| 0 Comments | 160 Views

Card Image

Poster film Spinning Boris

Review Film Spinning Boris

 

Oleh: Saifuddin

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 

Kesan dan Catatan Kecil Terhadap Film “Spinning Boris”

Film “Spinning Boris” yang ditulis oleh Cary Bickley dan Yuri Zeltzer dan disutradarai  Roger Spottiswoode ini menceritakan tentang pemilu ‘demokratis’ pertama di Rusia pada tahun 1996 yang juga merupakan pemilu terbesar di dunia mengingat jumlah penduduk Rusia yang sangat besar. Dalam pemilu kali ini tiga konsultan politik Amerika—George Gorton, Dick Dresner, dan Joe Shumate (diperankan oleh Jeff Goldblum, Live Schreiber, dan Anthony Lapaglia)--disewa oleh sekelompok pengusaha misterius Rusia untuk menjadi ‘think thank’ kampanye pemilihan Boris Yeltsin. Tugas mereka adalah menyusun strategi untuk memenangkan Boris Yeltsin kembali menjadi presiden Rusia untuk kedua kalinya.

Namun setelah tiba di Rusia ketiga konsultan politik tersebut tidak bisa memperoleh akses pada orang yang dituju, mereka kemudian memberi perhatian kepada puteri Yeltsin sebagai alat yang menyenangkan mereka kepada Yeltsin dan membawa metode Barat ke pemilu tersebut. Mereka berkonsultasi dengan putri Yeltsin (karena Boris tidak akan pernah berisiko secara personal bertemu dengan orang Amerika) di kampanye. Untuk membantu tugas-tugasnya, ketiga konsultan tersebut bekerjasama dengan Vasso, semacam LSI-nya Rusia. Tugas Vasso tersebut adalah memetakan kecenderungan voters Rusia, misalnya kemudian diketahui bahwa kecenderungan yang mendukung partai komunis adalah sekian persen (banyak), pendukung Yeltsin hanya sekian persen (sangat sedikit), dan ada juga swinging voters, pemilih yang masih mengambang, tidak memiliki keputusan politik yang pasti. Menurut ketiga konsultan tersebut kecenderungan ketiga ini bisa ‘digarap’ untuk bisa memenangkan Yeltsin.

Di awal film ada beberapa dikotomi menarik mengenai dua pendekatan politik. Yeltsin awalnya ada pada angka satu dalam polling, ada di tempat terakhir yang sudah mati (bahkan di balakang mantan jenderal Soviet yang secara mental tidak seimbang yang hanya mengelilingi jalan dengan piyamanya dan berteriak untuk memperoleh kembali Alaska dari orang Amerika yang menjijikkan). Pokoknya segalanya nampak suram.

Dengan kenyataan yang seperti itu, tiga konsultan politik Amerika mendorong kurangnya moralitas standar, mereka menawarkan strategi kampanye negatif (strategi kampanye yang biasa dijalankan di Barat; Amerika) kepada tim kampanye Boris (All the President’s Men), strategi yang dimaksud mereka adalah smile (senyum), party of war (pesta perang), tetapi nampaknya orang Rusia keberatan strategi itu diterapkan di Rusia. Orang Rusia tidak ingin mengatakan sesuatu yang tidak benar, dan mereka tidak ingin calon mereka berpura-pura cocok. Melihat hal ini tiga konsultan tersebut menjadi frustasi, sementara orang Rusia juga tidak sabar akhirnya passport tiga konsultas tersebut disita oleh pihak Rusia. Namun menjelang pelaksanaan pemilu kesehatan Boris menurun sehingga putrinya terpaksa menerima pendekatan tiga konsultan tersebut dengan beberapa perbaikan.

Adegan film ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai antara Barat (Amerika) dengan Rusia. Bagi orang Amerika yang penting adalah kemenangan tidak perduli apapun caranya apalagi dalam masalah politik, politic is the art of possibilties katanya. Sementara bagi orang Rusia tujuan yang ingin dicapai harus dengan cara-cara yang baik, jujur dan benar, tidak boleh ada political enginering.

