia membuka aib al-Farazdaq sebagai pecundang yang berbuat mesum dengan mendatangi kekasihnya secara tidak hormat. Hal ini tentu menjadi aib besar bagi orang Arab yang mendewakan keberanian dan kejantanan:

يوصل حبليه اذا جن ليله # ليرقى الى جارته بالسلالم
هو الرجس يا أهل المدينة فا # حذروامداخل رجس بالخبيثات عالم

Kebiasaan seorang penyair dalam mengejek penyair lainnya dengan menghubungkan penyair dengan sukunya akan menambah pedas puisi yang dilontarkan. Al-Akhtal juga menggunakan teknik ini untuk menghina Jarir. Sukunya dari bani Kulaib bahkan moyangnya Yarbu’ tidak luput dari incaran puisi hija’nya.

أما كليب بن يربوع فليس لهم # عند التفارط إيراد ولا صدر
مخلفون ويقضي الناس أمرهم # وهم بغيب وفي عمياء ما شعروا

Mendengar ejekan terhadap moyangnya dalam puisi hija’ al-Akhtal, Jarir tidak bisa menahan emosinya untuk membalas ejekan al-Akhtal. Segera saja suku Taghlib menjadi sasaran puisi hija’ Jarir dengan menyebut mereka sebagai sebuah suku yang tidak jantan, keturunan budak, dan penganut agama yang akan menerima azab, diambil dari Diwan Jarir hal 363 :  

ولوانَّ تغلب جمَّعت أحسابها ... يوم التفاضل لم تزن مثقالا

لا تطلبنَّ خؤولة في تغلب ... فالزنج أكرم منه أخوالا

 

Perselisihan diantara mereka dalam puisi-puisi hija' terjadi sampai sampai Al-Akhtal meninggal pada tahun 92 H/710 M, Al-Farazdaq pada tahun 110 H/728 M, dan diikuti oleh kematian Jarir enam bulan kemudian pada tahun yang sama.

*** * *** 

Esai Mahasiswa 2: 

Pesona Pujangga Cinta Dari Bani Udzrah: Jamil bin Abdullāh bin Ma'mar al-'Udzrī 

Oleh Erika Mawarni (23101010092)

Dikutip dari Wikipedia yang mengutip  Salma Jayyusi (1994) dalam bukunya The Legacy of Muslim Spain  Brill halaman 460 Jamil bin Abdullāh bin Ma'mar al-'Udzrī  wafat pada tahun 701 M, juga dikenal dengan sebutan "Jamil Buthayna", adalah seorang penyair  romantis (ghazal) Arab klasik. Ia berasal dari suku Bani 'Udzrah yang terkenal dengan tradisi puitis cinta yang murni. Menurut damas  Abu Amr Jamil adalah penyair terkenal dan kekasih Buthaina, adalah putra Abd Allah Ibn Mamar Ibn Subah Ibn Zabyan Ibn Hunn Ibn Rabia Ibn Haram Ibn Dubba Ibn Abd Ibn Kathir Ibn ´Udhra Ibn Saad Ibn Hudaim Ibn Zaid Ibn Laith Ibn Sud Ibn Aslam Ibnu Alhaf Ibnu Kudaa. Jamil adalah salah satu kekasih Arab yang terkenal pada zaman Bani Umayyah.

Diambil dari arabnews dalam artikel yang berjudul A timeless love story from heart of Saudi Arabia’s Alula yang telah diterjemahkan dari bahasa inggris Puisi cinta Badui akhir abad ketujuh ditulis oleh Jamil ibn Mamar, yang juga dikenal sebagai Jamil Buthainah, seorang penyair dari suku Bani Udhra di Madinah selama periode Umayyah. Ia adalah pelopor dalam gaya puisi ghazal, sebuah elemen sastra Islam yang mengusung tema cinta dalam gaya liris. Ia terkenal karena tradisi puitisnya tentang cinta suci, sebuah tema umum di suku Badui pada masa itu.

Menurut موضوع.كوم  dengan judul ما_هو_الحب_العذري yang telah diterjemahkan dari Bahasa arab Jamil adalah seorang penyair, fasih, dan pecinta Arab yang terkenal. Dia mencintai Buthaina, yang merupakan salah satu gadis di sukunya, dan memiliki ketertarikan padanya sejak kecil. Dia menulis puisi tentangnya, saat dia meminta ayahnya untuk menikahkannya dengannya, tapi dia menolak. Karena takut akan skandal; Dianggap memalukan bagi orang Arab pada waktu itu untuk menikahkan anak perempuannya dengan orang yang jatuh cinta padanya, dan menikahkannya dengan pria lain, namun hal ini tidak menghalangi Jamil untuk mengarang puisi tentang dirinya dan bertemu dengannya.

Pada akhirnya perbuatan mereka diketahui oleh kabilah Butsainah lalu mereka melaporkan Jamil dan Butsainah kepada Raja Marwan bin Hisyam al-Hadromi.Setelah Jamil kepergok menemui Butsainah secara diam-diam, akhirnya ia lari ke Yaman, akan tetapi Raja Marwan tetap memburunya, dan akhirnya Jamil kembali ke Negerinya. Setelah cukup lama berada di negerinya, ia pergi ke Syam dan selalu mengirim surat kepada Butsainah melalui perempuan kepercayaan Jamil. Ia pergi ke Syam dengan rasa takut akan dibunh oleh raja Marwan, akhirnya ia hijrah ke Mesir dengan membawa hati yang kecewa, namun ia selalu membuat syair-syair yang menggambarkan tentang cintanya terhadap Butsainah.

Pada akhirnya, ia mengabdi pada raja Abdul aziz bin Marwan, karena beliau selalu membantu Jamil. Beliau ingin menyatukan kembali cinta anatara Jamil dan Butsainah, namun, sebelum keinginan itu tercapai, Jamil telah meninggal dengan membawa cintanya yang lama yaitu Butsainah. Setelah Butsainah mengetahui akan kematian Jamil, ia sangat sedih dan meratapi kepergian Jamil sampai matanya buta.     Puisi Jamil bin Ma’mar dalam buku د يوان جميل  yang berjudul شعرالحب العذى pada halaman 21 berbunyi:

لقد أورَثَتْ قلبـي وكان مصحـحـا،   #       بثينـةُ صدعا يـوم طار رداؤهـا     

إذ خَطَرَتْ من ذكر بـثـنـةَ خطرةٌ #       عصتني شؤون العين فانهلّ ماؤها

فإن لم أزرْها عادني الشوقُ والهوى #         وعاود قلـبـي من بثينـة داؤها

وكيف بنفـسٍ أنتِ هيّجتِ سُقمهـا #         ويُمنع منها يـا بثيـنَ شفـاؤهـا

لقد كنتُ أرجـو أن تجـودي بنائل #        فأخلف نفسـي من جداك رِجاؤه

(1)Sungguh telah membekas dalam hatiku dengan jelas # bayangan Butsainah di hari ketika selendangnya terbang. (2) begitu sulit aku mengingat Butsainah # membuat perasaanku padanya semakin dalam seakan air mata ini memancarkan. (3) Jikalau aku tak mengunjunginya, hatiku galau diliputi hasrat kerinduan yang begitu dalam # dan butsainahlah yang mampu memulihkan hatiku. (4)Dan bagaimana dengan diriku, engkaulah yang membuat aku sakit # dan engkau pula pengobat rasa sakit hatiku wahai Butsainah.(5) Sungguh aku berharap dapat merubahnya menjadi lebih baik # maka tidak dapat dipungkiri bahwa diri ini berharap untuk memilikimu.

Berdasarkan uraian yang ada di atas, bisa disimpulkan bahwa pada abad ke – 700 Indoesia mulai  berdiri Kerajaan - Kerajaan yang bercorak Hindu Budha seperti halnya  Sriwijaya dan Mataram Kuno. Saat abad itu juga Agama Islam baru saja masuk ke Indonesia. Pulau Sumatera menjadi daerah pertama yang menerima penyebaran agama islam. Ketika dunia arab dikenalkan pada puisi – puisinya tentang cinta  maka Eropa sedang tidak baik - baik saja dikarenakan pada tahun itu Eropa  memasuki Periode Abad Pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Periode ini juga dikenal sebagai zaman kegelapan ( dark age) karena Masyarakat eropa mengalami kemunduran di bidang ilmu pengetahuan dan intelektual.

