| 0 Comments | 62 Views

Artikel ini saya tulis setelah beberapa hari saya mengikuti joint conference yang diadakan oleh prodi tempat saya bekerja dan salah satu universitas di Malaysia (21/8). Di forum tersebut saya menyampaikan tentang perubahan makna kata ‘kafir’ di dalam Al-Qur’an di era pewahyuan. Tujuan saya mengangkat tema ini adalah untuk menunjukkan bahwa persoalan makna di dalam Al-Qur’an adalah hal yang kompleks, termasuk makna kata ‘kafir’. 

Pemilihan terminologi ‘kafir’ di dalam Al-Qur’an dalam presentasi saya juga bukan tanpa alasan, mengingat kata ini sempat viral di Indonesia pada tahun 2019. Berawal dari hasil putusan Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama (Munas NU) di kota Banjar, Jawa Barat yang melarang penggunaan ‘kafir’ untuk non-Muslim, muncullah polemik di kalangan masyarakat Indonesia. Beberapa pihak merasa tersinggung dengan hasil putusan Munas tersebut, karena dianggap telah merevisi pemaknaan kata ‘kafir’ di dalam Al-Qur’an.

Tesis dan Tujuan Penelitian

Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad selama 22 tahun (610-632 M), di saat Nabi menjalankan misi dakwahnya. Di sisi lain, karena Nabi berdakwah di Hijaz maka terdapat hubungan esensial antara misi dakwah Nabi dengan konteks sosial-budaya masyarakat Makkah-Madinah. Dari sini, terdapat hubungan yang erat antara Al-Qur’an sebagai Firman-Nya, Nabi dan misi dakwahnya, serta konteks sosial-budaya tempat Nabi berdakwah. Hubungan ini mempengaruhi perubahan makna di dalam Al-Qur’an; bahwa ia bersifat statis dan bergantung pada waktu, tempat, dan situasi yang dihadapi oleh Nabi.

Tujuan dari penelitian yang saya presentasikan adalah untuk mengkaji secara lebih menyeluruh perubahan makna ‘kafir’ dari waktu ke waktu di era pewahyuan, dengan memperhatikan misi dakwah Nabi dan latar belakang sosial-budaya yang menyertai kemunculan makna-makna tersebut. Titik awal untuk menyoroti berbagai pergeseran makna 'kafir' di dalam Al-Qur'an adalah periode pra-Islam, karena hampir semua istilah kunci yang terdapat di dalam Al-Qur’an telah digunakan pada masa itu. Baru selanjutnya dilakukan pembacaan di periode pewahyuan Al-Qur'an, yang dimulai pada awal pewahyuan sampai dengan pewahyuan selesai.  Untuk melihat pergeseran di periode pewahyuan, digunakan klasifikasi oleh kesarjanaan Muslim tradisional, yang membagi ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam dua tahapan, yaitu Periode Makkah dan Periode Madinah. Periode Makkah dapat dibagi menjadi awal, pertengahan, dan akhir. Begitupun dengan periode Madinah.

Hasil Penelitian

Dalam presentasi tersebut saya menyampaikan bahwa makna ‘kafir’ di dalam Al-Qur’an tidak sesimple apakah ia berkaitan dengan non-Muslim atau tidak. Di masa pra-Islam, ‘kafir’ digunakan untuk seseorang yang engganberterima kasih atau mengabaikan dengan sengaja manfaat yang telah diterimanya. Memasuki masa pewahyuan, atau tepatnya di masa awal periode Makkah, kata ‘kafir’ digunakan untuk mereka yang telah menerima kemurahan hati Tuhan, namun tidak menunjukkan tanda terima kasih dalam perilakunya atau bahkan melakukan pemberontakan kepada-Nya (Q.S. 27: 40). Misi dakwah Nabi di era ini adalah untuk menunjukkan kepada manusia akan adanya Rahmat dan kebaikan Tuhan, dan sudah sepantasnya manusia sebagai makhluk-Nya berhutang kepada belas kasih Tuhan yang tidak terbatas. Di awal dakwahnya, Nabi tidak begitu mendapatkan perlawanan dari Masyarakat Quraisy Makkah, sampai suatu ketika Nabi mendakwahkan tentang monoteisme, bahwa Tuhan adalah Dzat Yang Esa. Misi dakwah Nabi di era Makkah pertengahan ini adalah untuk memurnikan keyakinan para pengikutnya dengan melarang mereka menyembah tuhan-tuhan nenek moyang mereka. Sehingga di era ini, ‘kafir’ identik dengan mereka yang mempercayai tuhan-tuhan lain selain Allah Yang Esa atau syirk (Q.S. 6: 1; Q.S. 13: 14). Begitu Nabi mendakwahkan monoteisme, Masyarakat Makkah mulai memusuhi Nabi kerena ajarannya dianggap telah menghina tuhan-tuhan nenek moyang mereka. Permusuhan itu diwujudkan dalam bentuk boikot dan penganiayaan baik verbal maupun fisik terhadap Nabi dan para pengikutnya. Melalui pewahyuan, Nabi memperingatkan para pengikutnya untuk tetap pada keimanan di tengah penganiayaan yang mereka terima. Di masa ini, yaitu di era Makkah akhir, kufr selalu disebutkan secara beriringan dengan kata iman (Q.S. 16: 106; Q.S. 35:7).

