| 0 Comments | 85 Views
Prolog
Media baru secara sederhana merujuk pada media yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan komputer dan internet. Istilah "New Media" muncul pada akhir abad ke-20 untuk menyebut media yang menggabungkan media konvensional dengan internet. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1969, yang berpendapat bahwa New Media adalah perkembangan teknologi komunikasi yang memperluas jangkauan komunikasi manusia. Oleh karena itu, New Media tidak terpaku pada teknologi tertentu.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2018, penetrasi pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa, setara dengan 54,7% populasi. Dari jumlah tersebut, 79% adalah pengguna aktif yang mengakses internet setiap hari. Rata-rata waktu penggunaan internet harian mencapai 8 jam 36 menit, dengan 2 jam 52 menit di antaranya digunakan untuk mengakses konten. Konten yang paling banyak diakses adalah video online (98%), diikuti oleh streaming (50%) dan game online (46%).
Media baru juga membawa pengaruh dalam kehidupan beragama. Banyak orang kini mengambil nilai-nilai agama melalui media online. Muncul berbagai platform yang menyajikan konten berbasis ajaran Islam. Bahkan, untuk mencari referensi Al-Qur’an dan Hadits, seseorang hanya perlu mengklik situs tertentu. Media baru juga menjadi sarana penyebaran ajaran agama. Jika dulu dakwah harus dilakukan secara langsung, kini dapat dilakukan melalui internet.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam tema fenomena sosial dan keagamaan, saya memilih judul “New Media dan Pergeseran Transformasi Pemahaman Agama (Studi Fenomena Agama dalam Perspektif Pengaruh New Media)”. Judul ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan: pertama, bagaimana relasi antara new media dan agama? Kedua, bagaimana proses transformasi pemahaman agama akibat relasi tersebut? Ketiga, apa rekomendasi yang dapat diterapkan dalam menghadapi transformasi ini?
Relasi New Media dan Agama Media
Media, dalam perkembangannya, merupakan entitas yang menghasilkan berbagai produk budaya. Salah satu contoh budaya yang dihasilkan oleh media adalah cara berkomunikasi di kalangan masyarakat. Cara berkomunikasi sebelum munculnya internet tentu berbeda dengan cara berkomunikasi setelah internet hadir. Bahkan, ketika era mediasi muncul, budaya yang terbentuk mengalami perubahan. Ini menunjukkan bahwa budaya dalam masyarakat akan selalu bersifat dinamis, seiring dengan perkembangan media. Terdapat hubungan timbal balik antara perkembangan media dan budaya.
Fungsi media sebagai sarana penyebaran agama muncul sejak ditemukannya mesin cetak pertama kali. Sebagai contoh, kitab suci seperti Injil mulai dicetak dalam bentuk buku menggunakan kertas. Sebelumnya, penulisan Injil hanya memanfaatkan media seperti tulang, batu, kulit hewan, papirus, dan sebagainya. Media tersebut sejatinya dapat dikategorikan sebagai bagian dari media yang berperan dalam penyebaran ajaran agama.
Sejarah membuktikan bahwa agama diajarkan melalui berbagai jenis media. Sejak era sebelum Masehi, media yang digunakan memang masih sangat sederhana. Artinya, sepanjang sejarah, media memiliki hubungan yang erat dengan agama. Hal serupa juga terjadi dalam agama Islam. Pada awalnya, Al-Qur’an diturunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dibacakan kepada Nabi Muhammad dan kemudian harus dihafal. Setelah beberapa waktu, Al-Qur’an mulai ditulis oleh para sahabat. Penulisan Al-Qur’an saat itu masih menggunakan media sederhana seperti tulang hewan, batu, kulit hewan, pelepah kurma, dan lainnya. Meskipun demikian, Al-Qur’an tetap dihafal oleh para huffazh (penghafal Al-Qur’an) untuk menjaga keasliannya.
