| 0 Comments | 245 Views
#kemenag, #moderasi beragama, LPM #uinsuka, #PKDP2024
Pendahuluan
Selama beberapa tahun terakhir, konflik dan kekerasan yang
mengatasnamakan agama di Indonesia kian menghawatirkan. Bangsa Indonesia telah
mengalami beberapa kali konflik yang berujung pada kerusakan dan pertumpahan
darah. Sebut saja konflik Poso, konflik Ambon, konflik Tolikara, konflik agama
di Aceh, konflik Sunni Syi’ah di Jawa Timur, hingga konflik Tanjung Balai.
Selain yang telah disebutkan, masih banyak sekali sederet kasus konflik dan
kekerasan lain yang turut menambah daftar panjang konflik yang terjadi di tanah
air. Beberapa konflik tersebut dapat muncul dari problem individu, problem
sosial, bahkan problem ajaran agama itu sendiri. Konflik ini merupakan sebuah
konsekuensi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai latar belakang suku,
budaya, ras, hingga keagamaan.
Pada dasarnya, konflik merupakan salah satu hasil dari adanya
interaksi antara manusia, dan kelompok. Justru tidak adanya konflik,
menunjukkan bahwa di antara manusia atau kelompok tersebut tidak terjadi
interaksi. Akan tetapi, terdapat perbedaan mendasar mengenai bagaimana suatu
kelompok menangani konflik tersebut. Apakah konflik itu bersifat konstruktif,
atau bahkan destruktif.[1]
Kebanyakan, konflik yang terjadi di masyarakat yang bernuansa agama justru
bersifat destruktif. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa kasus konflik dan
kekerasan berdarah yang pernah terjadi di Indonesia.
Selain konflik yang berlatar belakang perbedaan agama, terdapat
konflik lain yang justru terjadi dalam satu agama, akan tetapi terdapat
perbedaan golongan, mazhab, pendapat, penafsiran keagamaan, hingga ideologis. Meskipun
tidak selalu berakhir dengan kekerasan, konflik antar golongan keagamaan dapat
menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak. Sebagai contoh, sering
terjadi konflik dari golongan tradisional dengan golongan modernis. NU dan
Muhammadiyah, meskipun saat ini dapat dikatakan dua organisasi berbeda yang
rukun, memiliki sejarah panjang dalam konflik.[2]
Konflik yang terjadi antara keduanya seringkali hanya terjadi pada aspek
furu’iyah yang tersier, bukan pada aspek aqidah yang primer.
Setelah banyak rekonsiliasi antara kedua organisasi keagamaan
tersebut, kini muncul golongan keagamaan yang merasa paling benar sendiri.
Golongan ini muncul dari efek penyebaran gerakan islam transnasional[3]
dengan slogan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka menyebut diri
mereka sebagai pengikut sunnah dan salaf ash-shalih. Gerakan ini dikhawatirkan
memunculkan bibit radikalisme Islam di Indonesia, sebab mereka meyakini bahwa
semua yang tidak terdapat dalam teks, adalah salah, bid’ah, sesat, bahkan tidak
segan untuk dikafirkan. Paham radikalisme ini muncul akibat penafsiran dan
pemahaman atas teks yang eksklusif, tanpa mempertimbangkan banyaknya pendapat
lain dalam agama. pada akhirnya, doktrin ini berpotensi melahirkan sikap
radikalisme dan inteloran yang dapat berakibat pada perpecahan bangsa.
Potensi konflik antar umat beragama maupun antar golongan keagamaan
semakin mengkhawatirkan dengan mudahnya penyebaran pemikiran dan doktrin
intoleran di platform media sosial. Beberapa kelompok intoleran maupun
ekstrimis kerap menyebarkan pesan-pesan intoleransi dan ekstrimisme melalui
media sosial.[4]
Media sosial juga mereka gunakan untuk menyebarkan informasi “dakwah”
terselubung yang menyasar kaum muda, bahkan di lingkungan kampus. Terbukti,
beberapa generasi muda mulai terpengaruh dengan ajakan doktrin mereka pada
beberapa kajian, maupun konten-konten intoleransi[5]
yang dibalut dengan bahasa gaul dan kekinian. Hal ini membuktikan bahwa aspek
teologis yang awalnya merupakan konsumsi pribadi masing-masing pemeluk, di era
digitalisasi, paham radikalisme menjadi sebuah produk yang disebarkan secara
luas.[6]
Sehingga penyebaran paham moderasi beragama, agama yang inklusif, dan toleran
secara masif merupakan sebuah hal yang masuk dalam kategori dharuriyat.
