| 0 Comments | 5 Views
Ilustrasi sebuah pertunjukan wayang sebagai salah satu media penyebaran agama Islam. Gambar by Gemini
Gaya dakwah
Nusantara adalah dakwah yang merangkul, bukan memukul. Dakwah yang dilakukan
dengan penuh kasih sepenuh hati, bukan dengan caci maki. Dakwah yang
disampaikan dengan ramah, bukan dengan teriak-teriak penuh amarah. Dan dakwah
yang menonjolkan kasih sayang, bukan mengajak perang dengan menghunus pedang.
Gaya dakwah
semacam itu, sudah menjadi tren dakwah di Nusantara beratus-ratus tahun
lamanya. Tren tersebut dibawa oleh para penyebar Islam di Nusantara yang
terkenal dengan nama Wali Songo. Ya, sembilan wali itulah yang sukses
mengislamkan Nusantara tanpa pertumpahan darah. Membuat wilayah yang masyarakatnya
beragama mayoritas Hindu-Budha, perlahan beralih ke Islam. Efek gaya dakwah
tersebut bahkan terasa hingga kini, agama Islam dipeluk oleh mayoritas
masyarakat Indonesia! Luar biasa bukan?
Kreatif dan Inovatif
Para Wali Songo
yang berdakwah di tanah Nusantara ini menggunakan cara-cara yang tidak biasa,
alias berbeda. Mereka sama sekali tidak menjelek-jelekkan agama yang sudah lebih
ada. Mereka juga tidak mengkafirkan para penduduk yang belum memeluk Islam.
Pun, mereka juga tidak mengacungkan pedang untuk membuat masyarakat Nusantara
mengucapkan syahadat. Terakhir, mereka juga tidak memprovokasi pengikutnya
untuk memerangi masyarakat yang berbeda agama.
Sebaliknya, mereka
berdakwah dengan cara-cara yang kreatif dan inovatif. Sebuah kreasi dakwah yang
bisa dibilang paling maju di zamannya. Sebagai contoh, sebut saja kreasi yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk mengislamkan masyarakat Jawa. Gaya
dakwahnya sinkretis dan adaptif. Ia menggunakan seni budaya sebagai media
penyebar Islam. Ia dengan kreatif memasukkan nilai-nilai agama Islam ke dalam
seni budaya yang sudah ada dan digemari masyarakat Jawa, seperti wayang dan
tetembungan (nyanyian).
Agus Sunyoto
dalam Atlas Walisongo menyebutkan
bahwa kemahiran Sunan Kalijaga dalam seni budaya meliputi pewayangan, tembang
macapatan, syair, dongeng keliling, penari topeng dan perancang busana. Sunan
Kalijaga juga merupakan dalang kondang yang malang melintang dalam dunia pentas
pewayangan. Ia menggunakan banyak nama ketika menjadi dalang, misalnya Ki
Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, Ki Dalang Kumendung dan lain
sebagainya.
Selain Sunan
Kalijaga, ada juga Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shodiq yang berdakwah dengan
arif dan bijaksana. Ia melarang murid-muridnya untuk menyembelih sapi demi
menghormati masyarakat Hindu. Sebab, sapi adalah hewan yang disucikan dalam
agama Hindu.
Kebijaksanaan
dari Sunan Kudus tersebut akhirnya malah banyak menarik warga Hindu di Kudus
untuk memeluk Islam. Berkat kebijaksanaan tersebut, Sunan Kudus sukses
mengislamkan masyarakat Kudus tanpa perang. Hingga hari ini, meski masyarakat
Kudus mayoritas sudah beragama Islam, larangan untuk menyembelih sapi dari
Sunan Kudus tersebut masih berlaku. Jika berkunjung di Kudus, kalian tidak akan
menemukan soto sapi, yang ada soto kerbau.
Teladan
Selain Sunan
Kalijaga dan Sunan Kudus, masih banyak lagi para wali yang menyebarkan Islam
dengan penuh kasih sayang di bumi Nusantara ini. Tentu, strategi dakwah yang
sudah terbukti sukses tersebut patut untuk dijadikan teladan bersama. Para Wali
Songo sudah menunjukkan konsep paradigma dakwah Islam di Nusantara dengan apik.
Bahwa berdakwah tidak melulu harus kasar dan keras. Buktinya, tanpa pedang dan
tanpa menumpahkan darah, mereka mampu mengislamkan masyarakat Nusantara.
Gaya dakwah
para walisongo sudah seharusnya dijadikan oleh acuan bagi para dai di negeri
ini. Apalagi, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang plural alias bermacam-mamcam.
Sungguh, sangat kontra produktif apabila para dai berdakwah dengan memusuhi
apalagi mengkafirkan pemeluk agama lain. Jika dakwah semacam itu terjadi,
endingnya bisa ditebak: munculnya konflik antar pemeluk agama! Dan itu sangat
membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain rentan
terjadi konflik, gaya dakwah semacam itu tidak akan berhasil. Yang ada, para
pemeluk agama lain akan takut dengan Islam. Bagaimana tidak takut? Jika yang
keluar dari lisan para dai adalah kata-kata kasar semacam, “perangi”, “penggal
kepala”, “halal darahnya” dan berbagai kata kasar lainnya. Alih-alih tertarik
dengan Islam, pemeluk agama lain akan ketakutan. Muncullah kemudian
Islamophobia. Bukan menguntungkan, malah merugikan bukan?
Oleh karenanya,
sudah saatnya membumikan kembali paradigma dakwah Nusantara ala Para Wali
Songo. Para dai harus sadar bahwa gaya dakwah Wali Songo yang santun dan
merangkul adalah strategi yang pas digunakan di negara Indonesia. Sementara
cara-cara dakwah yang kasar dan beringas akan selalu ditentang oleh banyak
pihak dan cenderung memunculkan konflik.
Bukan hanya
dai, pemerintah sebagai penentu kebijakan juga harus bertindak tegas terhadap
para dai yang menyebarkan provokasi atas nama Islam dan atas nama dakwah. Tidak
perlu takut untuk mengingatkan mereka. Sebab, provokasi yang mereka lakukan
sangat membahayakan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Jangan sampai,
mereka semakin berani dan merasa di atas angin karena tidak ada sanksi tegas
dari negara.
Akhir kata,
para wali songo sudah mengajarkan, saatnya bangsa ini melanjutkan.
*Esai ini pertama kali ditayangkan di laman jalandamai.org
Leave a Comment