| 6 Comments | 437 Views

Akreditasi sebagai sebuah program kegiatan di sekolah madrasah, jarang sekali ada yang mencantumkannya baik dalam Rencana strategis. Hal ini berdasarkan pengalaman di jenjang Pendidikan dasar dan menengah. Berbeda dengan di perguruan tinggi yang rata-rata program studinya menjadikan program akreditasi sebagai program kegiatan regular yang direncanakan jauh lebih baik. Ada banyak persoalan yang melatarbelakanginya: mulai dari persoalan kekurangan SDM, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan kapasitas.  

Pada jenjang Pendidikan tertentu, tidak banyak sekolah yang memiliki tenaga kependidikan secara khusus. Disisi lain SISPENA menunjukkan bahwa dari 35 indikator kinerja inti, hanya 2 indikator yang tidak mensyaratkan Analisa dokumen. Artinya 94% keberhasilan akreditasi yang diunjuk dengan hasil yang memuaskan, membutuhkan dukungan dokumentasi dan tata kelola pengarsipan yang baik. Pemahaman umum bahwa akreditasi sekarang yang penting kinerja sekolah, menjadi salah dalam penerapan dilapangan. Sebab kinerja sekolah memerlukan bukti pendukung: Sekolah memiliki banyak prestasi siswa, mana bukti foto piagam dan kegiatannya?; Begitupun prestasi para guru, benarkah gurunya berprestasi? Mana bukti yang menunjukkan bahwa gurunya aktif dalam menulis dan meneliti serta bentuk kegiatan PKB lainnya?

Persoalan keterbatasan waktu dalam banyak perspektif tentu saja bisa diperdebatkan. Dalam banyak kasus, keterbatasan waktu adalah karena persoalan beberapa sekolah yang masuk dalam kuota tambahan akreditasi. Sekolah tentu saja berada dalam posisi yang sulit. Jika menolak, ada beberapa konsekuensi yang harus diterima. Pertimbangan utama para pemangku kepentingan di sekolah biasanya takut jika bantuan pemerintah akan sulit didapat jika sekolah tidak terakreditasi. Disisi lain, ada sanksi yang akan diterima dari BAN-S/M jika sekolah menolak, dalam persepsi pemangku kepentingan: takut sekolah menjadi tidak terakreditasi, tidak akan dijadwalkan ulang akreditasi dalam waktu dekat, atau bahkan diturunkan nilai akreditasinya. Pertimbangan ini akhirnya ada sekolah yang terpaksa menerima akreditasi dengan persiapan mendesak. Beberapa sekolah yang mendapatkan kuota tambahan menyatakan ada yang hanya mempersiapkan selama dua hari. Perdebatannya timbul dari sisi, bukankah sekolah seharusnya siap kapan saja untuk di asesmen? Karena bukankah yang dikonfirmasi adalah kegiatan harian yang sudah dilakukan sekolah? Tapi disisi lain, evaluasi pendidikan akan menghasilkan ketercapaian tujuan jika pihak yang dievaluasi memiliki persiapan yang cukup.

Sekolah di Indonesia itu begitu heterogen. Sekolah negeri walau bagaimanapun masih ada yang disebut sekolah pavorit dan tidak. Sekolah pavorit biasanya sekolah yang sudah mapan, baik dari usia sekolahnya maupun para pengelolanya. Pada sekolah model ini, tata kelolanya sudah mature, bahkan tanpa dinyatakan dalam SOP. Sekolah model ini sudah membudaya dalam tata Kelola sekolah yang baik. Pada sekolah yang bukan sekolah pavorit, banyak factor yang membuat tata Kelola sekolahnya juga memang realitanya masih belum standar. Perbedaan kapasitas itu akan bisa dibedakan dengan sangat kentara antara beberapa sekolah yang satu zonasi misalnya. Baik yang sesama sekolah negeri, apalagi sekolah swasta yang seringkali budaya organisasinya memang realitasnya berbeda karena mengikuti induknya, Yayasan yang mendirikannya.

Oleh karena itu, jika mengharapkan akreditasi bisa dimanfaatkan hasilnya untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, harus melakukan persiapan yang meliputi: pemetaan sumber daya pendidikan di setiap sekolah, dan selanjutnya daerah; hasil pemetaan tersebut dilanjutkan dengan pemenuhan kekurangan yang memungkinkan data yang digali para asesor tidak valid dan reliable; selanjutnya sosialisasi dalam bentuk workshop persiapan akreditasi yang diberikan oleh para pengawas pembina terhadap sekolah binanya.