*** * *** 

Esai Mahasiswa 3: 

Puisi Pada Masa Umayyah Awwal, Biografi Al-Farazdaq

Oleh  Ahmad Farhan Alfauzan

 

Hamam bin Hammam Ibn Ghalib Al-Tamimi; lahir tahun 641 M /20 H/ meninggal 728 – 730 M/110-112 H), ia lebih dikenal dengan nama Al-Farazdaq ( الفرزدق adalah seorang penyair dan bangsawan dari Basrah, yang sangat besar pengaruhnya terhadap bahasa Arab, sampai ada salah satu ucapan yang mengucapkan jika bukan karena puisi Al farazdaq naka akan hilang sepertiga bahasa Arab dan dan jika bukan karena puisinya, separuh berita masyarakat akan hilang[1]

Al-Farazdaq hidup pada masa Dinasti Umayyah. Dinasti Umayah adalah periode pemerintahan Islam yang ketiga setelah masa Rasul dan Khulafa Rasyidin. Sebagaimana diketahui dalam sejarah Islam, Dinasti Umayyah berdiri akibat perebutan kekuasaan antara keluarga Umayyah dan keluarga Ali bin abi Thalib dalam peristiwa tahkim (arbitrase)ز[2]

Al-farazdaq berasal dari suku Dārim, salah satu divisi paling dihormati dari bani Tamīm, dan ibunya berasal dari suku Ḍabba. Kakeknya Sa'sa' adalah seorang Badui yang sangat terpandang, ayahnya Ghālib menjalani cara hidup yang sama hingga Basra didirikan, dan terkenal karena kemurahan hati dan keramahtamahannya. Pada usia lima belas tahun Farazdaq dikenal sebagai seorang penyair, dan meskipun sempat dicegah oleh nasihat khalifah Ali untuk mengabdikan perhatiannya pada studi Al-Qur'an, ia segera kembali membuat syair.[3]

Ia menikah dengan seorang gadis yang bernama al-Nawar, namun demikian ia juga terkenal memiliki banyak perempuan, di antaranya: Hadra binti zaiq ibn Bustham ibn Qais, Thayyibah binti al- ‘Ajjaj al-Majasyi’i, Rahimah binti Ghani ibn dirham al-Namiriyah, dan lainnya.

 Ketika al-Farazdaq menceraikan alNawwar istrinya yang pertama, ia sangat menyesal [4]Hal ini tampak pada syairnya:

ندمت ندامة الكعسى ملا

ىي مطلّقة غدت من نوار

“Akupun menyesal seperti al-Ka’sa ketika

# Nawwar yang kuceraikan pergi dariku”.

Ia kemudian kembali menulis puisi dan mulai menggunakan syair yang merupakan bakatnya untuk menyerang Bani Nahsyal dan Bani Fuqaim. Ia terpaksa melarikan diri ke Kufah ketika Ziyad, seorang anggota suku Bani Fuqaim menjadi gubernur Basrah pada tahun 669. Emir kota Kufah, Said Ibn Al-As menerimanya dengan baik dan ia tinggal di sana selama sepuluh tahun sambil menulis satir tentang suku Badui namun ia memilih untuk menjauhkan diri dari politik di kota tersebut.[5]

 

Kondisi Umum Pemerintahan Bani Umayyah

        Masa pemerintahan dinasti umayyah, di mana ketiga penyair ini hidup, dimulai dari tampilnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan memimpin pemerintahan yang bersifat monarkhi tahun 41 H/661 M yang berpusat di Damaskus hingga pemerintahan Marwan bin Muhammad tahun 132 H/750 M. Tidak jauh berbeda dengan masa awal Islam, kehidupan masyarakat pada masa ini tetap dipengaruhi oleh ruh agama yang bersumber dari al-Qur’an, baik dari aspek kehidupan intelektualitas maupun aspek politik. Di samping itu, terdapat pula aspek-aspek yang berpengaruh secara luas baik bagi kepentingan Islam secara umum maupun bagi perkembangan sastra secara khusus. Aspek-aspek tersebut disebabkan oleh semakin luasnya wilayah kekuasaan, penyebaran orang Arab ke berbagai daerah taklukan dan proses terjadinya penyerapan kebudayaan baru, pertumbuhan partai-partai politik, munculnya fanatisme golongan.

     Secara detil, kita akan mengetahui bahwa faktor-faktor di atas berpengaruh kuat terhadap perkembangan bahasa dan sastra pada masa kekhalifahan Bani Umayyah ini adalah sebagai berikut.

1. Sistem Pemerintahan

          Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam di masa Khulafa’ al-Rasyidun yang berasaskan ‘musyawarah’ untuk segala macam problem ummat termasuk di antaranya masalah suksesi, sistem pemerintahan yang diletakkan oleh Mu’awiyah berasaskan monarki absolut. Suksesi atas dasar musyawarah diganti dengan ‘putra mahkota’ yang akan melanjutkan kekuasaan berikutnya. Sistem ini diyakini lebih aman daripada sistem musyawarah karena akan menghindarkan perbedaan pendapat dan meminimalisir kecenderungan perpecahan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bukti sebaliknya. Sistem ini justru membangkitkan kemarahan pihak-pihak lain seperti puak Qurais dll. Hingga munculah fanatisme golongan yang didukung oleh para penyair maupun orator. Implikasinya, muncul puisi-puisi pujian yang mendukung seseorang dan muncul pula puisi-puisi politik.

2. Munculnya primordialisme

            Pada masa ini muncul fanatisme golongan yang memuji kelebihan golongan tertentu, seperti golongan Adnaniyah dan Qahtaniyah. Yang pertama, adalah penyokong dinasti Umayyah. Kedua kelompok ini terlibat dalam pertikaian sepanjang masa pemerintahan dinasti ini. Fanatisme golongan ini menghidupkan kembali tradisi jahiliyah yang sangat gandrung dengan persatuan kelompok dengan puisi-puisi ‘fakhr’nya, yang dilantunkan di pasar- pasar sastra, sehingga mereka membuat suq al-marbad di Basra dan suq al-Kinasah di Kufah.

         Bersamaan dangan fanatisme golongan, muncul pula fanatisme kebangsaan (arab oriented). Daerah-daerah taklukan yang berbahasa non-Arab, seperti Irak dengan bahasanya Persia, Damaskus dengan bahasa Romawi, dan Mesir dengan bahasa Qibti dipaksa untuk memakai bahasa Arab dalam berbagai keperluan administrasi kenegaraan. Belum merasa cukup dengan usaha ini, orang-orang Umawiyah mengirim putra-putranya untuk dididik di pedalaman Badui untuk mendapatkan cita rasa bahasa Arab yang murni. Mereka memotivasi perkembangan sastra dengan menghormati para penyair. Tentu saja hal ini berpengaruh besar bagi perkembangan bahasa puisi khususnya.

3. Hedonisme

          Setelah kuatnya konstruksi negara secara internal, dinasti Umayyah melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah sekitar untuk menyebarkan Islam. Seiring dengan kemakmuran yang tercipta akibat hasil harta rampasan dan pajak, banyak orang terutama pejabat, yang menduplikasi peradaban negara taklukan dan masuk ke dalam budaya baru, yaitu hedonisme. Istana-istana diisi oleh para penyanyi, seperti Quraid, Jamilah, dan Salamah. Para pejabat tidak segan memberikan hadiah yang diambil dari Bait al-Mal untuk keperluan membayar pujian yang didedikasikan pada mereka.

4. Partai Politik dan Sekte Agama

           Munculnya partai-partai politik pada masa ini dipicu oleh peristiwa arbitrase yang dilakukan dalam perang Siffin dan berlanjut dengan peristiwa-peristiwa lain. Zainal Abidin mencatat empat partai yang eksis pada masa ini. 1) Partai Umawy, 2) Partai Aly, 3) Partai Khowarij, dan 4) Partai Zubair (mereka adalah pengikut Abdullah bin Zubair yang keluar dari pemerintahan umawiyyah pada masa Yazid bin Mu’awiyah dan mendirikan khilafah sendiri, akan tetapi partai ini paling pendek umurnya, dengan terbunuhnya Abdullah pada masa Abdul Malik bin Marwan. Sementara di bidang agama juga terjadi perpecahan yang dikenal dengan aliran ilmu kalam, yaitu Qodariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah dsb. Baik partai politik maupun aliran keagamaan yang tumbuh pada masa ini memiliki para penyair dan orator yang membela keyakinan mereka dan membalas serangan para pesaingnya.

