| 0 Comments | 121 Views
A.
Pendahuluan
Di
seluruh dunia sedang gencar diserukan persamaan kedudukan antara laki-laki dan
perempuan. Indonesia bahkan telah
meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk tindakan
yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan yang dikenal dengan CEDAW
(Committe on the Elimination of Discrimination Againts Women), yaitu melalui
Undang-Undang No. 7 tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita. Di tengah semua usaha
untuk menegakkan persamaan tersebut, hukum perkawinan Islam menjadi sorotan. Hal
ini disebabkan karena aturan-aturan di dalamnya dianggap masih belum memandang perempuan
sebagai manusia utuh sebagaimana laki-laki. Misalnya dalam hal diwajibkannya perwakilan
perempuan kepada walinya untuk melaksanakan akad nikah, tidak diperbolehkannya
perempuan menjadi wali atau saksi nikah, serta proporsi pembagian warisan yang
hanya setengah bagian laki-laki.
Tidak logis memang, Islam yang merupakan rahmat bagi seluruh semesta
malah mengandung hukum yang dianggap masih memarjinalkan perempuan, seperti
hukum perkawinan. Apakah memang hal itu yang diinginkan oleh Syari’? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, makalah ini akan membahas secara singkat masalah
kedudukan perempuan dan laki-laki dalam Islam, kemudian selanjutnya melihat
kembali aturan-aturan perkawinan khususnya mengenai wali dan saksi perkawinan.
Penelaahan akan dimulai dengan mengurai ketentuan fiqih serta nashnya, kemudian
disorot dengan berbagai pendekatan seperti historis, sosiologis dan psikologi.
B.
Konsep Subyek Hukum dalam Ilmu Ushul Fiqih
Subyek
hukum ialah orang yang dianggap telah mampu bertindak hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangannya. Seluruh
tindakannya harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah
maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila
ia mengerjakan larangan Allah maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya
belum terpenuhi.[1]
Dalam istilah Ushul Fiqih, subyek hukum disebut dengan mukallaf (orang-orang
yang dibebani hukum) atau mahkum ‘alaih (orang yang kepadanya
diberlakukan hukum).[2]
Perbuatan seseorang dapat dikenai taklif
apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1.
Orang itu telah mampu memahami khitab
al-Syari’ (tuntutan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah,
baik secara langsung maupun melalui orang lain.
[3]
2.
Seseorang harus cakap bertindak
hukum, yang dalam ushul fiqih disebut dengan ahliyyah. Kecakapan terbagi
kepada dua macam, yaitu ahliyyah al-wujub dan ahliyyah al-ada’.[4]
a. Ahliyyah al-ada’ adalah
sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun
negatif. Ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah al-ada’ adalah baligh dan berakal.[5] Ahliyyah
al-ada’ ada dua macam:
1) Ahliyyah al-ada’ al-naqishah,
yaitu kepatutan berbuat bagi seseorang untuk sebagiannya saja, tidak berwenang
penuh untuk berbuat. Apabila ia berbuat sesuatu haruslah di bawah bimbingan
seseorang yang sudah sempurna akalnya, yang dapat mengetahui bermanfaat atau
tidaknya sesuatu yang diperbuat.[6]
2) Ahliyyah al-ada’ al-kamilah,
yaitu kepatutan seseorang melakukan perbuatan-perbuatan yang dipandang sah oleh
syara’, baik dilakukan dengan lisan ataupun dengan tindakan, baik yang
menyangkut dengan hak Allah ataupun hak manusia.[7]
b. Ahliyyah al-wujub adalah
sifat kecakapan seseorang untuk menerima hal-hal yang menjadi haknya, tetapi
belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Para ulama ushul fiqih menyatakan
bahwa ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-wujub seseorang
adalah sifat kemanusiaannya. Semenjak seseorang dilahirkan dan hidup di dunia
ini sampai meninggal dunia, ia telah memiliki sifat itu.[8] Ahliyyah
al-wujub terbagi kepada dua bagian, yaitu:
1) Ahliyyah al-Wujub al-Naqishah. Yaitu
ketika seseorang masih berada dalam kandungan ibunya (janin), karena hak-hak
yang harus ia terima belum dapat menjadi miliknya sebelum ia lahir ke dunia
dengan selamat, walau hanya sesaat.[9]
2) Ahliyyah al-Wujub al-Kamilah. Yaitu
kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang.[10]
Menurut ulama ushul fiqih, kecakapan
bertindak ada kalanya hilang sama sekali, berkurang, atau berubah. Mereka
membagi halangan bertindak hukum dari segi objeknya kepada tiga bentuk[11]:
-
Halangan yang bisa menyebabkan ahliyyah
al-ada’ hilang sama sekali adalah gila, tidur, lupa, dan terpaksa. Karena ahliyyah
al-ada’ seseorang hilang sama sekali, maka seluruh tindakan hukum mereka
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
-
Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah
al-ada’, seperti dungu. Apabila orang yang dungu melakukan tindakan hukum
yang bermanfaat bagi dirinya maka dinyatakan sah, sedangkan tindakan hukum yang
merugikan dirinya dianggap batal.
