| 0 Comments | 21 Views
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang memiliki redaksi yang mirip dan terkadang sama. Hal ini menjadi perhatian Ulama Alquran, khususnya para huffadz (penghafal Alquran), karena kemiripan ini sering kali menjadikan mereka keliru dalam membaca ayat- visualization Al Quran bi-lghaib (dari hafalan tanpa melihat mushaf), bahkan bisa saja pindah ke surat lain karena kemiripan tersebut.
Oleh karena itu, kita bisa temukan beberapa kitab yang membahas fenomena ini, seperti kitab Mutasyabihat Al-Qur'an karya ‘Ali al-Kisa’i (w. 189 H), dan di zaman sekarang ada beberapa mushaf yang dijelaskan di sampingnya ayat-ayat mirip, seperti al-Qur’an al-Karim wa-bihamisyihi az-Zahrawan fi Mutasyabihat al-Qur’an.
Di balik beberapa ayat-ayat mutasyabih ini (mirip redaksi, bukan ayat mutasyabih yang dibahas dalam topik muhkam-mutasyabih), ada makna dan faedah lughawiyyah/bahasa/balagah yang sebaiknya kita renungi. Coba perhatikan dua ayat berikut, yaitu Qs. Ibrahim: 34 yang berbunyi
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ، وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat Allah,” dan Qs. an-Nahl: 18 yang berbunyi
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا، إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat pertama menegaskan bahwa Allah telah mengabulkan permohonan dan doa serta memberikan apa yang manusia minta, meskipun terkadang kita tidak sadar akan hal ini, sebab itu ayat ini diakhiri dengan sifat kebanyakan manusia, yaitu tidak mensyukuri nikmat bahkan mengingkarinya, sementara ayat kedua diakhiri dengan sifat Allah yang Maha Pengampun atas kesalahan dan dosa hamba-Nya meski manusia itu sangat zalim dan tidak mensyukuri nikmat, namun karena sifat Allah ar-Rahim, nikmat-nikmat itu tetap diberikan kepada hamba-Nya. Kedua ayat ini berbicara soal level menghitung nikmat Allah, yang jika menghitung saja manusia tidak mampu, apalagi mensyukurinya dengan sungguh (haqq al-syukr).
Pada ayat pertama terdapat qira’ah syadzdzah (min kullin mā sa’altumūh—mā menjadi nafi—yang berarti “dari segala sesuatu, meski kalian tidak minta”), menunjukkan begitu banyak nikmat Allah yang tidak kita minta dan jarang kita sadari sebagai nikmat yang luar biasa, seperti seberapa banyak di antara kita yang setiap pagi berdoa, “Ya Allah, berikan kepada kami angin yang segar agar kita bisa bernapas, berikan air yang bersih agar kita bisa minum?” Sebagaimana Allah tanyakan dalam فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ.
Semoga di hari-hari terakhir dari bulan Ramadan ini, kita termasuk orang yang pandai bersyukur, serta termasuk orang-orang yang mendapat rahmat dan maghfirah Allah, dan dibebaskan dari api neraka, amin. Catatan editor: Tulisan ini saya ambil dari status Facebook Syaikh Jalil, guru tercinta yang baru wafat, dan saya muat ulang di blog ini karena beliau mempostingnya secara publik untuk semua orang. Menurut saya, status singkat ini adalah masterclass tadabbur al-Qurʾān yang mencerahkan, menggerakkan, dan memperdalam apresiasi terhadap al-Qurʾān, dengan pondasi keilmuan yang kuat. Buah pikiran Syaikh Jalil ini menjadi antidot bagi dua masalah interaksi umat Islam dengan al-Qurʾān: pendekatan skolastik yang kaya ilmu tapi kering, dan renungan ala motivator yang terdengar dalam namun kurang berbasis ilmu al-Qurʾān, bahkan kadang-kadang ngawur tak kepalang.
Leave a Comment