         Tidak pelak lagi, Damaskus sebagai pusat pemerintahan dan para pejabat menjadi basis bagi pertumbuhan sastra yang berorientasi politis. Hubungan khalifah dan pejabat dengan para penyair bersifat simbiosis mutulaisme. Khalifah berusaha mendekatkan para penyair dengannya untuk meminta bantuan mereka menyerang dan bertahan dari serangan musuh. Sementara para penyair mendapatkan kehormatan dengan menemani khalifah dalam setiap majelis dan memperoleh kesenangan. Damaskus, telah menjadi tempat favorite bagi para penyair pujian.

        Sementara di Irak, kecenderungan puisi politik, fanatisme kesukuan dan mazhab lebih mendominasi. Hal ini disebabkan oleh banyak peperangan dan fitnah. Lalu muncul puisi-puisi satiris dan politis yang dibawakan oleh para penyair di al marbad Basrah dan al Kinasah Kufah dan di masjid-masjid di kedua kota itu sebagaimana mereka berkumpul di pasar Ukkaz pada masa Jahiliyah.

       Sementara di kawasan Hijaz, berkembang juga puisi politik dan fanatisme golongan sebagaimana di Syam dan Irak, hanya saja juga masih terdapat puisi dengan jenis al-ghazal atau percintaan. Berkembangnya puisi politik di kawasan ini disebabkan ketakutan Mu’awiyah dan khalifah sesudahnya terhadap daya destruktif dan ancaman orang-orang Quraisy terhadap pemerintahannya. Taktik politik Mu’awiyah adalah menyibukkan mereka dengan pemberian harta, meracuni dengan kultur foya-foya agar mereka lupa dan tidak berfikir untuk melakukan kudeta. Lalu, lagu, santai, foya-foya, dan mengagumi keindahan menjadi alat politik yang jitu untuk menidurkan suku Quraisy dari keterjagaan politik.

        Di sisi yang lain, penduduk Hijaz melihat ini sebagai peluang untuk lebih menikmati hidup. Setelah Gerakan Dakwah Islam melemah di kawasan ini dan diikuti dengan lemahnnya pengawasan pemerintah karena pusat pemeritahan berpindah ke Damaskus, banyak pemuda Makkah dan Madinah yang cenderung berfoya-foya sehingga meluaslah jenis puisi ghazal ini[6]

Berikut kutipan salah satu puisi Al-farazdaq dalam kumpulan puisi oleh Alī Fā’ūr, dalam kitab Diwan Al-farazdaq menjelaskan tentang budaya satire puisi pada zaman Ummayah salah satunya

Al-hijā al-ijtimā’i (Satire Sosial) Budaya satire lainnya yang juga berkembang pada masa Bani Umayah adalah satire sosial atau al-hijā al-ijtimā’i. Secara umum penyair dikenal memiliki kepekaan khusus terkait dengan masalah sosial yang ada di sekitarnya. Begitu juga dengan al-Farazdaq. Ia tidak segan-segan mengkritisi kondisi sosial yang tidak sesuai dengan budaya dan etika saat itu.

 

Berikut contoh satire sosial al-Farazdaq yang ditujukan untuk para perempuan penggoda pada masa itu[7]:

 

تضاحكت أن رأت شيبا تفرعني # كاأنها أبصرت بعص الأعاجب

Ia (wanita) tertawatawa melihatku di caci maki orang tua itu, seakan-akan ia melihat sesuatu yang aneh”

من نسوة لبني ليث وجيرتهم # برحن بالعين منحسن ومن طيب

“Ia (wanita) itu dari Bani Laits dan sekitarnya yang selalu berhias dan memakai celak mata setiap malam”

فقلت ان الحواريات معطية # اذا تقتلن من تحت الجلابيب

“Lalu aku katakan, “sesungguhnya gadisgadis itu akan hancur ketika berlengganglenggok dengan jilbabnya”

يدنون ابلقول، واألحشاء انئية #كدأب ذي الصعن من أني وتقريب

“Melembut-lembutkan suara, dan napas mendesah-desah, bagaikan orang yang mengejar pencuri”

وبالأماني حتي يختلبن بها # من كان يحسب منا غير مخلوب

“Kalian juga menggoda laki-laki yang tidak mudah tergoda dengan harapan-harapan (palsu)

Syair ini sesungguhnya digunakan alFarazdaq untuk memuji Abdul Malik bin Marwan dan mencela al-Hakam bin Ayyub at-Tsaqafi yang menghalanghalanginya untuk berpuisi satire”[8]


*** * ***

Esai Mahasiswa 4: 

Historiografi  Al-Farazdaq: Penyair Satire yang Menelanjangi Realita Sosial Bani Umayyah

Oleh : Lukman Hakim El- Ma’alie 

Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwasanya Pada masa Bani Umayyah, kekhalifahan islam berkembang sangat pesat, baik dalam aspek politik, ekonomi, maupun budaya. Setelah penguasaan Bani Umayyah atas kekhalifahan, pusat pemerintah mereka berada di Damaskus, Suriah. Hal ini membawa pengaruh besar terhadap perkembangan sastra Arab, yang terpengaruh oleh berbagai budaya, termasuk budaya Persia, Bizantium, dan India. Sastra Arab pada masa itu, juga sangat dipengaruhi oleh ajaran islam, yang mulai meresap ke dalam kehidupan sosial dan budaya. Pengaruh ini terlihat dalam puisi dan prosa yang mulai mengangkat tema-tema keagamaan, baik itu tentang keimanan, kebijakan, maupun moralitas. Namun, pada masa itu, Sebagian besar karya sastra masih mengandung unsur-unsur kebudayaan pra-Islam, meskipun ada transisi ke pemikiran yang lebih Islami.

            Selain itu juga, meskipun Bani Umayyah berkuasa dengan kekuatan yang besar, banyak penyair yang tidak ragu dan takut untuk mengkritik kekuasaan dan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah Umayyah. Kritikan tersebut sering kali muncul dalam bentuk sindiran halus dalam sebuah puisi dan pidato, dengan menggunakan bahasa yang halus dan penuh dengan makna. Salah satu penyair yang berani mengutarakan kritikannya dengan bentuk puisi yaitu : sang penyair satire Al- Farazdaq.

            Siapa yang tidak kenal dengan Al-Farazdaq, Farazdaq adalah salah satu di antara Penyair Muslim besar di Istana Kekhalifahan Bani Umayyah Timur yang lahir pada tahun ahir 641 M /20 H, selain Jarir dan al-Akhtal. Bernama lengkap Abu Faris Hammam bin Gholib at-Tamimi,  tetapi biasa dikenal sebagai al-Farazdaq.  Ia lahir di Kadhima (sekarang Kuwait) dan tinggal di Basra. Ia adalah anggota Darim (dewan sesepuh) salah satu divisi paling terhormat di Bani Tamim, dan ibunya berasal dari suku Dabbah. Kakeknya Sa’sa’ adalah seorang Badui terkenal, ayahnya Ghalib mengikuti cara hidup yang sama hingga Bashrah didirikan, dan terkenal akan kelemah lembutannya.[1]

Puisinya dinilai kaya dengan ungkapan-ungkapan indah, diksi terpilih dan unik, dan memiliki kedalaman makna serta cenderung mengikuti gaya puisi Jahiliyah yang murni. al-Farazdaq terkadang bersifat “gila” dan berani, seperti syi’ir dan perseteruannya dengan Jarir (penyair dekat seorang tirani, al-Hajjaj) yang telah menjadi perbincangan selama berabad-abad. Kekayaan kosakata al-Farazdaq membuat kritikus Arab terdahulu berkata, “Jika syi’ir-syi’ir al-Farazdaq tidak ada, sepertiga bahasa arab akan hilang”. Diwan-nya mengandung ribuan sajak, termasuk pujian, sindiran dan rintihan. al-Farazdaq meninggal tahun 110 H di Basroh.

            Salah satu contoh Puisi Al-Farazdaq, sebagaimana dalam blog sasmitowae, dan syair berikut ini menggambarkan pertikaian antara al-Farazdaq dengan Jarir. Sya’ir ini didahului dengan prolog al-Farazdaq yang membanggakan kaumnya, kemudian baru menyerang Jarir dan sukunya, seperti : Jika ditelusur dalam diwannya yang disunting ‘Ali Fa’ur oleh halaman 489.

