| 0 Comments | 6 Views

Card Image

Penanaman pohon dalam rangka penguatan eko-teologi

Sering kali kita melihat kegiatan menanam pohon hanya sebagai rutinitas biasa—sekadar menambah hijau-hijauan atau ikut-ikutan tren. Padahal, kalau kita mau merenung lebih dalam, tindakan sederhana ini punya makna yang luar biasa, menghubungkan kita dengan dimensi spiritual dan ilmiah alam semesta. Dari sudut pandang tasawuf, menanam pohon itu bukan cuma soal nyeblokke (jw) bibit ke tanah. Ini adalah amal saleh yang terus mengalir pahalanya, bahkan setelah kita tiada. Pohon yang kita tanam akan terus memberikan manfaat—oksigen buat napas, naungan dari terik, atau rumah bagi burung-burung. Ini adalah wujud 'amal jariyah', amal yang terus berbuah kebaikan, menunjukkan bahwa apa yang kita berikan pada alam adalah bagian dari perjalanan spiritual kita. Rasanya, menjaga alam itu sama seperti menjaga ciptaan-Nya.

Ketika Sains Bicara Soal Pohon

Nah, kalau dari sisi sains, menanam pohon itu adalah tindakan super penting buat menjaga keseimbangan ekosistem. Pohon itu bisa dibilang paru-paru dunia, yang kerjanya nyerep karbon dioksida (CO2) berlebih dan ngeluarin oksigen (O2) yang kita butuhin buat hidup. Proses fotosintesis inilah fondasi dari semua kehidupan di Bumi. Belum lagi, akar pohon itu kuat banget buat ngiket tanah, jadi bisa mencegah longsor dan menjaga kualitas air dengan nyaring kotoran. Lewat sains, kita jadi paham bahwa tiap pohon yang kita tanam adalah bagian dari jaring-jaring kehidupan yang rumit. Jadi, kita enggak cuma nanem tanaman, tapi juga bantu ngurangin dampak perubahan iklim dan memastikan alam bisa terus lestari buat anak cucu kita. Gampangnya, sains kasih kita bukti nyata bahwa nanem pohon itu keharusan, bukan sekadar hobi.

Ketika Hati dan Otak Bekerja Sama

Hebatnya, sudut pandang tasawuf dan sains ini enggak bertentangan, malah saling melengkapi. Tasawuf ngajarin kita lihat alam sebagai 'ayat-ayat' (tanda-tanda) kekuasaan Tuhan. Tiap unsur alam, termasuk pohon, punya 'sirr' (rahasia) atau esensi ilahiahnya sendiri. Makanya, menanam pohon itu bisa jadi bentuk 'dzikir' (mengingat Tuhan) yang dilakukan lewat perbuatan nyata. Sambil ngerawat pohon, hati kita juga ikut terhubung dengan Sang Pencipta. Sementara itu, sains ngasih tahu kita gimana 'tanda-tanda' itu bekerja—lewat kimia, biologi, dan fisika. Sains menjelaskan mekanismenya, sedangkan tasawuf merasakan keajaibannya. Jadi, menanam pohon itu bisa kita sebut sebagai tindakan spiritual yang didukung oleh pengetahuan ilmiah.

Menanam Pohon, Menumbuhkan Diri Sendiri

Lebih dari sekadar menanam, kegiatan ini juga bisa jadi ajang transformasi diri. Tasawuf punya konsep 'tazkiyatun nafs', yaitu membersihkan jiwa. Merawat pohon butuh sabar, ikhlas, dan peduli—sifat-sifat yang penting banget buat perjalanan spiritual. Kita belajar memberi tanpa berharap kembali, sama kayak pohon yang ngasih buahnya tanpa pamrih. Sains juga membuktikan, berinteraksi dengan alam, kayak berkebun, bisa ngurangin stres dan bikin hati lebih tenang. Dalam bahasa tasawuf, ini bisa disebut 'fath' atau terbukanya hati. Jadi, sambil ngerawat pohon, kita juga sedang menumbuhkan karakter dan ketenangan batin dalam diri kita.

Sebuah Amanah untuk Keabadian

Intinya, menanam pohon itu bukan cuma kegiatan fisik, tapi sebuah amanah spiritual dan ekologis yang kita emban sebagai 'khalifah fil ard', atau wakil Tuhan di Bumi. Amanah ini nuntut kita buat enggak cuma manfaatin alam, tapi juga merawat dan melestarikannya. Dari sisi tasawuf, ini adalah wujud cinta kita pada Tuhan dan semua ciptaan-Nya. Dari sisi sains, ini adalah tanggung jawab kita buat memastikan Bumi ini tetap layak huni. Dengan menanam pohon, kita nyambungin diri kita ke rantai kehidupan yang lebih besar, berkontribusi buat kelestarian alam, dan menunaikan janji suci kita pada semesta. Menanam pohon adalah tindakan keabadian, penyambung antara masa kini dan masa depan, antara manusia dan Tuhan, serta antara diri kita dan seluruh makhluk hidup di Bumi.


Leave a Comment