| 0 Comments | 158 Views
Di penghujung Jumat, 11 Juli 2025, pukul sembilan malam hingga sepuluh lima puluh delapan, aku terjebak dalam paradoks kelelahan: mata yang berat oleh kantuk tak tertahankan berperang dengan pikiran yang menggelisah. Badan ini menuntut istirahat, tapi jiwa tersiksa oleh pertanyaan-pertanyaan tentang mekanisme agitasi politik yang mengorbankan kesucian agama—bagaimana retorika agama dijadikan senjata mobilisasi massa, mengapa simbol-simbol sakral direduksi jadi alat serangan partisan, dan di mana batas antara sesuatu yang suci dan konspirasi kekuasaan? Setiap tarikan nafas di ruang sunyi ini terasa seperti menghirup udara yang dipenuhi bayang-bayang tafsir kekerasan berbalut agama; jari-jemari yang mengetik bukan lagi sekadar upaya katarsis, melainkan perlawanan terakhir terhadap kegilaan di mana kebenaran ilahi dibajak jadi komoditas politik. Kopi dingin di meja tak sanggup lagi menahan rasa lelah, tapi api kegelisahan ini terus membakar—memaksaku menulis dalam keadaan setengah sadar, menggigil secara epistemik, berharap kata-kata yang tercurah bisa membebaskanku, walau sesaat. Berikut kutulis esai reflektifku:
Narasi Kita vs Mereka: Agitasi Politik Berbalut Agama
Agitasi politik yang membungkus diri dalam jubah agama, khususnya dalam konteks masyarakat Muslim kontemporer, merupakan fenomena yang kompleks dan kerap memicu ketegangan mendalam yang tak hanya merusak stabilitas sosial tetapi juga merusak stabilitas sosial, ekonomi, dan juga politik. Di satu sisi, agama Islam memiliki dimensi sosial-politik yang inheren (berhubungan erat, melekat dan tak terpisahkan), sebagaimana tercermin dalam konsep ummah dan tanggung jawab menegakkan keadilan (al-'adl). Namun, di sisi lain, penggunaan retorika dan simbol-simbol sakral sehingga muncul oposisi biner sakral vs profan untuk memobilisasi massa demi tujuan politik yang pragmatis menimbulkan pertanyaan etis yang serius: sejauh mana agitasi seperti ini merupakan pengejawantahan otentik nilai-nilai keagamaan, dan kapan ia berubah menjadi instrumen manipulasi yang mengorbankan spiritualitas demi kekuasaan duniawi?
Pemikiran politik Islam klasik, seperti dalam karya Al-Mawardi, memang mengakui keterkaitan erat antara agama dan tata kelola negara (siyasah). Konsep Imamah atau Khilafah menegaskan peran pemimpin dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Namun, sejarah juga menunjukkan bagaimana otoritas keagamaan dapat dijadikan alat atau instrumen untuk legitimasi politik kelompok tertentu dan memarginalkan kelompok yang lain. Al-Mawardi sendiri, dalam Al-Ahkam al-Sulthaniyyah pada bab pertama perihal pemilihan pemimpin (الباب الأول: في عقد الإمامة), menekankan syarat-syarat ketat dan tanggung jawab moral pemimpin, sebagai pengingat bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir agama. Ia menyatakan:
"فَإِنَّ الْإِمَامَةَ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا"
"Sesungguhnya Imamah (kepemimpinan) ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia (Mawardi, p. 15)."