Moderasi Intra-Religiusitas dan Inter-Religiusitas di Tengah Kebhinnekaan
Moderasi beragama dapat diartikan secara singkat sebagai pengamalan
nilai-nilai keagamaan maupun amaliyah keagamaan dengan perspektif moderat.[7]
Maksudnya, seseorang yang memahami dan mengamalkan agamanya, tidak melalui
jalur ekstrem kanan maupun kiri. Sikap pertengahan ini, menunjukkan kedewasaan
berfikir dan beragama seseorang yang memahami bahwa kebenaran agama maupun
kebenaran penafsiran keagamaan tidak tunggal. Setiap kepala akan menganggap apa
yang dipraktikkannya merupakan perintah agama yang benar. Akan tetapi, tidak
serta merta menyalahkan, membid’ahkan, hingga mengkafirkan pendapat maupun
agama orang lain. Sebab, sikap menyalahkan inilah yang kemudian menjadi pemicu
konflik antar golongan keagamaan maupun antar agama.
Sikap berlebihan dalam beragama hingga menyalahkan golongan dan
agama lain dapat disebabkan oleh fanatisme beragama yang terlalu berlebihan.
Fanatisme dalam konteks bermazhab (pendapat furu’iyah) muncul disebabkan karena
kurangnya pemahaman seseorang atas pendapat lain yang pernah ada.[8]
Sehingga secara tidak sadar, seseorang yang fanatik akan terjerumus pada
pemahaman tunggal, di mana hanya pendapat satu ulama lah yang merupakan
representasi dari agama tersebut. Padahal, jika seseorang mau mengkaji lebih
jauh mengenai perbedaan pendapt di kalangan ulama, dia akan menyadari luasnya
samudera fiqih dalam Islam.
Pada era digitalisasi, penyebaran faham ekstrimisme maupun
radikalisme agama semakin masif dan meluas karena mudahnya akses dan penyebaran
informasi kepada publik melalui platform digital. Bahkan, sebagian besar anak
muda akan lebih mudah terpapar virus radikalisme ini tanpa sadar bahwa mereka
sedang didoktrin melalui konten-konten media sosial yang menarik.[9] Di
sisi lain, generasi muda tidak tertarik untuk mengakses ajaran agama dari
beberapa situs yang dikelola oleh golongan moderat, sebab penyajian dan
tampilan medianya tergolong berat dan susah dikonsumsi oleh generasi muda.
Sedangkan generasi sekarang dapat diistilahkan sebagai generasi yang “mau
enaknya saja” atau memilih makanan yang “ready for eat”.[10]
Hal ini menunjukkan pentingnya penyebaran nilai-nilai tawasuth Islam dalam
kemasan yang menarik, mudah dicerna, dan substantif.
Beberapa konten bernuansa hukum Islam maupun agama pun saat ini
rentan menjadi tempat berkembangnya intoleransi. Seperti dalam beberapa media
yang menampilkan penjelasan mengenai hukum tertentu, kolom komentar akan
dipenuhi dengan berbagai macam komentar negatif yang bernuansa disharmonis.
Masyarakat digital dengan fitur anonymousnya, seperti tidak sungkan dan
segan-segan menghina dan mengolok-olok pendakwah yang bukan panutannya. Dalam
beberapa konten lain, penghinaan antar umat beragama pun sangat banyak dan
mudah ditemui. Beberapa konten creator memang nampaknya sengaja menghadirkan
wahana saling hujat antar pemeluk agama. Hal seperti inilah yang kemudian dapat
berpotensi memicu konflik antar golongan keagamaan maupun antar penganut agama.
Urgensi Moderasi Beragama Perspektif Maqashid Asy-Syari’ah
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, moderasi beragama dalam konteks
kebhinnekaan, perbedaan agama, perbedaan mazhab dan golongan, di Indonesia
dapat dikategorikan sebagai aspek penting yang masuk pada tahap dharuriyat.