Pemetaan sumber daya Pendidikan di setiap sekolah sangat penting untuk memberikan wawasan awal pada BAN untuk memperkirakan nilai akreditasi sekolah/ madrasah yang bersangkutan hal ini sudah dilakukan pada proses penilaian IPM dan IPR. Masalahnya adalah data ini tidak dipergunakan dengan baik sebagai alat evaluasi. Misalnya jika sekolah tidak memiliki tenaga kependidikan, apa solusinya agar sekolah bisa memberikan data akurat pada DIA. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, posisi DIA sangat urgen bagi asesor sebagai bahan awal, pondasi yang kuat untuk kemudian di konfirmasi dalam visitasi, baik daring maupun luring. Sebab jika asesor  hanya mengandalkan hasil observasi/ wawancara/ angket selama proses visitasi tentu hasilnya tidak akan akurat karena waktunya tidak akan cukup dilaksanakan dalam dua hari kerja. Yang kedua, pengisian DIA tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Misalnya hanya oleh operator setingkat staf TU. Sebab bisa jadi kapasitasnya tidak cukup untuk memahami proses administrasi Pendidikan. Pun begitu jika pengisian DIA dilakukan oleh operator setingkat guru. Sebab bisa jadi kapasitasnya tidak cukup untuk memahami proses administrasi keuangan dan kepegawaian misalnya. Jadi pengisian DIA tidak mudah dan tidak bisa serta merta. Butuh sosialisasi yang baik dalam pengisiannya, keterlibatan petugas sosialisasi akreditasi yang paham tentang proses akreditasi diperlukan. Bisa dimaklumi karena tidak semua pengawas pembina memahami proses akreditasi dengan baik, karena tidak semua pengawas juga berpengalaman sebagai asesor BAN-S/M.

Jika semua persiapan telah dilakukan, maka hasil akreditasi akan valid dan reliable. Sehingga akan tinggi tingkat kesahihannya untuk digunakan sebagai bahan kajian kebijakan Pendidikan di daerah. Tahap selanjutnya adalah bagaimana tingkat keterbacaan hasil akreditasi sekolah/ madrasah ini bagi pengambil kebijakan? Ada dua solusi yang bisa dilakukan, pertama para analis kebijakan di masing-masing instansi yang berwenang di daerah membaca raw data akreditasi daerahnya sendiri lalu membuat kebijakan dan program tindak lanjut berdasarkan hal itu. Kekurangan dari tahap ini adalah kebijakan yang diambil baik oleh dinas Pendidikan setempat, maupun bidang/ seksi Pendidikan madrasah tidak akan memiliki landscape yang luas. Sehingga bisa jadi mengambil keputusan yang tidak tepat. Sehingga diperlukan juga Analisa data umum yang pada sifatnya dipersiapkan oleh BAN-S/M Provinsi untuk data kewilayahan provinsi maupun BAN-S/M pusat untuk memberikan gambaran yang luas kondisi Pendidikan di Indonesia.

Solusi tambahan ke dua ini agar para pengambil kebijakan tidak salah memahami posisi sekolah tertentu dalam ukuran kinerja tertentu pula. Penilaian yang baik tentu membutuhkan pembanding yang baik, tidak saja Sispena sebagai alat ukur standar, tetapi juga alat ukur capaian kinerja dari sekolah/ madrasah yang setara. Jika hal ini dilakukan maka pengambilan keputusan tidak saja bisa digeneralisasi tetapi juga menghargai model pengukuran kesesuaian person, sehingga kebijakan yang diambil akan tepat sasaran dan tepat anggaran. Sehingga jelaslah bahwa kebijakan Pendidikan yang diambil oleh pemerintah daerah tidak bisa serta merta disama ratakan, pun begitu tidak bisa serta merta individual. Kedua jalan Analisa kebijakan harus dilakukan secara bersamaan, berkesinambungan dan berkelanjutan.


Comments

  • Endang fadli

    Terima kasih

    10 Desember 2021 10:20
    • Darmawan

      sama sama ^_^

      10 Desember 2021 10:56
  • Asih Aryani

    Keren Pak karyanya....

    10 Desember 2021 11:23
    • Darmawan

      Terima kasih ...🥰

      12 Desember 2021 15:35
  • Ade Een

    Luar biasa analaisa nya pak, saya sepakat dengan analisa bapak bahwa selama ini hasil akreditasi pada madrasah/ sekolah belum dimanfaatkan dan ditindaklanjuti secara optimal oleh para pemangku kebijakan pendidikan. Semoga ke depan bukan berhenti sampai adanya nilai tapi dampak dari nilai itu yang lebih penting untuk bahan perbaikan dan pengembangan sekolah/ madrasah

    16 Desember 2021 05:15
    • Darmawan

      Silahkan bu, ibu yang ada dilapangan yang paling berkuasa untuk membuat perubahan

      15 April 2022 00:05

Leave a Comment