| 0 Comments | 58 Views

Pendahuluan:

Reformasi Islam Gazette 2015 Austria: Efek Islamophobia?

Baru-baru ini ada sebuah isu yang merebak sehubungan dengan

munculnya reformasi peraturan yang mengatur kehidupan muslim di negara

Austria. Negara di Benua Eropa dengan jumlah muslim mencapai 570.000 orang

pada tahun 2015 atau sekitar 7% dari total populasi, yang mayoritasnya bisa

dikatakan keturunan dari Turki. Muslim di Austria merupakan kelompok agama

terbesar kedua setelah Kristen.1 Dalam penelitian mengenai komunitas muslim di

Uni Eropa, Dr. Fatimah, MA. dan Dr. Muhammad Wildan, MA. menyebutkan

bahwa Austria merupakan negara yang relatif koperatif dengan Islam.2 Pada

tanggal 25 Februari 2015 lalu, penduduk muslim Austria mengalami sebuah fase

baru dalam kehidupan beragamanya. Setelah sebelumnya mereka dinaungi oleh

Islam Gazette sejak tahun 1912 silam, pemerintah Austria akhirnya mengeluarkan

sebuah peraturan baru yang berisikan sejumlah materi hukum untuk mengatur

berbagai aspek kehidupan muslim Austria.

Apabila dibandingkan, pasal-pasal dalam Islam Gazette 1912 dan versi

2015 memang berbeda, namun secara substansi masih sama. Islam Gazette 1912

hanya terdiri dari 2 halaman, 2 pasal dan 8 bagian. Adapun versi 2015 terdiri dari

6 bagian dan 33 pasal. Peraturan baru ini setidaknya berbicara tentang 11 hal: 1)

hak untuk melaporkan 2) perlindungan terhadap nomenklatur agama 3)

pengaturan atas urusan rohaniawan pada fasilitas negara 4) mendahulukan hukum

nasional daripada agama 5) pendidikan teologi Islam 6) makam Islam 7)

perlindungan terhadap hari libur keagamaan 8) larangan pembiayaan dari luar

negeri 9) peraturan mengenai makanan 10) kewajiban untuk memberitahukan

seluruh kegiatan komunitas 11) penyajian pengajaran agama dan kitab suci dalam

bahasa Jerman.3 Adapun sejumlah isu yang membuat para muslim khawatir

1 Islam Law 2015 Summary, hlm. 1.

2 Fatimah & Muhammad Wildan, “Komunitas Muslim di Uni Eropa: Tantangan dan

Peluang Komunitas-komunitas Muslim di Eropa”, Laporan Penelitian Kompetitif Kolaboratif

Internasional Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga Yogyakarta 2013, hlm. 61.

3 Islam Law 2015 Summary, hlm. 3-5.

2

adalah mengenai pelarangan pendanaan asing pada pasal 4 (1)4 dan 6 (2)5 serta

pelarangan mempekerjakan ulama dari luar negeri pada pasal 11 (2).6

Banyak pihak yang menyebutkan bahwa peraturan baru tersebut

merupakan kemunduran yang besar bagi umat Islam Austria dan ditengarai

disebabkan oleh Islamophobia. Hal tersebut dianggap sebagai tekanan besar untuk

muslim Austria, bahkan merupakan pengebirian atas perkembangan Islam di sana,

sekalipun tercantum dalam penjelasan versi 2015 bahwasanya perubahan tersebut

bukanlah karena ketakutan terhadap Islam, namun untuk meningkatkan keamanan

hukum bagi praktek keagamaan muslim di Austria karena mereka memiliki

kedudukan yang sama di masyarakat.7 Menteri Luar Negeri dan Integrasi Austria,

Sebastian Kurz, juga menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah agar

tidak ada kontradiksi antara menjadi seorang Muslim yang taat dan bangga

menjadi warga Austria.8

What’s Islamophobia?

In the Northeast of England a 20 year old Bangladeshi man suffered from

a broken jaw after being beaten by a gang of youths... a 19 year old woman

wearing the hijab was beaten around the head with a metal baseball bat by two

white men in Swindon. Prior to the attack one of the men was reportedly heard to

say ‘here’s a Muslim’.9

Islamophobia, satu kata yang terdengar sangat nyata namun juga sekaligus

sulit dipercaya oleh kita yang notabene hidup sebagai umat muslim mayoritas.

Tidak dapat dipungkiri memang, publikasi tentang Islamophobia terutama di

4 “An Islamic Religious Society for the purpose of acquiring a legal personality requires

according to this federal law a secured lasting existence and economic self-sustainibility...”

