| 0 Comments | 104 Views
Prolog
Topik tentang eksistensi kaum minoritas baik dari sudut pandang hubungan sosial, perlakuan negara dan dalam prespektif agama selalu mendapatkan posisi yang menarik dalam pengamatan para akademisi. Banyak faktor yang melatarbelakangi ketertarikan tersebut, bisa dilihat dari bagaimana diskriminasi mayoritas terhadap minoritas baik dari skala regional, nasional maupun internasional. Selain itu keberadaan logika yang menghadirkan pemahaman bahwa mayoritas akan melakukan pemaksaan terhadap minoritas dikarenakan ketidakberhasilan presepsi karena masih kuatnya rasa etnosentris. Walaupun begitu, terkadang isu minoritas juga bersumber dari permasalahan individu yang berkembang menjadi masalah kolektif kolegial.
Atas permasalah-permasalah yang terjadi, banyak akademimisi membahasnya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan inilah yang nanti akan menjadi referensi untuk bekal menghadapi gelombang konflik yang terjadi. Dalam prespektif demokrasi dan fungsi negara, Suprapto menjelaskan bahwa pendefinisian demokrasi sebagai mayoritarisme akan berakibat pada munculnya kebijakan-kebijakan yang mengkerdilkan hak kaum minoritas dalam beragama (kebebasan beragama dan berkeyakinan, kebebasan menjalankan ibadah). Hal ini diasumsikan berdasarkan beberapa fakta dilapangan, masih banyak regulasi-regulasi yang syarat akan kepentingan mayoritas, menginggat dalam kontek Indonesia Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh warga negara Indonesia. Akan tetapi dalam konteks lokal, banyak juga didaerah-daerah yang pemeluk islam sebagai minoritas masih ditemukan regulasi yang bias akan kepentingan mayoritas. Untuk menghadapi permasalahan tersebut agar tidak terjadi proses diskriminasi yang berkepanjangan, dalam tulisanya Suprapto menyarankan dua upaya yang harus dilakukan dalam meminimalisir praktek deskrimanatif tersebut. Diantaranya adalah adanya upaya perjuangan politik kesetaraan dan upaya untuk penguatan kapasitas kelompok mayoritas atas nilai-nilai demokrasi.
Hampir sama dengan Suprapto, dalam konteks hubungan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia khususnya pasca reformasi Hasan Hasbi menemukan problem-problem yang muncul sebagai bentk diskriminasi atas minoritas. Problem-problem tersebut ditemukan dalam beberapa kebijakan ditingkat daerah yang punya kecenderung berorientasi pada identitas keagamaan dan kesukuan yang menjadi mayoritas di daerah tersebut. Dalam melihat bagaimana selayaknya hubungan antara minoritas dan mayoritas Hasan Hasbi menggunakan pendekatan historis berupa kajian terhadap piagam madinah pada era Dakwah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Hasan Hasbi juga memaparkan bagaimana pengaruh keberadaan otonomi daerah terhadap munculnya perda-perda yang bias kepentingan mayoritas. Sehingga menurut dia, kebebasan dalam membuat perda oleh daerah dalam satu sisi mempunyai mengakibatkan terjadinya disorientasi kepada penerapan ideologi dan falsafah kebangsaan.
Selanjutnya dalam prespektif agama. Subehan Khalik meneliti bagaimana eksistensi minoritas dalam prespektif agama islam. Dalam hal ini, Khalik memfokuskan pada bagaimana hubungan kaum mayoritas dan minoritas pada masa dakwah Rasulullah di Madinah. Menurutnnya, pada zaman tersebut kaum minoritas mendapatkan keistimewaan tertentu yang didapatkan dari perjanjian zimmah. Perjanjian żimmah membawa pengaruh terhadap hak dan kewajiban mereka di tengah komunitas muslim. Salah satu hak yang patut mendapat perhatian adalah hak mereka berkenaan dengan kebolehan mereka menjadi pejabat Negara tanpa batas kecuali pada jabatan-jabatan prinsip dan berkaitan dengan hajat hidup lansung kaum muslimin. Dalam memperoleh hak mereka, kelompok ini diwajibkan untuk menjaga beberpa hal yang berkaitan dengan kaidah hidup mereka dalam masyarakat muslim semisal larangan memasarkan miras dan mengajak warga muslim untuk mencicipi atau meminum minuman keras.
