| 0 Comments | 89 Views

A.    Pendahuluan

Dalam beberapa tahun terakhir, toleransi agama telah menjadi isu utama berkenaan dengan pemerintahan Islam di Arab Saudi, Afganistan di bawah Taliban, Iran dan Sudan, serta dalam aksi organisasi ekstrimis jihad Islam Osama bin Laden maupun al-Qaeda, yang telah intoleran tidak hanya kepada non-muslim, namun juga kepada sesama muslim yang tidak menerima versi Islam yang benar menurut mereka. Situasi ini diperburuk dengan terjadinya bentrok antar umat beragama di beberapa negara.[1] 

Adalah Jean-Paul Sartre, tokoh yang terkenal sebagai salah satu tokoh kunci dari filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme versi Sartre merupakan perpaduan dari sekurang-kurangnya tiga pemikiran kontemporer, yang terdiri dari Marx, Husserl dan Heidegger. Perhatian utama pemikiran Sartre adalah mengenai peran aktif seseorang dalam membentuk nasibnya sendiri. Dalam hal ini Marx menyumbangkan prinsip praktis, Husserl menyumbangkan fenomenologinya dan Heidegger memberikan dasar bagi analisis eksistensial terhadap seseorang.[2] Tulisan ini berusaha untuk melihat pemikiran Jean-Paul Sartre tentang hubungan sesama dan kebebasan manusia, yang pada dasarnya merupakan upaya untuk membela dan mengangkat kesadaran, kebebasan, subjektivitas, dan bahkan martabat manusia

B.    Eksistensi Orang Lain

Pembicaraan mengenai keberadaan orang lain sebenarnya sudah dimulai pada tradisi pemikiran di Yunani, contohnya seperti Aristoteles yang berpendapat bahwa manusia adalah suatu makhluk yang karena kodratnya hidup dalam masyarakat (zoon pooliticon). Menurut Mohammad Hatta, dari pendapat ini dapat ditarik pengertian bahwa ada orang lain di samping adanya “aku”, akan tetapi cara hidup bersama menurut Aristoteles tersebut masih diidentikkan dengan cara hidup bersama seperti halnya lebah dan semut.[3] Selanjutnya terdapat Hobbes yang menyatakan bahwa manusia menurut kodratnya bukan makhuk yang serasi dalam masyarakat populis. Pernyataan tersebut juga menyiratkan bahwa Hobbes mengakui kehadiran orang lain selain dirinya. Berdasarkan dua pendapat para filosof di atas, yang tentunya juga didukung oleh beberapa pendapat filosof lainnya yang tidak penulis masukkan dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa mereka semua tidak menyangsikan adanya orang lain, tak terkecuali Sartre.

Sartre sejak awal menerima keberadaan orang lain. Orang lain diterima sebagai “pribadi yang otonom” walaupun kehadirannya kerap mengganggu “aku”. Dalam sebuah bagian di bukunya yang berjudul Being and Nothingness, Sartre menunjukkan bagaimana cara kita tanpa ragu mengetahui bahwa orang lain itu ada. Menurutnya kita dapat mengenali dengan jelas bentuk hubungan antara kita dengan orang yang lain. Kita bahkan memiliki pengalaman tentang keberadaan orang lain dalam diri kita, sehingga kita yakin dengan keberadaan mereka. Untuk menunjukkan bahwa kita sebenarnya memiliki pengalaman tersebut, Sartre memberikan contoh kongkrit yang masuk akal. Ia mencontohkan seorang laki-laki yang mengintip lewat lubang pintu dan menguping karena merasa cemburu atau sedang merasa penasaran terhadap sesuatu. Pada saat itu dia sedang benar-benar tersedot perhatiannya terhadap apa yang dia lakukan, sehingga kesadaran atas diri dan tubuhnya menurun hingga batas minimum. Dia tidak lagi memiliki perhatian untuk menjelaskan dirinya sendiri atau untuk mengatakan apa yang sedang dia lakukan. Dia memandang pintu, lubang pintu dan hal-hal yang di sekitarnya sebagai bagian dari tugas yang dia bentuk sendiri, yang ditugaskan kepada dirinya sebagai suatu rintangan di depannya. Akan tetapi kemudian tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Dia menyadari bahwa seseorang di sana sedang memperhatikannya. Keberadaannya kemudian diubah dan disusun kembali seluruhnya dalam bentuk yang baru. Dia akhirnya ada, bukan hanya sebagai rangkaian tindakan dan tujuan, tapi sebagai orang yang sedang mengintip dan menguping. Dia sadar bahwa dia akan digambarkan oleh orang lain sebagai orang yang tertangkap basah sedang mengintip atau yang lainnya; dan penggambaran tersebut nampaknya tidak aneh untuk dirinya. Dia menerima penggambaran tersebut sebagai hal yang pantas baginya. Tiba-tiba saja dia menjadi ada sebagai obyek yang dapat dilihat dari luar, sebagai obyek yang dapat menerima label-label anggapan, yang mana label anggapan tersebut bisa saja benar atau salah. Dia menerima semua anggapan-anggapan tentang dirinya dengan rasa malu.[4]