-
Halangan yang sifatnya dapat
mengubah sebagian tindakan hukum seseorang, seperti orang yang berutang,
pailit, di bawah pengampuan, lalai, dan tolol.
C.
Kesetaraan Kedudukan dalam Nas
Sejumlah
nash baik dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad Saw. menunjukkan
kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Nash tentang kesetaraan
tersebut menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia, seperti asal-usul
penciptaan dan taklif keagamaan beserta ganjarannya.
1. Kesetaraan
Asal-usul Penciptaan
Nash pada kelompok ini memproklamasikan
kesetaraan asal-usul manusia, bahwa manusia diciptakan dari jenis yang sama,
sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Nisa ayat 1.[12]
2. Kesetaraan
dalam Taklif serta Ganjarannya
Nash
yang menunjukkan kesetaraan amal dan ganjarannya bagi laki-laki dan perempuan
jumlahnya sangat banyak. Misalnya, ditegaskan dalam surat Ali ‘Imran ayat 195
bahwa amal perbuatan laki-laki dan perempuan tidak akan sia-sia.[13] Di
surat lain, yakni surat al-Mu’min ayat 40, disebutkan bahwa orang yang berbuat kebajikan baik laki-laki maupun
perempuan akan masuk surga dan yang berbuat jahat akan dibalas dengan balasan
setimpal.[14] Selanjutnya,
Allah Swt. memberitakan bahwa unsur yang membedakan antara satu orang dengan
orang lain adalah nilai ketakwaannya. Hal ini tercantum dalam surat al-Hujurat
ayat 13.[15]
Al-Qur’an juga menyamakan hak dan beban taklif antara laki-laki dan perempuan
dalam surat al-Ahzab ayat 35.[16]
Petikan-petikan
ayat di atas hanya merupakan segelintir kecil bukti dari persamaan kedudukan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal amal dan ganjarannya. Masih banyak
teks dan variasi ayat al-Qur’an lainnya yang mempunyai arti dan tujuan senada,
bahwa ganjaran amal diberikan sama bagi perempuan dan laki-laki.
Sejumlah nash di
atas mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah bermitra dan sejajar, tidak ada pihak yang lebih
superior dari yang lain.[17]
Berdasarkan kesetaraan tersebut, pada prinsipnya ajaran Islam menjamin
kebebasan hak-hak perempuan untuk berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan.[18]
Al-Qur’an berbicara tentang mu’minat, muslimat, dan bahkan
menyebut-nyebut mereka dengan nada yang sama dengan para lelaki yang saleh dan
beriman. Lebih-lebih, para perempuan ini diharapkan untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban agama yang sama sebagaimana pria. Kedudukan perempuan
seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an merupakan suatu peningkatan nyata dari
keadaan yang berlangsung sebelumnya di tanah Arab pra-Islam.[19]
D.
Rekonstruksi Kedudukan Perempuan
Dari penjelasan
mengenai subyek hukum dalam Islam, nampak bahwa standar sah tidaknya perbuatan
hukum seseorang adalah dia memahami khitab Syari’, baligh dan berakal.