Dari beberapa uraian diatas, kiranya hubungan antara minoritas dan mayoritas masih menarik untuk dikupas khususnya di Indonesia. Menginggat pada beberapa dekade terakhir ini politik identitas keagamaan sering sekali mewarnai opini baik di media sosial maupun pada forum-forum ilmiah. Dalam konteks ini,saya lebih tertarik pada bagaimana deskripsi tentang mayoritas dan minoritas dalam representasi kepemimpinan nasional. Selain itu, dalam tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana pemaknaan HAM dan demokrasi dipakai dalam narasi-narasi pertentangan tersebut. Sehingga diharapkan dari hasil analisis ini didapatkan alaternatif solusi buat kedepanya.
Redefinisi Intoleransi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah dunia menjadi “kampung dunia” (the global village) yang kemudian membawa dampak pada terjadinya heterogenitas dan pluralitas di sudut-sudut perkampung dunia itu, baik dari segi ekonomi, budaya, etnik, ras dan agama. Kenyataan ini di satu sisi mendorong interaksi, kooperasi, akomodasi, dan akulturasi antara berbagai kelompok masyarakat yang pluralistik itu, tetapi dari sisi lain dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan bahkan konflik antara satu sama lain, karena masing-masing kelompok pada waktu yang sama juga akan berusaha mempertahankan identitasnya, termasuk dalam konteks politik dan kekuasaan.
Sejarah dunia mencatat, dalam konteks kekuasaan dan kepemimpinan jarang ditemukan dokumentasi yang menarasikan kepemimpinan minoritas terhadap mayoritas. Sekalipun ada, pada kenyataanya akan menyisihkan konflik yang berkepanjangan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu juga, faktor pengaruh dan power dalam penguasaan terhadap aset-aset penting negara serta dukungan para kapitalis besar akan menjadi syarat terhadap terpilihnya minoritas dalam kontestasi politik untuk mendapatkan kekuasaan.
Pada tahun 2018 Lembaga Survey Indonesia (LSI) menemukan tren intoleransi, terutama dalam hal politik, mengalami peningkatan pasca-kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Indikasinya, mayoritas masyarakat enggan memilih pemimpin nonmuslim."Intoleransi kelompok muslim terhadap nonmuslim cenderung tinggi terutama dalam politik. Dalam survei bertajuk 'Tren Persepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi dan Intoleransi', Burhanudin mengemukakan bahwa LSI menemukan responden muslim semakin tak ingin kursi presiden, wakil presiden, gubernur, atau bupati/wali kota dikuasai nonmuslim. Pada 2016, hanya ada 48 persen muslim yang enggan memilih presiden dari agama berbeda. Setahun kemudian, angkanya naik menjadi 53 persen. Pada 2018, angkanya kembali naik menjadi 59 persen. Senada dengan hal tersebut, Denny JA dalam sosialisasi hasil surveynya juga menyatakan bahwa masyarakat Indonesia secara nasional belum siap dipimpin oleh seseorang yang berasal dari etnis minoritas. Hal ini disebabkan karena mayoritas publik masih mengidealkan sosok presiden yang muslim, lelaki, dan pribumi. Bagi publik pemimpin nasional lebih dianggap sebagai representasi dari mayoritas publik yang aktif di politik yang umumnya memang muslim dan pribumi.