Anekdot yang disajikan Sartre dalam bentuk yang langsung dan sangat berkesan itu secara sederhana ditujukan untuk membuat kita mengingat kembali rasa malu sebagaimana yang pernah kita rasakan. Menurut Sartre, struktur keberadaan tersebut telah diubah ketika kita membayangkan kejadian yang mengejutkan. Ketika dia menyadari dirinya sedang diperhatikan oleh orang lain, kita juga seharusnya menyadari sebuah kebenaran yang filosofis yang sangat dalam, yang disebut dengan kita ada bagi orang lain secara esensial. Ketika tertangkap basah, pria yang sedang mengintip tersebut mulai memberikan penilaian kepada dirinya sendiri, dan rasa malunya muncul ketika dia mengetahui bahwa penilaian tersebut pasti sama dengan penilaian orang yang memergokinya. Dia menyadari dirinya menjadi obyek bagi orang lain. Seperti yang kita lihat, penilaian orang lain memberikan efek penting bagi perilaku kita. Kita mungkin saja memilih untuk hidup dalam “bad faith”, menyangkal kebebasan pribadi kita demi menghidupkan peran yang telah diberikan oleh orang lain kepada kita.[5]

Pentingnya kedudukan orang lain di mata Sartre disebabkan oleh keberadaannya sebagai bagian dari struktur kepentingan dirinya. Seorang “aku” memerlukan orang lain agar dapat merealisasikan struktur keberadaan dirinya, yaitu keberadaan dirinya untuk sesama. Nilai penghargaan “orang lain” atas “aku” tergantung sejauh mana “aku” menghargai “orang lain”. Keberadaan orang lain menjadi suatu kesadaran yang lain bagi saya. Dalam hal ini Sartre memberikan sebuah penjelasan:

Ketika kita bertemu dan melihat orang lain, maka pada saat itu kita sebenarnya tengah mengobyektivikasi orang lain. Bagi kita orang yang kita temukan tadi tidak lebih dari obyek-obyek yang lain seperti pohon, batu, bunga, atau benda lain di sekitar kita. Kita merasa seolah-olah obyek-obyek tadi –termasuk manusia- mengarah kepada kita sebagai sentrum dunia obyektif. Akan tetapi ketika orang tersebut memalingkan wajahnya dan menatap kita, situasi menjadi sama sekali berubah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam pernyataan bahwa saya sadar akan adanya orang lain, saya menemukan diri saya dari subyek menjadi obyek. Keberadaan saya dilihat oleh orang lain, sehingga hal tersebut mereduksi saya. Sartre mengatakan bahwa manusia itu sadar akan adanya keberadaan orang lain, dan karena kesadarannya manusia sadar bahwa dia bukan hanya untuk dirinya sendiri sebagai pusat berada, tetapi ada orang lain yang juga merupakan subyek. Intinya, menurut Sartre dengan adanya orang lain dalam kehidupanku maka aku sendiri dapat mengatakan sesuatu tentang diriku. Lewat orang lain aku menjadi aku. Orang lain merupakan perantara mutlak antara aku dan diriku sendiri.[6] Fakta yang terjadi sebenarnya ternyata manusia cenderung selalu mempertahankan subyektivitasnya sendiri. Ia akan berusaha menjadikan dirinya sebagai subyek atau pusat bagi yang lain, yang dilakukannya dengan jalan memperlakukan orang lain sebagai obyeknya.[7]