Yang dapat mengubah kecakapan tersebut adalah apabila dia gila,
tidur, lupa, terpaksa, dungu, berutang, ataupun pailit. Tidak ada pembedaan
antara kecakapan hukum laki-laki dan perempuan. Asalkan memenuhi syarat, semua
orang dapat dianggap sah perbuatan hukumnya, tidak peduli jenis kelaminnya. Kesamaan
kedudukan ini juga dapat dilihat dari al-Qur’an dan sunnah. Dari berbagai ayat
dan hadis mengenai asal-usul
penciptaan, balasan amal serta keadilan dan persamaan, semuanya menunjukkan
kesejajaran keduanya.
Sekalipun
disimpulkan bahwa kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, namun ada
ketidakadilan bagi perempuan yang mencolok dari beberapa rumusan legal
al-Qur’an. Di antara bentuk-bentuk ketidakadilan yang terkait dengan hukum
keluarga adalah mengenai wali dalam perkawinan serta pembagian warisan. Mengapa
hal tersebut terjadi? Menurut Abu Zayd, kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan merupakan salah satu tujuan mendasar dari wacana
al-Qur’an. Namun karena al-Qur’an diturunkan kepada kaum yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari kultur dan sistem sosial mereka,
maka wajar jika perbedaan ini tercermin di dalam al-Qur’an.[20] Ada
minimal lima indikator untuk membuktikan kondisi ini: sistem sosial Arab
sebelum Islam adalah patriarkhal; laki-laki boleh kawin semaunya; laki-laki
menceraikan istri semaunya; perempuan diwariskan, dan; anak perempuan yang
lahir dibunuh karena menjadi sumber malu keluarga.[21]
Untuk memahami al-Qur’an dengan
benar dan lengkap, kita seharusnya memahami posisi Nabi Muhammad dengan
al-Qur’an yang dibawanya; dimana satu sisi al-Qur’an sendiri memproklamasikan
bahwa beliau adalah nabi terakhir yang diutus untuk seluruh manusia dan seluruh
semesta alam. Konsekuensi dari status tersebut adalah ajarannya harus selalu
relevan sepanjang zaman dan dapat diterapkan di semua tempat. Bersamaan dengan
posisi tersebut, kehadiran Nabi Muhammad Saw. juga harus mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapi masyarakat Arab. Posisi dilematis ini menuntut ajaran
yang dibawa nabi menjadi dua jenis: nash normatif-universal dan nash
praktis-temporal.[22]
Ciri-ciri
kelompok nash pertama adalah mempunyai ajaran yang universal, prinsip,
fundamental, dan tidak terikat dengan konteks, baik konteks waktu, tempat,
situasi, dan semacamnya. Sedangkan ciri nash kelompok kedua adalah mempunyai
ajaran yang detail, rinci, bersifat terapan, dapat dipraktekkan dalam kehidupan
nyata, dan terikat dengan konteks.[23]
Ringkasnya, nash pada kelompok pertama berlaku umum dan cocok untuk berlaku
sepanjang masa, seluruh tempat dan kondisi. Adapun nash pada kelompok kedua
berlaku dan cocok hanya untuk masa, tempat dan kondisi tertentu, tetapi tidak
mesti cocok untuk masa, tempat dan kondisi yang lain.[24]
Jika dicermati, nash yang memandang perempuan setara dengan laki-laki adalah nash
normatif-universal.
Sedangkan pada kelompok nash praktis-temporal, kedudukan keduanya terlihat tidak
setara.[25]
Bagaimana dengan nash yang menjadi dasar wali dan saksi nikah? Berikut akan
dibahas secara singkat.
