| 0 Comments | 87 Views
DISTRIBUSI “WARISAN” MASYARAKAT ADAT JAWA MENURUT HUKUM ISLAM
(Pengabdian dan Penyuluhan Hukum waris islam di Masjid at-Taqarrub, Desa Onggopatran Srimulyo Kec. Piyungan Kab. Bantul)
Shohibul Adhkar, L.c., M.H.
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
Sabtu, 26 Agustus 2023
الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على سيدنا محمد الصادق الوعد الأمين. اللهم لا علم لنا إلا ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم، اللهم علمنا ما ينفعنا وانفعنا بما علمتنا وزدنا علما، وأرنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه، واجعلنا ممن يستمعون القول فيتبعون أحسنه، وأدخلنا برحمتك في عبادك الصالحين.
Alhamdulillah segala puja dan puji syukur diucap untuk sang Dzat yang maha suci Allah SWT, Atas segala karunia cintanya yang tak pernah pamrih dan tak lekang oleh waktu. Sehingga denganNya sang al Rahman al-Rahim kitab bisa berkumpul di tempat yang penuh dengan keberkahan ini. Shalawat salam atas junjungan nabi tercinta, manusia kekasih Allah yang dengan cahayanya Nikmat islam dikecap, Rosulullah Muhammad SAW. Semoga kelak kita semua mendapatkan syafaat dari Beliau. Aminn, mengawali penyuluhan malam ini izinkan saya mengutip sebuah hadis:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
Rasulullah SAW bersabda: "Wahai Abu Hurairah, belajarlah faraid dan ajarkanlah, karena sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu, dan ilmu itu akan dilupakan dan ia adalah yang pertama kali dicabut dari umatku
Bapak ibu jamaah masjid at-Taqarrub yang dimuliakan Allah “warisan” dalam Islam mempunyai bagian yang paling detil dan jelas dalam dasar hukum normatif. Dalam QS. al-Nisa’ 4:7-12 dijelaskan dengan jelas bagian masing-masing ahli waris. Dengan beberapa hadis penjelas mengenai “warisan”, sehingga ilmu faraid menjadi satu-satunya ilmu yang paling detil penjelasannya. Tak dipungkiri Ilmu faraid menjadi bagian dari kurikulum setiap pendidikan agama. Disamping urgensinya yang besar dan juga perhatian agama yang lebih ditunjukan dalam bentuk nas yang jelas. Bahkan sholat yang notabene menjadi tiang agama tidak dijelaskan sedetil faraid dalam Alquran.
Namun uniknya ketika ilmu faraid gencar diajarkan dimana-mana beserta nas pendukungnya yang jelas, tapi banyak didapati distribusi “warisan” yang sesuai faraid menjadi sarana terakhir ketika distribusi tersebut tersandung konflik. Sehingga muncul tanda tanya besar dalam diri saya, ada apa dengan ilmu faraid yang telah Allah naskan dengan jelasnya. Apakah lantas ilmu faraid ini sudah tidak menjadi solusi utama dalam distribusi “warisan”. Atau apakah ilmu faraid ini tidak relevan lagi sebagai rujukan utama dalam distribusi “warisan” dewasa ini. Ataupun ilmu ini sudah menjadi solusi namun perlu adanya manajemen konflik yang memadai agar konflik dalam distribusi “warisan” bisa diminimalisir.
Jarangnya Ilmu faraid dipakai, sehingga bisa diamini tentang hadis bahwa ilmu faraid menjadi ilmu yang pertama kali akan diangkat dari bumi. Disatu sisi adanya Kompilasi Hukum Islam sebagai payung Hukum Islam di Indonesia, sekalipun asasnya masih dalam wadah Inpres, namun gaung KHI dalam masyarakat belum terlalu terdengar, terlebih KHI hanya dijadikan pijakan masalah waris diranah litigasi. Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim masih tergolong dari beberapa macam kependudukan, sehingga berimbas pada tiga hukum waris yang berjalan;[1]
1. Hukum Waris Adat, yang lebih terkenal dengan hukum waris bagi orang Indonesia pribumi dan hukum ini terdapat tiga golongan utama yaitu Matrilineal yang mengikuti garis keturunan perempuan, Patrilineal yang mengikuti garis keturunan pria dan Bilateral yang menganut kedua garis keturunan secara adil dan seimbang.
