| 0 Comments | 40 Views

Card Image

Para Pemancing di Kelong Ucuk

 

Untuk sahabat-sahabatku di Pengudang

UCUK SEKOLAH LAGI

Oleh Mustari

 Liburan sekolah sudah berakhir seminggu yang lalu. Tetapi Ucuk belum mau masuk sekolah. Sudah puas Indok Salmah, ibunya, membujuknya, namun Yusuf yang dipanggil Ucuk itu, bergeming. Murid kelas 4 di SDN di desa Pengudang, kampong nelayan utara Pulau Bintan itu, tetap tidak mau kembali ke sekolah. Pak Hasbullah, wali kelasnya pun sudah dua kali datang menemuinya untuk memberinya pengertian.

“Sayang jika kamu harus berhenti sekarang,” bujuk Pak Hasbullah.

Sangat beralasan jika Pak Guru dan ibunya ingin agar Ucuk terus bersekolah, karena ia bukan murid bodoh. Nilai raportnya tidak pernah ada angka merah, dan ia punya ketrampilan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya: melukis. Meski dengan peralatan pensil dan kertas gambar biasa, lukisan pemandangan pantainya benar-benar pas dan seolah-olah hidup. Itulah Ucuk, anak semata wayang Indok Salmah, seorang janda, buruh nelayan di kampung pantai itu, di Kepulauan Riau.

*

 “Besok kamu sekolah, kan, Cuk?“ ibu kembali membujuknya.

“Sabarlah! Dua tahun lagi kamu akan lulus SD. Setelah itu, terserah kamu.“ Indok Salmah masih berharap agar anak laki-lakinya itu mau mengubah pikirannya. Meski ia sadar bahwa untuk membiayai sekolah anaknya dua tahun ke depan, itu tidak mudah. Penghasilannya sebagai buruh mengopek ikan bilis  tidaklah seberapa. Apa lagi tidak setiap hari ada pekerjaan. Maklumlah, penghasilan nelayan bagan  akhir-akhir ini tidak menentu. Badai Barat yang bertiup dari Laut Cina Selatan menjelang Tahun Baru Cina selalu menghantui para nelayan. Jadi boleh dikatakan, penghidupan Ucuk dan ibunya seperti kata pepatah Melayu, kais pagi makan pagi, kais petang makan petang.  Jika tidak memburuh, ibunya menghabiskan hari-harinya dengan membuat atap dari daun kelapa yang gugur dari kebun Pak Said. Pelanggannya adalah para nelayan untuk atap rumah bagan-nya di tengah laut. Namun karena kehidupan para nelayan itu pas-pasan juga, Indok Salmah lebih sering memperoleh upah ikan bilis daripada uang. Dengan kondisi seperti itulah Indok Salmah masih tetap ingin menyekolehkan anaknya, paling tidak sampai Ucuk memegang ijazah SD.

Ucuk tidak menjawab pertanyaan ibunya. Sebenarnya ia masih mengantuk, meski sudah tidur sejak pukul 09.00 pagi tadi sepulang dari bagan. Namun karena sensasi memancing lebih kuat menggoda, ia lawan kantuknya dan terus memperbaiki alat pancingnya yang akan dibawanya malam nanti. Ia harus siap lebih awal jika tidak ingin ketinggalan perahu Pak Leman, tetangganya, yang akan berangkat sebentar lagi. Alat pancingnya sudah siap. Penampilannya kini laiknya pemancing profesional. Topi kecil bertenggek  di kepala mungilnya, baju kusam berlengan panjang, kain sarung berbau anyir-laut melilit di pinggangnya, celana pendek hitam, dan rangsel pancing di punggungnya. Ucuk siap melaut. Mau tidak mau ibunya menyipakan bekal makan malamnya. Tak lupa plaster pembalut jari telunjuknya. Perlawanan ikan selar dan ikan kembung kadang-kadang terlalu keras sehingga membuat tangsi pancing berubah menjadi pisau silet yang akan menyayat jari telunjuk jika tidak dibalut dengan plaster.

