| 0 Comments | 326 Views
Bahagia pada saat menghadapi kekecewaaan,
kesedihan atau kegagalan? Apa bisa? Bukankah itu dua hal yang bertentangan? Ini
pertanyaan yang sering spontan dilontarkan …
Sekali lagi, Bahagia sangat tergantung pada
pikiran dan sikap kita, pada bagaimana kita mengontrol pikiran dan sikap kita
sendiri. Nah, kecewa terjadi pasti karena sesuatu terjadi tidak seperti harapan
kita, tidak sesuai dengan apa yang kita targetkan, harapkan atau bahkan
mimpikan. Kecewa dan sedih biasanya terjadi spontan sebagai sesuatu yang
alamiyah, namun bukan berarti tidak bisa kita kontrol dan kendalikan. Kontrol
pikiran kita memikirkan dengan terang dan kritis, penyebab mengapa kita kecewa,
mengapa kita harus sedih, mengapa kecewa? Setelah ditemukan akar yang membuat
kita kecewa dan sedih, coba kita pertanyakan ulang dan jawab dengan pikiran
yang terang dan kritis. Apakah hal itu pantas membuat kita kecewa dan melupakan
hal lain yang lebih besar, lebih penting dan lebih prinsipil dalam hidup kita?
Pikirkan hal lain yang jauh lebih penting, lebih utama dan lebih menentukan
dalam hidup kita, sebagai dasar kita mereframe, memaknai ulang apa yang terjadi
secara positif.
Sebagai ilustrasi, kadang kita spontan kecewa
dan sedih karena teman baik yang selama ini kita percaya tanpa diduga di
belakang menghianati kita, bahkan meninggalkan kita. Kekecewaan dan kesedihan
sesaat adalah wajar dan manusiawi, tapi kekecewaan dan kesedihan yang
berkepanjangan apalagi sampai mempengaruhi atau menghambat pekerjaan dan
performa kita, itu yang tidak boleh terjadi dan merupakan sebuah kebodohan.
Biasakan untuk memahami apa yang kita rasakan, dan biarkan pikiran kita
mencerna, memikirkan dengan baik dan merefleksikannya. Cara termudah,
kembalikan pada prinsip awal, “JANGAN GANTUNGKAN KEBAHAGIAAN KITA PADA ORANG
LAIN (baca part 1 dan 2).” Kalau sudah terbiasa begini, maka penghianatan teman
akan kita terima sebagai sebuah kenyataan hidup yang biasa terjadi, dan tidak
boleh merenggut kebahagiaan kita. Bukankah kita masih punya teman yang lain
jika dia meninggalkan kita? Bukankah masih banyak orang-orang di sekeiling kita
yang menyayangi dan mencintai kita, yang bahkan kehadirannya sering tidak kita
sadari? Bukankah kebahagiaan kita TIDAK TERGANTUNG PADANYA?
Jika dia
yang pergi adalah kekasih, bukankah kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh
keberadaan dia tetapi ditentukan oleh pikiran kita tentang sesuatu yang
membahagiakan? Nah, kenapa tidak biarkan pikiran kita memegang pinsip bahwa “apa
yang membuat kekasih bahagia adalah kebahagiaan kita juga? Bahkan jika dia
lebih Bahagia dengan orang lain, mengapa tidak? Bukankah jika Bersama kita
sepanjang hidup juga belum tentu dia akan Bahagia? Jika merujuk pada konsep mawaddah
(baca part 1 Ngobrol Gender di blog ini), maka cinta yang sesungguhnya adalah
pengosongan diri dari keinginan pribadi, karena dipenuhi oleh keinginan untuk
membahagiakan yang dicintai. Jika ini menjadi prinsip kita, maka hati dan pikiran
kita akan lapang dan tidak mudah diperbudak kecewa dan sedih, bahkan akan
selalu bersyukur. Bahkan, kita dengan lapang dada akan bilang, siapa yang
membuatmu Bahagia? Pergi dan temui dia jika itu membuatmu Bahagia, dan aku
Bahagia karena membuatmu bahagia…..Sulit? masalahnya sederhana, karena
belum terbiasa, ATAU karena terbiasa menggantungkan kebahagiaan pada orang
lain.
