| 0 Comments | 116 Views
Ketertarikan sarjana Barat atas al-Qurʾān sejak awal memang tidak bisa dilepaskan dari upaya mereka memahami Bible. Al-Qurʾān yang mengandung materi-materi Biblikal menjadi teks yang menarik untuk dijadikan salah satu teks penyerta untuk mengetahui sejarah Bible di Timur Dekat di abad ketujuh. Pada masa tertentu, pernah ada persaingan antara sarjana-sarjana berlatar Yahudi dan Kristiani tentang tradisi manakah yang “dicontek” oleh al-Qurʾān - dan dengan demikian oleh Muhammad. Paradigma ini dikenal sebagai paradigma ‘peminjaman’ atau bahkan ‘peniruan’, dimana al-qurʾān dianggap sebagai derivasi kurang bermutu dari Bible.
Paradigma lama tersebut saat ini tidak lagi fashionable. Bukan hanya tidak dianggap tidak ‘sensitif’ ala ‘Orientalis’, tapi paradigma ini memang tampak tidak bisa lagi menjelaskan data-data inter-tekstualitas al-Qurʾān dan Bible secara memuaskan. Kini, al-Qurʾān telah dipandang sebagai teks yang memiliki ‘agensi’nya; tradisi (pos)-Biblikal yang ada di dalamnya bukan sekedar dipinjam, tapi diadopsi secara strategis untuk menawarkan sebuah pandangan alam yang khas. Mungkin tokoh yang paling penting dalam perubahan paradigma ini adalah Angelika Neuwirth. Ia berjasa mendemonstrasikan bagaimana al-Qurʾān sesungguhnya adalah ‘agen aktif’ yang turut berkompetisi dalam kontestasi teologis di akhir ‘masa Antik’.
Neuwirth memaparkan hasil risetnya di banyak karyanya. Namun, untuk ‘menyicipi’ bagaimana sarjana Jerman ini melihat posisi al-qurʾān terhadap Bible, juga peran pembacaan kronologis-diakronik dalam analisis itu, cukup kiranya untuk menyimak kultumnya di konferensi International Qur’anic Studies Association (IQSA), San Diego, bertajuk “Qur’anic Studies and Historical-Critical Philology: The Qur’an’s Staging, Penetrating, and Eclipsing of Biblical Tradition”. Di pidatonya itu, Neuwirth mengajak koleganya untuk melihat Al-Qur’an bukan hanya sebagai teks historis, tetapi juga sebagai artefak literatur yang hidup, yang berkembang bersama komunitasnya melalui tiga fase utama: staging (pementasan), penetrating (penetrasi), dan eclipsing (peliputan). Pendekatan ini, menurutnya, menuntut penggabungan filologi historis-kritis yang kontekstual dan holistik, sebuah langkah yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Al-Qurʾān dalam Segitiga Dinamis
Neuwirth memulai dengan kritik terhadap kecenderungan studi Al-Qur’an modern yang terpaku pada analisis fragmen teks, subteks Bibel, dan transmisi awal teks al-Qurʾān, tanpa melihat teks itu sebagai karya literatur atau intervensi epistemik terhadap tradisi Bibel. Ia mengusulkan pendekatan filologis yang terinspirasi Sheldon Pollock, dengan tiga lapis makna: tekstual (apa yang teks katakan), kontekstual (bagaimana teks dipahami dalam tradisinya), dan filologis (refleksi akademis kritis). Dalam pandangannya, Al-Qur’an muncul dari “segitiga qur’anik”: balāgh (proklamasi untuk komunitas), tanzīl (wahyu dari sumber transenden), dan hudā (petunjuk yang mereformasi pandangan dunia Arab pra-Islam). Segitiga ini mencerminkan kelahiran bersama teks dan komunitas, yang tak bisa dilepaskan dari konteks Mekah dan Madinah. Dari sini bisa dipahami mengapa pembacaan kronologis adalah mutlak bagi Neuwirth dan mazhabnya.
Fase Pertama: ‘Mementaskan’ Tradisi Biblikal
Menurut Neuwirth Di awal perkembangannya di Mekah, Al-Qur’an “mementaskan” tradisi Bibel lewat teks-teks pendek yang menyerupai Mazmur. Neuwirth menunjuk pada Surah Al-Muzzammil (Q 73:1-10), yang menggambarkan vigili malam sebagai latar turunnya wahyu. Istilah Qur’ān di sini merujuk pada teks liturgis berbahasa Arab, mirip Mazmur, dengan kesamaan seperti pada Mazmur 119:62 atau 113:1. Pembacaan berjamaah atas teks ini bukan hanya milik Nabi Muhammad, tetapi menjadi bagian dari identitas spiritual komunitas awal yang mengikutinya. Dalam fase ini, Al-Qur’an berperan sebagai jembatan liturgis, menghubungkan tradisi Bibel dengan pengalaman keagamaan Arab, seolah-olah “menampilkan” Mazmur dalam bahasa lokal.