Berkaitan dengan film ini, menurut Dan Tester film ini merupakan langkah pelan dan kacau balau baik yang mengimpor dari apa yang sebenarnya terjadi (dalam pertikaian yang seimbang antara Demokrasi dan Komunisme) maupun ironi kapitalis yang menunjukkan cara yang  sesungguhnya benar-benar memotong jalan. Lebih lanjut Tester menyebut film ini merupakan drama besar yang sangat menegangkan sepanjang sejarah dari All the President’s Men (tim sukses).[1] Masih menurut Tester berkaitan dengan karakter pemain inti ia menyatakan tidak semuanya diperlukan menjadi film. Dan tuan Goldblum, tidak setiap karakter diperlukan menjadi si bodoh, anda menjadi tidak asli.

Di samping itu, film ini sudah bisa ditebak ending-nya bahwa Yeltsin menang, dan ini tidak mengejutkan seperti perahu yang karam dalam Titanic.

Electoral Game dan Kontribusinya Terhadap Demokrasi

Untuk mencapai tujuan biasanya diperlukan strategi. Strategi umumnya merupakan sesuatu yang berkaitan dengan cara atau usaha untuk menguasai dan secara efisien menggunakan seluruh sumber daya sosial dan bangsa untuk mencapai tujuan tersebut. Electoral game adalah salah satu strategi khusus digunakan untuk memenangkan calonnya dalam pemilihan umum. Khusus berkaitan dengan pemilu demokratis pertama di Rusia, electoral game yang digunakan adalah sebagai berikut:

a.      Pernyataan bahwa kampanye tidak mungkin

b.     Menggunakan jasa Vasso (LSI-nya Rusia)

c.      Mengusung isu untuk mensejahterakan rakyat

d.     Menggarap swinging voters

e.      Menggunakan “Phony American Trick

f.      Menggunakan positive dan negative campaign

Kemudian mengenai kontribusi electoral game terhadap demokrasi, perlu dipilah-pilah. Hal-hal seperti poin b, c, d, dan f bagian positive campaign, hal-hal tersebut akan menyemarakkan bagi demokratisasi sehingga akan memberikan dampak positif bagi perkembangan demokrasi itu sendiri. sementara yang lainnya seperti pernyataan bahwa kampanye tidak mungkin terlaksana, penggunaan “Phony American Trick”, dan melakukan negative campaign atau black campaign justru akan memperburuk citra demokrasi. Di Malaysia misalnya partai yang berkuasa, United Malays National Organisation (UMNO), telah menemukan cara untuk memanipulasi mekanisme pemilihan umum dan untuk mempertahankan kedudukan yang kuat atas kekuasaannya. Kedudukan yang telah dicapai UMNO disebut sebagai ‘hegemoni terbatas’[2]. Kalau demikian halnya maka electoral game justru hanya akan melahirkan demokrasi semu atau istilah lainnya demokrasi kenegaraan (demokrasi formal), namun demokrasi secara substansial tidak akan pernah tercapai.

Model Demokrasi

Berakhirnya perang dingin (Cold War) antara negara-negara adi daya Amerika Serikat dan Uni Soviet berdampak positif bagi semaraknya gagasan dan proses demokrastisasi di berbagai negara. Berakhirnya perang dingin mengalihkan perhatian dunia dari persoalan militerisasi, perang konvensional, persaingan senjata dan pertarungan ideologis kepada persoalan-persoalan demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM).[3]

Runtuhnya rezim-rezim komunis totaliter seperti Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur juga merupakan faktor penting yang menyebabkan demokrasi menjadi obsesi politik dunia[4]. Tidak heran kemudian kalau puluhan negara terutama dunia ketiga berlomba-lomba untuk menyelenggarakan sistem demokratis. Jeff Haynes mencatat pada tahun 1996, semua 23 negara Amerika Latin secara formal adalah demokratis, sementara 7 (dari 20) yang sebelumnya adalah negara otoriter di Asia juga menjadi negara demokrasi. Di Afrika sub-Sahara makin banyak rezim yang dipilih: lebih dari separo dari 48 negara di wilayah itu mengadakan pemilihan umum selama 1989-96. Pokoknya dari 1972-1994 jumlah negara demokrasi dengan ‘sistem politik demokratis’ meningkat dari 44 menjadi 107 dari total 185 negara yang ada dalam waktu dua dasarwarsa.[5] Inilah barangkali apa yang dimaksud oleh  Huntington sebagai ‘gelombang ketiga demokrasi’[6].