5 “The procurement of funds for the usual activity to satisfy religious needs of its members

has to be undertaken inland by the Religious Society, the local communities respectively their

members.”

6 “The fulfilment of the matters from para. 1 may only be handled by persons who, based

on their education and their primary residence in Austria, are both professionally and personally

qualified for such an assignment...”

7 Islam Law 2015 Commentary, hlm. 1.

8 “Austria Resmikan Aturan yang Menekan Umat Islam”, dalam

www.m.republika.co.id/berita/internasional/global/15/02/27/nke9wm-austria-resmikan-aturanyang-

menekan-umat-islam,

9 Chris Allen, Islamophobia (England: Ashgate Publishing Company, 2010), hlm. 125.

3

wilayah Eropa dan Amerika menyulut semakin nyatanya, semakin ekstremnya

dan semakin berbahayanya ketakutan mereka terhadap muslim atau Islam. Apa

yang dimaksud dengan Islamophobia? Chris Allen dalam bukunya yang berjudul

serupa menyimpulkan bahwa munculnya pembentukan kata dan perkembangan

Islamophobia baik sebagai sebuah fenomena maupun konsep berawal di Inggris

dalam The Runnymede Report yang terbit pada bulan Oktober 1997.10 Dalam

paragraf awalnya, disebutkan bahwa definisi Islamophobia adalah ketakutan atau

ketidaksukaan terhadap seluruh atau sebagian besar muslim. Publikasi ini tidak

hanya mempengaruhi cara pandang masyarakat Inggris terhadap Islamophobia,

namun meluas ke Benua Eropa, bahkan semakin meluas lagi ke seluruh dunia.11

Keadaan semakin diperburuk setelah terjadinya tragedi 9/11, di mana angka

insiden di Amerika meningkat tajam hingga 600% dibanding sebelumnya, yang

terdiri dari tekanan dan gangguan secara psikologis baik berupa verbal maupun

tertulis hingga kekerasan fisik dan pengrusakan.12

Fenomena Islamophobia semakin berkembang. Allen memandang definisi

yang disebutkan oleh The Runnymede Report tidak lagi relevan. Ia kemudian

mencoba mengkonseptualisasikan fenomena Islamophobia yang ada dan membuat

definisi baru, yaitu:

“islamophobia is an ideology, similar in theory, function and purpose to

racism and other similar phenomena, that sustains and perpetuates negatively

evaluated meaning about Muslims and Islam in contemporary setting in similar

ways to that which it has historically, although not necessarily as continuum,

subsequently pertaining, influencing and impacting upon social action,

interaction, response and so on, shaping and determining understanding,

perception and attitudes in the social consensus –the shared language and

conceptual maps- that inform and construct thinking about Muslims and Islam as

Other. Neither restricted to explicit nor direct relationships of power and

domination but instead, and possibly even more importantly, in the less explicit

and everyday relationships of power that we contemporary encounter, identified

both in that which is clearly not, both of which can be extremely difficult to

differentiate between. As a consequence of this, exclusionary practices –practices

that disadvantage, prejudice or discriminate against Muslims and Islam in social,

10 Ibid., hlm. 54.

11 Ibid., hlm. 65.

12 Ibid., hlm. 124.

4

economic and political spheres ensue, including the subjection to violence- are in

evidence. For such to be Islamophobia however, an acknowledged ‘Muslim’ or

‘Islamic’ element –either explicit or implicit, overtly expressed or covertly hidden,

or merely even nuanced through meanings that are ‘theological’, ‘social’,

‘cultural’, ‘racial’ and so on, that at times never even necessarily name or

identify ‘Muslims” or ‘Islam’- must be present.”13

Berdasarkan definisi tersebut, penulis ingin menggarisbawahi dua hal.

Pertama, Islamophobia merupakan sebuah ideologi yang menganggap bahwa

muslim dan Islam merupakan “alien”, makhluk yang berbeda dari mereka. Hal ini

dapat dilihat dari sejumlah perilaku sosial, interaksi maupun respon yang

ditunjukkan. Kedua, ternyata sejumlah perwujudan dari adanya Islamophobia

dalam masyarakat tidak hanya bersifat eksplisit dan langsung, namun kini

cenderung terselubung dalam hubungan sehari-hari yang tidak kita sadari, seperti

yang terjadi dalam bidang sosial, ekonomi dan politik.