 

إنَّ الذى سَمَكَ السَمَاءَ بَنَى لَنَا #  بَيْتًا دَعَائِمُـهُ أَعَزُ وأَطْـوَلُ

بَيْـتًا بَنَاهُ لَنَا الملِيكُ, ومــــــــــا بَنَى #  حَكَمُ السمَاء فَإِنَّهُ لا يُنْقَلُ

بَيْتًا زُرَارَةُ مُحْتَبٍ بِفِنَائِــــــــهِ #  ومُجَاشِعُ, و أَبُو الفَوارسِ نَهْشَلُ

لا يَحْتَبِى بِفِنَاءِ بَيْتِكَ مِثْلُهُمْ # أَبَدًا إِذَا عُدَّ الْفَعَالُ الأَفْضَلُ

ضَرَبَتْ عَلَيْكَ الْعَنْكَبوتُ بِنَسْجِهَا  #    و قَضَى عَليْكَ بِهِ الْكِتَابُ المنزَلُ

و إذا بَذَخْتُ فرايِتَي يَمْشِي بِهَــــــــا  #    سُفْيَانُ, أو عُدُسُ الفَعَالِ, و جَنْدَلُ

 

Makna dan maksud dari syair Al- Farazdaq :

Ø  Sesungguhnya Allah yang mengangkat langit  dan yang telah memberikan kita kemuliaan lebih kuat dan besar dari segala kemuliaan.

Ø  Kemuliaan ini merupakan ciptaan Allah dzat yang mengangkat langit, dan apa-apa yang dibangun oleh Allah tidak akan lemah dan hancur.

Ø  Dan di pelataran kemuliaan ini hiduplah nenek moyang yang besar, diantaranya Zararah, Majasyi’, dan Nahsyal.

Ø  Tidak ada di kaummu wahai Jarir seperti mereka yang pemberani, dimana kamu bisa berbangga-bangga dengan mereka.

Ø  Maka kamu dari rumah yang lemah seperti rumah laba-laba, dimana Allah menjadikannya permisalan dalam kelemahan di dalam firman-Nya.

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan Sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka Mengetahui”. (QS: Al-‘Ankabuut: 41).

Ø  Jika aku berbangga-bangga wahai Jarir, maka sesungguhnya kami berbangga-bangga dengan nenek moyang yang mulia, seperti Sufyan (سفيان), ‘Udus al-fa’aali (عدس الفعال) dan Jandal (جندل).[2]

Ada beberapa alasan mengapa beliau dijuluki dengan Penyair satire yang menelanjangi realita sosial Bani Umayyah, diantaranya:

Ø  Dijadikan sebagai alat untuk menyapaikan kritik sosial dan politik terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan. Beliau juga tidak ragu untuk mengungkapkan pandangannya yang pedas terhadap pemerintah, ketimpangan sosial, dan kondisi moral masyarakat.

Ø  Banyak menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa bani umayyah yang penuh dengan ketidaksetaraan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan. Beliau juga mampu menelanjangi sisi gelap masyarakat yang disembunyikan oleh kekuasaan dan elit, dan memberikan gambaran yang lebih jujur tentang kehidupan pada masa itu.

Ø  Keberaniannya untuk menentang elit kekuasaan dan para penguasa yang korup. Beliau terkenal karena menghadapi dan mengkritik tokoh-tokoh besar pada zaman itu, termasuk dengan menuliskan puisi yang secara langsung mengecam perilaku mereka. Wallahu A’lam.


[1] https://dadanrusmana.com/2011/08/11/farazdaq-penyair-muslim-transisi-masa-ali-ke-bani-umayyah-timur/

Esai Mahasiswa 5: 

Al-Quthami ath-Thaglabiy : Penyair Penyair Yang Terkalahkan Oleh Wanita

Oleh: Muhammad Yahdinarrohman

 

Penyair Al-Qatamial-Taghlibi dengan nama asli  Amir binShu'aym bin Amr bin 'Abad bin Bakr bin 'Amir bin Usama bin Malik bin Jashm binBakr bin Habib bin 'Amr bin Ghanam bin Taghlib dijuluki al-Qatami. Ia juga dikenal dengan julukan Abu Sa’id, dan berasal dari Bakr bin Habib bin Amr bin Ghanam bin Taghlib, yang merupakan penyair terkemuka pada masa Dinasti Umayyah. Ia seorang penyair terkenal dalam puisi cinta. Ia awalnya seorang Nasrani dari Tigris di Irak, kemudian memeluk Islam. Ia merupakan keponakan Al- Akhtal, penyair nasrani terkenal. Merskipun ia keponakan Al- Akhtal ada terdapat perbedaan mengenai puisinya. Dan al-Qatami adalah seorang penyair terkenal, memiliki gaya yang khas, dan puisinya manis. Sedangkan al-Akhtal lebih dikenal darinya dan puisinya lebih kuat.

Dan ketika pertama kali yang diangkat dari Al-Qatami dan mengangkat namanya adalah ketika ia datang pada masa kekhalifahan Al-Walid bin Abdul Malik ke Damaskus untuk memujinya. Namun, dikatakan kepadanya: "Dia pelit, tidak memberi para penyair." Ada juga yang mengatakan bahwa ia datang pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, dan dikatakan kepadanya: "Seni puisi tidak dihargai di sini dan tidak diberi imbalan." Dan ini adalah Abdul Wahid bin Suleiman, maka pujilah dia.

Ibn Salam berpendapat bahwa ia menempatkannya dalam lapisan kedua dari para Muslim setelah Al- Akhtal, dan ia berkata: "Al-Akhtal lebih dikenal darinya dan puisinya lebih kuat." Al-Abbasi (dalam *Ma'ahid al-Tanseeq) menyebutkan sejumlah berita baik tentangnya yang menunjukkan bahwa ia masih muda pada masa kejayaan al-Akhtal, dan al-Akhtal merasa iri terhadap bait-bait puisinya. Dikatakan bahwa al-Qatami adalah orang pertama yang dijuluki "Penyair yang Terkalahkan oleh Wanita" dengan ungkapannya: "Penyair yang Terkalahkan oleh wanita yang memikatnya hingga ia tumbuh dewasa hingga rambutnya memutih." Al-Marzabani menyatakan bahwa di awal Islam (?), salah satu puisinya yang terkenal adalah: "Kadang-kadang orang yang sabar bisa mencapai kebutuhannya, dan bisa jadi orang yang terburu-buru mengalami kesalahan." Ia memiliki "Diwan Syair" - yang diterbitkan dan dijelaskan di Leiden, dan dicetak ulang dengan penelitian di Baghdad. Al-Qatami dapat dibaca dengan mengharfiahkan qaf dan membukanya. Al-Zubaidi berkata: "Pembukaan untuk Qais, dan seluruh Arab membacanya dengan menutup."

Al-Abbasi juga menambahkan dalam karyanya (dalam Al-Ma'ahid al-Tansis) ia menyebutkan bahwa ada beberapa kisah baik tentangnya, yang menunjukkan bahwa ia masih muda ketika al-Akhtal terkenal, dan al-Akhtal merasa iri terhadap beberapa bait puisinya. Dikatakan bahwa al-Qatami adalah orang pertama yang dijuluki 'Sari' al-Ghawan' dengan ucapannya: 'Sari' al-Ghawan yang dirayu dan direngkuh, hingga ia tumbuh dewasa dan rambutnya mulai memutih.'

Dalam perang suku Taghlib dan Qais, ia ditangkap oleh salah seorang dari suku Qais pada hari maksin. Pada saat itu iya akan dihukum mati beserta sukunya. Namun, Zafar bin al-Harith Al- Kalabi mengenalinya ia membebaskannya dari penangkapan dalam perang antara Qais dan Taghlib, lalu ia memberi ampun kepadanya dan memberinya seratus unta serta mengembalikan hartanya. Maka al-Qatami pun memuji Zafar bin al-Harith.