Wali
Nikah bagi Perempuan
Salah
satu aturan dalam hukum perkawinan Islam adalah adanya perwalian. Menurut
banyak ulama fiqih, seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri
atau orang lain. Dia harus dinikahkan oleh walinya. Jika dia menikah tanpa
wali, maka pernikahannya tidak sah. Hal inilah yang dijadikan panutan oleh para
penyusun KHI, sehingga dalam Pasal 19 dicantumkan bahwa wali nikah merupakan
rukun perkawinan.[26]
Menurut Sayyid Sabiq, argumentasi yang dikemukakan para fuqaha adalah sebagai
berikut[27]:
a. Firman Allah Swt. dalam surat al-Nur
ayat 32[28]
dan al-Baqarah ayat 221[29].
b. Dua hadis nabi masing-masing dari Abu
Musa RA[30]
dan ‘Aisyah RA[31]
yang menegaskan bahwa pernikahan seorang perempuan tanpa wali adalah batal.
c. Latar belakang turunnya surat
al-Baqarah ayat 232[32].
Golongan
Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan
dewasa dan sehat akal. Mereka menanggapi hadis riwayat Abu Musa dengan
menyatakan bahwa hadis tersebut mengandung dua arti. Pertama, tidak sempurna
perkawinan tanpa adanya wali, bukan berarti tidak sah. Kedua, apabila diartikan
tidak sah, maka arahnya adalah kepada perempuan yang masih kecil atau tidak
sehat akalnya. Sedangkan terhadap hadis yang kedua, mereka mengatakan bahwa
perkawinan yang batal itu adalah apabila perkawinan dilakukan tanpa izin wali,
bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Mereka juga mengemukakan hadis nabi
yang diriwayatkan oleh Muslim[33]
dan Abu Daud serta al-Nasai[34].
Dari kedua hadis tersebut dipahami bahwa tidak wajib wali apabila yang
melangsungkan perkawinan itu adalah perempuan yang sudah dewasa dan sehat akal.[35]
Jika
membicarakan tentang konteks sosiologis, menurut Asghar Ali Engineer,
masyarakat Arab ketika Rasulullah diutus adalah masyarakat patriarkhal. Dalam
masyarakat semacam itu, perempuan benar-benar bergantung kepada kaum laki-laki
demi eksistensinya. Secara alamiah, dalam masyarakat semacam ini adalah
kewajiban ayah, kakek atau saudara laki-laki untuk menjaga kesejahteraan
seorang perempuan di mana dia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk berbuat
demikian. Dengan demikian menjadi perlu adanya wali untuk mencampuri atas
namanya dalam memutuskan dilaksanakannya perkawinan, sementara perempuan hanya
mengangguk atau diam.[36]
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa teks nash tersebut berkaitan
dengan masalah model patriarkhal keluarga Arab yang menganggap perempuan tidak mampu
menjaga dirinya sendiri. Hal ini mengindikasikan nash mengenai wali ini praktis-temporal.
Setelah
memahami pembahasan di atas, apakah sekarang wali benar-benar diperlukan
sebagai rukun perkawinan untuk bertindak atas nama mempelai perempuan dalam
suatu akad nikah? Perlu diketahui bahwa secara bahasa wali adalah seseorang
yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang
lain. Hal tersebut disebabkan karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan
pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum.[37]
Perempuan yang telah dewasa dan sehat akalnya, seperti yang dijelaskan pada
pembahasan subyek hukum dalam Islam, telah memenuhi kriteria sebagai subyek
hukum. Sejumlah ayat dan hadis secara eksplisit juga telah mengukuhkan
eksistensi perempuan sebagai manusia utuh, sama dengan laki-laki. Tidak ada
perbedaan esensial bagi keduanya dalam pelaksanaan ajaran agama. Ketergantungan
perempuan terhadap orang lain, terutama ayah dan kakeknya, sudah semakin
berkurang. Para perempuan sudah mampu mandiri menjalani hidupnya. Berdasarkan
hal-hal tersebut, maka sebenarnya perempuan dapat melakukan akad nikahnya
sendiri. Ijab dilakukan oleh calon istri dan qabul dilakukan oleh calon suami.