Fase Kedua: ‘Membedah’ dunia Bibel
Pada periode Mekah tengah, komunitas Islam mulai menyadari posisinya dalam sejarah keselamatan Bibel. Neuwirth menyebut ini sebagai “penetration”, sebuah proses pembedahan di mana Al-Qur’an masuk ke dunia tekstual Bibel melalui narasi seperti kisah Musa dalam Surah Taha (Q 20). Dalam kisah panggilan Musa di semak yang terbakar (Q 20:9-15), Allah digambarkan sebagai Tuhan universal, bukan Tuhan khusus satu kaum seperti dalam Keluaran 3:6, dengan penekanan pada eskatologi ketimbang janji historis. Pendekatan tipologis muncul di sini: Musa menjadi cerminan Muhammad, dan pengalamannya divalidasi (tasdīq) oleh tradisi sebelumnya, bukan sekadar memenuhi janji Bibel seperti dalam tipologi Kristen.
Perubahan ini juga terlihat dalam ritual. Komunitas awal pengikut Nabi Muhammad mengadopsi Yerusalem sebagai kiblat, menandakan ekspansi simbolis ke tanah suci Biblikal. Surah-surah yang lebih panjang pada masa ini menunjukkan transisi dari ritual berbasis gerakan ke kontinuitas tekstual, dengan Al-Qur’an mulai diposisikan setara dengan Bibel. Neuwirth menegaskan bahwa Bibel yang ditemui di Mekah adalah “Bibel yang ditafsirkan” (interpreted Bible), tradisi lisan yang tersebar di akhir zaman antik, bukan teks kanonik tertulis.
Fase Ketiga: ‘Menutupi’ Otoritas Bibel
Di Madinah, dinamika berubah lagi saat komunitas bertemu dengan orang-orang Yahudi, yang membawa Bibel Ibrani dalam bentuk lebih konkret, terutama melalui liturgi seperti Yom Kippur. Neuwirth menyoroti sisipan Madinah dalam Surah Taha (Q 20:80-82), yang menggeser peran Musa dari teladan profetik menjadi kritik terhadap hukum Yahudi di masanya. Dalam kisah Anak Lembu Emas (Q 20:83-99), Al-Qur’an menghapus dosa kolektif Israel—yang dalam tradisi Yahudi sangat tragis—dan menyalahkan al-Sāmirī, seorang asing. Sisipan ini juga memperkenalkan konsep kemarahan ilahi (ghadab), mengaitkan hukum-hukum Yahudi terkait makanan halal dan haram dengan narasi hukuman, mencerminkan dialog dengan liturgi Yom Kippur (Keluaran 34:6-7).
Di fase ini, Muhammad melampaui Musa. Ia bukan lagi sekadar rasul yang mengikuti jejak nabi sebelumnya, tetapi menjadi otoritas spiritual dan yang memiliki sistem hukum mandiri. Tipologi Bibel ditinggalkan, dan komunitas Islam membangun identitas teologis sendiri, “meliput” otoritas Musa dengan peran baru Nabi Muhammad sebagai pemimpin yang mereformasi hukum dan membangun ulang sebuah umat dengan identitas distingtif.
‘Late Antiquity’ Sebagai Konteks Al-Qurʾān
Neuwirth mengaitkan perkembangan ini dengan lingkungan intelektual zaman antik akhir (late antiquity) di Arab, khususnya di Mekah dan Madinah. Di Mekah, tradisi lisan Bibel dan praktik liturgis membentuk Al-Qur’an awal. Di Madinah, dialog dengan Yahudi memperkaya teks dengan elemen baru, seperti kritik terhadap hukum diet dan reinterpretasi sejarah keselamatan. Ia juga menyoroti peran puisi Arab sebagai matriks yang “mengarabkan” tradisi Bibel, misalnya dalam menjawab pertanyaan eksistensial tentang transitoriness melalui eskatologi dan ciptaan, bukan janji historis khusus seperti dalam tradisi Yahudi.
Pendekatan diakronis Neuwirth, yang melacak perkembangan Al-Qur’an sebagai respons terhadap pendengarnya, selaras dengan tradisi Islam seperti asbāb al-nuzūl, tetapi lebih ketat dalam fokus pada konteks diskursif internal teks. Ia menantang sarjana untuk melihat Al-Qur’an sebagai “drama lisan” yang berkembang bersama komunitas, bukan sekadar sebuah teks tunggal yang tidak lagi menggambarkan proses ‘komunikasinya’ pada audiens awal.
Namun, pendekatan ini tak lepas dari tantangan. Mengasumsikan historisitas narasi tradisi Islam tentang asal-usul Al-Qur’an, bahkan tentang kemungkinan untuk menyusun sebuah kronologi ‘pewahyuan’ yang meyakinkan masih cukup kontroversial, terutama di kalangan sarjana yang skeptis terhadap sumber-sumber awal. Meski begitu, Neuwirth bersikeras bahwa mengabaikan konteks historis sama saja kehilangan kunci untuk memahami pertumbuhan teks dan komunitasnya. Bagi Neuwirth dan murid-muridnya, utamanya Sinai saat ini, pendekatan ini terbukti bisa menghasilkan ‘model’ yang paling bisa menjelaskan data-data yang ditemui dalam al-Qurʾān. Baru-baru ini, Sinai terlibat polemik hangat dengan mereka yang skeptis itu, semoga besok-besok reviewnya bisa dimuat di blog ini.
Leave a Comment