Pelabelan penentuan hak pilih didasarkan pada kesamaan agama dan ras sebagai tindakan intoleransi oleh Burhanudin Muhtadi saya fikir terlalu berlebihan. Dan bahkan apa yang dilakukan oleh Burhanudin juga bisa disebut sebagai tindakan intoleransi karena tidak menghargai hak orang dalam menentukan pilihan yang didasarkan pada kesamaan agama, ras atau skunya. Seperti dijelaskan oleh Suprapto, perilaku intoleran tidak bisa dilihat dari sudut pandang hubungan antara mayoritas terhadap minoritas. Akan tetapi pada esensinya bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, pertama, seberapa besar tindakan tersebut berlawanan dengan aturan dan hak dasar manusia. Kedua, seberapa besar tindakan tersebut berlawanan dengan nilai, norma dan narasi kebenaran public.
Jika dilihat dari kenyataan sosial, kita dihadapakan pada dilema dalam pendefinisian perilaku intoleransi. Dari satu sisi, tindakan intoleransi merupakan tindakan yang berlawanan terhadap penghargaan atas hak asasi manusia yang menjadi landasan dalam peraturan yang dibuat. Seakan muncul pemaknaan, atas dalil kemanusiaan mayoritas harus menerima kepemimpinan minoritas yang pada kenyataanya mempunyai peluang besar terjadi konflik besar. Pada sisi lain, representasi mayoritas atas kepemimpinan seolah menjadi kebenaran public yang harus dihormati dan dihargai. Terlepas dari faktor tingkat rasionalitas masyarakat, pemaksaan kehendak yang bertentangan dengan kebenaran public yang dalam prosesnya menghadirkan banyak konflik bisa jadi merupakan tidakan intoleransi.
Pemaknaan Kembali Esensi HAM dan Demokrasi
Secara konseptual, dalam hubungan harmonis sebagai lawan dari intoleransi adalah pluralitas. pluralitas ada yang bersifat primordial—diterima secara taken for granted—dan ada pula yang timbul sebagai konsekuensi logis dari pilihan-pilihan pragmatis. Heterogenitas primordial adalah perbedaan yang secara azali sudah ditakdirkan Tuhan terhadap makhluknya, setiap orang tidak dapat menolak fakta perbedaan tersebut, seperti ras, anggota kelompok suku tertentu, bangsa dan dalam batas-batas tertentu adalah agama—karena sudah jamak bahwa agama diterima sebagai warisan keturunan (heredity legacy) bukan melalui pilihan sadar dan rasional. Sedangkan heterogenitas paragmatis adalah perbedaan yang timbul kemudian sebagai konsekwensi dari perbedan sudut pandang (point of view), kepentingan (interest) dan afiliasi kelompok (group affiliation).
Ketika heterogenitas primordial dan heterogenitas paragmatis saling bersentuhan—terutama dalam ruang kontestasi politik dan kekuasaan—seringkali kesadaran akan keniscayaan pluralitas mulai meluruh. Dalam situasi demikian, pelbagai upaya kerap dilakukan untuk memanfaatkan isu primordial seperti agama, suku dan ras sebagai instrumen untuk menjustifikasi kepentingan pragmatis tertentu. Dalam banyak kasus, proses tersebut berkaitan erat dengan egoisme kelompok mayoritas yang berupaya menancapkan hegemoninya terhadap kelompok minoritas. Selain itu juga, kepentingan pragmatis seperti politik identitas merupakan bentuk kekecewaan terhadap kenyataan sosial yang menghadirkan kesenjangan ekonomi. Hubungan negara yang romantis dengan pasar telah memberi peluang besar terhadap keterlibatan kapitalis besar dalam menentukan kebijakan penting negara. Maka tidak heran dalam proses kontestatasi politik selalu menyertakan politik uang dalam usaha pemenangan. Sehingga dalam pelaksanaanya selalu menghadirkan konflik, salah satunya adalah konflik yang bernuansa SARA, misal pada kasus perhelatan Ahok menjadi Gubernur DKI yang rumornya nanti akan digadang menjadi calon Presiden.
