| 0 Comments | 11 Views

Card Image

Welfare: Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial

Penelitian ini disajikan dalam bentuk model deskriptif yang mengeksplorasi kisah-kisah kohabitasi tunawisma untuk memahami makna keluarga tanpa pernikahan melalui pendekatan etnografi. Studi ini menyoroti bagaimana pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan mendefinisikan keluarga sebagai tempat berbagi gagasan, membangun kebahagiaan, dan hidup bersama secara ideal. Perspektif ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas mengenai fenomena kohabitasi, khususnya dalam konteks sosial dan kebijakan di Indonesia, di mana praktik ini umumnya ditolak oleh norma masyarakat dan regulasi pemerintah.

Penolakan terhadap kohabitasi di Indonesia didorong oleh berbagai faktor, terutama kebijakan perlindungan sosial yang tidak mengakomodasi pasangan yang tidak menikah secara sah. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa ada dua faktor utama yang menyebabkan semakin banyaknya pasangan memilih kohabitasi, yaitu administrasi kependudukan yang belum sepenuhnya inklusif serta minimnya penanganan kemiskinan. Masalah administrasi kependudukan membuat pasangan yang hidup bersama tanpa pernikahan mengalami kesulitan dalam memperoleh dokumen resmi seperti kartu keluarga atau akta kelahiran bagi anak-anak mereka. Hal ini berdampak pada keterbatasan akses terhadap berbagai layanan publik, termasuk pendidikan dan kesehatan, yang semakin mempersulit kondisi mereka.

Selain itu, kemiskinan juga menjadi faktor signifikan yang memicu fenomena kohabitasi, terutama di kalangan tunawisma. Banyak individu yang terpaksa hidup bersama tanpa menikah secara resmi karena kondisi ekonomi yang tidak stabil. Bagi mereka, pernikahan formal dianggap sebagai sesuatu yang mahal dan tidak praktis mengingat biaya administrasi, kebutuhan acara pernikahan, serta keterbatasan akses terhadap sumber daya finansial. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk hidup bersama secara informal sebagai cara bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit.

Temuan ini memiliki implikasi penting terhadap kebijakan sosial di Indonesia, terutama dalam hal reformasi perlindungan sosial bagi kelompok yang terpinggirkan. Saat ini, kebijakan sosial di Indonesia cenderung berorientasi pada keluarga tradisional yang terbentuk melalui pernikahan sah. Hal ini menyebabkan pasangan kohabitasi sering kali tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai, baik dalam hal akses terhadap bantuan sosial maupun perlindungan hak-hak sipil mereka. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi kebijakan yang lebih inklusif agar kelompok ini tidak semakin terpinggirkan dan memiliki akses yang lebih baik terhadap layanan dasar.

Untuk mengatasi fenomena kohabitasi di kalangan tunawisma, diperlukan intervensi yang lebih efektif dalam bentuk program-program strategis yang dirancang secara holistik. Pemerintah perlu menyusun roadmap kebijakan yang tidak hanya berfokus pada pengurangan kohabitasi, tetapi juga mengatasi akar permasalahan yang menyebabkannya, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kesenjangan dalam sistem administrasi kependudukan. Upaya ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi sosial, serta komunitas lokal untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan benar-benar berdampak positif bagi kelompok yang terdampak.

Dengan adanya pendekatan yang lebih komprehensif, diharapkan fenomena kohabitasi tunawisma dapat diminimalkan melalui kebijakan yang lebih inklusif dan strategi intervensi yang berorientasi pada kesejahteraan sosial. Pemerintah harus melihat fenomena ini sebagai bagian dari realitas sosial yang membutuhkan solusi berbasis empati dan inklusivitas, bukan sekadar masalah yang harus diberantas. Dengan demikian, kebijakan sosial di Indonesia dapat berkembang menjadi lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks.

Silahkan kunjungi laman berikut: https://ejournal.uin-suka.ac.id/dakwah/welfare/article/view/2641


Leave a Comment