Menurut Khoiruddin Nasution, walaupun misalnya melibatkan wali atau
orang-orang yang dekat dengan calon mempelai, hal itu hanya bersifat sekunder
sebagai bahan pertimbangan karena mereka sudah mempunyai pengalaman, bukan penentu
yang bersifat mutlak.[38]
Tidak
diperlukannya wali sebagai pihak yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam
akad nikah bukan berarti kehadiran, persetujuan dan restu orang tua tidak
diperlukan lagi. Besarnya pengaruh psikologis yang ditimbulkan membuktikan
pentingnya wali dalam perkawinan. Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi
gadis yang akan menikah, ia tidak melepaskan diri dari ikatan batin dengan
orang tuanya. Ia membutuhkan dorongan batin untuk memulai kehidupan baru bagi
suami isteri. Begitu pula bagi pihak suami, ia merasa bahwa orang tua si gadis
telah menyerahkan si gadis kepadanya dengan penuh percaya, hal ini akan
menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tanggungjawab yang besar untuk bertindak
sebagai suami yang bijaksana dan penuh pengertian. Hal-hal semacam inilah yang
merupakan pengaruh psikologis yang besar artinya untuk mendorong terwujudnya
rumah tangga yang kekal dan bahagia.[39] Selain itu, hal-hal negatif akan muncul
di lingkungan sosial jika seorang perempuan melaksanakan perkawinan tanpa hadirnya
wali. Jadi, interpretasi ulang dari posisi wali sebagai rukun perkawinan ini bukan
dalam rangka menafikan urgensi kehadirannya, akan tetapi menghadirkan kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki yang dicitakan oleh Islam.
Perempuan
sebagai Wali Nikah
Perempuan
yang belum baligh dan berakal dianggap tidak memenuhi kriteria subyek hukum
penuh, sehingga tidak berwenang penuh untuk melakukan
perbuatan hukum. Apabila ia berbuat sesuatu haruslah di bawah bimbingan
seseorang yang sudah sempurna akalnya, yang dapat mengetahui bermanfaat atau
tidaknya sesuatu yang diperbuat. Oleh karena itu, wali dibutuhkan untuk mengawinkan
dirinya. Mafhum mukhalafah dari hadis nabi
yang diriwayatkan oleh Muslim[40]
dan Abu Daud serta al-Nasai[41]
juga mengindikasikan hal tersebut.
Dalam
fiqih munakahat, ada tiga kelompok yang berhak menempati kedudukan wali nikah,
yaitu wali nasab, wali mu’thiq dan wali hakim. Mengenai wali nasab,
ternyata tidak ada petunjuk yang jelas dari Nabi Muhammad Saw., sedangkan
al-Qur’an tidak membicarakan sama sekali mengenai siapa saja yang berhak
menjadi wali. Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah,
dan Syi’ah Imamiyah membagi wali kepada dua kelompok, yaitu wali dekat dan wali
jauh. Wali dekat terdiri dari ayah lalu kakek, sedangkan wali jauh terdiri dari
garis kerabat selain ayah dan kakek serta selain anak dan cucu. Untuk lebih
lengkapnya, wali jauh secara berurutan terdiri dari saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki kandung, anak saudara
laki-laki seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung, anak paman
seayah, dan ahli waris kerabat lainnya.[42]
Orang-orang
yang disebutkan di atas berhak menjadi wali jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut: (1) dewasa dan berakal sehat; (2) laki-laki. Ulama Hanafiyah dan Syi’ah
Imamiyah berpendapat bahwa perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat
menjadi wali bagi perempuan lain; (3) muslim; (4) merdeka; (5) tidak berada
dalam pengampuan; (6) berpikiran baik; (7) adil (tidak pernah terlibat dosa
besar dan tidak sering terlibat dosa kecil; (8) tidak sedang melakukan ihram. Menurut
ulama Hanafiyah, wali yang sedang melakukan ihram dapat menikahkan pasangan
yang sedang ihram.[43]
Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Arab ketika Rasulullah diutus adalah
masyarakat yang patriarkhal. Perempuan tidak dianggap eksistensinya, mereka
tidak mampu berbuat apa-apa, sehingga harus bergantung kepada laki-laki. Hal
inilah yang menyebabkan kerabat laki-laki, seperti ayah, kakek ataupun saudara
laki-lakilah yang bertanggungjawab menjaga anggota keluarga perempuan. Semangat
persamaan kedudukan yang dibawa Islam dan keadaan masyarakat Indonesia yang
juga menjunjung tinggi persamaan tersebut mulai mempertanyakan tidak
dianggapnya perempuan sebagai wali nikah. Padahal berdasarkan teori subyek
hukum, apabila seseorang sudah dewasa dan berakal, tidak peduli jenis
kelaminnya, maka dia sudah sah melakukan tindakan hukum.