2. Hukum Waris Islam, ini berlaku untuk orang Indonesia yang beragama Islam.
3. Hukum Waris Barat yang merujuk kepada KUH Perdata dan Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku untuk orang golongan Eropa ataupun Timur Asing.
Jika melihat tiga macam hukum tersebut maka umat Islam haruslah menggunakan hukum waris Islam. Namun fenomena yang sering terjadi dilapangan seringkali hukum waris adat masih menjadi solusi utama. Contohnya adat Jawa, hal ini terjadi karena sedikit dari kita yang mengetahui ilmu Faraid, namun dari mereka menghindari konflik yang sering terjadi ketika distribusi tersebut, sehingga memilih langkah preventif dengan cara yang lain. Yaitu distribusi “warisan” yang diatur secara kekeluargaan. Tidak dipungkiri disamping background pendidikan masyarakat yang minim mengenai ilmu faraid, juga langkah mufakat antar keluarga masih menjadi solusi dalam menghindari konflik internal dalam keluarga.
Kalimat “warisan” yang seharusnya adalah sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik; harta pusaka[2] atau mental. Pengalaman saya dalam penelitian banyak yang menganggap “warisan” yang dimaksud adalah semua harta pewaris sebelum atau sesudah meninggal. Maka terdapat tiga macam akad yang bila diurutkan dari ketika pewaris selama hidup; hibah, sebelum pewaris meninggal adalah wasiat dan setelah pewaris meninggal maka dibagi dengan faraid. Disini coba mari kita bedah satu persatu.
Yang pertama Akad Hibah. Definisi hibah secara bahasa bermakna pemberian, hadiah atau sedekah dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain; [3] Adapun definisi lainya yaitu memiliki seuatu barang tanpa membayar ganti, semasa hidup.[4] Dalam KHI dijelaskan Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.[5]
Beberapa pendapat ulama tentang hibah seperti yang disampaikan Sayid Sabiq dan A. Hassan bahwa hibah adalah pemberian seseorang kepada para ahli warisnya, sahabatnya, atau pada urusan umum sebagian dari pada harta benda kepunyaanya atau seluruh harta benda kepunyaanya sebelum meninggal dunia.[6] Dalam hal ini barang yang diberikan tidak boleh dikembalikan lagi.
Dalam Alquran hibah termaktub dalam beberapa ayat dalam bentuk pemberian secara suka rela atau ikhlas. Dalam hal ini hibah kepada ahli waris termasuk dalam cakupan besar kandungan QS. Al-Baqarah 2;177. Sebagaimana berikut;
وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ
Artinya … memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
Ayat ini menjelaskan bahwa hibah adalah satu dari beberapa amalan kebajikan setelah beriman Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Setelah beriman seorang muslim baru dianjutkan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan seterusnya. Juga di akhir ayat ini menjelaskan kebajian yang mereka lakukan menjadikan mereka tergolong dari orang-orang yang benar (imannya) dan juga orang-orang yang bertakwa. Dalam ayat ini kerabat menjadi urutan pertama dalam hibah termasuk didalamnya adalah anak kandung. Maka selayaknya seseorang melakukan hibah mendahulukan keluarganya sesuai dengan urutan yang ada dalam ayat ini. Tentunya adanya urutan ini dalam Alquran bukan tanpa makna, melainkan adanya maksud prioritas dalam memberikan hibah harta yang dicintai. Dalam hadis juga dijelaskan hibah dalam konteks ini sebagai berikut;
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَال إِنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا فَقَالَ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارْجِعْهُ[7]
Artinya; dari Nu'man bin Basyir dia berkata, "Suatu ketika bapaknya membawa dia menemui Rasulullah SAW sambil berkata, "Sesungguhnya saya telah memberi anakku ini seorang budak milikku. "Kemudian Rasulullah SAW bertanya:"Apakah setiap anakmu kamu beri seorang budak seperti dia?" Bapakku menjawab, "Tidak." Maka Rasulullah SAW bersabda: "Kalau begitu, ambillah kembali."[8]
Hadis ini menguakan inti dari ayat sebelumnya secara detil. Dalam hadis ini hibah orang tua kepada anak kandung haruslah adil. Bila tidak maka harus dikembalikan dan dibagikan kembali secara adil. Dalam KHI diatur pada Pasal 211 Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai Warisan.
