| 0 Comments | 27 Views

Satu momen perlombaan, mempertemukan saya dengan seseorang, yang sama-sama diberi tugas untuk menjadi juri. Dia sangat antusias bercerita tentang kisahnya yang tidak diterima di sebuah formasi dosen di suatu Perguruan Tinggi (PT). Padahal dia satu-satunya lulusan doktor dan alumni yang melamar pada formasi tersebut. Banyak masukan dari teman-teman dosen (yang dikenalnya di PT itu) memberikan angin segar dan optimisme bahwa dialah yang menjadi kandidat yang pasti diterima.

 

Singkat cerita, pada saat pelaksanaan ujian seleksi dosen tiba. Ternyata, ujiannya dilakukan dengan paper based. Hellloooow...!!! di tahun 2022 lho, di zaman serba digital, di zaman revolusi industri 5.0, masih menggunakan proses seleksi jadul???! Sungguh mengindikasikan subyektifitas “dalam tanda kutip”.

 

Keganjilan yang dirasakannya semakin terasa saat tes wawancara. Dia diberikan pertanyaan secara mengejutkan “Siapa orang yang membawa saudara dalam formasi ini?” Karena merasa tidak ada siapapun yang membawa, maka dia menjawab apa adanya. Barulah pada saat pengumuman diketahui bahwa yang diterima adalah para kerabat orang ‘dalam’, seperti istri rektor, istri wakil rektor, dan saudaranya ini, itu, dan itu., itu! Kenapa begitu? Kenapa yang diterima bukan orang-orang yang masih muda, energik, kompeten, dan dibutuhkan untuk peningkatan kualitas? Masyarakat kemudian bisa membaca dan menilai, bagaimana sebuah kekuasaan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.

 

Cerita ini membuat persepsi saya tentang kondisi negara (khususnya instansi pendidikan) yang saya kira sudah semakin baik dalam penyelenggaraan ujian seleksi, menjadi runtuh seketika.

 

Kisah pengalaman rekruitmen dosen tujuh tahun lalu, saya anggap sebagai titik balik perbaikan yang besar-besaran pada proses seleksi yang akuntabel, berintegritas, dan sangat jujur. Semua prosesnya sangat transparan dan obyektif. Dua kali tahap ujian, mulai dari ujian berbasis computer yang hasilnya langsung bisa dilihat dan proses wawancara yang melibatkan pihak eksternal kampus. Prosentase jumlah skor akhir juga sangat realistis, 60% dari tes berbasis computer dan 40% dari hasil wawancara. Dari hasil ini bisa dinilai bahwa prosesnya sangat jauh dari subyektifitas. 

 

Kenapa tidak dilanjutkan? Bukankah hasil seleksi yang baik akan menghasilkan rekruitmen sumber daya manusia yang baik pula? Setidaknya bisa sebagai dasar atau pondasi awal seseorang bahwa apa yang diraihnya merupakan dari hasil yang baik dan akan dilanjutkan dengan proses bekerja yang baik dan professional.

 

Ternyata kondisi ideal itu dalam institusi pendidikan tinggi masih jauh panggang dari api. Katanya salah satu dari sebab orang melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) itu karena ingin mengembalikan modal kampanye. Tapi per-politik-an di kampus tentu saja berbeda dengan kondisi per-politik-an negara. Tidak ada kampanye-kampanye. Tidak ada partai politik yang sarat akan mahar. Tapi kenapa tetap terjadi pelanggaran yang dilakukan insan akademisi yang terhormat dengan ketinggian ilmu yang dicapainya. Apalagi dunia pendidikan Indonesia baru-baru ini digegerkan dengan  OTT KPK pada lembaga pendidikan tinggi. Seorang rektor yang bergelar guru besar tidak tanggung-tanggung dalam menerima uang suap, yaitu 4,4 M. Angka yang cukup fantastis. Tragisnya, kasus ini berulang lagi.


Leave a Comment