Tujuan utama
dari adanya wali adalah untuk mewakili perempuan yang belum menjadi subyek
hukum penuh serta memberi pertimbangan. Dapat dilihat dari diberikannya hak
menjadi wali yang utama kepada ayah, anggota keluarga laki-laki yang merupakan
pemilik bibit terjadinya dirinya, maka kedekatan
dengan dan pemahaman terhadap karakter calon mempelai menjadi unsur yang
menjadi pertimbangan pokok. Bayangkan
apabila seorang perempuan yatim yang hidup terpisah dari keluarga besar, hanya hidup
bersama ibunya. Apakah wajar ketika dia ingin menikah dan membutuhkan wali,
karena belum dewasa, dia harus mencari keluarga laki-laki yang bahkan tidak
dikenalnya karena fiqih menuntutnya melakukan itu? Keluarga jauh tidak mengenalnya
secara mendalam, sedangkan ibunya adalah orang yang sangat memahaminya luar
dalam. Maka pada kasus ini, sang ibu adalah orang yang tepat menjadi walinya.
Perempuan
sebagai Saksi Nikah
Selama
ini, saksi dalam perkawinan dianggap suatu hal yang sangat penting. Apa
sebenarnya substansi dari adanya saksi? Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah,
saksi adalah rukun dalam perkawinan. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Zahiriyah
menempatkannya sebagai syarat, dan ulama Syi’ah Imamiyah hanya menghukuminya
sunah. Adapun menurut ulama Malikiyah, tidak ada keharusan untuk menghadirkan
saksi pada akad perkawinan, yang diperlukan adalah mengumumkannya. Dasar hukum
keharusan saksi tercantum dalam al-Qur’an dan hadis sebagai berikut:
a. Surat al-Thalaq ayat 2[44].
b. Sabda Nabi Muhammas Saw. dari Ibnu
Abbas menurut riwayat al-Tirmidzi[45]
dan hadis beliau dari ‘Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad[46].
Menurut
al-Kasani, ulama dari mazhab Hanafi, ada dua fungsi saksi dalam perkawinan.
Pertama, untuk menghindari adanya tuduhan zina; dan kedua, untuk menghindari
terjadinya fitnah. Sebab dengan adanya saksi akan menyebarluaskan berita
tentang sudah terjadinya perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan.[47]
Dari penjelasan ini dapat kita tangkap bahwa urgensitas saksi didasarkan pada fungsinya
untuk menyebarluaskan berita perkawinan agar tidak terjadi fitnah.
Dalam
fiqih munakahat, saksi dalam perkawinan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
(1) berjumlah paling sedikit dua orang; (2) muslim; (3) merdeka; (4) laki-laki.
Dasar larangannya adalah hadis nabi yang diriwayatkan oleh al-Zuhri.[48]
Ulama Hanafiyah membolehkan saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan dua
orang perempuan, sedangkan ulama Zahiriyah membolehkan semuanya perempuan
dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang
laki-laki; (5) adil; (6) dapat mendengar dan melihat.[49]
Menurut Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali, boleh saksi yang buta dengan syarat
mengetahui benar suara orang yang berakad.[50]
Jika
dilihat dari syarat-syarat di atas, perempuan tidak boleh menjadi saksi sama
sekali atau nilai kesaksiannya hanya dianggap setengah dari laki-laki. Mengapa nilai kesaksian perempuan hanya
dianggap setengah dari laki-laki? Ternyata hal ini berasal dari surat
al-Baqarah ayat 282[51].