Yang kedua adalah Akad Wasiat. Definisi wasiat adalah pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal yang biasanya berkenaan dengan harta kekayaan dan lain-lainya. [9] Sedangkan secara terminologi dalam KHI dijelaskan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.[10] Akad ini sama dengan praktik wasiat dalam adat jawa, terlepas dalam keadaan sakit parah ataupun tidak. Dalam kajian wasiat secara umum bisa berupa apa saja kepada siapa saja. Namun secara khusus penyebutan wasiat dalam Alquran sebelum dihapus oleh sistem waris disebutkan bahwa wasiat adalah untuk orang tua ataupun ahli waris. Sedangkan justru sering terjadi wasiat di kalangan kita yang diwasiatkan untuk ahli waris. Adapun dasar Hukum Wasiat termaktub dalam QS. Al-Baqarah 2;180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf [11], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat ini secara jelas diperintahkan bagi umat muslim untuk berwasiat kepada orang tua dan kerabat dengan syarat tidak lebih dari sepertiga harta. Dalam kitab Tafsir Jalalain hukum wasiat dalam ayat ini telah di naskh dengan dalil-dalil dalam ilmu Faraid sebagai mana berikut;
أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ فِي خُطْبَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ: «لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ الْوَرَثَةُ»[12]
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda dalam khutbahnya di hari Ied Adha” tidaklah ada wasiat untuk para pewaris kecuali bila warisan itu memungkinkan.[13]
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنْ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا فَقُلْتُ بِالشَّطْرِ فَقَالَ لَا ثُمَّ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيرٌ أَوْ كَثِيرٌ إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ[14]
dari 'Amir bin Sa'ad bin Abu Waqash dari bapakknya radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah SAW pernah mengunjungiku pada hari Haji Wada' (perpisahan) saat sakitku sudah sangat parah, lalu aku berkata:"Sakitku sudah sangat parah (menjelang kematianku) dan aku banyak memiliki harta sedangkan tidak ada yang akan mewarisinya kecuali anak perempuanku. Bolehkah aku menyedekahkan sepertiga dari hartaku ini?. Beliau menjawab: "Tidak boleh". Aku katakan lagi: "Bagaimana kalau setengahnya?". Beliau menjawab: "Tidak boleh". Kemudian Beliau melanjutkan: "Sepertiga dan sepertiga itu sudah besar atau banyak. Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka serba kekurangan sehingga nantinya mereka meminta-minta kepada manusia. Dan kamu tidaklah menginfaqkan suatu nafaqah yang hanya kamu hanya niatkan mencari ridha Allah kecuali kamu pasti diberi balasan pahala atasnya bahkan sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk mulut isterimu".[15]
Bila merujuk asbabun nuzul ayat diatas Ulama kontemporer dari Mesir; Syaikh Sya’rowi, menjelaskan bahwa dahulu ketika seseorang meninggal, ia akan memberikan seluruh hartanya kepada anaknya, lalu melupakan orang tua yang telah membesarkannya. Sehingga dalam ayat ini ditekankan memberikan harta yang baik kepada orang tuanya sebagai wasiat baru setalah itu kepada kerabatnya. Dan ayat ini turun lebih dulu sebelum disyariatkan hukum waris. [16]
Dalam KHI beberapa pasal mengenai wasiat untuk ahli waris khususnya anak kandung sebagai berikut; Pasal 194
(1) Orang yang telah berumur sekurang 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat wasiatkan sebagian Harta bendanya kepada orang lain atau lembaga
(2) Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
(3) Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
(1) Wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris.
(2) Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui
(3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris
(4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
Pasal 196
Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.
Pasal 201 Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.
Distribusi wasiat dalam islam telah dibatasi dalam oleh hukum faraid. Dimana wasiat tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan. Namun dalam lingkup kajian yang dibahas yaitu konteks keindonesiaan telah ada KHI yang mengatur dalam distribusi wasiat. Sehingga seharusnya setiap pewasiat memperhatian ketentuan yang ada dalam KHI ketika memberikan wasiat. Karna wasiat dalam konteks pemberian “warisan” sering tercampur dengan hibah. Sekalipun pada praktiknya sistem wasiat dalam distribusi “warisan” jarang digunakan. Namun ketentuan adanya saksi dan hitam diatas putih dalam distribusinya menjadi penting melihat urgensinya terutama dalam menghindari konflik pasca meninggalnya pewasiat.
