| 0 Comments | 241 Views

Card Image

Bahagia pada saat menghadapi kekecewaaan, kesedihan atau kegagalan? Apa bisa? Bukankah itu dua hal yang bertentangan? Ini pertanyaan yang sering spontan dilontarkan …

 

Sekali lagi, Bahagia sangat tergantung pada pikiran dan sikap kita, pada bagaimana kita mengontrol pikiran dan sikap kita sendiri. Nah, kecewa terjadi pasti karena sesuatu terjadi tidak seperti harapan kita, tidak sesuai dengan apa yang kita targetkan, harapkan atau bahkan mimpikan. Kecewa dan sedih biasanya terjadi spontan sebagai sesuatu yang alamiyah, namun bukan berarti tidak bisa kita kontrol dan kendalikan. Kontrol pikiran kita memikirkan dengan terang dan kritis, penyebab mengapa kita kecewa, mengapa kita harus sedih, mengapa kecewa? Setelah ditemukan akar yang membuat kita kecewa dan sedih, coba kita pertanyakan ulang dan jawab dengan pikiran yang terang dan kritis. Apakah hal itu pantas membuat kita kecewa dan melupakan hal lain yang lebih besar, lebih penting dan lebih prinsipil dalam hidup kita? Pikirkan hal lain yang jauh lebih penting, lebih utama dan lebih menentukan dalam hidup kita, sebagai dasar kita mereframe, memaknai ulang apa yang terjadi secara positif.

 

Sebagai ilustrasi, kadang kita spontan kecewa dan sedih karena teman baik yang selama ini kita percaya tanpa diduga di belakang menghianati kita, bahkan meninggalkan kita. Kekecewaan dan kesedihan sesaat adalah wajar dan manusiawi, tapi kekecewaan dan kesedihan yang berkepanjangan apalagi sampai mempengaruhi atau menghambat pekerjaan dan performa kita, itu yang tidak boleh terjadi dan merupakan sebuah kebodohan. Biasakan untuk memahami apa yang kita rasakan, dan biarkan pikiran kita mencerna, memikirkan dengan baik dan merefleksikannya. Cara termudah, kembalikan pada prinsip awal, “JANGAN GANTUNGKAN KEBAHAGIAAN KITA PADA ORANG LAIN (baca part 1 dan 2).” Kalau sudah terbiasa begini, maka penghianatan teman akan kita terima sebagai sebuah kenyataan hidup yang biasa terjadi, dan tidak boleh merenggut kebahagiaan kita. Bukankah kita masih punya teman yang lain jika dia meninggalkan kita? Bukankah masih banyak orang-orang di sekeiling kita yang menyayangi dan mencintai kita, yang bahkan kehadirannya sering tidak kita sadari? Bukankah kebahagiaan kita TIDAK TERGANTUNG PADANYA?

 

 Jika dia yang pergi adalah kekasih, bukankah kebahagiaan kita tidak ditentukan oleh keberadaan dia tetapi ditentukan oleh pikiran kita tentang sesuatu yang membahagiakan? Nah, kenapa tidak biarkan pikiran kita memegang pinsip bahwa “apa yang membuat kekasih bahagia adalah kebahagiaan kita juga? Bahkan jika dia lebih Bahagia dengan orang lain, mengapa tidak? Bukankah jika Bersama kita sepanjang hidup juga belum tentu dia akan Bahagia? Jika merujuk pada konsep mawaddah (baca part 1 Ngobrol Gender di blog ini), maka cinta yang sesungguhnya adalah pengosongan diri dari keinginan pribadi, karena dipenuhi oleh keinginan untuk membahagiakan yang dicintai. Jika ini menjadi prinsip kita, maka hati dan pikiran kita akan lapang dan tidak mudah diperbudak kecewa dan sedih, bahkan akan selalu bersyukur. Bahkan, kita dengan lapang dada akan bilang, siapa yang membuatmu Bahagia? Pergi dan temui dia jika itu membuatmu Bahagia, dan aku Bahagia karena membuatmu bahagia…..Sulit? masalahnya sederhana, karena belum terbiasa, ATAU karena terbiasa menggantungkan kebahagiaan pada orang lain.

 

Begitupun ketika teman kerja atau pimpinan kita ternyata mengecewakan kita, tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Tanyakan kembali pada diri sendiri, mengapa harus kecewa? Mengapa harus kehilangan Bahagia hanya karena orang lain membuat kita kecewa? Mengapa harus kecewa karena orang lain tidak mengerjakan tugasnya? Jika mungkin kita mengerjakan sesuatu yang seharusnya dikerjakan orang lain, kerjakan dengan senang hati karena kita masih bisa mengerjakannya. Namun jika tidak bisa dikerjakan atau diselesaikan, relakan. Toh hidup tetap berjalan dengan atau tanpa kita mengerjakannya atau menyelesaikannya. Bahkan jika kita berharap orang lain melakukan sesuatu untuk kita, jangan sampai kita jadikan realisasi harapan ini sebagai ukuran kita kecewa atau senang/bahagia, karena ini artinya kita gantungkan kebahagiaan pada orang lain, kembali pada prinsip awal. Seharusnya kita cukup Bahagia dengan memberi kesempatan orang lain bekerja dengan baik, jika mereka tidak bekerja dengan baik kita bantu, tapi jangan menjadikannya sebagai sumber kekecewaan kita. Hidup memang tidak identik dengan kesempurnaan, jika kesempurnaan dimaknai sebagai kesesuaian antara harapan dan realita, antara keinginan dan kenyataan, antara mimpi dan fakta sehari hari. Kesempurnaan dalam konteks ini hanya milikNYA.

 

Meskipun demikian, prinsip pengosongan dalam cinta diri tentu berbeda dengan ketidakberdayaan, apalagi jika harus berhadapan dengan pelaku kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, atau bentuk kekerasan lainnya. Kebahagiaan sejati tidak akan tercapai jika ada yang menjadi korban kekerasan, justru agar bisa Bahagia maka kita harus punya keberanian untuk SAY NO TO VIOLENCE and STOP IT. Mengapa? Karena setiap orang berhak untuk Bahagia.

 

Mudah kan? Yang sulit karena mungkin belum terbiasa. Jika kita sudah terbiasa mengendalikan pikiran, mengelola perasaan dan bijak bersikap, maka kita akan selalu Bahagia. Mulai dari hal-hal yang kecil, karena tanpa sadar kita sering kecewa karena hal kecil. Misalnya, kita mungkin kecewa karena ketika sedang lapar pergi ke dapur dan ternyata tidak ada makanan. Hemm, mengapa harus kecewa dan jadi bad mood seharian hanya karena urusan perut? Kenapa tidak masak sebentar dan kemudian panggil anggota keluarga lain untuk ikut menikmati masakanmu? Pasti menyenangkan. Tidak bisa masak? Coba tanyakan pada dirimu dengan jujur, tidak bisa atau malas? Mereka yang pandai masak awalnya juga tidak bisa, tapi karena mau belajar maka mereka bisa.

 

Oh iya, jangan lupa temukan sesuatu yang membuatmu penuh semangat, ibarat baterai handphone “feel fully charged.” Saya kalau merasa Lelah atau pasca reframing dari kekecewaan segera buka laptop dan menulis, atau main piano, dan kadang karaoke, setelah itu lelah hilang dan feel fully happy.

 

 Intinya, Kendalikan pikiran untuk memaknai ulang apa yang terjadi dan jangan pernah berhenti dan menyerah untuk membiasakan berfikir jernih, kritis dan positif, sebagai dasar kita menentukan dan mengontrol sikap yang juga positif. 

 

To be continued…..


Leave a Comment