| 0 Comments | 50 Views

Card Image

Ilustrasi Kehidupan Non Muslim Pada Masa Kekhalifahan Umayah. Gambar by gemini

Pada periode kekuasaan Dinasti Umayah (selanjutnya disebut Umayah) yang berpusat di Damaskus, masyarakat terbagi ke dalam empat kelas. Kelas pertama ditempati oleh orang-orang muslim Arab, disusul orang muslim mawali, orang-orang dzimmi (non muslim) dan terakhir budak. Demikian disampaikan oleh Prof. Dudung Abdurrahman dalam karyanya yang berjudul Fenomena Multikulturalisme dalam Sejarah Islam Klasik.

Apa Itu Dzimmi?

Dzimmi adalah orang non muslim yang hidup di tengah kaum muslimin di bawah pemerintah muslim dan mereka membayar pajak. Pada awalnya, pajak yang dibebankan kepada dzimmi hanya pajak kepala (jizyah) saja, namun dalam perkembangan selanjutnya, mereka juga dibebani untuk membayar pajak tanah (kharaj). Prof. Abdul Karim menerangkan bahwa jizyah adalah pajak keamanan yang ditarik dari laki-laki dewasa non muslim, yang apabila ikut berperang terbebas dari jizyah. Hasil dari pengumpulan pajak tersebut dialokasikan pada pos-pos untuk gaji, pakaian, makanan, dan peralatan ketentaraan.

Istilah dzimmi pertama kali diterapkan hanya kepada ahl al kitab yakni Yahudi, Kristen, Shabian (bukan orang-orang saba) tapi dalam perkembangannya juga mencakup pada penganut Zoroaster dan lainnya. Mereka semua ditempatkan di posisi yang sama dengan kelompok keagamaan yang terikat dengan perjanjian untuk saling menghormati kebebasan beragama.

Posisi Dzimmi dalam Pemerintahan

Pada masa Umayah, sebagian dzimmi menempati beberapa posisi dalam pemerintahan. Bahkan Khalifah Muawiyah memiliki seorang istri dari dzimmi yang bernama Maysun. Ia merupakan istri yang paling disukai Muawiyah di antara istri-istrinya yang lain. Ia menganut agama Kristen sekte Yakobus.

Hitti, dalam History of The Arabs menyebut Maysun memiliki peran besar dalam mendidik Yazid sebagai penerus Muawiyah. Ia sering mengajak Yazid ke badiyah gurun pasir Suriah yang menjadi tempat bagi Yazid belajar berburu, menunggang unta, memeras anggur, dan menggubah syair. Sejak saat itu, badiyah menjadi sekolah bagi para putra mahkota Umayah, tempat belajar bahasa arab murni.

Selain Maysun, ada beberapa orang dzimmi Kristen yang mendapatkan kedudukan penting dan memiliki peran selama kekuasaan Umayah. Sebut saja nama Manshur ibn Sarjun yang menyerah di Damaskus saat terjadi penaklukan Arab. Ia berasal dari keluarga Kristen terhormat. Beberapa anggota keluarganya menduduki posisi penting sebagai pengawas keuangan negara pada masa akhir Byzantium. Dalam pemerintahan Umayah awal, ia menjadi kepala pengawas keuangan negara. Selain itu, cucu Manshur yang bernama St. John menjadi teman main Yazid.

Orang Kristen lainnya yakni Ibn Utsal diangkat menjadi dokter khalifah yang kemudian diangkat Muawiyah sebagai pengawas keuangan di provinsi Hims. Penobatan seorang Kristen dalam jabatan penting itu merupakan peristiwa pertama dalam sejarah Islam.

Pemerintahan yang Inklusif dan Toleran

Beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan Kekhalifahan Umayah merupakan pemerintahan yang inklusif dan toleran. Walaupun orang-orang non Muslim menempati kelas sosial nomor tiga dalam struktur masyarakat Umayyah, namun mereka mendapatkan tempat di dalam pemerintahan. Mereka diberikan kesempatan untuk berperan menyumbangkan kemampuan untuk menyokong pemerintahan Kekhalifahan Umayah.

Meskipun begitu, tentu saja, Kekhalifahan Umayah tidak asal-asalan dalam mengangkat seorang dzimmi menjadi bagian pemerintah. Hanya dzimmi yang memenuhi kriteria lah yang diberi jabatan. Mereka akan diberikan posisi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Kekhalifahan Umayah yang jaraknya ribuan tahun dari era saat ini, sesungguhnya telah memberikan teladan bagi kita semua. Bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk bersatu dan bekerja sama. Agama bukan menjadi peretak, tapi sebagai lem perekat. Semoga kita bisa meneladani Umayah yang tidak anti terhadap orang-orang non muslim.

*Esai ini pernah tayang di laman islamkaffah.id pada 17 Mei 2024. 


Leave a Comment