| 0 Comments | 4 Views

Card Image

sumber : BBC News

Video Dokumentasi berjudul “ Living with the Dead” karya BBC News menunjukkan kepada kita tentang kemampuan umat manusia dalam melakukan interprestasi dari nilai-nilai yang mereka anut. Dalam historisnya, selain dari agama nilai yang mereka anut berasal dari kepercayaan nenek moyang mereka. Meskipun mayoritas masyarakat adat Toraja beragama Kristen, dalam ritual pemakaman yang dikenal dengan nama “Rambu Solo” berbeda dengan yang dilakukan oleh umat kristen pada umumnnya. Upaya pemakaman “Rambu Solo” dikatakan sebagai rangkaian kegiatan pelepasan orang yang sudah meninggal dengan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persiapan upacara ini sudah dirancang selama berbulan-bulan, bahkan mereka sudah harus menabung biaya pemakaman jauh-jauh bulan. Ketika menunggu upacara pemakaman siap, tubuh orang yang sudah meninggal dibungkus kain dan disimpan di rumah leluhur atau rumah adat tongkonan. Orang yang meninggal hanya dianggap makula atau diartikan seperti orang sakit yang masih harus dirawat dan diperlakukan layaknya masih hidup. 

Hal inilah yang menjadi ketertarikan wartawan BBC News untuk mengulasnya dalam sebuah video dokumenter. Dibanding dengan tradisi agama-agama yang ada, tradisi ini dianggapnya sangat unik. Dari cuplikan beberapa scene dalam video tersebut, ada beberapa alasan yang mendasar sebagai prinsip masyarakat toraja melakukan tradisi ini. Prinsip-prinsip tersebut berupa rasa cinta dan kasih sayang terhadap anggota keluarga yang meninggal. Mereka memaknai hakikat orang meninggal sebenarnya masih sakit. Dikatakan meninggal apabila sudah dilakukan upacara pemakaman yang menghabiskan banyak biaya. Dimaknai bahwa biaya yang dikeluarkan merupakan hasil dari kehidupan yang bisa dirasakan untuk sesama. Dan pada akhirnya, dari apa yang mereka lakukan dapat mengusir rasa kesedihan atas kehilangan dan ketakutan seperti yang dirasakan oleh masyarakat pada umumnya.

Selain “Rambu Solo” dalam akhir scene video tersebut juga diulas tentang tradisi “Ma’nene”. Tradisi ini merupakan upacara pengantian baju buat mayat yang sudah dikubur selama 3 tahun. Hampir sama dengan kebiasaan mudik yang dilakukan oleh umat Islam pada saat merayakan hari Raya Idul Fitri. Semua anak keturunan yang merantau berbondong-bondong pulang untuk merayakanya. Ada beberapa catatan penting yang diberikan oleh wartawan BBC news sebagai landasan filosofis tradisi ini dilakukan. Landasan filosofis itu berupa internalisasi rasa cinta yang mendalam terhadap yang meninggal dan juga penghilang dari rasa ketakutan ditinggalkan oleh sanak saudara yang merantau. 

Atas dasar prolog ini, menjadi alasan yang menarik bagi penulis untuk membahas teks dalam bentuk realitas ini dalam analisis yang lebih mendalam. Untuk menganalisisnya, penulis akan melihatnya dengan prespektif Emiel Durkheim.  Emiel Durkheim menitik beratkan kajianya pada penggunaan Totem oleh suku Arunta di Autralia. Berbeda dengan Freud, Durkhem menganngap bahwa agama bukanlah suatu yang alami dalam individu, melainkan suatu produk dari sebab-sebab sosial, yang tidak mungkin jauh dari seting sosial. Dengan kata lain Durkheim telah menunjukkan kepada kita bahwa agama itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang terisolir dari masyarakat dimana ia berada. Agama itu selalu bersifat sosial, karena pada dasarnya ia lahir dari konsensus masyarakat terhadap apa yang dianggap religius atau sakral. 

Dalam memaknai Totem, Durkheim lebih meletakkan perhatianya pada fungsi toteisme terhadap sistem sosial orang Arunta dari pada historis keberadaan Totem itu sendiri dalam masyarakat Arunta. Penerjemahan Totem hampir sama dengan Totem yang dianggap oleh Freud. Lebih lebar lagi Durkeim menganggap bahwa Totem merupakan simbol yang merepresentasikan kehadiran dari tuhan dan sekaligus juga melambangkan ciri-ciri suatu klan tertentu. Dimana dalam konteks ini Totem dianggap sebagai simbol atau lambang kelompok dan menjadi sarana pemersatu dalam klan tersebut. Sehingga dari pemahamn ini menghadirkan pemahaman bahwa agama pada suku yang sangat primitif merupakan suatu kekuatan integrasi yang sangat kuat. Tujuan utama agama adalah membantu orang berhubungan bukan dengan Tuhannya, melainkan dengan sesamanya. Keberadaan ritual-ritual religius selain  sebagai media penghormatan, keberadaanya juga dianggap mampu membantu orang mengembangkan rasa kolektifitas dan persatuan. 

Dalam konteks yang lain, dalam memahami agama sebaiknya dilakukan sebuah pemisahan antara yang sakral dan profan. Sakral merupakan sesuatu yang superior, berkuasa dan dalam kondisi biasa tidak disentuh dan selalu dihormati. Dan profan merupakan bagian dari hidup sehari-hari yang dilakukan oleh manusia. Jika tidak ada pemisahan antara yang sakral dan profan, maka hal tersebut akan berakibat pada hilangnya kesakralan pada simbol (totem) yang diagungkan.

Dalam tradisi suku Toraja, agama bisa ditafsirkan sebagai rasa penghormatan dan bukti kecintaan terhadap orang yang meninggal. Dalam keterbatasan terhadap kekuatan diluar diri manusia, yang tidak bisa menghindari dari kehilangan atas kematian salah satu kerabatnya. Maka sebagai bukti untuk menghilangkan rasa tersebut suku toraja, menganggap bahwa orang yang meninggal dianggap masih hidup dan masih sakit. Dalam mensakralkan rasa tersebut, seolah jazad dari keluarga yang meninggal dianggap sebagai simbul keberadaan mereka. Sehingga dalam prespektit Durkeim jasad tersebut ibarat sebuah totem yang dianggap suci dan harus dijaga dan dirawat keberadaanya. 

Dalam implementasinya, keberadaan teradisi “Rambu solo” dan “Ma’nene” bisa dianggap sebagai teradisi pernghormatan terhadap totem yang menjadi simbol atas kepercayaan terhadap keberadaan roh yang sudah meninggal. Dalam kontek sosial, tradisi Rambu solo dan ma’nene juga bisa ditafsirkan mempunyai kekuatan untuk menciptakan sifat kolektifitas, kohesi sosial dalam kehidupan suku Toraja. Hal ini bisa dibuktikan selain sebagai media untuk mengingat orang yang sudah meninggal, tradisi tersebut juga mampu menjaga dan menumbuhkembangkan ikatan kekeluargaan, koletifitas sebagai rutinitas kegiatan bersama, rasa kebersamaan dalam penyelenggaraan taradisi tersebut. Dengan kata lain, keberadaan tradisi tersebut telah menjadi identitas dan penguatan nilai-nilai dari keberadaan suku tersebut. Diantaranya nilai kekeluargaan, nilai kebersamaan, nilai saling menghormati dan nilai kasih sayang antar sesama. 


Leave a Comment