Penyebutan kufr dalam hubungannya dengan umat agama lain— atau lebih spesifik merujuk kepada Ahl al-Kitab dari kalangan Yahudi—muncul di era pertengahan Madinah. Hubungan Nabi dan Yahudi pada awalnya amat baik. Kaum Yahudi sebagaimana orang-orang Arab Madinah lainnya memberi Nabi pengakuan.  Bahkan bagi Nabi, umat Yahudi adalah kelompok yang potensial untuk mendukung dakwahnya, karena memiliki tradisi keagamaan dan Kitab Suci yang diwarisi dari para nabi sebelumnya (Q.S. 2: 41). Namun akhirnya, orang-orang Yahudi berpaling dari Nabi dengan melakukan beberapa pengkhianatan. Dinamika hubungan Yahudi Madinah dan Nabi ini membuat ayat-ayat Al-Qur’an yang turun ketika itu turut memberikan jawaban-jawaban yang nampak mengandung kritikan, misalnya Q.S. 2: 87-89. Ayat-ayat tersebut, dan juga ayat yang mengkritik umat Yahudi di bagian awal surah al-Baqarah turun di Madinah dalam konteks dialog antara Yahudi dan Nabi, sampai berujung pada pertikaian dan konflik di antara keduanya. Dalam konteks ini, kata kufr disebut bersamaan dengan ahl al-kitab dengan penambahan huruf min (tab’idh / bagian dari), yang artinya hanya ahl al-kitab tertentu yang disebut sebagai ‘kafir’ (Q.S. 59: 11). Dalam konteks yang sama, kata kufr disandingkan dengan orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang sebelumnya telah menyatakan keimanan dan keislaman namun melakukan pengkhianatan kepada Nabi (Q.S. 5: 41).

Respons Audiens

Saya tidak begitu memiliki ekspektasi bahwa penelitian yang saya presentasikan akan mendapatkan respons ke arah yang sifatnya normatif. Namun, saya senang karena mereka meresponsnya secara positif dan mengaitkannya dengan konsep kemukjizatan Al-Qur’an. Bukti-bukti yang saya paparkan dalam presentasi menunjukkan bahwa Al-Qur’an memiliki kesesuaian dengan mandat kerisalahan Nabi Muhammad. Dan hal ini semakin memperkuat bahwa Al-Qur’an adalah Firman Allah dengan beragam kemukjizatan yang dimilikinya.

Respons ini mengingatkan saya akan pernyataan Mun’im Sirry waktu menghadiri undangan di kampus tempat saya bekerja. Terlepas dari apa maksud pernyataannya, dia mengatakan “knowledge seeking faith”, bahwa penelitian dapat menemukan dan memperkuat keyakinan. Muslim yang baik adalah Muslim yang mengoptimalkan akalnya untuk mencari kebenaran agamanya (afala tatafakkarun; afala ta’qilun; afala yatadabbarun).

Hal ini berbeda dengan cara pandang yang saya pahami sebelumnya bahwa perlu memisahkan antara penelitian dan keyakinan. Cara pandang yang seperti ini mengharuskan untuk mengambil jarak dengan objek yang diteliti terutama sekali yang berkaitan dengan keyakinan. Ada beberapa kekhawatiran, di antaranya adalah keyakinan akan dapat ‘mendikte’ atau membatasi penelitian yang sedang dilakukan.

Terlepas dari apapun tujuan penelitian; baik untuk keperluan teologis-normatif atau akademis, peneliti perlu menggunakan data-data dan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.


Leave a Comment