| 0 Comments | 41 Views

Card Image

Rokok

BISMA BELAJAR MEROKOK

Oleh Mustari

            Sudah beberapa hari ini Bisma mengintai ayah. Laksana intelejen mengamati musuh, ia melakukan gerak penyamaran. Bisma mengamati hampir setiap kegiatan ayah. Terutama jika ayah sedang asyik ngobrol dengan tamu dan teman-temannya di teras atau di ruang tamu. Keingintahuannya terhadap kegiatan-kegiatan orang dewasa selalu menggoda. Tidak heran, Bisma anak cerdas. Ia selalu masuk rangking tiga besar di kelasnya. Ia pun dipilih menjadi ketua kelas 3 di SDN Inpres di kampungnya. Bisma punya teman akrab sekaligus teman bersaing: Farid dan Udin. Mereka punya kesepakatan tidak tertulis. Yakni melakukan pengalaman orang-orang dewasa dan menceritakannya setiap hari Senin. Terkadang ia kalah, tetapi lebih banyak menangnya. Bisma memang bintang di antara teman-teman sebayanya. Ia cerdik, suka tantangan, dan banyak akal. Putera tunggal Pak Hasan dan Ibu Yuni itu, paling senang melihat teman-temannya melongo terkagum-kagum mendengarkan ceritanya.

            “Kamu tidak main hari ini, Bis?”

            “Tidak, Bu! Bisma ada PR,“ ia memberi alasan. Memang ada PR, tetapi bukan itu yang ia pikirkan. Ia ingin melanjutkan pengintaian karena ia tahu pagi itu ayahnya akan kedatangan tamu.

*

            Tiba saatnya. Om Dody dan Om Wisnu sudah sampai. Mereka dipersilahkan masuk ke ruang tamu oleh ayah. Tak lama kemudian ibu keluar membawa minuman dan makanan kecil. Bisma yang sudah tidak sabar sejak tadi, leluasa mengintai karena kamarnya menghadap ke ruang tamu dengan jendela kaca reben. Degup jantungnya semakin kencang ketika ayah dan kedua tamunya itu mengeluarkan bungkusan persegi empat berwana warni ke atas meja. ROKOK!

            “Hmm!!!“ Bisma bergumam dalam hati. Inilah saat-saat yang paling ia tunggu.

            “Aku harus merokok hari ini juga! Biar Udin dan Farid akan dapat cerita hebat, besok!“ Bisma masih bergumam.

            “Mancing, mah, keciiiil! Apa lagi nembak burung, nggak hebat!“ Bisma membanding-bandingkan pengalaman Farid dan Udin yang diceritakan Senin lalu. Kali ini ia yakin, ia pasti akan memenangkan kompetisi.   

Mata Bisma berbinar menatap ayah dan kedua tamunya itu. Ia mengambil bolpoint dan mulai memainkannya seperti yang dilakukan oleh Om Dody: memutar-mutar batang rokok di celah-celah jemarinya. Om Wisnu lain lagi. Ia memainkan batang rokoknya, sekali waktu apinya menghadap ke telapak tangannya, dan sekali waktu menghadap keluar. Tentu saja diperlukan ketrampilan. Jika tidak, telapak tangan Om Wisnu pasti kesundut api rokok. Atau ia dengan trampil memindah-mindahkan batang rokok itu dari celah jari yang satu ke celah jari yang lain.

“Wah, hebat, kereeen! Aku harus bisa seperti Om Wisnu dan Om Dody!“ pikir Bisma.

Bisma juga mulai memoncong-moncongkan mulutnya dan menghembuskan nafas meniru gaya ayah ketika mengluarkan asap dari mulutnya berbentuk lingkaran-lingkaran awan. Mula-mula sebesar lingkaran bibir yang dimoncongkan, lalu sebesar donat, kemudian kabur, menipis, dan pupus.

“Jika ayah bisa, aku juga harus bisa!“ Tekad Bisma dalam hati.