Ya, fenomena Islamophobia yang dihadapi oleh muslim di Eropa dan

Amerika memang tidak lagi terbatas pada kebencian yang dihadapi secara

langsung, namun masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai dari sulit

mencari pekerjaan, terkesampingkan dalam pendidikan, menjadi bahan dalam

perdebatan politik, dicap negatif oleh media, hingga dikebiri hak-haknya dalam

menjalani kehidupan beragama oleh sistem hukum dalam sebuah negara. Hal ini

dapat dilihat dalam undang-undang Perancis dan Belgia yang melarang

pemakaian burqa dan niqab di ruang-ruang publik,14 serta Swiss yang menjadi

negara pertama di Eropa yang melarang pembangunan mesjid dengan menara

pada November 2009.15 Namun, dalam kasus reformasi Islam Gazette 2015,

haruskah kita langsung berburuk sangka dan menyatakan bahwa hal ini bersumber

dari Islamophobia pemerintah Rusia? Tidakkah ada efek positif yang nyata dari

ditetapkannya aturan baru tersebut?

13 Ibid., hlm. 194-195

14 Abdullah Faliq “From The Editor” dalam Arches Quarterly Islamophobia and antimuslim

hatred: causes and remedies, vol. 4 ed. 7, hlm. 7.

15 Liz Fekete “The New McCarthysm in Europe” dalam Arches Quarterly Islamophobia

and anti-muslim hatred: causes and remedies, vol. 4 ed. 7, hlm. 68.

5

Tantangan Bagi Muslim Minoritas: Integrasi

Apakah memang langkah yang ditempuh oleh pemerintah Austria

merupakan usaha untuk memundurkan umat Muslim? Ataukah Islam Gazette

2015 merupakan langkah yang tepat demi membentuk Muslim Austria

sebagaimana yang diharapkan dalam peraturan tersebut? Apakah pembentukan

identitas ini sedemikian pentingnya? John L. Esposito dalam bukunya yang

berjudul The Future of Islam menyebutkan bahwa noda ‘orang luar’ dan terorisme

masih terus membungkus umat Muslim di Barat sebagai ‘orang lain’ dan ‘budaya

asing’. Mereka yang ingin berjuang untuk berhasil di lingkungan budaya dan

politik Amerika atau Eropa sering merasa menjadi orang asing di tengah

masyarakat Barat dan percaya bahwa mereka mesti menanggalkan identitasnya

agar bisa diterima. Mereka digiring untuk mempertanyakan apakah mereka

Muslim yang tinggal di Amerika atau Eropa, ataukah mereka adalah Muslim-

Amerika atau Muslim-Eropa. Umat muslim di masa depan akan menghadapi

tantangan untuk mempertahankan iman dan identitas mereka sembari berintegrasi

ke dalam masyarakat Amerika dan Eropa yang kadang kala bermusuhan.16

Integrasi muslim ke dalam masyarakat Eropa lebih sulit ketimbang di

Amerika. Berlawanan dengan muslim Amerika imigran yang banyak datang

berbekalkan pendidikan dan keahlian, keadaan kaum muslim Eropa umumnya

datang sebagai pekerja dan buruh saat Eropa sangat membutuhkan pekerja asing.

Akibatnya, banyak yang mempunyai pendidikan, keahlian dan mobilitas

terbatas.17 Kondisi ini menyelipkan perasaan sebagai warga kelas-dua,

keterasingan sosial, terpinggirkan, dan terkucil. Muslim Eropa berjuang lebih

gigih dengan identitas mereka. Karena struktur kelas dan sikap kultural, Muslim

Eropa generasi pertama dan kedua, begitu pula imigran baru, merasa mereka tidak

akan pernah diterima sepenuhnya dan setara dengan orang Inggris, Perancis atau

16 John L. Esposito, Masa Depan Islam; Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan

dengan Barat, terj. Eva Y. Nukman&Edi Wahyu SM (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 49-50.

17 Ibid., hlm. 52.

6

Jerman. Generasi yang lebih muda sering terasing dari identitas Eropanya dan dari

identitas keagamaan dan kebangsaan tradisional orangtuanya.18

Rasa keterasingan yang dimiliki oleh muslim di Barat, yang disebabkan

oleh sejumlah alasan, justru mendorong mereka untuk menjadi semakin eksklusif.

Mereka berpaling semakin menjauh dari sikap integrasi yang diharapkan.