Berikut kutipan puisi dalam buku yang ditulis oleh Dr. Syauqi Dhaif dalam buku Al- Ashr Al- Islami tentang al-Qatami yang memuji Zafar bin al-Harith Al- Kalabi atas perilakunya kepada dirinya ketika ia dilepaskan dari tawanan:

ومن يكن استلام إلى ثوىّ #  فقد أحسنت ، يا زُفَرُ ، المتاعا

أأكفر بعد رد الموت عنى  #وبعد عطائك المائة الرتاعا

ولم أر منعمين أقلَّ مَنَّا #  وأكرم عندما اصطنعوا اصطناعا

من البيض الوجوه بنى نُفَيْلٍ  #أبت أخلاقهم إلا اتساعا[i]

Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada yang telah meninggal, Maka engkau telah melakukan yang terbaik, wahai Zufar.

Apakah aku akan mengingkari (Tuhan) setelah kematian menjauhkan dariku, Dan setelah pemberian-Mu yang begitu banyak?

Dan aku tidak melihat orang-orang yang hidup dalam kemewahan. Lebih sedikit pujian dan lebih mulia ketika mereka memberikan.

Dari orang-orang berkulit putih, keturunan Nufail, Akhlak mereka tidak menerima kecuali keluasan (kemurahan hati).

Al- Quthami mengungkapkan rasa syukur dan penghargaan atas pertolongan yang diberikan oleh Zufar. Ia menegaskan bahwa ia tidak akan mengingkari Tuhan setelah diselamatkan dari kematian, dan menyatakan bahwa orang-orang kaya yang hidup dalam kemewahan tidak lebih mulia daripada orang-orang berkulit putih dari keturunan Nufail, yang memiliki akhlak yang terbuka dan dermawan. Karya-karya puisi lainnya bisa dibaca dalam kumpulan puisinya "diwan al-Quthanmiy"

Dalam puisi tersebut, penyair mengungkapan rasa sedih atas pertempuran yang terjadi antara suku Taghlib dan Qais, meskipun mereka memiliki hubungan dan sebab-sebab yang mengikat. Penyair tulus berdoa untuk perdamaian dan penghentian perang yang merusak ini, yang terkadang berhenti sejenak namun kemudian kembali berkobar lebih hebat, menyiksa anak-anak dari kedua suku tersebut.

Mengenai kematiannya sekitar tahun 101 H, ada keraguan, dan ada juga yang berpendapat bahawasannya ia meninggal pada tahun 130 H,  karena Sibawaih dan orang lain mengutip beberapa puisinya, dan mereka tidak mengutip puisi dari lapisan yang datang setelah Jarir dan al-Farazdaq.[ii]

Uraian tokoh Al-Qatami yang wafat pada tahun 719 M, sekitar 87 tahun setelah wafat Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah kerajaan Sriwijaya menjadi sebagai sebuah kerajaan yang berhasil berkuasa dalam mengendalikan jalur perdagangan utama di wilayah Selat Malaka. Serta berhasil pula untuk menaklukkan berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa.Sebagai kerajaan yang berada di jalur perdagangan yang melintasi Selat Malaka, terdapat banyak sekali para pedagang yang singgah di jalur perdagangan ini guna membeli rempah-rempah. Tidak hanya barang berupa rempah-rempah saja, awal mula berdirinya kerajaan Sriwijaya juga terjadi pula sebuah pertukaran kebudayaan yang dibawa oleh para pedagang yang berasal dari India, Arab, dan China yang membawa dampak terhadap budaya di Pulau Sumatera sampai sekarang ini.

[i] Dr. Syauqi Dhaif , Al- Ashr Al- Islami, hal 225

 *** * ***

Esai Mahasiswa 6: dipublikasikan 1-1-2025

Jejak Sang Inovator Bahasa Arab yang Mendeklarasikan Keikhlasan

(Abu Al Aswad Ad-Du’ali)

Oleh: Abdul Muis

          Abul Aswad Ad- Dualiy Merupakan penggagas ilmu nahwu dan di juluki sebagai bapak Bahasa arab. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Aswad Zalium ibn Amr ibn Sufyan ibn  jandal ibn Yamar ibn Hils ibn Nufatha ibn al-Adi ibn al-Dil ibn Bakr. Lebih dikenal Abu al-Aswad ad-Dualiy ( atau Ads-Dili), Orang hyang di ambil ilmunya dan yang memiliki keutamaan,l Dia dilahirkan pada masa kenabian Muhammad SAW, Ia yang pertamakali mendefinisikan Bahasa afrab dan dijuluki sang Inovator Bahasa Arab. Hal yang melatar belakangi hal tersebuty ialah  ketia pada saat itu abu al aswad ad dualiy mendenbgar secara langsung kesalahan bacaan seseorang yang sangat fatal dari Al-Qur’an. Kesalahan dalam pelafalan Al-Quran itu menjadi suatu keresahan para tokoh-tokoh islam, Salah satunya Gubernur Basrah Ubaydillah bin ziyad. Ubaydillah bahkan meminta kepada ad-Dualy umtuk mencarikan Solusi atas permasalahan itu. Ad-dualy  pun mulai mengerjakan tugasnya dalam merumuskan sistem Shakl (Dlommah,Kasrah Fathah dan Sukun), Setelah itu ad-Dualy pun terus mengembangkan sampai dengan  pengembangan pada Huruf nashab sehingga pada saat itu Terbentuklah suatu tata Bahasa atau gramatika Bahasa arab sehingga hal kitu yang menjadikan abu Al-asdwad Ad- Dualiy dijuluki sebagai Ummuy Bahasa arab dan sang inovator Bahasa arab. Abu al aswad Ad-Dualiy wafat  pada tahun 69 H (688 M) Ad- Dualiy wafat  karena wabah ganas  pada saat itu pada saat ad-Dualiy dalam usia 85 Tahun.

          Selain itu Abu Al Awad Ad-Dualiy juga salah satu penyair zuhud yang menyuarakan keihklasan, Ad-Dualiy. Dari sekian banyak syairnya, Abu al-Aswad menunjukkan konsep zuhud yang ia terapkan dalam hidupnya. Adapun syair yang bermuatan zuhud dalam syair Abu al-Aswad al-Duali dan keterkaitan zuhud tersebut dengan ayat-ayat al-Qur’an .

1.     Tawakal

Dalam syairnya, Abu al-Aswad mengingatkan akan pentingnya tawakal dalam hidup. Banyak syairnya yang mengandung anjuran untuk tawakal, memasrahkan diri kepada Allah Swt. Dan menurutnya tawakal bukan berarti bahwa seseorang tak perlu berusaha apapun, dalam hal ini Abu al-Aswad menyebutkan bahwa tawakal tetap harus diiringi dengan usaha. Abu al-Aswad berkata: 

فما للمضاء والتوكل من مث

إذا كنت معنيا بأمر تريده

يراد به آتيك أنت له مُخْلِ

توكل وحمل أمرك الله إنما

Bila kau sedang berusaha untuk mencapai suatu hal yang kau inginkan #

(ketahuilah bahwa pada) tekad yang kuat dan tawakkal tak ada bandingannya # Bertawakkallah dan sertakan Allah dalam urusanmu, sungguhlah apa #yang engkau inginkan akan mendatangimu dan tak ada penghalang 

2.     Sabar

Dalam syairnya Abu al-Aswad pun menyampaikan bagaimana ia menghadapi cobaan hingga akhirnya bisa berlapang dada dan sabar:

وأسلمني طولُ البلاء إلى الصبر

تعوّدتُ من الضرّ حتى ألفتُه    

وكان قديماً قد يضيق به صدري

ووسّع صدري للأذى كثرةُ الأذى 

ألاقيه منه كال عتبي على الدهر

إذا أنا لم أقبل من الدهر كلّ ما 

Aku sudah biasa ditimpa bahaya hingga aku menjadi terbiasa #

Dan cobaan yang berlangsung lama mengantarkanku pada kesabaran#

Hatiku menjadi lapang dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan #

Dan (padahal sebelumnya) dulu hal yang menyakitkan itu membuat hatiku sesak #Bila aku tidak menerima “masa” (semua kejadian yang ada), maka setiap kali Aku menjumpainya akan memanjanglah celaanku pada “masa.

