| 0 Comments | 287 Views

Gelap pekat menyelimuti perairan lepas Somalia ketika Letnan Dua Marinir Rizal meluncur dari perahu karet, merangkak di atas ombak gelap yang gemuruh. Tubuhnya yang kecil tampak hampir tak terlihat, seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan laut malam. Memakai baju hitam yang merapat erat ke tubuhnya, Rizal mempercepat gerakannya, memotong gelombang dan menyesaki lautan menuju pantai terpencil di Laasqoray.

Tangan Rizal menyusur air, dan detik-detik berikutnya penuh dengan kehati-hatian. Tas kecil berisi peralatan Taipur bergelantungan di pinggangnya, tetap terjaga di antara ayunan tubuhnya yang lincah. Suara ombak pecah dan bunyi angin malam menciptakan latar belakang seram, namun tekad Rizal tidak goyah.

Ketika jam menunjukkan pukul 1 pagi, Rizal mulai merasakan dingin menyelinap ke dalam kulitnya. Meskipun bulan Maret memberikan kelembutan pada suhu air, tetapi kegelapan dan keheningan sekitar menambahkan nuansa misteri dan ketegangan dalam misi ini.

Didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan tugasnya dengan sempurna, Rizal terus berenang di tengah laut lepas, mencari pantai yang dijanjikan, untuk selanjutnya menuju kota kecil Badhan. Matahari tak segera muncul, dan ia bergantung pada rasa dan instingnya untuk membimbingnya di tengah gelapnya malam.

Setelah sekitar satu jam berenang, Rizal mulai melihat siluet pantai yang samar. Dengan gerakan yang semakin taktis, ia melanjutkan perjalanan renangnya menuju tujuan. Wajahnya yang tenang tidak memperlihatkan tekanan yang ada, tetapi hatinya berdebar-debar dalam antisipasi akan tugas berat yang menantinya di kota kecil yang tenang dan tampak damai ini.

Rizal terus berenang menuju pantai Laasqoray, hatinya dipenuhi dengan harapan dan ketegangan. Saat ia mendekati pantai, siluet gelap terlihat, dan ia merasakan pantulan cahaya samar dari bulan yang menerangi lautan malam. Sesekali, suara riak ombak dan desiran angin menyambutnya di tengah gelapnya malam Somalia.


Sesampainya di pantai, Rizal dengan cermat memanjat batu karang yang kasar, dan setelah beberapa langkah, langkah-langkahnya bertemu dengan pasir lembut pantai. Di tengah kegelapan, ia melihat sosok yang tegap berdiri di depannya. Umar, teman sekosnya di Surabaya, kini menjadi teman yang setia dalam misi ini.

"Umar, Assalamualaikum" bisik Rizal dengan suara lembut, mencoba untuk tetap merahasiakan keberadaannya di bawah bayangan malam.

Umar menoleh dengan cepat, mengenali suara yang sudah tidak asing baginya. Sorot mata Umar menyala di kegelapan, dan senyumnya terpancar di wajahnya yang berkulit hitam. "Rizal, wa alaikumsalam! Lama tidak bertemu, teman," ucap Umar dengan gembira.

Keduanya saling berpelukan, mengekspresikan kegembiraan atas pertemuan yang tak terduga ini di tengah perairan yang berbahaya. Meskipun gelap, mereka dapat merasakan kehadiran satu sama lain, pertanda solidaritas dan persahabatan yang tetap utuh meskipun di ujung dunia ini.

Umar memandang Rizal dengan penuh kebanggaan, "Apa yang membawamu ke sini, teman?"

Rizal tersenyum, "Ada tugas yang harus saya selesaikan di sini, Umar. Kita harus bekerja sama."

Umar mengangguk, memahami bahwa malam itu membawa misi yang penting. Dalam gelapnya malam dan di bawah bayangan bulan, mereka merencanakan langkah-langkah berikutnya, sambil tetap mengingat kenangan indah mereka di Surabaya yang membentuk dasar persahabatan mereka. Tugas berat menanti, tetapi dengan kebersamaan mereka, Rizal dan Umar siap menghadapi tantangan demi keamanan kapal tangker Indonesia, MV Sinar Samudra, dan membawa pulang kedamaian di laut yang berbahaya ini.

***

Perjalanan menuju Badhan terus berlanjut dalam keheningan malam yang dipenuhi dengan gemuruh mesin lama Mitsubishi L200. Kegelapan malam dan jalan berdebu seolah menjadi saksi bisu bagi misi rahasia yang diemban oleh Rizal dan Umar. Dalam mobil yang tua namun tetap tangguh, keduanya menempuh perjalanan di jalanan terpencil menuju kota pusat perompak, El Dhanan.

Umar, yang duduk di samping Rizal, tidak bisa menahan rasa penasaran. "Rizal, apa sebenarnya maksud kedatanganmu ke Badhan?" tanya Umar dengan penuh ketertarikan.

Rizal merenung sejenak sebelum menjawab, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Umar, aku ada di sini untuk tugas penting. Pemerintah Indonesia mempercayakan padaku untuk membuat peta kota El Dhanan, basis utama perompak di perairan ini."

Umar mengangkat alisnya, mencermati jawaban Rizal. "Peta El Dhanan? Apa yang pemerintah ingin lakukan?"