Yang ketiga adalah Hukum Waris Islam. Warisan secara etimologi berarti sesuatu yg diwariskan, seperti uang, harta pusaka. [17] Secara terminologi warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.[18] Dalam KHI Harta waris atau warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.[19]
Dalam fikih, warisan dikenal dengan al-Irs yang artinya suatu barang peninggalan dan bisa disebut juga dengan mirasth,[20] atau at-tirkah seperti yang tercantum pada QS. al-Nisa>’ 4:7.
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Sedangakan terminologi lainya juga bisa disebut dengan faraid seperti yang tercantum dalam sebuah hadis berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي[21]
Rasulullah SAW bersabda: "Wahai Abu Hurairah, belajarlah faraid dan ajarkanlah, karena sesungguhnya dia adalah setengah dari ilmu, dan ilmu itu akan dilupakan dan dia adalah yang pertama kali dicabut dari umatku.[22]
Hukum waris telah ternas secara jelas dalam QS. al-Nisa’4:7. juga dalam hadis nabi kepada Abu Hurairah seperti yang telah tercantum sebelumnya. Bila dikaji lebih lanjut hadis tersebut menjelaskan urgensi ilmu faraid dan anjuran mempelajarinya sehingga disebut sebagai ilmu pertama yang akan dicabut dari muka bumi. Hal ini dikuatkan dengan bait-bait matan Rohabiah sebagai berikut;
وان هذا العلم مخصوص بما ... قد شاع فيه عند كل العلما
بأنه اول علم يفقد ... في الارض حتى لا يكاد يوجد
Sesungguhnya ilmu ini (ilmu faraid) ini dikhususkan[23] sehingga terkenal diseluruh kalangan ulama bahwa dia (ilmu faraid) adalah ilmu pertama yang akan hilang di bumi. Bahkan seakan tiada sebelumnya.[24]
Waris dalam KHI mempunyai karakteristik faraid yang khusus, terutama konteks masyarakat Indonesia. Sebagaimana berikut;
Pasal 171
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan baik yang berupa benda yang menjadi. miliknya maupun hak haknya
Pasal 174
Kelompok kelompok ahli waris terdiri dari:
a. Menurut darah
Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman dan kakek
Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek,
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda
2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapai warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Pasal 175
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai
b.menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
c. menyelesaikan wasiat pewaris
d. membagi harta warisan di antara wahli yang berhak, tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban peninggalannya. terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalanya.
Pasal 181
Bila saudara perempuan bersama- sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih maka mereka bersuma sama mendapat dua pertiga Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudan laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara lelaki dua berbanding satu dengan saudara perempuan
Pasal 183
Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya
Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris enin maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali la men mereka yang tersebut dalam Pasal 173
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti meninggal
Dalam Distribusi “warisan” ada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa nabi memerintahkan agar warisan diberikan kepada ahli waris yang berhak atas hak tersebut, sebagai mana berikut;
عَنْ النَّبِيِّ قَالَ أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ[25]
Nabi SAW bersabda: "Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya). "[26]
Dengan adanya perintah diatas maka wajib bagi umat islam memberikan ahli waris sesuai dengan ketentuan faraid seperti yang tercantum dalam QS. an-Nisa’ 4:11-12 disana disebutkan siapakah ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, beserta bagian-bagian ahli waris dengan segala ketentuanya. Sebagaimana berikut:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka dia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Dan bagimu setengah bagian dari harta warisan isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Dari ayat diatas ahli waris dapat disederhankan dalam dua macam kategori. Kategori laki-laki dan perempuan, seperti yang tercantum dalam matan Rohabiah sebagai berikut;[27]
والوارثون من الرجال عشرة ... أسماؤهم معروفة مشتهره
الإبن وابن الإبن مهما نزلا ... والأب والجد له وإن علا
والاخ من أى الجهات كانا ... قد أنزل الله به القرآنا
وابن الاخ المدلي إليه بالأب ... فاسمع مقالاً ليس بالمكذب
والعم وابن العم من أبيه ... فاشكر لذي الإيجاز والتنبيه
والزوج والمعتق ذو الولاء ... فجملة الذكور هؤلاء
ahli waris laki-laki terdiri dari 10 orang yaitu; Anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki dari kandung, sebapak, atau seibu. Dan anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak. Dan paman dari bapak ataupun anak laki-laki dari paman tersebut. Dan suami lalu hamba sahaya.