            Dalam hal ini Abu Al-Aswad Ad-dualiy yang terus mengembangan dan menyuarakan bentuk ekspresi zuhud melalui syairnya yang mampu mendeklarasikan zuhud dalam kehidupannya dan syairnya. Abu Al aswad Ad-Dualiy pun dikenal sebagai politikus , Sebelum berkiprah dalam dunia Ilmu Nahwu, sahabat sekaligus murid Khalifah Ali bin Abi Thalib RA ini pernah berkiprah di dunia perpolitikan. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA, beliau pernah diangkat menjadi Hakim di Bashrah dan menjadi gubernur pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib di kota yang sama. Beliau juga pernah menjadi juru runding perdamaian pada saat perang Jamal, dan diutus oleh Abdullah bin Anas, sahabat Rasulullah SAW untuk memerangi kaum Khawarij.

 Uraian tokoh Abu Al-Aswad Ad-Dualiy  yang wafat pada tahun 688 M. jika dikontekskan pada Sejarah Indonesia, Indonesia pada saat itu mengalami perkembangan yang mencangkup transisi penting dalam Sejarah Indonesia dengan kemunculan Kerajaan-kerajaan awal di berbagai wilayah Nusantara.Seperti Kerajaan Sriwijaa pada abad ke 7 tepatnya sekita pada tahun 600 M sriwijaya menjadi Kerajaan maritim yang sangat pentinhg yang menguasaisebagia besar wilayah pesisir Sumatra dan sekoitarnya.Sriwijaya pun berhasil menaklukkan lkerajaan melayu di wilayah jambi yang semakin memperkuat kedudukannya . Selain itu pada abad ke 7 pula ada Kerajaan Tarumanegara yanhg gterletak di jawa barat,Masih berada dalam masa kejayaannya.Namun, pada tahun 630 himhha 670 kerajaan ini mulai mengalami kemunduran.kerajaan ini mulai kehilangan kekuatan poitik dan gterpecah menjadi Kerajaan-kerajaan kecil yang terlokalisasi. 

*** * ***

Esai Mahasiswa 7: 

Uday bin Al-Raqa': Penyair Istana Dinasti Umayyah yang tak terkenal saat ini

Oleh: Sabik Ma’ruf

Nama lengakap Uday bin Al- Raqa’ adalah Uday bin Zaid bin Malik bin Uday bin Raqa' bin'Asr bin Akkh bin Sya'l, Ia mempunyai nama panggilan Abu Dawud. Dia tinggal dan besar di Damaskus dan hidup pada zaman Bani Umayyah sebagaimana dijelaskan dalam buku ديوان عدي بن الرقاع العالمي [i] karangan Hasan Muhammad Nuruddin Uday pernah tinggal di daerah Al-Hawlah, Yordania, dan kota Madinah dimana ia sering bepergian. Uday bin Al-Raqa’ wafat pada tahun 95H/714M di Damaskus, para sejarawan tidak ada yang menyebutkan tanggal kelahirannya, akan tetapi meraka menyakini bahwasannya ia lahir pada dekade keempat dari tahun kalender hijiriyyah yaitu antara tahun 30-40 H. Ia merupakan sorang penyair besar dari Bani Umayyah dan seorang terkemuka di kalangan Bani Umayyah. 

Menurut Muhammad Izzudin dalam artikelnya, Penyair Politik Masa Dinasti Bani Umayyah[ii] menjelaskan Uday bin Al-Raqa’ merupakan seorang penyair istana yang sangat patuh dalam berkhidmat untuk pemerintahan Bani Umayyah serta para khalifahnya, memuji para bangsawan baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, serta mendukung penuh pemerintahan dan memberikan semangat. Syair-sayir beliau banyak mengandung pujian terhadap bangsawan, khususnya Walid bin Abdul Malik yang dimana pujiannya terlalu berlebihan. Selain itu, ia juga penyair istana yang berbeda dengan kebanyakan penyair istana lainnya yang mencari keuntungan melalui pujian dalam sya’irnya.

Uday bin Al-Raqa’ yang sebagai penyair istana pernah disuruh oleh Walid bin Abdul Malik untuk menghadiri majelis pembacaan puisi yang dimana isi dari puisi beliau berisi tentang kepemimpinan khalifah Walid bin Abdul Malik, dan hampir mengungguli puisi dari Jarir, sehingga Jarir pun masuk kedalam majelis dan mencelanya[iii], dan kemudian Walid bin Abdul Malik mengancam Jarir akan memasang pelana dan kekang padanya, lalu menungganginya seperti seekor kuda jika kembali mengejak[iv].

menurut جبل عامل dalam artikelnya yang berjudul  عدي بن الرقاع العاملي [v] yang dimana Uday bin Al-Raqa’ mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain, yakni mengalahkan Jarir dan memaksanya untuk mengakui kekalahan, dimana awal mulanya Jarir meremehkan Uday, sebagai seoarang penyair dari pegungan yang datang ke Damaskus untuk bersaing dengannya di istana raja. Jarir mencoba mengejeknya dalam sebuah puisi (sya’ir), dan mengira dengan ejekan melalui puisi tersebut akan mempermalukan dan membungkan Uday. Namun, Uday segera membalas dengan Puisi juga yang membuat Jarir terdiam. Jarir yang sebelumnya tidak pernah dikalahkan, menjadi terkejut dan takut menghadapi perdapatan lebih jauh dengan Uday. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Jarir memilih untuk mudur dari perdebatan dan mengakui kekalahannya dengan mengatakan “ بل أنا امرؤ لم أدر كيف أقول’’ yang artinya Sebenarnya, aku hanyalah seseorang yang tidak tahu apa yang harus kukatakan.

Selain itu, Hasan Muhammad Nuruddin mengatakan dalam bukunya ديوان عدي بن الرقاع [vi] العالمي Uday bin Al Riqa’ dikenal dengan kecerdasanya dalam merespon penghinaan. Suatu ketika, seorang gubernur Umayyah yakni Ubaidah bin Abdurrahman yang dipermalukan oleh khalifah Walid, dan Uday membela gubernur tersebut dengan puisi yang memuji kebaikannya, dan membuat khalifah marah akan tetapi Udy mampu menjelaskan alasannya dengan cara yang bijaksana dan akhirnya dimaafkan.

Syair-syair Uday bin Al-Raqa’ menggambarkan keindahan unta dan pemandangan padang pasir. Syairnya sering menjadi bahan diskusi di majelis penyair besar seperti Al-Farazdaq dan Jarir, dalam satu kejadian Al-Farazdaq dan Jarir ingin mengkritik Syair Uday tetapi ketika mendengarkan deskripsi indahnya, mereka akhrinya mengakui kualitas dari syai’irnya. Dan juga sya’ir Uday menarik perhatian dari khalifah-khalifah Bani Abbasyiah, yang dimana dalam suatu pertemuan khalifah Harun Al-Rasyid menikmati sya’ir Uday yang dibacakan seorang Perawi dan khalifah Harun meminta perawi untuk membacakan sya’ir bagian yang lainnya.

Selain menggambarkan unta dan pemandangan padang pasir dalam sya’irnya, dalam artikelnya Sura Ahmed Salih yang bejudul Methodism In Pre-Islamic And Umayyad Poetry [vii] Uday bin Al-Raqa’ juga menggambarkan kuda dalam sya’irnya karena kuda memiliki banyak sifat dan makna yang membanggakan, seperti kebranian, dan kebringasan. Dan kuda merupakan alat yang digunakan orang-orang Bani Umayyah  untuk berburu dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Uday menggambarkan kuda dalam sya’irnya dengan segala hal yang berhubungan dengan  kebranian, kecepatan, dan keagungan.

Di dalam bukunya تحسين محمد الصلاح yang berjudul   [viii]عدي بن الرقاع العاملي : حياته وشعره Uday bin Al-Raqa’ menggambarkan kuda dalam sya’irnya sangat detail dan melukiskannya dalam potret yang indah, melibatkan setiap detail anggota tubuh, gerakannya, energinya, dan kecepatannya. Ia tidak melewatkan satu bagian pun dari kuda tersebut. Saat membaca sya’irnya tentang deskripsi kuda, kita seolah melihat sebuah lukisan artistik yang jelas dan rinci, dan diciptakan oleh tangan seorang seniman yang ulung.