Tak henti-hentinya Bisma kagum melihat gaya merokok ayah. Begitu juga kepada Om Dody dan Om Wisnu yang bisa mengeluarkan asap dari kedua lubang hidungnya. Tetapi ia juga geli karena membayangkan seekor kerbau yang sedang marah yang biasa ada gambarnya di koran-koran minggu atau di film-film kartun yang menjadi kegemarannya. Selalu ada asap seperti asap knalpot yang keluar dari kedua lubang hidung hewan itu.

“Tapi bagaimana caranya bisa dapat rokok?” Ia mulai menyusun siasat sambil menunggu waktu yang tepat.

Ayah dan kedua tamunya masih asyik ngobrol. Entah apa yang diobrolkan mereka. Yang jelas masing-masing sudah menghabiskan rokok batang pertama, dan mulai menyulut batang kedua. Bunga api yang diiringi suara kemeretek berpendar-pendar di ujung rokok Om Wisnu. Om Dody sibuk mengibas-ngabiskan tangan di atas pahanya. Rupanya ada kembang api yang berjatuhan di atas celananya.

“Oh, hal itu rupanya yang membuat celana Om Dody dan Om Wisnu sering berlubang-lubang kecil karena pilihan rokoknya jenis kretek yang mudah lepas kembang apinya dan mengenai celananya. Aku tidak akan memilih rokok mereka.

“Aku akan pilih rokok Ayah saja karena lebih aman apinya,” meskipun bukan jenis rokok itu yang ia gemari kelak. Bisma meimbang-nimbang pilihannya.

“Uuuuh, lama benar, sih, ngobrolnya!” Bisma sudah tidak sabar menunggu untuk menjalankan siasatnya.

“Jangan bilang aku Bisma, jika tidak bisa mengambil rokok ayah“, bisiknya dalam hati, mantap dan nakal! Ia tidak mau membeli rokok dengan uang jajannya.

“Tidak kereeen!“ pikirnya.

“Tidak menantang“

Untuk membunuh waktu dalam penantiannya, Bisma mulai mengingat-nginat beberapa iklan rokok yang biasa muncul di TV dan papan baliho di sudut-sudut strategis di kotanya. Mula-mula ia ingat iklan rokok yang tidak ia fahami. Ada daun-daun melayang-layang turun yang diikuti dengan kalimat, “How low can you go.” Iklan itu membingungkannya. Lalu terbayang iklan rokok pilihan ayahnya yang ada lagunya, “Nggak ada Lo, nggak rame!” Iklan itu memang lucu dan menghibur, tetapi kurang menarik karena para pemudanya kelihatan culun-culun dan lugu. Tidak macho. Jika ia sudah mahir, bukan rokok itu pilihannya. Biarlah ia menjadi pilihan ayah.

Lalu ia teringat pula dengan iklan yang menampilkan sebuah keluarga sedang tamasya di pantai nan indah pasir putihnya. Ada, seorang ayah, ibu, dan dua orang anak (lelaki dan perempuan). Ah, ia belum bisa membayangkan dirinya menjadi sebagai seorang ayah dengan pilihan rokok yang ditampilkan iklan tersebut.

“Itu pun bukan pilihanku,” pikirnya.

Kemudian bayangannya pindah pada beberapa orang yang sedang mendaki gunung dan sedang menuntun kuda. Pakaian mereka hampir menutupi seluruh tubuh kecuali muka, sementara dari mulutnya keluar embun putih karena dinginnya udara pegunungan. Lalu muncul jingle-nya, Yang ini juga tidak ia sukai. Warna bungkus rokoknya yang oranye tidak menarik hatinya.

Kemudian muncul iklan lain di dalam ingatannya. Seorang lelaki pendaki gunung yang bergelantungan di sebuah pegunungan berbatu yang terjal. Tapi bayangan model iklan itu tidak jelas.

“Ah, bukan rokoknya yang akan kupulih.” 

Tiba-tiba melompat seekor macan berlari dan seekor burung elang terbang seakan berlomba dengan seorang pria gagah yang melepaskan anak panah. Sang burung kemudian hinggap bertengger di bahu pemuda tersebut, sementara sang macan dengan jinaknya bersimpuh di sisi sang lelaki gagah yang diiringi pemunculan tulisan merk rokok dengan jingle-nya.