Wahiduddin Khan menganggap bahwa hal ini disebabkan karena memori
perempuan lebih lemah daripada memori laki-laki [52]. Menurut
al-Maraghi dan Abu Zayd, ketika itu menurut adat perempuan tidak terlibat
secara langsung pada masalah-masalah mu’amalah. Akibatnya, pengetahuan mereka
di bidang mu’amalah sangat terbatas.[53]
Senada dengan hal di atas, Mahmud Syaltut dengan mengutip Muhammad Abduh
mengatakan bahwa masalah saksi ini harus dihubungkan dengan konteks, dimana
pada masa itu perempuan memang tidak banyak terlibat urusan mu’amalah, bukan
karena ingatannya lebih lemah. Hal tersebut juga merupakan kesimpulan dari
Fazlur Rahman. Menurut beliau, jika al-Qur’an ingin menyatakan bahwa kesaksian
perempuan hanya separuh dari laki-laki, mengapa tidak boleh pembuktian dengan
empat orang perempuan. Hal ini disebabkan karena memang laki-laki yang memahami
urusan mu’amalah.[54]
Alasan ini pulalah yang mungkin menjadi alasan dari Nabi Muhammad Saw. dalam
melarang perempuan menjadi saksi sama sekali.
Ayat
282 dari surat al-Baqarah adalah nash yang berkaitan dengan konteks masyarakat
pada masa itu, oleh karena itu ia termasuk kelompok praktis-temporal. Pemahaman dan aplikasi dari ayat tersebut
seharusnya dilakukan secara kontekstual. Ketika dulu perempuan di Arab menjadi
subordinat dan kehadirannya tidak dianggap, akhirnya mereka tidak menguasai bidang
mu’amalah yang menyebabkan nilai kesaksiannya hanya separuh dari laki-laki atau
bahkan tidak dianggap sama sekali. Konsekuensinya, jika perempuan juga memahami
hal tersebut maka dia juga berhak memiliki nilai kesaksian penuh. Selain itu,
berdasarkan teori subyek hukum, perempuan memiliki derajat yang sama dengan
laki-laki dalam melakukan perbuatan hukum. Maka tidak tepat jika masalah
persaksian dihubungkan dengan masalah jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dalam
konteks sebagai saksi nikah, maka yang menjadi patokan adalah orang tersebut sudah
memenuhi kriteria subyek hukum penuh, serta memahami hukum dan tata cara
perkawinan serta dapat menjelaskan kepada orang lain bahwa telah terjadi
perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan.
E.
Penutup
Hukum
perkawinan Islam terlihat mendiskriminasikan perempuan karena umat Islam masa
kini masih menerapkannya seperti apa yang diterapkan pada masa nabi. Padahal jika
diteliti nash-nash yang mengatur hal tersebut termasuk kepada nash
praktis-temporal yang cocok hanya untuk masa, tempat dan kondisi tertentu,
tetapi tidak mesti cocok untuk masa, tempat dan kondisi yang lain. Sudah jelas
konteks pada masa nabi diutus berbeda dengan masa kita sekarang, maka seharusnya
peraturan-peraturan tersebut ditelaah ulang, agar dapat menghadirkan hukum yang
sesuai dengan spirit Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Berdasarkan
pada hasil penelitian dengan menggunakan teori subyek, serta ditambah dengan penelusuran
jenis nash menyangkut hukum yang dianggap memojokkan perempuan seperti mengenai
wali nikah serta saksi nikah, penulis berkesimpulan bahwa perempuan
memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam melakukan perbuatan hukum. Nash-nash
yang ada pun semuanya dapat dibilang merupakan nash praktis-temporal, yang
berarti ditentukan sesuai dengan adat istiadat bangsa Arab pada masa itu. Oleh
karena itu, pada zaman kini, dimana perempuan telah mendapat kesempatan yang
sama dalam melakukan berbagai hal yang berarti mereka mampu melakukannya
seperti laki-laki, ketentuan mengenai wali dan saksi nikah dapat dianggap tidak
relevan lagi.
[1] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1 cet.2,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 304-305.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid
1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 356.
[3] Haroen, Ushul…, hlm. 306.
[4] Syarifuddin, Ushul…, hlm. 357.
[5] Haroen, Ushul…, hlm. 308-309.
[6] Ismail Muhammad Syah, Filsafat
Hukum Islam cet.2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 156.
[7] Syah, Filsafat…, hlm. 157.
[8] Haroen, Ushul…, hlm. 309.