*

 Ucuk sudah di atas perahu Pak Leman. Ia paling suka duduk di anjungan perahu dan berlagak seperti seorang juru pandu, sementara barang-barang bawaan seperti ancak,  keranjang ikan, kotak lampu strongkeng  dan perbekalan lainnya termasuk rangsel pancing Ucuk diatur di lambung perahu yang tidak sebera besar itu. Ada satu peralatan yang tidak ikut ditata. Benda itu adalah parang pendek, lengkap dengan sarungnya yang diikat melilit di pinggang Pak Leman. Pak Sudin, kelasi  Pak Leman bertugas mendayung dengan cara berdiri. Posisinya agak ke balakang. Pak Leman sendiri duduk di buritan. Perahu itu bergerak perlahan menuju bagan dengan jarak tempuh kira-kira 1.5 jam dari pantai. Perahu Pak Leman tidak sendiri. Nelayan-nelayan lain juga berangkat hampir bersamaan. Susul-menyusul dan kadang-kadang ditingkahi dengan teriakan-teriakan saling menyemangati antar-sesama nelayan. Riak air laut berkecipak dibelah oleh perahu-perahu nelayan di sore hari itu.

Bukan tidak terpikir oleh Ucuk akan nasihat ibu dan Pak Hasbullah. Tetapi godaan memperoleh tangkapan ikan dan menjualnya kepada tauke  Ameng esok harinya, lebih menggoda. Ia ingin uang jajan, yang selama ini jarang diberikan oleh ibunya. Padahal ia paling hobby makan kueh tepung gomak dan epok-epok  sambal cumi buatan Wak Menah. Tetangganya itu rajin berjualan kueh di pangkalan nelayan setiap pagi. Dan ternyata mudah untuk memperoleh uang jajan: Memancing. Itulah jawabannya. Apalagi ia bukan anak satu-satunya melakukan hal yang sama di kampung itu. Ia menyaksikan bagaimana teman-teman sebayanya, bahkan anak-anak nelayan yang lebih tua darinya, tidak mementingkan sekolah karena lebih memilih ke laut.

“Buat apa sekolah, Cuk? Susah! Lebih enak mancing, senang! Tinggal ikut nelayan ke bagan lalu esoknya kita jual ikan. Trus dapat jajan!”

Nasihat teman-temannya, lebih masuk di akalnya daripada nasihat ibu dan Pak Guru.

“Buat apa sekolah, jika uang lebih senang dicari dengan memancing,” ia sendiri membenarkan kesimpulan itu.

Ya, laut bagi anak-anak di desa itu adalah anugerah alam yang tidak pernah ingkar janji. “Jika melaut malam ini, maka esok kamu dapat uang.“ Hukum sebab akibat itulah yang menancap di otak Ucuk yang berlindung di balik kepalanya yang mungil itu. Dan ketrampilan memancing ia peroleh dalam masa liburan kemarin.

*

 Menjelang magrib, perahu Pak Leman sudah merapat di bagan. Dengan cekatan Ucuk melompat ke palang tiang bagan dan mengikatkan tali perahu, lalu memanjat menuju lantai bagan. Setelah di atas bagan, ia ulurkan keranjang yang sudah diikat tali untuk diisi barang-barang bawaan lalu menariknya kembali ke atas. Ia harus rajin membantu Pak Leman agar senantiasa dapat ikut ke bagan-nya. Setelah semua naik, Pak Sudin mulai menyalakan lampu strongkeng yang berjumah 4 buah lalu menggantungnya di bawah lantai bagan. Posisinya di tengah-tengah bangunan tiang-tiang kayu bersegi empat itu. Sementara Pak Leman menurunkan tangkul  hingga ke dasar laut dengan kedalaman 15 meter. Jarak antara lampu dan permukaan air laut kira-kira setengah meter. Dengan cahaya lampu itulah, ikan bilis diundang masuk ke dalam bagan. Dan dengan kehadiran ikan bilis yang jutaan jumlah itu pula, telah mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk memangsanya.

*

 Pukul 21.00 WIB. Tarikan tangkul pertama Pak Leman sudah menghasilkan beberapa ancak ikan bilis. Pak Sudin siap untuk memasaknya,  sementara Ucuk memilih-milih dan menyisihkan ikan bilis segar untuk dijadikan umpan. Lalu ia mengambil rangsel pancingnya kemudian menuju sisi barat bagan untuk memancing.

“Hmm, mudah-mudahan ikan selar dan ikan kembung akan makan-mabuk  malam ini,“ harap Ucuk dalam hati.

Sudah terbayang wajah Wak Menah dan kueh dagangannya. Benar saja, belum berapa lama, tangkapan Ucuk sudah mencapai 20 ekor. Namun tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Di ufuk barat muncul kilatan di kegelapan malam membelah angkasa. Sekilas ia melihat ada gumpalan awan hitam. Lamat-lamat angin barat terasa semakin mendekat dan dingin. Ucuk belum pernah melihat fenomena alam seperti itu. Badai Barat memang sering melanda kampungnya, tetapi ia berada di darat, di dalam rumah. Lebih aman.

