| 0 Comments | 49 Views
RIUH KANJURUHAN
Bukan
seruan, bukan hantaran.
Berbondong-bondong,
hentakan kaki menuju satu titik kumpul.
Wajah
senang, wajah penuh harapan, raut penuh ungkapan.
Hei…… ini
wajah kami, Indonesia.
Tak sabar, dimalam itu kau gaungan kemenangan
Riuh suara, bersaut dari sisi dan sudut.
Kepungan semangat, menghantarkan tekad.
Beribu pasang mata, jadi saksi, beribu tatap
mata jadi bukti.
Bisu adalah sifat diam.
Malam itu,
angin seolah mengukir cerita.
Sendu hasil
dari kenyataan yang tak terekam.
Keluh,
peluh lidah berkata.
Seraya
berteriak, tak apa-apa, Kawan atau lawan aku terima.
Ini memang
hasil yang akan terjadi.
Kami
terima, kami lapang dan berani menantang.
Diam…..sssssstttttt………
Aku tau….dan aku bangga, tetapi aku terdiam.
Kulangkahkan kaki, ku dengar lirih banyak suara
Kalian terbaik, kalian sudah berjuang, saatnya
kami tersenyum.
D setulah hening, melarutkan setiap hawa nafsu.
Pukul 21.45,
puluhan tembakan gas air mata.
Kau dengar,
iya….aku dengar, orang berlarian, tepuk tangan menggelegar.
Lari-lari,
kembali, kutarik kerah baju sambil pandangi sekitar.
Saut
menyaut dalam diam didepan kedipan mata.
Mata
terbelalak, melihat ratusan semangat
bergejolak.
Ku
pandangi, ku pandangi dengan senyum, wajah penuh tangis.
Ini
semangat, ini tekad, ini baru bersatu.
Door…..Door..Tembak.
Asap mulai beriiringan, seolah siap untu
menyelimuti.
Udara segar bercampur racun.
Bayangkan,
Bisa Bayangkan?
Dada tertusuk oleh kampak, tenggorakan di
pegang lalu ditarik.
Mata di
sobek, bola mata di asapi.
Bukan….Bukan
ini bukan imajinasi dan ini bukan juga fiksi.
Ini upaya
kami untuk bernafas, berebut udara untuk bertahan.
Saut-saut
di kejauhan ku dengar, ayah……ibu…..dimana?
Tolong
anakmu ini,
Aku dengan
siapa, ini dimana, tolong aku ayah,ibu.
Sesak dada, kaki gemetar, sendi mengilu
Tak mampu aku berteriak.
Selamatkan kami………..selamatkan kami, sembari
leher tercekir mencari rongga udara.
Kami memohon, tolong dan memohon kepada siapa.
Masih sempatkah gapai tangan kami ?
Door……door
pukul mundur.
Telinga
mampu merangkai setiap jeritan
Sudah
saatnya aku pergi.
Jalan luas,
padang tak lagi gersang.
Untaian
doa, jadi pegangan dalam gelap.
Terima
kasih malam, ini jawaban dari sesak, sakit, terinjak dan teracunin asap.
Gema
semangat yang kau petikkan, akan selalu ku ingat.
Aku puas,
aku senang, aku rela,
Jadi
korbanmu.
Kanjuruhan,
aku pulang, kami hidup di dalam, bersamamu.
Leave a Comment