Berikut sya’ir-sya’ir Uday bin Al-Raqa’ tentang kuda (hlm. 115) :

 وَلَقَدْ أَغْتَدِي بِأَجْرَدٍ             نَهْدٍ لَاحَهُ بَعْدَ صُنْعِهِ الْمِضْمَارُ

أَيِّدُ الْقَصْرِيِّينَ مَا قُيِّدَ يَوْمًا      فَيُعْنَى يَصْرَعُهُ بَيْطَارُ

حَوْشَبُ الْخَلْقِ أَفْرَعَتْ كِيفَاهُ   عَنْ مَحَانِي ضُلُوعِهِ إِجْفَارُ

وَإِذَا اهْتَرَّ مُقْبِلًا زَانَ مِنْهُ       أَتْلَعٌ مَا يَنَالُ مِنْهُ الْعِذَارُ

وَيُرَى مُجَفَّرًا إِذَا هُوَ وَلَّى      فِي حُمَاتَيْهِ شِدَّةٌ وَالْبَتَّارُ

وَنُسُورٌ لَهَا حَوَافِرُ مِنْهُ         لَا يُرَى فِي أَرْسَاعِهِنَّ انْتِشَارُ

كَالْجَلَامِيدِ بِالْمَسِيلِ عَلَا           هُنَّ مِنَ الْمَاءِ خُضْرَةٌ وَاصْفِرَارُ

مَشَقَّ اللَّحْمَ عَنْ حُمَاتَيْهِ مَشْقًا      فَتَعَالَى وَاشْتَدَّتِ الْأَوْتَارُ

وَعَلَى الزُّورِ مُنْبَضُ الْقَلْبِ مِنْهُ    بِحَيَازِيمَ بَيْنَهَا أَسْيَارُ

فَهُوَ طَافٍ أَقَبٌ كَالْمَسَدِ الْأَمْلَسِ    عَارِيَ الشَّوَى مَمَرُّ مَغَارُ

شَاخِصُ الْحَرْثَيْنِ يَنْفَعُ مِنْهُ          قَطْعُ الرَّبْوِ مَنْخَرٌ نِثَارُ

وَهُوَ شَاحٌ كَأَنَّ الْحَيَّةَ حَنَّوْا         قَلْبًا لَاحَ مِنْهُمَا النَّجَارُ

          



Terjemahnya :

·       Aku memulai pagi dengan kuda yang kuat dan cepat, mendukung para pemberani dengan kekuatan tak terkalahkan

·       Tidak pernah terikat bahkan saat berlari kencang, sayapnya seperti elang, melindungi dada

·       Bila Ia lari, debu berterbangan, tidak ada yang bisa menghentikannya

·       Bila ia berhenti, kekuatan terlihat, dan keberanian yang tak terkalahkan

·       Dengan kuku tajam dan sayap kuat, ia melompat seperti batu yang digelindingkan

·       Ia berlari cepat, tidak terhenti, meninggalkan jejak diatas tanah

·       Hatinya teguh tidak tergoyahkan, seperti batu karang di tengah badai

·       Kuda itu seperti pedang tajam, memotong segala rintangan

·       Ia membawa rider dengan percaya diri, menyebrangi lembah dan bukit

·       Ia seperti ular yang meluncur, membela tanah dengan kekuatan

·       Kuda itu mendaki bukit dengan mudah, menjadi kebanggaan bagi rider

·       Dan ketika ia berhenti keindahan terlihat, dalam kekuatan dan kebranian

 

Uraian Uday bin Al-Raqa’ yang wafat pada tahun 714 M, jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam situasi terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah kerajaan Tarumanegara yang beribukota di sunda Pura, wilayah saat ini menjadi Jawa Barat. Selain itu Kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini berpusat di Palembang, beberapa ada di Muara Takus dan Jambi dan pusatnya di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi. Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Selain itu juga kerajaan Kutai Martapura terletak saat ini di Kalimantan Timur. Agamma Hindu-Budda masih mendominasi di setiap derah-daerah, begitu juga kepercayaan ainimisme. Dan tulisan-tulisan sudah berkembang dengan bukti adanya prasasti-prasasti yang ada.

 



[i] حسن محمد نور الدين, ديوان عدي بن الرقاع العالمي، دار الكتب العلمية, 1990

[ii] Muhammad Izzuddin, Penyair Politik Masa Dinasti Bani Umayyah, Academia

[iii] Muhammad Izzuddin, Penyair Politik Masa Dinasti Bani Umayyah, Academia

[iv] جبل عامل،عدي بن الرقاع العاملي, marefa  2 April 2014

[v] جبل عامل،عدي بن الرقاع العاملي, marefa  2 April 2014

[vi] حسن محمد نور الدين, ديوان عدي بن الرقاع العالمي، دار الكتب العلمية, 1990

[viii]تحسين محمد الصلاح, عدي بن الرقاع العاملي : حياته وشعره, تم اعداد بيانات الفهرسة والتصنيف الأولية من قبل دائرة المكتبة الوطنية, 1999

  


Esai Mahasiswa 8: 

 Al- Akhtal Penyair pada masa Umayyah

Oleh Rayhan Maulana

 Al-Akhtal (640-710 M) merupakan salah satu penyair terkemuka dalam sejarah Sastra Arab Klasik. Nama aslinya adalah Ghiyath bin Ghawth bin al-Salt. Lahir di Hira, Irak, Al-Akhtal berasal dari keluarga Kristen Arab. Meskipun non-Muslim, ia menjadi penyair istana Bani Umayyah dan dekat dengan Khalifah Abd al-Malik bin Marwan.[1]

 Karya-karya Al-Akhtal mencerminkan kepiawaiannya dalam menggunakan bahasa Arab. Puisi-puisinya kaya akan metafora, simbolisme dan permainan kata. Ia dikenal sebagai ahli dalam jenis puisi "qasidah" (puisi panjang) dan "takhallus" (puisi pendek). Tema-tema puisinya meliputi pujian, satire, cinta dan peperangan.[2]

Berikut kutipan salah satu puisi Al-Akhtal dalam kumpulan puisi oleh Cahaya Buana halaman 7 & 9, diceritakan Ketika Yazid ingin menunjukan kepada Ka’ab bin Ju’ail seorang pemuda Nasrani yang lidahnya ibarat banteng dan pemuda yang ia maksud adalah Al-Akhtal.

إسقني شُربَة تُرَوّي مُشاشي # ثُمَّ مِل فَاسْقِ مِثْلَهَا ابْنَ

 زِيَادِ صاحِبَ السِرِ وَالأَمانَةِ عِندي # وَلِتَسديدِ مَعْنَمي وجهادي

ذَهَبَت قُرَيشُ بِالمَكارِمِ وَالعُلى # وَاللُّؤْمُ تَحْتَ عَمَائِمِ

 الأَنصارِ فذروا المكارِمَ لَستُمُ مِنْ أَهْلِها # وَخُذُوا مَسَاحِيَكُم بَنِي النَجَارِ

Kaum Quraisy telah pergi dengan segala kehormatan dan kemualiaannya

Dan kehinaan bagi para pemimpin Anshor

Tinggalkanlah kemuliaan itu, karena tidak pantas untuk kalian

Lalu ambillah kulit-kulit kayu kalian wahai Dinasti Najjar (kaum tukang kayu)

Uraian tokoh Al-Akhtal: Akhir dari Seorang Penyair Besar

Al-Akhtal, penyair Arab terkenal pada masa Umayyah, wafat pada tahun 710 M di Jazirah, Mesopotamia (sekarang wilayah Turki). Kematian ini menandai akhir dari sebuah era keemasan sastra Arab.

Karya-Karya Al-Akhtal

Al-Akhtal, penyair Arab terkenal, meninggalkan banyak karya sastra yang indah dan mendalam. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "Khaffat al-Qatīnu" (Puisi Pembukaan Pintu), yang ditujukan untuk Khalifah Abd al-Malik bin Marwan. Puisi ini menggambarkan kekuasaan dan kebijaksanaan khalifah dengan bahasa yang indah dan ekspresif.

Puisi-puisi Al-Akhtal lainnya mencakup "Qasidah al-Madh" (Puisi Pujian), yang memuji keberanian dan kebijaksanaan Bani Umayyah, serta "Takhallus" (Puisi Pendek), yang menggambarkan cinta dan kesedihan. Karya-karyanya juga mencakup puisi-puisi satire yang mengkritik lawan-lawan politik.

Selain itu, Al-Akhtal juga menulis "Al-Mu'allaqat" (Puisi-Puisi Tergantung), yang merupakan kumpulan puisi-puisi terkenal Arab. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan tetap dipelajari hingga saat ini.