C.    Relasi Dimaknai sebagai Rivalitas

Hubungan antar sesama merupakan bagian dari kehidupan manusia yang bersifat kodrati. Seluruh filosof mengakui bahwa hubungan manusia dengan sesama bersifat mutlak, meskipun konsep mengenai bentuk dan cara manusia berrelasi masing-masing berbeda. Konsep Sartre mengenai hubungan antar manusia menimbulkan banyak reaksi. Menurutnya, berangkat dari pandangannya bahwa di antara orang lain dan dirinya ada suatu pemisahan yang disebut dengan ketiadaan serta selalu menjadikan dirinya sebagai pusat, maka yang terjadi dalam hubungan dengan sesama adalah sebuah fakta bahwa setiap orang selalu cenderung mempertahankan kesubyektivitasannya sendiri, sehingga pertemuan antara “aku” dan “kau” selalu dalam keadaan konflik.[8]

Pemikiran Sartre berbasis pada pemikiran mengenai kebebasan. Baginya manusia adalah kebebasan, sehingga manusia tidak mempunyai esensi. Apabila manusia memiliki esensi, maka sama dengan manusia itu tidak bebas. Konsep kebebasan Sartre juga berkaitan dengan ateismenya. Ia yakin bahwa Tuhan tidak ada. Apabila Tuhan ada, maka kebebasan sudah dicabut dari eksistensi saya. Karena manusia memiliki kebebasan, maka manusia berhak untuk menolak Tuhan. Menurut Sartre manusia tidak bertanggung jawab kepada Tuhan, melainkan kepada dirinya sendiri.[9]

Pemikiran bahwa eksistensi mendahului esensi berarti manusia pada mulanya ada di dunia dan kemudian dia memberi makna pada dirinya sendiri. Apa yang ingin disampaikan oleh Sartre adalah bahwa keberadaan manusia tergantung dari apa yang dia pilih untuk dirinya sendiri.[10] Dia mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar kepada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya.[11] Dalam kehidupan ini tidak ada yang dinamakan kebetulan. Suatu malapetaka yang terjadi dan melibatkanku di dalamnya tidak berasal dari luar. Jika aku terkena mobilisasi perang, maka perang itu adalah perangku dan aku berhak menerimanya. Aku berhak menerimanya karena aku mampu menghindarinya, seperti dengan cara bunuh diri. Oleh karena aku tidak menghindarinya, maka berarti aku telah memilihnya.[12]      

Kenyataan bahwa orang yang memergoki orang lain di dekat lubang kunci pasti akan mencapnya sebagai pengintip menunjukkan sifat dasar dari hubungan seseorang dengan orang lainnya, yakni konflik (pertentangan). Kebebasan orang lain merupakan rintangan terbesar dari kebebasanku untuk melakukan apa yang diinginkan.[13]

Menurut Sartre, pandangan orang lain merupakan kematian bagi segala kemungkinan bagiku. Sartre memberikan gambaran sebagai berikut: tetap tinggal di rumah karena hujan dan tetap tinggal di rumah karena dilarang keluar oleh seseorang sebenarnya sama saja. Yang biasanya membuat kita kesal adalah ketika orang lain yang memerintahkannya. Hal ini disebabkan karena perintah dan larangan menyebabkan kita mengalami kebebasan orang lain sebagai perbudakan bagi kita.[14]

Penjelasan mengenai pertentangan antara satu orang dengan orang yang lain termuat dalam bagian ketiga dari bab III buku Being and Nothingness. Sartre berkata:

Ketika aku berusaha untuk membebaskan diriku dari cengkeraman orang lain, orang lain juga berusaha untuk membebaskan dirinya dari cengkeramanku. Ketika aku berusaha untuk memperbudak orang lain, orang lain juga berusaha untuk memperbudakku. Penjelasan mengenai tindak tanduk yang nyata harus dilihat dalam perspektif konflik.

D.    Pandangan Sartre mengenai tindakan manusia

Perbuatan memerlukan alasan atau sebab. Perbuatan manusia muncul dari pemikirannya tentang dunia, sebuah keinginan untuk merubah sejumlah hal dalam situasinya. Kita dapat melakukan sesuatu karena kita selalu melihat dunia hanya dari suatu sudut pandang dan karena kita dapat memproyeksikan diri kita ke masa depan yang belum terjadi. Kesadaran bahwa suatu hal dapat diubah yang dapat memotivasi munculnya suatu tindakan. Apabila seseorang sakit atau miskin, dia mungkin saja menganggap kemalangannya sebagai bagian yang tidak terelakkan dalam hidupnya. Dia mungkin hidup dengan kemiskinan atau penyakitnya tanpa pernah berpikir tentang masa depan tanpa kedua hal tersebut. Akan tetapi, selama dia merupakan manusia yang sadar, dia akan mampu membayangkan hidupnya tanpa penyakit atau kemiskinan. Apabila ia telah membayangkannya, maka dia akan memiliki alasan untuk mencoba memperbaiki kehidupannya. Sekalipun pada awalnya dia menganggap kemalangannya sebagai hal yang tidak terelakkan, dia sebenarnya menyadari keadaannya sebagai objek dalam kesadaran non reflektifnya saja. Sewaktu ia mulai memikirkan kondisinya, maka ia dapat mulai merencanakan pertimbangan untuk melakukan sesuatu, yakni mengurangi atau menghilangkannya.[15]