Asy-Syatibi mendefinisikan aspek dharuriyat sebagai sesuatu yang jika tidak
ada, maka kemaslahatan dunia tidak ada. Selain itu, ketiadaan aspek dharuriy
akan mengancam pada kerusakan.[11]
Konsep moderasi beragama dapat dikategorikan dharuriyat untuk menjaga Agama,
agar tidak menjadi sesuatu entitas yang selalu diperolok-olok. Oleh sebab itu,
Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am 108, melarang muslim untuk mulai menghina
dan mengolok-olok orang yang menyembah selain Allah (agama lain). Larangan ini
merupakan sikap moderasi yang telah diajarkan Allah, agar agama Islam tidak
menjadi olokan orang lain.
Terdapat dua aspek dalam konsep maqashid asy-Syatibi, yaitu menjaga
kelestariannya (min nahiyati al-wujud), dan menghindari kerusakannya (min
nahiyati al-‘adam).[12]
Dicontohkan bahwa beribadah sebagai amaliyah harian muslim merupakan aspek
maqashid dharuriyat dalam menjaga agama dari aspek menjaga kelestariannya.
Sehingga, larangan untuk menghina agama lain merupakan aspek maqashid
dharuriyat dari segi menghindari kerusakannya. Selain itu, perlu diyakini bahwa
ayat ini memiliki relasi yang kuat dengan ayat lain yang dengan eksplisit
menyatakan bahwa Allah sengaja menciptakan manusia dengan berbagai macam syariat dan manhaj
(agama)[13]
yang tujuannya juga agar manusia saling bersaudara dan mengenali. Ayat-ayat
moderasi ini sangat relevan dengan konteks keindonesiaan yang berbhinneka dari
berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan golongan.
Begitu pula dengan moderasi beragama dalam konteks bermazhab
(intra-religiusitas moderation) merupakan aspek penting untuk membangun umat
Islam yang harmonis dan menghindari konflik atau disintegrasi. Hukum Islam pada
sejarahnya merupakan otoritas mutlak milik Nabi yang mendapatkan wahyu dari
Allah. Sehingga setiap persoalan yang terjadi pada zaman kenabian akan dapat
diselesaikan dengan menunggu wahyu, dengan Hadis, maupun musyawarah dengan para
sahabat. Setelah wafatnya nabi, maka otomatis pewahyuan akan terputus,
sedangkan problem yang dihadapi muslim akan terus berkembang. Sehingga, Nabi
pernah mengajarkan kepada umat Islam bgaimana proses berijtihad untuk menemukan
hukum. nah, di sinilah mulai muncul problem baru, di mana, terkadang ijtihad
suatu golongan tidak disepakati oleh golongan lain. Bahkan, pernah terjadi
perdebatan serius mengenai konsep istihsan, di mana Imam asy-Syafi’i menyatakan
barang siapa yang beristihsan, maka dia telah membuat syari’at. Perbedaan
pendapat di kalangan ulama merupakan hal biasa yang sering terjadi karena ada
banyak penyebab terjadinya perbedaan pendapat.[14]
Akan tetapi, perbedaan pendapat ini kadang diartikan lain oleh masyarakat awam
yang tidak mengerti soal hukum dalam Islam. Bahkan, tidak jarang juga
menimbulkan konflik.
Menghadapi perbedaan pendapat maupun konflik dalam bermazhab harus
dilakukan dengan kepala dingin sehingga menghasilkan konflik yang positif.
Misalnya dengan mengadakan diskusi ilmiah antara pihak yang berbeda pendapat.