Dalam prespektif fungsional yang lain, media merupakan entitas yang digunakan untuk menyebarkan informasi. Oleh karena itu, informasi tentang praktik keagamaan menjadi salah satu ragam informasi yang dapat disalurkan melalui media. Namun, media bukanlah entitas yang berdiri dalam ruang bebas. Ketika informasi diproduksi oleh media, terdapat faktor sosial yang memengaruhinya. Informasi atau wacana yang diproduksi media tidak selalu sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Informasi yang dihasilkan kemudian disalurkan melalui perantara (wasilah), sehingga sering kali terjadi distorsi fakta ketika informasi dikonsumsi oleh masyarakat.
Media baru, seperti media sosial beserta turunannya, menghasilkan ragam informasi yang lebih kompleks. Munculnya berbagai situs daring yang mengusung nama agama dan banyaknya konten keagamaan di media sosial menjadi fenomena yang menarik. Kondisi ini dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mencari informasi keagamaan. Sebelum internet hadir, masyarakat cenderung mencari rujukan dari pemuka agama (da’i) dan kitab suci. Hal ini sangat berbeda dengan praktik yang berkembang di era internet, di mana masyarakat lebih suka mencari informasi keagamaan melalui media sosial.
Fenomena ini menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara media dan masyarakat beragama. Dalam beberapa kasus, media bahkan seolah dijadikan sebagai "agama" baru oleh sebagian khalayak. Media menciptakan semacam teologi baru bagi sebagian masyarakat. Kondisi ini akan terus berubah seiring dengan perkembangan media itu sendiri. Media, yang pada dasarnya menghasilkan produk budaya, kini justru dipahami sebagai bagian dari agama oleh sebagian khalayak.
Transformasi Pemahaman Agama Akibat Munculnya New Media
Secara tradisional, otoritas keagamaan (traditional religious authority) merujuk pada mereka yang belajar di pondok pesantren, universitas Islam terkemuka, atau mengikuti majelis taklim secara ketat. Dengan latar belakang tersebut, mereka memiliki kapasitas untuk menyampaikan pesan keagamaan dan diakui oleh jamaahnya. Mereka adalah para ulama, kiai, mursyid, dan guru-guru agama. Dalam otoritas keagamaan tradisional, media pembelajaran yang digunakan pun masih konvensional, seperti metode ngaji bandongan atau sorogan dengan kitab-kitab kuning yang menekankan metode kontekstual substantif, bukan sekadar tekstual dari Al-Qur'an dan hadis saja.
Namun, kini otoritas keagamaan mengalami pergeseran (diseminasi). Umat memperoleh otoritas baru yang bersifat impersonal dan berbasis utama pada jejaring informasi (internet). Setiap orang dapat dengan mudah mengakses pengetahuan sesuai selera dan kebutuhan masing-masing. Selain memudarnya otoritas tradisional, intervensi era disrupsi juga berkontribusi pada pergeseran ini. Otoritas keagamaan baru (new religious authority) muncul melalui media impersonal, seperti website, blog, Instagram, YouTube, dan sejenisnya. Tak jarang kita menerima broadcast dari WhatsApp atau Telegram yang berisi iklan flashdisk 16 hingga 32 GB berisi murottal Al-Qur’an dan kitab-kitab dari ulama Salafi Wahabi dalam format e-book.
Saat ini, setiap orang bisa belajar melalui media-media tersebut. New media yang paling populer dan diminati untuk belajar adalah YouTube dan Instagram. Penyebarannya pun mudah, dengan potongan video orang-orang yang berbicara tentang agama — meskipun keilmuannya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan — lalu ditambah editan sederhana menggunakan aplikasi seperti Kine Master. Konten tersebut kemudian diunggah ke content communities atau jejaring sosial. Kreativitas ini melahirkan istilah religious entrepreneur. Akibatnya, generasi Muslim masa kini tampak cukup menguasai ilmu keislaman meskipun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah Islam atau pesantren. Mereka belajar Islam dari sumber-sumber baru yang berbeda dengan sumber pengetahuan tradisional sebelumnya. Inilah yang memunculkan gap antara traditional religious authority dan new religious authority.