Dalam konteks kontemporer, agitasi politik berbalut agama sering kali memanfaatkan narasi ketakutan (khawf), ancaman eksternal, atau kemurnian identitas kelompok. Simbol-simbol seperti jihad, pembelaan agama, atau klaim sebagai penjaga ortodoksi (ketaatan kepada peraturan dan ajaran resmi) digunakan untuk memobilisasi dukungan, menyerang lawan politik, dan menciptakan dikotomi "kita vs mereka" yang tajam yang menimbulkan segregasi (pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya; pengasingan; pengucilan) tak hanya di level politis tetapi juga level sosial masyarakat dari atas hingga lapisan terbawah (grass root). Pemikir seperti Mohammed Arkoun secara kritis menyoroti bagaimana kompleksitas sejarah dan penafsiran sengaja dibekukan atau disederhanakan menjadi slogan-slogan agitasi yang mudah dicerna namun dangkal. Agitasi semacam ini bukan lagi bertujuan pada pencerahan spiritual atau keadilan sosial substantif, melainkan pada konsolidasi kekuasaan kelompok tertentu dengan mengorbankan kohesi sosial (masyarakat terpecah belah, tidak solid dan bahkan saling menaruh rasa cemas dan curiga).
Menurut Arkoun, agama memang dapat menjadi alat yang efektif untuk memobilisasi massa, meraih kekuasaan, dan juga mempertahankan status quo (sistem pemerintahan, kebijakan, atau distribusi kekuasaan yang berlaku saat ini). Dalam Bukunya yang berjudul The Unthought In Contemporary Islamic Thought , dia menjelaskan bagaimana agama digunakan sebagai alat agitasi untuk menciptakan dikotomi "kita vs mereka":
Religion, along with the political discourse of electoral campaigns, must be maintained as sources of renewal and driving forces o f the imaginary production o f society. Without these instruments, it would be difficult, perhaps impossible, to accede to power or remain in power for any length o f time, to mobilize believers and patriots for just wars or to construct legitimacies that deny and destroy the human individual (Arkoun, 2002, p. 288).
Agama, bersama dengan wacana politik dalam kampanye pemilihan pemimpin, harus tetap dijaga sebagai sumber pembaruan dan penggerak utama dalam membentuk imajinasi sosial masyarakat. Tanpa alat-alat ini, akan sulit — bahkan mungkin mustahil — untuk meraih kekuasaan atau mempertahankannya dalam waktu yang lama, untuk menggerakkan para penganut agama dan patriot dalam perang yang dianggap adil, atau untuk membangun legitimasi yang justru mengingkari dan menghancurkan martabat individu manusia.
Selain itu, Meski konteks asli tulisan Arkoun berikut ini adalah rivalitas Islam dan Kristen (The Battle of Lepanto di Masa Turki Usmani), kutipan tulisan Arkoun ini layak kita renungkan dalam konteks segregasi sebab agitasi politik berbalut agama pada umumnya:
Religion was fully mobilized to legitimize cynical strategies of political and economic dominance. A commonplace situation, one might say. Wars always take place between what my friend Paul M. G. Levy calls ‘possessors of the true’. Even today, however, it is to be noted that religious thought has still not drawn all the conclusions from these commonplace situations in which religions played and still play leading roles. Instead of reflecting on the true functions of religion to advance our knowledge of the religious phenomenon, the guardians of orthodoxy in each community have tended to interpret victory over the enemy as a sign of God’s approval, and to erase the compromises present in official religion while continuing to exalt the ‘transcendence’ of eternal belief (Arkoun, 2002, p. 289).
Agama sepenuhnya dimobilisasi untuk melegitimasi strategi-strategi sinis dan licik demi kekuasaan politik dan dominasi ekonomi. Situasi seperti ini, bisa dibilang, sudah biasa terjadi. Perang selalu berlangsung antara pihak-pihak yang, menurut sahabatku Paul M. G. Levy, merasa sebagai ‘pemilik kebenaran sejati’. Namun sampai sekarang, patut dicatat bahwa pemikiran keagamaan masih belum sepenuhnya menarik pelajaran dari situasi-situasi semacam ini, di mana agama pernah — dan masih terus — memainkan peran utama. Alih-alih merenungkan fungsi sejati agama untuk memperdalam pemahaman kita tentang fenomena religius, para penjaga ortodoksi di tiap komunitas justru cenderung menafsirkan kemenangan atas musuh sebagai tanda restu dari Tuhan, menghapus berbagai kompromi dalam agama resmi, sambil terus meninggikan ‘transendensi’ dari keyakinan abadi.
