| 0 Comments | 147 Views

Card Image

restorative justice

Substantive Justice vs Restorative Justice

Upaya Reformulasi Hukum Pidana Nasional

 

Oleh Saifuddin

(Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

Putusan Pengadilan Negeri Situbondo yang menjatuhkan hukuman 1 tahun 3 bulan penjara dan denda 500 juta subsider 1 hari kurungan kepada seorang nenek tua renta bernama Asyani 63 tahun yang dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pencurian kayu jati telah membuat hati nurani dan akal sehat kita terhenyak. Betapa tidak, barang buktinya hanya beberapa potong kayu jati yang nilainya tidak seberapa, tersangkanya juga seorang nenek tua renta, tetapi hukuman yang dijatuhkan begitu perkasa. Pertanyaanya kemudian adalah adilkah hukuman tersebut, sementara ada koruptor yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi milliaran rupiah hanya dihukum beberapa tahun dan denda yang tidak seberapa dibandingkan tindak pidana yang dilakukannya.

Bagi orang yang berpegang kepada substantive justice dan prinsip-prinsip hukum pidana Barat tentu hal itu dianggap sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dan tentunya itu dianggap sudah adil. Namun demikian, keadilan bukan terletak pada pasal-pasal yang tertera di dalam kitab perundang-undangan semata, tetapi keadilan hakikatnya berada pada hati nurani setiap orang yang paling dalam. Hukum pidana Barat terlalu bertumpu kepada kebenaran material sehingga kadang mengenyampingkan hati nurani yang merupakan sumber keadilan. Sistem peradilan Barat sebagaimana lambangnya perempuan yang memegang pedang dan timbangan serta ditutup kedua matanya menggambarkan bahwa ia hanya akan memegangi kebenaran material yang tersurat dalam pasal-pasal, sementara ia menutup mata terhadap realitas dan bisikan hati nurani.

Dengan demikian, tujuan tertinggi hukum untuk menciptakan keadilan menjadi susah untuk dapat digapai. Kebenaran material akan menjadi sumber ketidakadilan apabila hakim dalam memutuskan perkara tidak juga mempertimbangkan subyek, materi dan obyeknya. Realitas obyektif ketiganya tidak mungkin bisa dipahami oleh pasal-pasal dalam kitab perundang-undangan yang tidak memiliki mata, telinga dan hati nurani. Hal itu hanya mungkin dipahami oleh hakim yang menggunakan mata, telinga dan hati nuraninya dalam memutuskan suatu perkara.

Oleh karena itu, menurut saya diperlukan upaya reformulasi hukum pidana yang lebih mendekatkan kepada tujuan tertinggi hukum yaitu keadilan. Restorative justice adalah usulan yang bisa diharapkan agar hukum pidana dapat memadukan aspek legalitas dan keadilan. Restorative justice sendiri bermakna keadilan yang merestorasi, pendekatan ini lebih menitikberatkan pada terciptanya kondisi keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya itu sendiri.

Di samping itu, restorative justice juga dapat melakukan pergeseran paradigma bahwa hukum pidana tidak lagi merupakan satu-satunya penyelesaian tindak pidana. Musyawarah, dialog, dan mediasi menjadi alternative penyelesaian tindak pidana agar tercapai penyelesaian yang adil dan seimbang baik bagi pelaku maupun korbannya. Dengan cara itu, maka penjara (lembaga pemasyarakatan) tidak akan penuh sesak oleh para pelaku tindak pidana. Cukuplah penjara diisi oleh penjahat-penjahat kelas berat, sementara para pelaku tindak pidana ringan hingga menengah cukup diselesaikan di luar pengadilan dengan cara mediasi atau musyawarah secara kekeluargaan.

Sayangnya, criminal justice system di negara kita ini cenderung ke arah formal dan prosedural tentang penyelesaian perkara pidana, polisi tidak akan bergeming untuk menghentikan suatu perkara pidana meskipun pelaku dan korban sudah terjadi perdamaian. Padahal proses tersebut harus ditempuh dalam waktu yang panjang serta biaya yang tidak murah. Pada sisi lain, proses tersebut tidak kemudian menjamin pemulihan psikis pelaku dan terutama korban. Pertanyaannya adalah kalau sudah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban tetapi proses pemidaan masih dilanjutkan lalu tujuan apalagi yang belum tercapai dari pemidanaan tersebut?.

Dalam hukum Islam, proses pemidanaan tidak selalu harus dengan menggunakan proses legal-formal tetapi bisa dengan proses mediasi dan ta’zir (ganti rugi). Hal ini berlaku tidak hanya dalam kategori tindak pidana ringan, tetapi juga berlaku untuk tindak pidana menengah bahkan berat seperti pembunuhan. Konsep qisas sebenarnya sering salah dipahami sebagai konsep balas dendam, padahal kalau dicermati ayat al-Qur’an yang menyebtukan wa fil qisasi hayatun ya ulil albab, bahwa di dalam qisas terdapat kehidupan bagi orang yang mau berpikir, itulah sebetulnya hakikat pemidanaan dalam Islam.   


Leave a Comment