Tema dan Gaya

Karya-karya Al-Akhtal mencerminkan tema-tema seperti:

- Pujian dan kekuasaan

- Cinta dan kesedihan

- Satire dan kritik sosial

- Kebijaksanaan dan keberanian

Gaya penulisannya dikarakteristikkan oleh:

- Bahasa yang indah dan ekspresif

- Metafora dan simbolisme

- Permainan kata yang cerdas

- Struktur puisi yang kompleks

Pengaruh

Karya-karya Al-Akhtal telah mempengaruhi penyair-penyair Arab lainnya, seperti Al-Farazdaq dan Al-Mutanabbi. Warisannya tetap hidup dalam sastra Arab dan menjadi inspirasi bagi generasi baru.

[1] Tengku Ghani Tengku Jusso, A Qafiah of Al-Akhtal(Umayyad Poet 640-713M), MillahV^ol.V, No. 1,Agustus2005

[2] Tengku Ghani Tengku Jusso, A Qafiah of Al-Akhtal(Umayyad Poet 640-713M), MillahV^ol.V, No. 1,Agustus2005


Esai Mahasiswa 9: 

Jamil bin Ma’mar: Antara Keindahan Syair dan Luka Hati

Oleh Rahdila Humaira

 Jamil Buthainah adalah sebuah julukan yang diberikan kepada seorang laki-laki dari tanah Wadi al- Qura. Kira-kira siapakah dia?. Kenapa Masyarakat pada zaman itu memanggilnya dengan julukan Jamil Buthainah?

Di dalam buku تاريخ الادب العربي  karya Umar Farukh (1987W) halaman 478-479, ia menceritakan bahwa Jamil Buthainah adalah sebuah julukan yang diberikan kepada seorang laki-laki yang Bernama asli Abu Amr Jamil bin Ma’mar atau yang lebih dikenal Jamil bin Ma’mar. Ia lahir sekitar tahun 40 H (660 M) di Wadi al Qura’ yang ada di utara Hijaz. Jamil bin Ma’mar tumbuh dan besar di sana. Jamil bin Ma’mar adalah seorang  penyair fasih Hijaz dari bani Udrah yang diakui oleh para kritikus sebagai penyair cinta terbaik di zamannya. Syairnya lembut, mudah dipahami, dan penuh emosi.

            Di dalam buku تاريخ الادب العربي العصر الإسلامي  karya Syauqi Dhaif halaman 367, beliau menyatakan bahwa Jamil bin Ma’mar belajar syair dari Hudbah bin al-Hushram, murid al-Hutai’ah. Al-Hutai’ah adalah murid Zuhair bin Abi Sulma. Maka tidak heran jika Jamil memiliki karya syair yang halus dan berkualitas. Sebagian besar isi syair Jamil adalah tentang Buthainah, kekasihnya. Buthainah adalah seorang Wanita dari kaumnya. Jamil dan Buthainah adalah sepasang kekasih sejak kecil, mereka saling mencintai dengan tulus. Namun karena masalah status sosial, keluarga Buthainah menyuruh Buthainah untuk menjauhi Jamil. Beberapa kali mereka bertemu secara diam-diam. Tapi gosip tentang mereka berdua menyebar luas hingga membuat keluarga Buthainah marah.

Jamil bin Ma’mar pernah menunjukkan kesungguhan cintanya kepada Buthainah, namun keluarga kekasihnya itu menolak karena ayah Buthainah tidak ingin Buthainah menikah dengan laki-laki yang menulis syair tentang putrinya. Konon, adat kebiasaan bangsa Arab menganggap jika ada seorang gadis yang diam-diam menjalin hubungan dengan seorang laki-laki maka hal itu dapat mencemarkan nama baik keluarga, Apalagi Jamil sampai menuliskan syair tentang Buthainah, hal itu makin membuat ayah Buthainah marah.

Di dalam buku تاريخ الادب العربي   karya Umar Farukh (1987W) halaman 478-479, dikatakan bahwa keluarga Buthainah mengadukan Jamil bin Ma’mar kepada Marwan bin al-Hakam, gubernur Madinah di bawah pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada periode kedua (56-57 H). Saat itu, gubernur Wadi al-Qura adalah Dajajah bin Rubai', ia mengancam akan menghukum Jamil jika ia kembali mendekati atau mengunjungi Buthainah. Karena ancaman tersebut, Jamil melarikan diri ke Yaman, tempat tinggal keluarga ibunya dari Bani Judzam. Pada bulan Dzulqa’dah tahun 57 H (musim gugur 676 M), Marwan diberhentikan dari jabatannya sebagai gubernur Madinah. Pada waktu yang sama, keluarga Buthainah pindah ke Syam bersama ternak mereka. Jamil kemudian menyusul ke Syam, tetapi akhirnya kembali ke Wadi al-Qura.

Meskipun Buthainah menikah dengan Nabih bin al-Aswad al-'Udzhri, Jamil tetap menggubah syair-syair tentang cintanya dan terus mengunjunginya. Namun, ancaman hukuman mati dari Dajajah bin Rubai' atau Amir bin Rubai' bin Dajajah, yang masih menjabat sebagai gubernur Bani Umayyah di Wadi al-Qura, membuat Jamil merasa tidak aman. Karena itu, ia meninggalkan Hijaz dan pergi ke Mesir untuk mencari perlindungan dan memuji gubernurnya, Abdul Aziz bin Marwan (684-705 M). Namun, Jamil tidak tinggal lama di Mesir. Ia jatuh sakit dan meninggal pada tahun 82 H (701 M). Itulah mengapa Jamil bin Ma’mar diberi julukan Jamil Buthainah, syair-syair tulusnya selalu merujuk kepada sang kekasih Buthainah.

Syair-syair cinta Jamil kepada Buthainah dapat dibaca dalam Diwan Jamil. Berikut adalah kutipan salah satu syair ghazal karya Jamil bin Ma’mar dalam Diwan Jamil halaman 21:


يوم طار رداؤها
 

بثينة صَدْعا يومَ طَار[1] رِدَاؤُهَا

لقدْ أَوْرَثَتْ قَلبيْ وكَانَ مصْححًا[2]

عَصَتْنى شئون العين فانْهَل ماؤها

إذا خطرت من ذِكْرِ بَثْنَة[3] خَطْرَةٌ

وعاود قلبي من بثينة داؤها

فإن لم أزرها عادني الشوق والهوى

وَيُمْنَعُ منها يا بُنَيْنُ شفاؤها

وكيف بنفسٍ أَنتِ هَيِّجتِ سُقْمَها

فأخلف[4] نفسي من جداك رجاؤها

لقد كنتُ أرجو أن تجودى بنائل

 

Terjemahannya:

“Hari selendangnya terbang”

Dia telah mewarisi hatiku dan itu menjadi sembuh

Buthainah retak pada hari jubahnya terbang

Apabila teringat Wanita yang cantik datanglah sebuah perasaan

Mata tidak mematuhiku dan airnya tercurah

Jika aku tidak mengunjunginya, kerinduan dan gairah Kembali kepadaku

Dan hatiku Kembali dari Buthainah obatnya

Dan bagaimana kamu menggungah sakitnya

Dan kamu mencegahnya menyembuhkannya

Aku berharap kamu memberikan sesuatu yang berharga

Maka diriku mengingkari janji dari kesungguhan harapanmu.

 …….

Uraian tokoh Jamil bin Ma’mar yang wafat pada tahun 701 M, sekitar 130 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad ini jika dikontekskan pada sejarah Indonesia, Indonesia saat itu masih dalam masa Kerajaan-kerajaan awal dan belum berbentuk negara seperti sekarang. Sejauh penelusuran penulis, kerajaan yang terdeteksi adalah kerajaan Tarumanegara yang beribukota di Sundapura, wilayah saat ini menjadi Jawa Barat. Selain itu juga ada Kerajaan Kalingga yang beribukota Keling, wilayah saat ini menjadi Jepara. Selain itu ada Kerajaan Sriwijaya yang beribukota Minanga yang saat ini menjadi Palembang.

 ***  

[1] Thara dalam kamu Al Munawwir berarti “terbang”, hlm 876

[2] Mushahhahan dalam kamus Al Munawwir berarti “menyembuhkan” hlm. 746

[3] Bathnah dalam kamus Al Munawwir berarti “wanita yang cantik” hlm. 57

[4] Akhlafa dalam kamus Al Munawwir bearti “Tidak menepati janji” hlm. 362


Esai Mahasiswa 10 



Leave a Comment