Rizal menatap temannya. "Kapal tangker Indonesia, MV Sinar Samudra, dibajak dan 20 ABKnya diculik oleh perompak di lepas pantai Oman. Tugasku adalah memastikan keselamatan tim yang akan datang dua hari lagi untuk melakukan operasi penyelamatan kapal dan awaknya, serta mengambil tindakan yang diperlukan."

Umar terdiam, matanya menyiratkan kejutan dan pertanyaan lebih lanjut. Setelah sejenak, dia menjawab singkat, "Aku tahu tentang kapal itu. Tapi kenapa kamu Rizal?"

Rizal melanjutkan ceritanya, merincikan pengalamannya selepas lulus sarjana mendaftar menjadi siswa sekolah perwira jalur sarjana dan kemudian menjadi anggota Marinir TNI AL dan penugasan khususnya untuk mengintai El Dhanan. Umar mendengarkan dengan serius, menyadari bahwa misi temannya ini bukan sekadar petualangan biasa.

Ketika Rizal selesai bercerita, suasana dalam mobil pun menjadi hening. Umar memandang keluar jendela, merenung dalam pikirannya. Rizal, merasa perlu memberikan Umar ruang dan waktu untuk memproses informasi, akhirnya menyudahi obrolan.

"Antar aku sampai Badhan, Umar. Dari sana, biarkan aku menanggapi situasinya sendiri. Aku tidak ingin menyulitkanmu lebih jauh," kata Rizal, mencoba menjaga keamanan dan kenyamanan temannya.

Umar hanya mengangguk, tidak mengatakan apa-apa. Hening kembali mengisi ruang dalam mobil ketika mereka semakin mendekati kota kecil Badhan. Di kejauhan, kelihatan portal yang dijaga oleh sekelompok milisi bersenjata, menantikan kedatangan mereka. Debu berkelebat di udara, menciptakan aura tegang dan mencekam seiring dengan mendekatnya mobil Mitsubishi L200 menuju perbatasan yang dijaga ketat.

***

Mungkin gambar peta dan teks

Dalam keadaan yang tegang, Rizal merogoh saku jaketnya dan membuka kunci pistol P-3Anya. Senjata kecil itu terasa dingin di tangannya, dan ia merasa adrenalin mengalir lebih cepat di tubuhnya. Wajahnya tetap serius, mata yang tajam memperhatikan setiap gerak milisi di portal yang semakin mendekat.

Umar memberikan dukungan dengan menepuk pundak Rizal, mencoba memberikan ketenangan. "Tenang saja, Rizal. Mereka hanya melakukan tugas mereka," ucapnya sambil tersenyum.

Namun, saat mobil hampir sampai di portal, Umar menghentikan kendaraan dan keluar dengan langkah santai. Tangannya yang terangkat memberikan tanda damai, sementara Rizal tetap siaga di dalam mobil, siap mengambil tindakan apapun yang diperlukan.

Para milisi, dengan senjata mereka teracung, memerintahkan Umar untuk berhenti dan menunjukkan surat-suratnya. Umar menjawab dengan menyapa mereka dalam bahasa Arab, "Assalamualaikum," sambil menyodorkan tangan untuk salaman. Namun, reaksi para milisi tidak seperti yang diharapkan. Mereka memarahi Umar dalam bahasa Arab dan Francis, meminta Umar untuk berbaring di tanah.

ما الذي تفعله هنا؟ من أنت؟ أريد رؤية الأوراق الخاصة بك الآن!

Apa yang kamu lakukan di sini? Siapa kamu? Saya ingin melihat dokumen-dokumenmu sekarang! Dalam bahasa Prancis, mereka meneruskan dengan nada tegas,

"Arrêtez-vous immédiatement! Montrez-nous vos papiers maintenant, sinon vous aurez des problèmes!"

Umar yang merasa terpojok, berusaha menjelaskan dengan bahasa Arab,

أنا أستاذ، أنا أستاذ في مدرسة باران.

Saya seorang ustadz, saya mengajar di Madrasah Baran. Rizal yang melihat situasi ini segera bersiap, mengeluarkan pistolnya dengan hati-hati. Namun, sebelum situasi memanas lebih lanjut, dari dalam mobil muncul seorang pemuda gagah. Dengan berani, ia menegur para milisi dengan keras.

استغفر الله، ما الذي تفعلونه هنا؟ هذا الرجل أستاذ علماء، استحلفكم أن تحترموا ضيوفنا!

Astaghfirullah, apa yang kamu lakukan di sini? Pria ini seorang ustadz yang terhormat, saya bersumpah agar kalian menghormati tamu-tamu kami! Pemuda tersebut maju dan menempeleng salah satu milisi yang kasar tadi. Ia menyudahi pertengkaran dan meminta maaf kepada Umar.

"Terima kasih kamu masih mengenalku," kata Umar dengan senyuman tulus setelah pemuda itu memberikan klarifikasi. Rizal pun merasa lega melihat situasi yang sudah tidak tegang lagi.

Setelah beberapa waktu berbicara dan menjelaskan, suasana kembali tenang. Para milisi meminta Umar untuk memimpin shalat subuh, dan Rizal pun diajak untuk ikut serta. Setelah shalat, mereka berbagi sarapan ringan sebelum melanjutkan perjalanan ke Badhan.

Matahari mulai muncul di kejauhan, memberikan cahaya pada kota Badhan yang tampak berdebu. Suasana kota yang pernah diserang banjir ini menjadi bagian dari perjalanan mereka yang penuh liku-liku. Rizal dan Umar melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

***


Leave a Comment