Dalam prespektif Islam, hubungan minoritas dan mayoritas dalam keterlibatan politik pernah dibahas dalam perjanjian di Madinah. Menurut Subekhan Khalik, ketika seorang ahl al-kitāb telah mengadakan perjanjian żimmah dengan pemerintahan kaum muslimin maka ia akan mendapatkan perlindungan terhadap harta dan jiwa mereka. Dalam konteks ini, perlindungan bermakna internal dan eksternal. Perlindungan internal berupa penghindaran non muslim dari macam gangguan dan intimidasi dari kaum muslimin. Perlindungan eksternal dimaksudkan pada proteksi kaum muslimin terhadap ahl al-kitāb dalam menghadapi ancaman dari musuh mereka, juga terhadap musuh kaum muslimin. Perlindungan ini seketika menjadi dasar perlakuan kaum muslimin terhadap mereka sekaligus menjadi tolok ukur perlindungan kaum muslimin kepada kaum minoritas dalam lingkup bermasyarakat.
Hak-hak ahl al-zimmi dalam beberapa literature dicantumkan bahwa seidaknya terdapat lima hak fundamental mereka, salah satunya adalah hak dalam bidang politik. pada hak ini. Kelompok minoritas dari agama lain diberi kesempatan untuk menduduki jabatan tertentu dalam tata kelola kenegaraan. Perjanjian żimmah telah berimplikasi kuat terhadap eksistensi non muslim dalam konteks ini. Dalam catatan Abū al-A’lā al-Maudūdī, seluruh jabatan politik dapat diberikan kepada kelompok minoritas kecuali sedikit pada jabatan strategis dan berkiatan lansung dengan hajat hidup masyarakat. Jabatan dimaksud meliputi syūra dan kepala Negara. Jabatan ini berkaitan lansung dengan kesejahteraan rakyat dan titik penentu dari arah kebijakan bernegara. Pada jabatan selain kedua jabatan sentral tadi, Abū al-A’lā al-Maudūdī memboleh kan kaum żimmī menduduki jabatan semisal jabatan jawatan administrasi Negara sepanjang jabatan tersebut tidak menjadi central urusan public dalam tata kelola pemerintahan dalam Islam.
Dari pemaparan tersebut, seolah kita dihantarkan pada pemahaman ihubungan antara minorotas dan mayoritas yang lebih esensial. Dimana dalam hubungan tersebut mayoritas bertugas melindungi minoritas dan minoritas sangat menghormati mayoritas. Bentuk penghormatan mayoritas adalah dengan diterimanya isi perjanjian tersebut berupa pembayaran kewajiban dan penerimaan keterlibatan di ranah politik dengan pembatasan yang sudah diatur. Yaitu tidak diperbolehkanya minoritas untuk menduduki jabatan penting seperti kepala negara.
Dalam deskripsi tentang mayoritas dan minoritas dalam representasi kepemimpinan nasional khususnya di Indonesia. Jika dihubungkan dengan kontek islam, HAM dan demokrasi maka penolakan calon pemimpin Nasional (kepala negara) yang berasal dari etnis minoritas dianggap bertentangan dengan hak dan kebebasan manusia. Seakan kita dihantarkan pada pemahaman bahwa apa yang dihasilkan dari penelitiaan Denny JA, yaitu pada level nasional mayoritas publik, 56.80 persen tidak mau dipimpin oleh presiden yang berasal dari etnis minoritas, merupakan bagian dari perilaku yang mencederai semangat demokrasi. Dimana dalam konteks ini juga berlainan dengan asumsi bahwa sistem demokrasi dedifiniskan sebagai mayoritaisme.