“Wah, betapa gagahnya!” Khayalan nakal Bisma mulai membayangkan dirinya sekeren dan segagah lelaki itu jika ia sudah dewasa kelak. Imaji liarnya semakin menerawang mencari persamaan dirinya dengan lelaki model tersbut. Ia gagah dengan sedikit jambang dan janggut tipis yang tercukur rapih. Bisma kecil percaya, kelak ia akan seperti lelaki itu. Dan yang paling penting, ia yakin bahwa dengan merokok seorang lelaki akan menjadi dewasa dan macho.

“Rokoknya akan kupilih, kelak,” bisik hatinya.

Bisma benar-benar percaya dengan kebaikan rokok dan perokok. Jika tidak, mana mungkin tembakau berkemasan indah itu selalu bersanding dengan kegiatan-kegiatan besar yang membanggakan seperti olah raga, musik, bahkan memberikan beasiswa yang selalu diceritakan gurunya. Kiyai dan ustad di lingkungannya juga adalah perokok yang biasa mengepulkan asap di saat memberikan pengajian atau di sela-sela memimpin acara tahlilan. Meski ia juga heran, mengapa ada peringatan pemerintah di setiap bungkus rokok yang tidak ia fahami jenis-jenis ancamannya. Suatu waktu ia pernah bertanya kepada ibu setelah membaca tulisan di bungkus rokok ayahnya.

“Bu, inpotensi itu, apa, sih?” 

“Hus, anak kecil belum boleh tahu!” Jawab ibunya. Bisma pun tidak bertanya lagi, namun tetap penasaran.

“Ah, pokoknya, merokok itu, hebat!” Kesimpulan itulah yang ia tancapkan dalam kepala mungilnya, sambil menepis keraguannya. Jika tidak hebat, mengapa ayahnya terus saja merokok. Ia juga mencoba melawan wanti-wanti ibu agar tidak mencoba-coba merokok. Peringatan itu, malah menjadi tantangan yang harus ditaklukkannya.

“Ibu, kan bukan perokok. Jadi beliau tidak dapat merasakan nikmatnya rokok,” pikirnya, beralasan. Tidak seperti Tante Milah yang selalu menyelipkan sebatang rokok di antara dua bibirnya ketika belanja sayuran di warung tetangga. Wanita baya itu selalu menjawab, “Mulut terasa kecut jika tidak dimasuki asap rokok. Apa lagi jika sudah makan. Wah, ada yang kurang sebelum dibilas dengan asap tembakau.” Kalimat-kalimat itu yang selalu ia dengar jika ibu-ibu tetangga menegur Tante Milah. “Nah, benar, kan! Merokok bisa membuat mulut tidak kecut!” Bisma menambah perbendaharaan alasannya.      

*

Penantian Bisma sudah di penghujung. Ayah dan kedua tamunya sudah akan mengakhiri pembicaraan setelah masing-masing menghabiskan empat batang rokok. Asbak di meja sudah penuh dengan abu dan puntung rokok. Ruang tamu juga sudah berkabut dipenuhi aroma asap. Kesempatan itu pun tiba. Om Dody dan Om Wisnu berdiri bersalaman dengan ayah. Mereka segera akan pulang. Ayah mengantarnya sampai ke halaman.

Dengan gerak citah mengejar rusa yang biasa tampil di TV, Bisma keluar kamar dan menyambar bungkus rokok ayah. Ia ambil sebatang lalu meletakkan kembali kotaknya di atas meja. Secepat itu pula ia masuk kembali ke kamarnya. Dicium-ciumminya rokok itu.

“Hmm, haruuum!“ Aroma cengkehnya merangsang selera nakalnya.

“Fariiid, Farid. Udiiin, Udin! Kalian pasti kalah dengan pengalamanku hari ini.“

“Tapi di mana tempat yang aman untuk merokok?“ Bisma mulai menimbang-nimbang menentukan tempat.