Namun jika dilakukan dengan serampangan, menyalahkan, membid’ahkan, bahkan
mengkafirkan, tentu hal tersebut membuat konflik bernilai negatif. Dari
perspektif maqashid, menjaga kerukunan antar golongan Islam yang berbeda juga
termasuk pada aspek dharuriyat, yaitu menjaga keutuhan Agama. Hal ini sejalan
dengan perintah Allah dalam Ali Imran (3) 103 yang menyatakan “Dan berpegang
teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai.” Perbedaan mazhab menjadi sumber rahmat dengan mendorong
pandangan inklusif, mengadakan dialog yang konstruktif, mengadopsi pendekatan
kontekstual, dan memperkuat pendidikan holistik. Hal ini memungkinkan
terciptanya harmoni dan kerukunan di antara umat Muslim yang memiliki perbedaan
mazhab, sembari tetap menjaga integritas dan nilai-nilai agama yang menjadi
dasar kehidupan mereka.[15]
Kesimpulan
Moderasi beragama merupakan salah satu jalan untuk merawat perbedaan agama dan golongan dalam konteks kebhinnekaan di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, potensi konflik di Indonesia sangat besar jika melihat keragaman suku, budaya, ras, agama dan antar golongan. Sehingga pandangan moderat dalam kehidupan merupakan aspek yang dharuriyat dalam menjaga agama dan jiwa. Moderasi beragama merupakan hasil implementasi menjaga agama dan jiwa dari aspek keberadaan dan kelestariannya (min nahiyati al-wujud). Tujuan beragama pada dasarnya menuntun manusia menjadi makhluk yang taat kepada pencipta dan saling menyayangi antar ciptaan. Karena memang begitulah Nabi diutus ke muka bumi sebagai rahmat bagi semesta alam. Makalah ini terbatas pada kajian dan analisis konsep maqashid syariah dalam moderasi beragama. Ke depannya, makalah lain perlu membahas ini lebih holistik dengan menampilkan dalil lain sebagai penguat argumentasinya. Makalah ini berkontribusi pada pemahaman manusia akan pentingnya menjaga perbedaan melalui bingkai moderasi beragama dari perspektif maqashid syari’ah.
[1] Simon, Christopher A. "A Review of: Bertrand,
Jacques.“Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia” Cambridge, UK: Cambridge
University Press, 2004. 304 pp. $26. ISBN: 0-521-52441-5." (2005):
666-668.
[2] Yusuf, Mundzirin. "Konflik antara Nahdlatul Ulama
dengan Muhammadiyah dan resolusinya:: Penelitian di desa Pegandekan, Kecamatan
Kemangkon Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah." PhD diss.,
Universitas Gadjah Mada, 2001.
[3] Fanindy, M. Nanda, and Siti Mupida. "Pergeseran
Literasi pada Generasi Milenial Akibat Penyebaran Radikalisme di Media
Sosial." Millah: Journal of Religious Studies (2021):
195-222.
[4] Puji
Harianto, “Radikalisme Islam
dalam Media Sosial,” Jurnal Sosiologi Agama12 (2018): 297–326.
[5]Nafi’ Muthohirin, “Komunikasi ISIS, via Aplikasi Telegram,” Jurnal AIJIS11 (2015):
240–59.
[6] Harianto, Puji. "Radikalisme Islam Dalam Media
Sosial (Konteks; Channel Youtube)." Jurnal Sosiologi Agama 12,
no. 2 (2018): 297.
[7] Nurdin, Fauziah. "Moderasi Beragama menurut
al-Qur’an dan Hadist." Jurnal Ilmiah Al-Mu'ashirah: Media Kajian Al-Qur'an
dan Al-Hadits Multi Perspektif 18, no. 1 (2021): 59-70.
[8] Adawiah, Rabiatul, Nuril Khasyi’in, and Anwar Hafidzi.
"Strategi antisipasi gerakan fanatisme mazhab melalui moderasi beragama
dalam pendidikan di uin antasari banjarmasin." Al-Banjari: Jurnal
Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 20, no. 2 (2021).
[9] Widiarni, Finta, Indah Pratiwi, and Masyhuri Masyhuri.
"Dinamika Radikalisme di Dunia Maya: Analisis Tren dan Strategi
Pencegahan." Journal of Education Research 5, no. 3
(2024): 3346-3352.
[10] BBC. (2024). Milenial Muda
Terpapar Radikalisme Karena
Situs Organisasi Islam
Moderat Kalah Ranyah.
[11] Asy-Syatibi,
Al-Muwafaqat, jilid 2, Maktabah Syamilah, hlm. 18.
[12] Ibid.
[13] Al-maidah (5):
48.
[14] Zuhdi,
Muhammad. "Sikap dan Etika dalam Menghadapi Ikhtilaf Pendapat Mazhab
Fiqih." Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam dan Perundang-Undangan 6, no. 2
(2019): 12-20.
[15] Mitra, Siti
Nuraeni, and Yurna Yurna. "Menatap Fiqh Kedepan Dalam Merealisasikan
Perbedaan Mazhab Menjadi Rahmat." Al Yazidiy: Jurnal Sosial Humaniora dan
Pendidikan 5, no. 2 (2023): 35-46.
Leave a Comment