Perbedaan sudut pandang terkait keterlibatan minoritas dalam kepemimpinan Nasional telah melahirkan pelabelan terhadap sikap yang berbeda. Jika ini dibiarkan maka yang terjadi akan selamanya bahwa tindakan dan sikap mayoritas yang menghendaki reperesentasi kepemimpinan Nasional berasal dari mayoritas tumbuh dalam opini public sebagai tindakan yang jauh dari logika HAM dan demokrasi. Padahal dalam kenyataanya, pemaksaan atas representasi minoritas dalam kepemimpinan nasiona (kepala negara) akan melahirkan konflik sosial yang sangat berat. Untuk itu diperlukanlah sebuah solusi sebagai upaya dalam menghadapi perbedaan yang ada. Adapun upaya tersebut bisa dilakukan dengan melakukan perubahan dalam memahami HAM. Dimana selama ini HAM dipahamai sebagai sebuah kebebasan, padahal pada prinsipnya bahwa HAM adalah merupakan panduan dalam melakukan tidakan yang menginternalisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Bisa saja difahamai bahwa menghindari konflik kemanusiaan dengan menerima logika mayoritas merupakan bagian dari internalisasi nilai-nilai kemanusiaan. Selain itu dari pemahaman ini akan diperoleh pemaknaan demokrasi yang konperehensif. Dimana dalam demokrasi bukanlah pendefinisian mayoritaisme, yang mana dalam prakteknya suara terbanyak bisa dimanipulasi dengan propagandan dan persuasif media serta keterlibatan money politik. Akan tetapi pemahaman yang lebih esensial bisa didapatkan dari pendifinisian bahwa demokrasi adalah sebuah tatanan masyarakat dimana mayoritas melindungi minoritas dan minoritas menghormati dan menghargai mayoritas.
Penutup
Dari analisis yang dilakukan terkait hubungan minoritas dan mayoritas dalam konteks kepemimpinan nasional didapatkan bahwa Pelabelan penentuan hak pilih didasarkan pada kesamaan agama dan ras sebagai tindakan intoleransi adalah sebuah kesalahan. Penilaian ini didasarkan pada asumsi Suprapto yang menyatakan bahwa perilaku intoleran tidak bisa dilihat dari sudut pandang hubungan antara mayoritas terhadap minoritas. Akan tetapi pada esensinya bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, pertama, seberapa besar tindakan tersebut berlawanan dengan aturan dan hak dasar manusia. Kedua, seberapa besar tindakan tersebut berlawanan dengan nilai, norma dan narasi kebenaran public.
Selanjutnya, perbedaan sudut pandang terkait keterlibatan minoritas dalam kepemimpinan Nasional telah melahirkan pelabelan terhadap sikap yang berbeda. Jika ini dibiarkan maka yang terjadi adalah munculnya konflik yang besar. Untuk itu diperlukanlah sebuah solusi sebagai upaya dalam menghadapi perbedaan yang ada. Adapun upaya tersebut bisa dilakukan dengan melakukan perubahan dalam memahami HAM sebagai panduan dalam melakukan tidakan yang bisa menginternalisasikan nilai-nilai kemanusiaan bukan sebagai sebuah kebebasan yang terkesan absolut. Selain itu dari pemahaman ini akan diperoleh pemaknaan demokrasi yang konperehensif. Dimana dalam demokrasi bukanlah pendefinisian mayoritaisme, Akan tetapi pemahaman yang lebih esensial bisa didapatkan dari pendifinisian bahwa demokrasi adalah sebuah tatanan masyarakat dimana mayoritas melindungi minoritas dan minoritas menghormati dan menghargai mayoritas.
Daftar Pustaka
Suprapto, “Membina relasi damai antara mayoritas dan minoritas (telaah kritis atas peran negara dan umat islam dalam mengembangkan demokrasi di indonesia”. Jurnal Analisis volumi XII, nomor 1 Juni 2012.
Hasan, Hasbi .“Islam, negara dan hak-hak minoritas di Indonesia”. Jurnal Analisis volumi XII, nomor 1 Juni 2012.
Khalik, Subehan ,” Hak-hak kaum minoritas dalam hukum Islam” Jurnal Al-daulah vol.05/No. 02/Desember 2016.
Leave a Comment