Berdasarkan contoh di atas, Sartre bersikeras bahwa pemikiran tentang masa depanlah yang menyebabkan kita untuk melakukan suatu tindakan. Jika ingin melakukan sesuatu, kita harus memproyeksikan diri kita ke masa depan dan menjauhkan diri dari masa lalu. Tidak ada suatu tindakan tanpa adanya dorongan, dan tidak ada suatu tindakan yang muncul yang disebabkan oleh masa lalu.[16]

Teori kesadaran Sartre dalam Being and Nothingness dapat dikatakan juga sebagai doktrin anti Freud. Sartre ingin mempertahankan dogma eksistensialis murni bahwa kita merupakan apa yang kita pilih untuk diri kita. Bahwa kita tidak memiliki sifat-sifat dan karakter dasar yang tidak kita ciptakan sendiri bagi diri kita. Apabila kita mempercayai bahwa karakter-karakter yang ada pada diri kita merupakan bawaan lahir dan terbentuk tanpa bisa dielakkan oleh kejadian-kejadian dan lingkungan masa kecil kita, sama saja dengan kita terperosok ke dalam bad faith, sebagaimana Gene yang menerima peran pencuri yang diberikan oleh orang tua asuhnya. Fungsi dari bad faith adalah untuk melindungi kita dari pengakuan atas tanggung jawab kita sendiri. Jika kita jujur dan tidak terpengaruh oleh doktrin-doktrin Freud yang menenangkan, maka kita akan menyadari bahwa tidak ada hal yang membentuk karakter kita kecuali pilihan kita sendiri.[17]

Sartre memberikan perumpamaan mengenai hal  di atas: jika aku hanya memiliki tinggi 5 kaki, maka betapapun besarnya harapan dan keinginanku tidak akan mampu membuatku mencapai rak tertinggi di perpustakaan tanpa menggunakan pijakan -hal ini masih dimaklumi oleh Sartre. Akan tetapi karakterku tidak terbentuk hanya oleh kenyataan bahwa aku bertubuh kecil. Tinggi badanku yang mungil hanyalah materi mentah yang digunakan untuk memilih pilihan bebasku. Perbedaan antara aku dengan orang kerdil lainnya terletak pada bagaimana kita menjalani hidup dengan kekerdilan tersebut. Bagaimana kita menjalani keadaan kita, bagaimana kita hidup dengan orang-orang kerdil tersebut, bagaimana kita membiarkan mereka mempengaruhi pandangan kita, bahasa kita, asumsi-asumsi yang kita munculkan dan penilaian-penilaian kita terhadap sesuatu, semua itu mampu kita pilih. Atas segala hal tersebut, Sartre menegaskan bahwa kita bertanggung jawab sepenuhnya. Kita tidak dapat menjadikan karakter kita atau pengalaman masa lalu kita sebagai alasan pemaaf atas apa yang kita lakukan.[18]

Sartre berpendapat bahwa hal-hal yang buruk dalam hidup kita berperan penting untuk memunculkan kebebasan. Kebebasan tidak akan muncul tanpa melawan hal-hal yang tidak kita kehendaki. Akan tetapi hal-hal tersebut tidak membatasi kebebasan. Kebebasan kita untuk memilih tidak terbatas. Seorang penganut eksistensialis psikoanalisis akan mencari penjelasan tentang apa yang telah seseorang pilih untuk masa depannya daripada menjelaskan keadaannya di masa kini yang hubungannya dengan masa lalu. Pemikiran bahwa seseorang mungkin saja merupakan seorang budak di masa lalu merupakan pemikiran yang terlalu mengerikan menurut Sartre. Keseluruhan pokok pemikirannya tentang filsafat kebebasan dapat dilihat sebagai penolakan atas pandangan bahwa seseorang bertindak di luar kontrolnya dan di luar ingatannya.[19]