والوارثات من النساء سبع ... لم يعط أنثى غير هن الشرع
بنت وبنت إبن ةأم مشفقه ... وزوجة وجدة ومعتقه
والأ خت من الجهات كانت ... فهذه عدتهن بانت
Ahli waris perempuan adalah anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki. Ibu, nenek, hamba sahaya, saudara kandung, seibu, sebapak.
Hukum waris adat sendiri adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunanya. Hukum waris adat dalam hal ini untuk membedakan dengan hukum waris lainya yang berlaku di Indonesia.[28]
Disamping distribusi warisan sesuai dengan kaidah dan hukum islam baik secara fikih maupun di Indonesia terdapat juga beberapa praktik distribusi “warisan” dalam mufakat secara praktik sama dengan model-model hukum waris adat. Bila dikaji distribusi “warisan” semenjak hidup hingga pasca meninggal pewaris maka terdapat beberapa model distribusi sebagaimana berikut:[29]
Penerusan atau pengalihan. Penerusan atau pengalihan kedudukan atau jabatan adat, hak dan kewajiban dan harta kekayaan kepada ahli waris, terutama kepada anak laki tertua. Sehingga penguasaan dan kepemilikan atas harta kekayaan sebelum pewaris wafat dari pewaris dialihkan atau diteruskan kepada ahliwaris. Terutama dalam adat Jawa biasanya kepada anak tertua lelaki. Dengan melalui musyawarah adat ataupun mufakat kekekrabatan.
Penunjukan. Penunjukan menyerupai penerusan diatas tetapi penguasaan atas harta kekayaan dari pewaris baru berlaku dengan sepenuhnya setelah pewaris wafat. Secara praktik pewaris masih mempunyai hak atas pengurusan, pemanfaatan, dan penikmatan hasil dari harta yang ada selama sebelum meninggal. Adapun penerima penunjukan hanya mempunyai hak pakai dan hak menikmati secara terbatas.
Pesan. Pesan atau wasiat menyerupai penunjukan hanya saja si penerima wasiat baru mempunyai hak untuk memiliki dan menikmati sepeninggalan pewaris.
Begitu juga waris. Waris atau pemberian harta warisan kepada ahli waris setelah menyelesaikan segala sangkut paut pewaris ketika hidupnya dan pengurusan waris yang ditinggalkan guna kelangsungan hidup ahli warisnya. Dalam hukum waris adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem, dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahliwaris, serta cara bagaimana harta warisan itu dialih penguasaan dan pemilikanya dari pewaris kepada waris.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran al-Karim
Abdullah, Amin dkk, Metodologi Penelitian Agama Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006.
Abdurrahman, Muslan Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Cet. I. Malang; UMM Press; 2009.
ad-Dimasyqi, Imam Muhammad Badruddin Syarh Rahabiah. Cet. I, Jeddah; Daar Thala’i’, 2009.
Anis, Ibrahim dkk, Mu’jamu al-Wasith , Juz I , Cet. III. Maktabah Syamilah.
An-Nawawi, Imam. Syarh Shohih Muslim, Juz XI, Cet, Cairo. Maktabah Mashriah lil-Azhar; 1930.
As-Sya’rowi, Imam, Tafsir as-Sya’rowi. Juz II. Maktabah Syamela
David,Fred R. Strategic Management Concepts And Cases, Cet. XIII, New Jersey. Pearson Education Inc; 2011.
Darul Quthni, Imam, Sunan Darul Quthniy, Juz V, Cet. I; Ar-Risalah, 2004.
Hadi, Hilman Kusuma, Hukum Waris Adat, Cet. VII, Bandung, Citra Aditya Bakti; 2003.
Hajar, Ibn Fathul Baari, Juz XII, Maktabah Salafiah.
Herdiansyah, Haris Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Salemba Humanika, 2010.
Hendricks, William Bagaimana Mengelola Konflik. Cet. IV. Jakarta, Bumi Aksara. 2001.
Jalaluddin, Imam al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Juz I, Maktabah Shamela.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. XVI, Jakarta; Diknas; 2008.