Pemikir Mesir Hassan Hanafi memberikan kritik epistemologis yang tajam. Ia membedakan secara tegas antara agama sebagai sumber nilai transenden dan wahyu, dengan ideologi sebagai konstruksi manusiawi yang bersifat historis dan politis. Menurut Hanafi, banyak gerakan politik kontemporer yang mengklaim berbasis agama sebenarnya telah mereduksi agama menjadi ideologi tertutup yang digunakan untuk kepentingan partisan. Dalam karyanya tentang (Min al-'Aqidah ila al-Tsaurah), Hanafi menekankan bahwa semangat sejati Islam adalah pembebasan (tahrir) dan keadilan (‘adalah), bukan sekadar perebutan kekuasaan dan membentuk narasi kita vs mereka dengan mengibarkan bendera agama. Ketika agama direduksi menjadi alat agitasi, ia kehilangan dimensi spiritual dan etisnya yang universal. Agama memang harus melekat dengan semua elemen kehidupan termasuk politik dengan catatan bahwa agama tersebut digunakan untuk membangun peradaban dan masyarakat, melawan penindasan, melakukan akselerasi kemajuan dan alat pemersatu bangsa. Pandangan ini ditegaskan lebih jauh dalam kritiknya terhadap ilmu kalam klasik, yang menurutnya telah kehilangan relevansi praktis dan justru menjauh dari kepentingan riil dan aktual umat. Ia menulis:
"السؤال الآن الذي طرحه القدماء: هل علم الكلام فرض عين أم فرض كفاية؟ فجواب المعاصرين أنه إذا كان علم الكلام هو هذا الذي وصفناه، والذي لا موضوع له ولا منهج، ولا فائدة منه فإنه لا هو فرض عين ولا فرض كفاية؛ لهذا السبب حرَّمه الفقهاء، أمَّا إذا كان القصد منه «لاهوت الأرض» و«لاهوت الثورة» و«لاهوت التنمية» و«لاهوت التقدم» و«لاهوت التحرر» و«لاهوت الوحدة الوطنية»؛ أي العلم الذي يتناول مصالحَ المسلمين بالتحليل والذي يجنِّد المسلمين للدفاع عن مصالحهم فهو فرض عين على كل مسلم ومسلمة"
“Pertanyaan yang dulu diajukan oleh para ulama klasik adalah: apakah ilmu kalam itu fardu ‘ain atau fardu kifayah? Jawaban para pemikir kontemporer adalah, jika yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah seperti yang telah kami gambarkan—yaitu ilmu yang tidak memiliki objek yang jelas, tidak memiliki metode yang pasti, dan tidak memberikan manfaat apa pun—maka ilmu tersebut bukan fardu ‘ain dan bukan pula fardu kifayah. Karena alasan itulah para ahli fikih mengharamkannya. Namun, jika yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ‘teologi bumi (konsep ketuhanan yang membumi dan menyentuh semua dimensi kehidupan dan bukan ilmu yang abstrak dan melangit)’, ‘teologi revolusi’, ‘teologi pembangunan’, ‘teologi kemajuan’, ‘teologi pembebasan’, atau ‘teologi persatuan nasional’—yakni ilmu yang menganalisis kepentingan umat Islam dan menggerakkan mereka untuk membela kepentingan serta kemaslahatan mereka—maka itu adalah fardu ‘ain bagi setiap Muslim dan Muslimah (Hanafi, 2020, p. 123).”