Karakter dan tindakan seseorang timbul dari caranya dalam menilai dunia, dan penilaiannya tersebut sepenuhnya adalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang dapat memaksa orang lain untuk menilai sesuatu sebagai hal yang tinggi maupun rendah. Sekalipun dia mengutip pendapat orang lain, pendapat tersebut menjadi miliknya dan ia memilihnya. Memang benar seseorang tidak dapat memilih semua hal, seperti memilih bentuk tubuhnya, siapa orang tuanya atau seberapa besar kekuatannya. Yang dapat dia pilih adalah bagaimana reaksinya dalam menyikapi faktisitasnya.[20]

E.    Implementasi Konsep Sartre dalam Toleransi Beragama serta Motivasi Hidup Manusia

Pemikiran Sartre berbasis pada pemikiran mengenai kebebasan. Hal ini mengimplikasikan bahwa semua orang berhak memiliki kebebasannya masing-masing. Kebebasan ini tidak terbatas, baik dalam pilihannya menjalani hidup, memilih pekerjaan, memilih pasangan, hingga memilih agama. Semua orang, jika bercermin pada pandangan Sartre, berhak memilih agamanya masing-masing. Namun kebebasan ini tentunya bukan tanpa batasan, karena kebebasan menurut Sartre ini terbatas dengan kebebasan orang lain. Hal ini sejalan dengan konsep toleransi antarumat beragama.  

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata toleransi memiliki arti bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan (pendapat, pandangan, kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[21] Secara etimologis, toleransi berasal dari Bahasa Inggris tolerance yang berarti toleransi, kelapangan dada, daya tahan, tahan terhadap, dapat menerima. Makna lesikal dari kata toleransi adalah bersabar, menahan diri, membiarkan. Secara terminologi, toleransi adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga diartikan sebagai suatu sikap penerimaan yang simpati terhadap perbedaan pandangan atau sikap.[22]

Hakikat toleransi beragama pada intinya adalah usaha kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama, yang memiliki tujuan luhur yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar agama.[23] Menurut Alwi Shihab, toleransi adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan dengan mengakui keberadaan dan hak agama orang lain, serta terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.[24] Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.[25] Toleransi juga terdapat dalam watak Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dapat dengan mudah mendukung etika perbedaan dan toleransi. Al-Qur'an tidak hanya mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Hujurat ayat 13.[26]

Toleransi mempunyai unsur-unsur yang harus ditekankan dalam mengekspresikannya terhadap orang lain. Unsur-unsur tersebut adalah:

1.     Memberikan Kebebasan atau Kemerdekaan

Setiap manusia diberikan kebebasan untuk berbuat, bergerak maupun berkehendak menurut dirinya sendiri dan juga di dalam memilih suatu agama atau kepercayaan. Kebebasan ini diberikan sejak manusia lahir sampai nanti ia meninggal dan kebebasan atau kemerdekaan yang manusia miliki tidak dapat digantikan atau direbut oleh orang lain dengan cara apapun. Karena kebebasan itu adalah datangnya dari Tuhan YME yang harus dijaga dan dilindungi.[27]

2.     Mengakui Hak Setiap Orang

Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap perilaku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain, karena kalau demikian, kehidupan di dalam masyarakat akan kacau.

3.     Menghormati Keyakinan Orang Lain

Landasan keyakinan di atas adalah berdasarkan kepercayaan, bahwa tidak benar ada orang atau golongan yang berkeras memaksakan kehendaknya sendiri kepada orang atau golongan lain. Tidak ada orang atau golongan yang memonopoli kebenaran dan landasan ini disertai catatan bahwa soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing orang.

4.     Saling Mengerti

Tidak akan terjadi, saling menghormati antara sesama manusia bila mereka tidak ada saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.[28]

Secara teknis pelaksanaan sikap toleransi beragama yang dilaksanakan di dalam masyarakat lebih banyak dikaitkan dengan kebebasan dan kemerdekaan menginterpretasikan serta mengekspresikan ajaran agama masing-masing. Masyarakat Islam memiliki sifat yang pluralistik dan sangat toleran terhadap berbagai kelompok sosial dan keagamaan, karena hidup bermasyarakat merupakan suatu kebutuhan dasar hidup manusia agar tujuan hidup manusia dapat diwujudkan, karena bila terbentuk suatu kehidupan berdasarkan persaudaraan, penuh kasih sayang dan harmoni.[29]