Rusia yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Uni Soviet menganut sistem demokrasi Marxis-Leninis (Komunis). Konsep Marx bercirikan moralistik dan kritik yang tajam terhadap eksploitasi kelas dalam sistem kapitalis. Marx menginginkan peran minimal negara dan penghapusan kelas. Namun kemudian gagasan Marx diterjemahkan oleh Lenin dengan konsepnya yang dia sebut vanguard. Penerjemahan Lenin ternyata merupakan penyimpangan mendasar dalam penerapan konsep-konsep demokrasi Marx. Penyimpangan tersebut terletak pada bahwa konsep vanguard Lenin merujuk pada sistem pemerintahan oleh segelintir elit penguasa yang tergabung dalam partai, sementara konsep Marx tidak demikian.[7]

Pertanyaannya kemudian bagaimana sistem kenegaraan di Rusia setelah runtuhnya Uni Soviet, apakah mereka akan tetap bertahan dengan konsep sebelumnya atau menganut demokrasi liberal yang menurut Fukuyama merupakan sistem terbaik[8], ataukah mereka hanya akan menganut sistem demokrasi substansial[9], yaitu bahwa bentuk sistem kenegaraan bisa tidak sama dengan demokrasi liberalnya Amerika namun sesuai dengan nilai Rusia tetapi menerapkan prinsip-prinsip umum demokrasi. Demokrasi memiliki doktrin dasar yang tidak pernah berubah. Doktrin tersebut adalah adanya keikutsertaan anggota masyarakat, yaitu partisipasi rakyat dalam menyusun agenda politik yang dijadikan landasan pengambilan keputusan.[10]. Saya kira pilihan paling ‘terhormat’ dan bermartabat bagi Rusia adalah demokrasi substansial ini. Hanya persoalannya kemudian bisakah prinsip-prinsip umum demokrasi ini diterapkan di sebuah negara yang sistemnya bukan demokrasi (khususnya demokrasi liberal)?

Sementara berkaitan dengan film “Spinning Boris”, saya kira demokrasi yang diterapkan di Rusia waktu itu, masih berupa demokrasi permukaan (facade). Demokrasi permukaan hanya tampak luarnya saja demokratis tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Tapi terlepas dari itu, Rusia telah keluar dari otoritarianisme berproses menuju ke sistem yang demokratis.

Wallahu a’lam bi al-shawab (saif_struggler@yahoo.co.id)


DAFTAR PUSTAKA

 

Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, terj. Yogyakarta: Qolam, 2004.

Haynes, Jeff, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga “Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.

Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991

Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001

Tester, Dan,  di www.Spinning Boris.com, 19 Oktober 2005



[1] Dan Tester,  di www.Spinning Boris.com, 19 Oktober 2005.

[2] Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga “Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), halm. 139.

[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), halm. 295.

[4] Ibid., halm. 296.

[5] Jeff Haynes, Demokrasi…, halm. 130-137.

[6] Gelombang pertama adalah pada akhir abad kesembilan belas, terwujud dengan munculnya pemerintahan demokratis di Eropa Barat dan Amerika Utara; yang kedua segera menyusul setelah Perang Dunia II dengan hilangnya rezim fasis Italia, Jepang dan Jerman dan dikenalkan serta dipakainya kembali demokrasi di negara-negara tersebut, lihat Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, (Norman: University of Oklahoma Press, 1991)

[7] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik.., halm. 309-312.

[8] Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, terj. (Yogyakarta: Qolam, 2004).

[9] Jenis demokrasi bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu demokrasi formal, substantif dan prosedural. Sementara Jeff Haynes membagi demokrasi menjadi tiga pula, yakni demokrasi formal, substantif dan permukaan (façade).

[10] Ibid., halm. 32.


Leave a Comment