Dengan demikian, menurut Hanafi, ilmu kalam yang tidak berpihak pada realitas sosial-politik umat adalah ilmu yang tidak produktif, dan justru patut dipertanyakan kemanfaatannya. Sebaliknya, ilmu kalam yang ditujukan untuk membebaskan, membela, dan membangun adalah bagian tak terpisahkan dari komitmen Islam terhadap keadilan. Singkatnya, semua keilmuan Islam (yang merupakan bagian dari agama) tidak boleh digunakan untuk alat agitasi politik yang partisan, elitis, memihak kelompok tertentu, dan menyisihkan kelompok lain. Ia harus digunakan untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Dampak dari agitasi politik berbalut agama ini sering kali destruktif: memicu intoleransi, memecah belah masyarakat (tafriqah), mengerdilkan pemahaman agama yang kaya dan multikultural, serta pada akhirnya, dapat mendelegitimasi agama itu sendiri di mata banyak orang, terutama generasi muda yang kritis. Tanggung jawab intelektual Muslim kontemporer adalah melakukan dekonstruksi terhadap wacana-wacana politik yang mengklaim kebenaran agama dalam rangka memenuhi ambisi politik. Diperlukan upaya terus-menerus untuk memisahkan antara ajaran agama yang otentik dengan kepentingan politik sesaat yang menyamar di baliknya, serta mendorong ruang publik yang inklusif berdasarkan nalar ('aql) dan kemaslahatan bersama (maslahah 'ammah). Dalam artikel media online Al Jazerah yang berjudul Istikhdamu Ad Din Fi asSiyasah Am as Siyah Li Ad Din, Yasser Al-Za'atara, penulis asal Jordan, berkata:
أننا بحاجة إلى تحرير الدين من قبضة السياسة، أكثر من حاجتنا إلى منع استغلال الدين في السياسة، لأن أحدا في التاريخ لم يكن بوسعه ادعاء الحق المطلق في النطق باسم الدين، ولم يتمكن أي عالم أو لون فكري أو مذهبي من صهر الناس جميعا في بوتقته.
Kita lebih membutuhkan pembebasan agama dari cengkeraman politik daripada sekadar melarang penggunaan agama dalam politik. Sebab, dalam sejarah, tak seorang pun pernah benar-benar berhak mengklaim bahwa ia mewakili suara agama secara mutlak. Tak ada satu pun ulama, aliran pemikiran, atau mazhab yang mampu melebur semua orang ke dalam satu wadah yang seragam (Al-Za'atara, 2014).
Dalam kehidupan kita, Agama memang harus menjadi landasan aksi kita, baik dilingkungan universitas ataupun sosial, dengan catatan harus mengusung nilai-nilai utama yang termuat dalam akronim BerAKHLAK (Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif), sebuah akronim yang menjadi nilai inti ASN yang termuat dalam Surat Edaran Menteri PANRB Nomor 20 Tahun 2021 Tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding ASN.
Refleksi filsafat politik Islam mengajak kita untuk melampaui model agitasi politik yang memanfaatkan sentimen keagamaan secara dangkal. Politik yang beretika dalam kerangka Islam haruslah bertumpu pada prinsip-prinsip mendasar seperti keadilan ('adl), musyawarah (shura), amanah (tanggung jawab), dan kemaslahatan manusia. Gerakan politik yang benar-benar ingin menghidupkan nilai-nilai Islam tidak memerlukan agitasi yang memecah belah dan penuh kebencian, melainkan membangun melalui keteladanan, kerja nyata untuk kesejahteraan rakyat, dialog inklusif, dan komitmen pada kebenaran serta akuntabilitas. Agama, dalam fungsinya yang paling luhur, harus menjadi penjaga moralitas politik (siyasah akhlaqiyyah), bukan sekadar alatnya. Pada titik inilah, politik menemukan kembali jati dirinya sebagai perjuangan menegakkan kemaslahatan manusia, dengan agama sebagai penuntun etika, bukan provokator permusuhan.
Daftar Pustaka
Al-Za'atara, Y. (2014, Juni 11). Opinions. Retrieved from Jazeera Net: https://www.aljazeera.net
Arkoun, M. (2002). The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books.
Hanafi, H. (2020). Min al Aqidah Ila Ats Tsaurah. New York: Al Hindawi.
Mawardi, A. A. (n.d.). Al Ahkam As Shultoniyyah. Kairo: Dar Al Hadist.
Leave a Comment