Akhirnya, sekalipun masih ada muslim yang memandang diri sendiri sebagai

bagian dari struktur masyarakat dan memiliki keinginan kuat untuk hidup

berdampingan bersama warga lainnya berlandaskan nilai-nilai dan kepentingan

kewarganegaraan, religius, sosial bersama, namun lebih banyak yang bersikap

kurang menyetujui integrasi dan menganjurkan untuk membuat komunitas

keagamaan/budaya terpisah di dalam masyarakat Barat. Seperti etnis Katolik dan

Yahudi di Amerika, yang awalnya menoleh ke negara asal mereka untuk

mendapatkan pastor dan rabi, muslim Barat mengandalkan hubungan dengan

dunia muslimnya untuk kepemimpinan dan dukungan keagamaan. Khususnya

baru-baru ini, organisasi dan agensi internasional yang dibiayai Libya, Arab

Saudi, Iran, dan Negara Teluk lainnya menyediakan dana yang besar untuk

membangun banyak masjid dan sekolah serta menggaji imam, mengajarkan

bahasa Arab dan Islam, menyebarkan literatur keagamaan, dan mendukung

kunjungan dari pemuka agama ternama.19

Kendati dukungan ini mulanya dapat memperkuat institusi keislaman,

dalam jangka panjang juga bisa berdampak negatif. Bergantung pada sumber

asing seperti Arab Saudi dengan Mazhab Wahabinya atau negara muslim lainnya,

dapat menghalangi integrasi muslim. Komunitas muslim yang terlalu bergantung

pada pemimpin keagamaan yang lahir dan dididik di tempat asing yang sering

kurang memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri cenderung berpegang teguh

pada pandangan dunia tradisionalis. Para pemimpin yang tidak dipersiapkan untuk

menanggapi tantangan kehidupan di Barat, namun malah hidup, bertindak dan

mengajar seolah-olah mereka masih di Kairo, Makkah atau Islamabad, bukannya

di New York, Detroit, London, Manchester, Marseiles, atau Berlin. Mereka

18 Ibid., hlm. 56.

19 Ibid., hlm. 51.

7

mungkin tidak hanya menganjurkan pengasingan diri dan menolak sistem politik

Barat, tetapi juga mendorong keinginan untuk mengislamkan Barat.20

Doktrin Marjin Apresiasi: Menyeimbangkan Hak-hak Individu dan

Kepentingan Nasionalnya

Ketika membicarakan tentang pertentangan kepentingan antara adanya

hak individu sebagai manusia untuk menjalankan kehidupan beragamanya dan

desakan pemerintah untuk menciptakan identitas nasionalisme bangsa, penulis

teringat dengan doktrin marjin apresiasi yang digunakan oleh Mashood Baderin

dalam rangka mendialogkan hukum internasional HAM dengan hukum Islam.

Pengertian dari doktrin marjin apresiasi adalah garis batas dimana pengawasan

internasional harus mengalah pada pertimbangan negara pihak dalam merancang

atau menegakkan hukumnya. Ajaran margin apresiasi ditemukan dalam

yurisprudensi hukum administrasi Conseil d’etat di Perancis, marge

d’appreciation, yang kemudian diadopsi oleh Pengadilan HAM Eropa di

Strasbourg. Doktrin margin apresiasi sesungguhnya didasarkan pada suatu paham

bahwa setiap masyarakat berhak atas suatu ruang gerak untuk menyeimbangkan

hak-hak individu dan kepentingan nasionalnya, serta menyelesaikan perselisihan

yang muncul sebagai akibat adanya keyakinan moral yang berbeda.21

Tidak ada satu orang pun yang membantah bahwa hak asasi manusia

(HAM) merupakan hak yang dimiliki seseorang karena kemanusiaannya yang

harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat dan

Negara.22 Hak asasi manusia ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar,

fundamental dan penting. Oleh karena itu, banyak pendapat yang mengatakan

bahwa hak asasi manusia itu adalah “kekuasaan dan keamanan” yang dimiliki

20 Ibid., hlm. 51.

21 Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law (New York: Oxford

University Press, 2003), hlm. 234.

22 Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaan (Bandung: Prenada Media, 2005), hlm. 200.