“Ahaaa! Di pohon talok (ceri) di belakang rumah.“ Pasti tidak ada yang curiga karena ia memang biasa memanjat pohon itu untuk memetik dan memakan buahnya, bersaing dengan burung-burung merbah yang doyan dengan buah berwarna merah itu.

Bisma keluar kamar, mengendap-endap ke dapur lalu menyambar korek api ibunya. Kebetulan ibu sedang tidak di dapur. Mungkin di sumur. Sambil bersiul-siul kecil, Bisma mulai memanjat pohon talok. Dipilihnya cabang yang paling kokoh dan berlindung agar pengalaman pertamanya merokok tidak diketahui oleh siapa pun. Kini ia sudah di atas pohon yang berbuah tanpa mengenal musim, itu. Posisi cabang yang dipilih Bisma memang pas untuk bersandar dan menjuntaikan kakinya. Tidak terlalu tinggi, sih. Kira-kira satu setengah meter dari tanah.

Pelan-pelan, diambilnya rokok yang ada di dalam saku bajunya. Ia mulai beraksi. Dicium-ciuminya sekali lagi batang rakok itu meniru gaya ayah jika hendak mulai mengisap tembakau.

“Hmmm, pasti nikmat! Apa lagi jika aku bisa membuat lingkaran-lingkaran awan dari mulutku. Apa lagi jika aku bisa mengeluarkan asap dari kedua lubang hidungku! Belajar memain-mainkan batang rokok di celah jemari, nanti-nanti saja. Hari ini, belajar mengisap dulu!”

Selanjutnya, Bisma mengeluarkan korek api. Penuh perasaan, ia masukkan pangkal rokok itu ke mulutnya. Tembakau berbalut kertas itu sudah terjepit di antara dua bibirnya.

“Cressss!” Api mulai membakar ujung rokoknya. Bisma melakukan isapan pertama dengan sedotan penuh. Kedua pipinya cekung ke dalam. Begitu yang biasa ia lihat ketika ayah menikmati rokok.

Tiba-tiba, “Uhuk, uhuk, uhuk,“ Bisma terbatuk-batuk. Pandangannya berkunang-kunang, Langit seolah berputar. Perutnya mual.

“Ooaak,“ Ia muntah. Sarapan paginya keluar bercampur asap. Bentuknya tidak beraturan. “Gdebug!!!” Bisma jatuh. Tidak ada lagi lingkaran-lingkaran asap yang keluar dari moncong mulutnya. Tidak pula awan tebal yang keluar dari lubang hidungnya. Bisma pingsan!

*

Kepala Bisma masih berat dan pandangannya masih terasa berputar. Bau minyak kayu putih menyengat hidungnya. Pelan-pelan ia buka matanya. Bisma merasa asing dengan situasi di sekelilingnya. Lamat-lamat ia sadar. Ia sedang berada di ruang perawatan UGD di Puskesmas. Ayah dan ibunya berdiri di sampingnya.

“Kamu sudah sadar, Bis?“ suara lembut ibunya.

Bisma tidak menjawab, tetapi mencoba mengingat-ingat kejadian yang baru saja dialaminya.

“Maafkan Bisma, Bu!”

Ibu tidak menjawab, tetapi menoleh ke arah ayah.

“Berjanjilah, Yah! Mulai sekarang Ayah tidak merokok lagi! Ini bukan salah Bisma, tetapi salah ayah yang memberikan contoh. Untung Bisma tidak cedera parah dan tidak patah tulang, coba!” 

Ayah tidak menjawab, tetapi menggenggam erat tangan Bisma. Bisma pun terdiam. Dalam hati ia berbisik, “Merokok ternyata nggak enak, nggak keren, neggak hebat!”

Tetapi ia tetap senyum dalam hati karena pengalamannya merokok tetap yang terhebat yang akan diceritakan kepada Farid dan Udin, besok Senin! Ia akan bilang, “Farid, Udin, jangan merokok, nanti kalian pingsan!” Dan sejak hari itu, Bisma tidak pernah lagi melihat ayahnya mengisap tembakau berbalut kertas tipis yang harum dan indah, itu.*

Piyungan, 07 Juni 2010


Leave a Comment