Kompilasi Hukum Islam,
Majah, Ibn,Sunan Ibnu Majah, Juz. II. Maktabah Syamilah.
Mawardi, Ahmad Imam. Fiqh Minoritas, cet. I, LkiS, Yogyakarta, 2010
Miall, Hugh, Dkk. Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Cet. II. 2002; Raja Grafindo Persada; Jakarta.
Muhammad,Jamaluddin ibn Makram, Lisanu al-Arab, Juz I. Beirut: Dar al-Shadir.
Muthi’i, Najib Muhammad, Majmu’ Syarh Muhazzab. Juz 13, Jeddah. Maktabah al-Irsyad.
Muhajir, Noeng,Metode Penelitian Kualiitatif, Yogyakarta: Rake Sarasia, 1996.
Narwoko, Dwi& Bagong Suyanto. Sosiologi Teks & Terapan, Ed. II, Cet. III Jakarta, Kencana. 2007.
Nawawi, Imam Majmu’ Syarh Muhazzab. Juz. XVI, Jeddah. Maktabah al-Irsyad.
Nawawi, Imam , Syarh Shohih Muslim, Juz XI, Cet. I Cairo; Maktabah Mashriah lil-Azhar; 1930.
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. I. Bina Aksara; 1987.
Patilimia, Hamid Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2007.
Sab’I, Ahmad Hamid Salamah Ad-duroh al-Bahiyyah fi Ahkam al-Mirast wal-Washiyah.Cairo: Fak. Syariah Universitas al-Azhar; 2011.
Sayuti, Husein Pengantar Metodologi Riset, Jakarta: Fajar Agung, 1989.
Salim Hs, Erlies S.N, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Desertasi. Cet.I, Jakarta; Rajawali Press; 2013.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi, Metodologi Penelitian, Jakarta: LP3ES, 1998.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Cet. I. Jakarta; 2006; Raja Grafindo Persada.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Cet. II. Jakarta. Rineka Cipta. 1994.
Susan, Novri. Sosiologi Konflik & Isu-isu konflik Kontemporer. Cet. I, Jakarta Kencana; 2009.
Syakroni, M. Konflik Harta Warisan, Cet. I. Yogyakarta; Pustaka Pelajar; 2007
Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik, Teori, Aplikasi dan Penelitian Jakarta Salemba Humanika. 2010.
Sibra, Ali Malisi, Praktik Distribusi Warisan Harta Gono-gini. Tesis Program Studi al-Ahwal as-Syahsiah Pasca Sarjana Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2013.
Jannah, Shofiatul, Kedudukan Wasiat dalam sistem kewarisan Islam prespektif Muhammad Shahru dan relevansinya dengan sistem kewarisan di Indonesia. Tesis Program Studi al-Ahwal as-Syahsiah Pasca Sarjana Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014
Pua Tingga, Muharram, Kedudukan Ahli Waris Perempuan Dalam Hukum Waris Adat Perspektif Gender, (studi kasus di suku Lio Kab. Ende NTT) Tesis Program Studi al-Ahwal as-Syahsiah Pasca Sarjana Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2017.
Bafadhal, Faizah, Analisis Tentang Hibah Dan Korelasinya Dengan Kewarisan Dan Pembatalan Hibah Menurut Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol 4, 2013; Universitas Jambi. Jambi. SSN: 2087-5478.
“Sejarah dan Batas wilayah”, http://kel-Sedayu. malangkab. go. id/?cat=28, diakses pada tgl. 23 Mei 2016.
[1]Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat, Cet. VII (Bandung; Citra Aditya Bakti; 2003) hlm. 23-32.; Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. I (t ; Bina Aksara; 1987) hlm. 9.
[2] Kamus. hlm. 377.
[3] Kamus, hlm.520.
[4] Imam Nawawi, Majmu’ Syarh Muhazzab. Juz. XVI (Jeddah; Maktabah al-Irsyad. t. th) hlm 340.
[5] Kompilasi Hukum Islam. Pasal 171 ayat 4-6.
[6] Sudarsono, Hukum, hlm. 103.
[7] Imam an-Nawawi, Syarh Shohih Muslim, Juz XI, Cet. I (Cairo; Maktabah Mashriah lil-Azhar; 1930) hlm. 65.