8

oleh setiap individu.23 Bahkan di dunia sekarang ini, konsep HAM mempengaruhi

semua aspek hubungan internasional dan melintasbatasi semua aspek hukum

internasional kontemporer.24 Penerimaan masyarakat global akan universalitas

hak asasi manusia internasional (HAMI) memang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Universalitas HAM mengacu pada sifat penerimaan yang universal atau mendunia

atas ide hak asasi manusia. Hal ini telah dicapai sejak beberapa tahun setelah

pengesahan DUHAM pada tahun 1948, dan dibuktikan oleh fakta bahwa negara

yang tidak dengan tegas menerimanya akan dianggap sebagai pelanggar HAM.25

Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (disingkat DUHAM), ditemukan juga di dalam berbagai

dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789),

Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2

DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasankebebasan

yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun,

seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang

berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran,

ataupun kedudukan lain. Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam

dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18:

"Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak

ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan

untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,

peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang lain, di muka umum atau secara pribadi.“

Kebebasan dalam beragama dan berkeyakinan serta dalam menjalankan

praktek memang dijamin dan diakui secara universal. Oleh karena itu, pembatasan

yang dilakukan oleh pemerintah Austria terutama dalam hal pelarangan

pendanaan dari luar negeri dan pelarangan mempekerjakan ulama dari luar negeri

23 Harun Nasution dan Bahtiar Effendi (ed.), Hak Asasi Manusia Dalam Islam (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 14.

24 Baderin, International ..., hlm. 1.

25 Majda el-Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 1.

9

dapat saja dikelompokkan ke dalam pelanggaran hak muslim Austria. Di sinilah

kita harus menggunakan doktrin marjin apresiasi. Pasal kebebasan dalam

beragama dan menjalankan praktek keagamaan dalam DUHAM harus mengalah

demi kepentingan pembentukan identitas muslim Austria dalam rangka integrasi.

Selain itu, penulis memandang bahwa apa yang dilarang oleh pemerintah Austria

tidaklah seperti pelarangan yang terjadi di Swiss, Prancis, Belgia, maupun negara

Barat lainnya. Austria tidak melarang sesuatu yang prinsip, ibadah yang wajib

dilaksanakan oleh umat Islam. Mereka hanya membuat sebuah regulasi dengan

harapan hal tersebut dapat mengurangi ketergantungan muslim Austria terhadap

dukungan dana dari luar negeri yang dapat menularkan paham di negara tersebut

ke Austria serta menghindari pemimpin keagamaan yang lahir dan dididik di

tempat asing yang sering kurang memiliki keinginan untuk menyesuaikan diri

cenderung berpegang teguh pada pandangan dunia tradisionalis.

Penutup

Jika kita coba memikirkan apa yang diungkapkan oleh Esposito di atas

serta oleh Fatimah Husein dan Muhammad Wildan dalam laporannya, bahwa

sangat penting bagi umat Islam untuk mengembangkan identitas Muslim Eropa,

agar generasi kedua, ketiga dan keempat yang lahir dan dibesarkan di Eropa akan

merasa nyaman.26 Hal ini menurut penulis mungkin saja dapat terwujud melalui

reformasi Islam Gazette 2015 yang dilakukan oleh Austria. Kita tidak perlu

memandangnya dengan penuh kecurigaan, merasa bahwa regulasi yang baru itu

menginjak-injak harga diri umat Islam karena seakan-akan semakin dipersulit.

Integrasi merupakan masa depan Islam di Barat yang harus dicapai. Agar tidak

ada lagi pembedaan, semua dapat menjadi penduduk dari suatu negara dengan

kedudukan yang setara.

26 Fatimah & Muhammad Wildan, “Komunitas Muslim...”, hlm. 5.

10

DAFTAR PUSTAKA

Allen, Chris, Islamophobia, England: Ashgate Publishing Company, 2010.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Kewargaan, Bandung: Prenada Media, 2005.

Baderin, Mashood A., International Human Rights and Islamic Law, New York:

Oxford University Press, 2003.

Esposito, John L., Masa Depan Islam; Antara Tantangan Kemajemukan dan

Benturan dengan Barat, terj. Eva Y. Nukman&Edi Wahyu SM, Bandung:

Mizan, 2010.

Muhtaj, Majda el-, Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Nasution, Harun dan Bahtiar Effendi (ed.), Hak Asasi Manusia Dalam Islam,

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.

Arches Quarterly Islamophobia and anti-muslim hatred: causes and remedies, vol.

4 ed. 7.

Fatimah&Muhammad Wildan, “Komunitas Muslim di Uni Eropa: Tantangan dan

Peluang Komunitas-komunitas Muslim di Eropa”, Laporan Penelitian

Kompetitif Kolaboratif Internasional Universitas Islam Negeri Sunan

kalijaga Yogyakarta 2013.

Islam Law 2015 Commentary.

Islam Law 2015 Summary.

www.m.republika.co.id/berita/internasional/global/15/02/27/nke9wm-austriaresmikan-

aturan-yang-menekan-umat-islam


Leave a Comment