Adapun dalam hal motivasi dalam menjalani kehidupan, pemikiran Sartre dapat mendorong seseorang untuk lebih tegas dalam memilih jalan hidup dan menjalaninya dengan semangat yang positif. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ketika Sartre memberikan perumpamaan: jika aku hanya memiliki tinggi 5 kaki, maka betapapun besarnya harapan dan keinginanku tidak akan mampu membuatku mencapai rak tertinggi di perpustakaan tanpa menggunakan pijakan -hal ini masih dimaklumi oleh Sartre. Akan tetapi karakterku tidak terbentuk hanya oleh kenyataan bahwa aku bertubuh kecil. Tinggi badanku yang mungil hanyalah materi mentah yang digunakan untuk memilih pilihan bebasku. Perbedaan antara aku dengan orang kerdil lainnya terletak pada bagaimana kita menjalani hidup dengan kekerdilan tersebut. Bagaimana kita menjalani keadaan kita, bagaimana kita hidup dengan orang-orang kerdil tersebut, bagaimana kita membiarkan mereka mempengaruhi pandangan kita, bahasa kita, asumsi-asumsi yang kita munculkan dan penilaian-penilaian kita terhadap sesuatu, semua itu mampu kita pilih. Atas segala hal tersebut, Sartre menegaskan bahwa kita bertanggung jawab sepenuhnya. Kita tidak dapat menjadikan karakter kita atau pengalaman masa lalu kita sebagai alasan pemaaf atas apa yang kita lakukan. Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seperti apapun bentuk atau keadaan kita, hal tersebut bukanlah penghalang bagi kita untuk menjalani hidup. Seburuk apapun keadaan, kita tetap harus positif dalam menjalani kehidupan. Tidak perlu menyalahkan takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan, karena pilihan dalam hidup tetap merupakan hak seorang manusia.

F.    Penutup

Dari bahasan di atas, ada beberapa hal yang bisa ditarik kesimpulan. Menurut Sartre, manusia adalah individu yang bebas, namun kebebasan yang dimilikinya selalu terbatasi dengan fakta dan adanya kebebasan individu lain. Manusia bebas untuk melakukan dan mendefinisikan dirinya sendiri secara individual. Hal ini sejalan dengan konsep toleransi antar umat beragama, serta dapat menjadi motivasi bagi seseorang untuk menentukan jalan hidupnya tanpa dibatasi oleh keadaan yang ada.



[1] John L. Esposito, What Everyone Needs to Know About Islam (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 71.

[2] Sakban Rosidi, The History of Modern Thought (Malang: Center for Interdiciplinary Study and Cooperation, 2002), hlm.  91.

[3] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Tintamas, 1983), hlm. 120.

[4] Vincent Martin, Existentialism, Soren Kiekegaard, Jean-Paul Sartre, Albert Camus (Washington D.C.: The Thomist Press, 1962), hlm. 114.

[5] Ibid., hlm. 115.

[6] M. Jandra, “Hubungan Sesama Manusia Menurut Tokoh Filsafat Modern Jean Paul Sartre (Studi Kritis untuk Toleransi Sosial Keagamaan” Laporan Penelitian Individual Proyek Perguruan Tinggi Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1998/1999, hlm. 63.

[7] Ibid., hlm. 58-60.

[8] Ibid., hlm. 66.

[9] Jandra, “Hubungan...”, hlm. 79-80.

[10]Rosidi, The History..., hlm. 91.

[11] Harold H. Titus&Marilyn S. Smith, Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1984), hlm. 396.

[12] John Passmore, A Hundred Years of Philosophy (England: Penguin Books, 1986), hlm. 232.

[13] Martin, Existentialism,..., hlm. 117.

[14] Ibid.

[15] Ibid., hlm. 119.

[16] Ibid.

[17] Ibid., hlm. 120.

[18] Ibid., hlm. 121.

[19] Ibid., hlm. 123.

[20] Keadaan, situasi atau fakta-fakta yang bersifat fisik maupun sosial yang tidak bisa kita kontrol.

[21] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 243.

[22] G. Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 29.

[23] Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 19

[24] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: PT Remaj Rosda Karya, 2000), hlm. 27.

[25] M. Daud Ali, dkk., Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), hlm. 80.

[26] “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

[27] Maskuri Abdullah, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 202.

[28]Umar Hasyim, Toleransi  dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), hlm. 23.

[29] Abdul Munir, Pokok-pokok Ajaran NU (Solo: Ramdhani, 1989), hlm. 50-51.


Leave a Comment