Begitupun ketika teman kerja atau pimpinan kita
ternyata mengecewakan kita, tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Tanyakan
kembali pada diri sendiri, mengapa harus kecewa? Mengapa harus kehilangan
Bahagia hanya karena orang lain membuat kita kecewa? Mengapa harus kecewa
karena orang lain tidak mengerjakan tugasnya? Jika mungkin kita mengerjakan
sesuatu yang seharusnya dikerjakan orang lain, kerjakan dengan senang hati
karena kita masih bisa mengerjakannya. Namun jika tidak bisa dikerjakan atau
diselesaikan, relakan. Toh hidup tetap berjalan dengan atau tanpa kita
mengerjakannya atau menyelesaikannya. Bahkan jika kita berharap orang lain
melakukan sesuatu untuk kita, jangan sampai kita jadikan realisasi harapan ini
sebagai ukuran kita kecewa atau senang/bahagia, karena ini artinya kita
gantungkan kebahagiaan pada orang lain, kembali pada prinsip awal. Seharusnya
kita cukup Bahagia dengan memberi kesempatan orang lain bekerja dengan baik,
jika mereka tidak bekerja dengan baik kita bantu, tapi jangan menjadikannya
sebagai sumber kekecewaan kita. Hidup memang tidak identik dengan kesempurnaan,
jika kesempurnaan dimaknai sebagai kesesuaian antara harapan dan realita,
antara keinginan dan kenyataan, antara mimpi dan fakta sehari hari.
Kesempurnaan dalam konteks ini hanya milikNYA.
Meskipun demikian, prinsip pengosongan dalam
cinta diri tentu berbeda dengan ketidakberdayaan, apalagi jika harus berhadapan
dengan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, atau bentuk
kekerasan lainnya. Kebahagiaan sejati tidak akan tercapai jika ada yang menjadi
korban kekerasan, justru agar bisa Bahagia maka kita harus punya keberanian
untuk SAY NO TO VIOLENCE and STOP IT. Mengapa? Karena setiap orang berhak untuk
Bahagia.
Mudah kan? Yang sulit karena mungkin belum
terbiasa. Jika kita sudah terbiasa mengendalikan pikiran, mengelola perasaan
dan bijak bersikap, maka kita akan selalu Bahagia. Mulai dari hal-hal yang
kecil, karena tanpa sadar kita sering kecewa karena hal kecil. Misalnya, kita
mungkin kecewa karena ketika sedang lapar pergi ke dapur dan ternyata tidak ada
makanan. Hemm, mengapa harus kecewa dan jadi bad mood seharian hanya
karena urusan perut? Kenapa tidak masak sebentar dan kemudian panggil anggota
keluarga lain untuk ikut menikmati masakanmu? Pasti menyenangkan. Tidak bisa
masak? Coba tanyakan pada dirimu dengan jujur, tidak bisa atau malas? Mereka
yang pandai masak awalnya juga tidak bisa, tapi karena mau belajar maka mereka
bisa.
Oh iya, jangan lupa temukan sesuatu yang
membuatmu penuh semangat, ibarat baterai handphone “feel fully charged.”
Saya kalau merasa Lelah atau pasca reframing dari kekecewaan segera buka laptop
dan menulis, atau main piano, dan kadang karaoke, setelah itu lelah hilang dan feel
fully happy.
Intinya,
Kendalikan pikiran untuk memaknai ulang apa yang terjadi dan jangan pernah
berhenti dan menyerah untuk membiasakan berfikir jernih, kritis dan positif,
sebagai dasar kita menentukan dan mengontrol sikap yang juga positif.
To be
continued…..
Leave a Comment