[9] Ibid., hlm. 310.
[10] Ibid., hlm. 311.
[11] Ibid., hlm. 312-313.
[12] “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu…”
[13]“Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan,
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…”
[14] “Barangsiapa mengerjakan perbuatan
jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu.
Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan
sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga…”
[15] “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
[16] “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan
yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar.” Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana
Perempuan dalam Islam terj. Moch. Nur Ichwan, (Yogyakarta: PSW IAIN Suka
dan SAMHA, 2003), hlm. 176.
[17] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata
(Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009), hlm. 257.
[18] Hasbi Indra et al, Potret Wanita
Shalehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), hlm. 253.
[19] Annemarie Schimmel, Jiwaku Adalah
Wanita; Aspek Feminin dalam Spiritualitas Islam, terj. Rahmani Astuti
(Bandung: Mizan, 1998), hlm. 92.
[20] Zayd, Dekonstruksi…, hlm. 185.
[21] Khoiruddin Nasution, “Wanita Indonesia
Memperjuangkan Hak dan Peran yang Diberikan Islam” dalam Madzhab Jogja Ke-2;
Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga, 2006), hlm. 502.
[22] Khoiruddin Nasution, “Usul Fiqh:
Sebuah Kajian Fiqh Perempuan” dalam “Madzhab” Jogja: Menggagas Paradigma
Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 249-250.
[23] Khoiruddin Nasution, Pengantar dan
Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia (Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2010), hlm. 110.
[24] Ibid., hlm. 115.
[25]Askiah Adam, “Islam dan Hak-hak
Perempuan: Perspektif Asia Tenggara” dalam Menakar “Harga” Perempuan:
Eksplorasi Lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam, (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 54.
[26] “Wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
menikahkannya”.
[27]Yunahar Ilyas, Konstruksi Pemikiran
Gender dalam Pemikiran Mufasir, (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), hlm. 134-136.
[28] “Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
[29] “…Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman…”
[30] “Tidak boleh nikah tanpa wali”.
[31] “Perempuan mana saja yang kawin tanpa
izin walinya, perkawinannya adalah batal”.
[32] “Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi
mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di
antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu
lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
[33] “Janda itu lebih berhak atas dirinya
ketimbang walinya”.
[34] “Tidak ada urusan wali terhadap
perempuan yang sudah janda”.
[35] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 73-74.
[36] Ilyas, Konstruksi…, hlm. 246.
[37] Syarifuddin, Hukum…, hlm. 69.
[38] Khoiruddin Nasution, “Islam Membangun
Masyarakat Bilateral dan Implikasinya terhadap Hukum Keluarga Islam Indonesia”
dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007.
[39] Etty Murtiningdyah, SH, “Peranan Wali
Nikah dalam Perkawinan dan Pengaruh Psikologis Adanya Wali Nikah dalam
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam”, Tesis 2005, Program Pascasarjana
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, hlm. 72.
[40] “Janda itu lebih berhak atas dirinya
ketimbang walinya”.
[41] “Tidak ada urusan wali terhadap
perempuan yang sudah janda”.
[42] Syarifuddin, Hukum…, hlm.
75-76.
[43] Ibid., hlm. 76-78.
[44] “Apabila mereka telah mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan
keluar.”
[45] “Pelacur-pelacur itu adalah orang yang
menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya saksi”.
[46] “Tidak ada pernikahan kecuali dengan
adanya wali dan dua orang saksi yang adil”.
[47] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata
(Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2009), hlm. 326.
[48]“Perempuan tidak boleh menjadi saksi
dalam masalah pidana, perkawinan ataupun perceraian”. Dalam riwayat lain
termasuk juga larangan pada bidang mu’amalah.
[49] Syarifuddin, Hukum…, hlm.
75-76.
[50] Nasution, Hukum…, hlm. 331.
[51] “…Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya…”
[52] Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat; Perempuan di
Tengah Pergumulan, terj. Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2001), hlm. 185.
[53]Nasution, “Usul…, hlm. 258. Lihat juga
Zayd, Dekonstruksi…, hlm. 212.
[54]Nasution, “Usul…, hlm. 259-260.
Leave a Comment