Dalam konteks ritualitas, berbagai peran dan fungsi ritual, termasuk ruang ritual, menghadapi tantangan dari dunia internet yang menawarkan cara baru dalam menampung ritual tersebut. Aktivitas keagamaan yang sebelumnya dilakukan di tempat suci fisik kini dapat berlangsung di ruang suci virtual — semacam halusinasi tempat suci yang dibangun secara artifisial dalam ruang digital. Meskipun virtual, ruang ini tetap menawarkan pengalaman yang terasa nyata, baik secara ruang, waktu, maupun tempat.
Ritual memiliki dua dimensi: vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan) dan horizontal (hubungan antar sesama manusia). Dengan perkembangan teknologi saat ini, intensitas fungsi ritual pun mengalami perubahan. Tempat suci yang sebelumnya menjadi tempat berzikir, beribadah, beriktikaf, serta berdiskusi tentang kehidupan dan perjuangan (ekonomi, sosial, politik, pendidikan, teknologi), kini mulai bergeser ke ruang-ruang virtual yang artifisial. Jaringan, teritorial, ruang, dan hubungan sosial di kalangan umat pun kini dapat dibangun secara virtual.
Melalui kekuatan ruang, waktu, kecepatan, dan teritorialitas yang ditawarkan, dunia virtual menjadi saluran kolosal penghubung antar manusia. Ia menyatukan pikiran, wawasan, dan kreativitas kolektif umat secara global. Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai "pikiran super" — pikiran-pikiran kolektif yang terhubung dalam jaringan internet global. Virtualitas dapat berfungsi sebagai amplifier sosial yang memperluas cakupan, ruang, dan interaksi sosial baik di dalam, di luar, maupun antar tempat hingga membentuk kesatuan umat yang semakin kuat.
Rekomendasi sebagai Solusi atas Transformasi Keagamaan
Dunia virtual bak pisau bermata dua bagi agama. Di satu sisi membawa manfaat, di sisi lain berpotensi merugikan manusia. Oleh karena itu, penting bagi umat untuk merenungi dan mempertimbangkan dampak positif maupun negatif yang diperoleh. Kekhawatiran bahwa manusia akan "diperbudak oleh karyanya" perlu diantisipasi. Segala sesuatu yang berlebihan harus dihindari karena berpotensi membawa kerugian, termasuk kecanduan teknologi yang memicu budaya instan.
Munculnya gap antara traditional religious authority dan new religious authority berdampak pada pemahaman agama individu. Dalam konteks ini, pemahaman agama berisiko menjadi dangkal dan tekstual semata. Jika kebiasaan mendapatkan pengetahuan agama melalui new media tidak didasari pemahaman yang mendalam, pemahaman tersebut akan menemui titik kebingungan. Akibatnya, perbedaan antara agama dan budaya menjadi kabur. Bahkan, penafsiran agama yang terbentuk bisa saja menjadi produk budaya.
Dalam konteks ritualitas, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa internet dan media turunannya berpotensi menggantikan fungsi tempat ibadah. Ini menjadi tantangan besar karena dapat mengubah kebiasaan umat dalam beribadah. Namun, media baru yang memunculkan "tempat suci virtual" di ruang siber tidak akan mampu menggantikan tempat ibadah nyata yang memiliki dimensi lebih kompleks — terutama dimensi batin, ruh, kesucian, sakralitas, ketuhanan, dan spiritualitas. Kompleksitas emosi, rasa, dan kegaiban dalam ruang suci nyata tidak dapat direplikasi oleh teknologi virtual berbasis bit dan bytes.
Untuk menghadapi fenomena transformasi keagamaan akibat media baru, ada beberapa prinsip yang perlu dipegang. Pertama, memahami bahwa media baru hanyalah alat bantu, bukan sumber referensi tunggal dalam pemahaman agama. Media seharusnya berfungsi sebagai pelengkap atas pengetahuan agama yang didapatkan dari pengalaman nyata. Kedua, agama harus diposisikan sebagai praktik penyembahan kepada Tuhan Yang Esa, bukan produk budaya. Prinsip ini harus dipegang teguh oleh para pengguna media agar tidak terjebak dalam pemahaman yang dangkal dan keliru.
Leave a Comment