[8] Hadis ini telah diceritakan kepada Yahya bin Yahya dia berkata; saya membacakannya di hadapan Malik; dari Ibnu Syihab dari Humaid bin Abdurrahman, dan dari Muhammad bin An Nu'man bin Basyir, kedua-duanya telah menceritakan dari Nu'man bin Basyir.
[9] Kamus, hlm.1618.
[10]Kompilasi Hukum Islam. Pasal 171 ayat 4-6.
[11] Makruf ialah adil dan baik.
[12] Imam Jaluluddin al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Juz I (t. t. Maktabah Shamela. t. th) hlm. 37.; Najib Muthi’i, Muhammad, Majmu’ Syarh Muhazzab. Juz 13. hlm. 421. Darul Quthni, Imam, Sunan Darul Quthniy, Juz V (Cet. I; Ar-Risalah, 2004) hlm. 172.
[13] Juga diriwayatkan dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya hadis ini diriwayatkan oleh Darul Quthni, Kajian mengenai hadis tersebut juga diterangkan mengenai keabsahanya yaitu Khattaby menjelaskan bahwa silsilah hadis tersebut terdapat perdebatan panjang namun para ulama fiqih telah telah menerimanya. Hadis ini adalah hadis munqoti’ namun hadis ini telah masyhur diterima oleh ulama. Namun Imam Syafi’i mengatakan bahwa sanad tersebut mutawatir.
[14] Hadis ini diceritakan dari 'Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Ibnu Syihab dari 'Amir bin Sa'ad bin Abu Waqash dari bapakknya. Ibn Hajar, Fathul Baari, Juz V, hlm. 365.
[15] فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا صَالِحًا إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً ثُمَّ لَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّة
Lalu aku bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah aku diberi umur panjang setelah sahabat-sahabatku?. Beliau berkata,: "Tidaklah sekali-kali engkau diberi umur panjang lalu kamu beramal shalih melainkan akan bertambah derajat dan kemuliaanmu. Dan semoga kamu diberi umur panjang sehingga orang-orang dapat mengambil manfaat dari dirimu dan juga mungkin dapat mendatangkan madharat bagi kaum yang lain. Ya Allah sempurnakanlah pahala hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang". Namun Sa'ad bin Khaulah membuat Rasulullah SAW bersedih karena dia akhirnya meningal dunia di Makkah.
[16]As-Sya’rowi, Tafsir as-Sya’rowi. Juz II. (t. t. Maktabah Syamela. t. th) hlm 757-758.
[17]Jamaluddin Muhammad ibn Makram, Lisanu al-Arab, Juz I (t.t : Beirut: Dar al-Shadir, t.th. ), hlm. 139.
[18]Hilman Hadi Kusuma, Hukum, hlm. 11
[19] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 ayat 4
[20] Ibrahim Anis dkk, Mu’jamu al-Wasith , Juz I , Cet. III (t.t.: Maktabah Syamilah , t.th.), hlm. 13.
[21] Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz. II (t. t. Maktabah Syamilah, t. th) hlm. 809.
[22] Hadis ini telah diceritakan dari Ibrahim bin Mundzir Al Hizami; telah menceritakan kepada Hafsh bin 'Umar bin Abu Al 'Ithaf; telah menceritakan kepada Abu Az Zinad dari Al A'raj dari Abu Hurairah.
[23] Dikhususkan yang dimaksud adalah adanya beberapa riwayat hadis nabi yang menganjurkan mempelajari ilmu faraid. Terlepas kualitas hadis tersebut, didalamnya nabi menyebutkan keagungan ilmu faraid yang bahkan disebut sebagai setengah dari ilmu.
[24] Imam Muhammad Badruddin ad-Dimasyqi, Syarh Rahabiah. Cet. I ( Jeddah; Daar Thala’i’, 2009) hlm. 6-7.
[25] Ibn Hajar, Fathul Baari, Juz XII, (tt. Maktabah Salafiah. t. th) hlm. 11
[26] Hadis diriwayatkan dari Musa bin Isma'il telah menceritakan kepada Wuhaib telah menceritakan kepada Ibnu Thawus dari bapaknya dari Ibnu 'Abbas ra.
[27] Imam Muhammad Badruddin ad-Dimasyqi, Syarh,hlm. 16-17.
[28]Hilman Hadi Kusuma, Hukum, hlm. 7.
[29]Hilman Hadi Kusuma, Hukum, hlm. 95-106.
Leave a Comment