 “Cepat masuk, Cuk!” Perintah Pak Leman.

“Berhenti memancing!  Ribut Barat mau turun!”

 Ucuk bersicepat menggulung tangsi pancing dan mengemasi ikan tangkapannya lalu membawanya masuk ke dalam rumah bagan. Tidak lama, hujan disertai ribut sudah sampai. Laut yang tadinya tenang berubah bergelombang. Dahsyat! Sampai-sampai menyentuh lantai bagan. Keempat lampu strongkeng sudah dinaikkan pula. Bunyi tiang-tiang bagan berderit-derit saling berbegesekan menunggu lepas dari paku dan ikatannya. Inilah resiko nelayan-bagan yang tidak pernah diperhitungkan Ucuk. Ia mulai menggigil ketakutan. Ia teringat nasihat ibu, ia teringat nasihat Pak Guru. Pak Leman dan Pak Sudin kelihatan masih tenang, tetapi tetap waspada. Setengah jam sudah berlalu, jarak waktu yang terasa sangat lama. Belum ada tanda-tanda ribut akan reda. Kilat, ribut, dan petir susul menyusul. Atap bagan yang terbuat dari daun kelapa itu, mulai tersingkap-singkap seperti kipas. Akibatnya, air hujan masuk dan lantai bagan semakin basah terkena ombak dari bawah dan hujan dari atas.

 “Krak,” tiba-tiba terdengar gemeretak bunyi kayu. Salah satu tiang bagan patah. Disusul tiang kedua, ketiga, dan seterusnya. Bagan mulai condong ke timur. Keruntuhannya tinggal menunggu detik. Sekali sapu, rumah bagan itu berada di bawah gulungan ombak. Gelap gulita. Penerangan hanya diperoleh dari lidah-idah kilat yang susul-menyusul. Ucuk glagapan terminum air laut. Perutnya mual. Ia pun muntah. Wajahnya pucat pasi. Masih untung ia dapat berpegangan pada dinding rumah bagan. Bagan itu berubah menjadi rongsokan kayu yang tercerabut.

Dengan sigap, Pak Leman menyambar lengan Ucuk dan melemparkannya ke perahu. Tepat! Ucuk jatuh di lambung perahu yang oleng. Dengan sisa tenaga dan ketakutan yang luar biasa, Ucuk berpegangan erat pada tiang kayuh. Pak Sudin menyusul melompat mencoba menyeimbangkan perahu yang sudah kemasukan air. Kayuh dan lantai perahu sudah berhamburan ke laut, sementara Pak Leman, dengan parangnya, sekali tebas, tali perahu itu lepas dari ikatan di tiang bagan. Lalu dengan sigap pula melompat ke perahu. Kini mereka sudah di atas perahu yang terombang-ambing di kegelapan malam. Perahu semakin menjauh dari bagan. Hanya karena pertolongan Allah semata, mereka dapat berada di atas perahu kecil itu. Di antara sambaran kilat, rongsokan bagan itu terlihat seperti rangka monster yang tidak berdaya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali pasrah. Satu jam, dua jam, tiga jam sudah berlalu. Ketakutan luar biasa telah meruntuhkan semangat Ucuk.

*

 Ufuk timur pelan-pelan mulai merekah. Sudah pagi. Badai Barat sudah berlalu. Perahu kecil itu terdampar di sebuah pantai di kampung tetangga. Tidak hanya mereka, beberapa perahu nelayan-bagan lainnya juga terdampar di sana. Dengan tenaga yang tersisa, Ucuk dan para nelayan itu menelusuri pantai menuju kampung mereka. Tidak ada ikan bilis, tidak ada ikan selar dan kembung. Hanya sisa-sisa ketakutan yang mereka bawa. Menjelang tengah hari, mereka sampai. Para keluarga nelayan-bagan itu telah menunggu di pantai, tidak terkecuali Indok Salmah. Begitu melihat Ucuk berjalan gontai, perempuan itu menghambur memeluk anaknya. Rasa syukur membucah di dadanya.

“Alhamdulillah, kamu selamat, Nak!” Hanya itu yang terucap.

Selanjutnya ia membimbing anaknya pulang. Ucuk tidak membantah. Air mata meleleh di pipinya yang mulai hitam dan bersisik karena air laut dan terik matahari. Trauma Badai Barat telah mengubah pendirian Ucuk. Kini ia berjanji di dalam hati, “Besok aku sekolah.” Cita-citanya berganti kini: Ia  ingin jadi pelukis terkenal, bukan juragan nelayan-bagan.

Piyungan, 05 Agustus 2013


Leave a Comment