| 0 Comments | 43 Views

A.    Pendahuluan

Dalam pengantar untuk menuju pembahasan tentang budaya, agama dan ilmu sosial, pertama-tama Rolston menekankan bahwa dunia sosial itu dibentuk sedangkan dunia alamiah itu ditemukan. Masyarakat merupakan bidang terdekat dari diri seseorang. Manusia sebagai bagian terpenting dari masyarakat memang merupakan produk alamiah, akan tetapi masyarakat itu sendiri justru merupakan bentukan manusia secara sengaja. Masyarakat dan dunia sosial dibentuk oleh sifat alamiah manusia yang kemudian berkembang setelah bersentuhan dengan hal lain di luar sifat manusia, sehingga tentunya ada sejumlah anggapan bahwa proses kultural tersebut diatur oleh hukum alam. Akan tetapi tetap saja dunia sosial itu dibentuk sedangkan dunia alamiah itu ditemukan.  

Orang mungkin berpikir bahwa ilmu-ilmu pengetahuan sosial akan lebih sederhana dibanding ilmu-ilmu pengetahuan alam, karena kita merupakan partisipan yang memiliki akses terhadap pembentukan produk kita sendiri. Dalam beberapa tahapan, masyarakat mungkin lebih sederhana dibanding manusia yang merupakan unit komponennya, akan tetapi kemudian jumlah dan kompleksitas manusia semakin meningkat. Manusia lahir dan berkembang dalam satu dari sekian banyak budaya dan masyarakat yang masing-masing telah dibentuk sepanjang sejarah, telah dilanggengkan oleh bahasa dan tradisi, dibangun secara lazim, dan menggunakan simbol-simbol yang memiliki makna efektif di tataran lokal. Ilmu-ilmu pengetahuan sosial kemudian dipaksa untuk mendekati bahkan melampaui sifat-sifat kemanusiaan tersebut. Oleh karena itulah status keilmiahan menjadi semakin problematik.

Kebudayaan, menurut antropolog Edward B. Tylor, adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan, serta kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat. Bagian-bagian dari kebudayaan telah menjadi bidang kajian ilmu-ilmu pengetahuan sosial tertentu; sosiologi merupakan ilmu tentang masyarakat, antropologi merupakan ilmu komparasi antara kultur dan subkultur, ekonomi merupakan ilmu tentang perdagangan dan industri, politik merupakan ilmu tentang pemerintahan, bahkan sejarah merupakan ilmu tentang masa lalu manusia. Harapan dari itu semua adalah untuk membawa kebudayaan di bawah analisis ilmiah. Hal ini tentunya akan menyebabkan konfrontasi antara ilmu pengetahuan dan agama, karena sekalipun sejumlah kekuatan sosial tidak selalu nampak bersifat relijius, namun pada sumbernya semuanya pasti bersifat relijius. Rolston menunjukkan bukti bahwa jenis kepercayaan yang menjadi panduan hidup masyarakat klasik bersifat relijius, seperti yang dimiliki oleh masyarakat Kristen dan Yahudi, setidaknya hingga teori sosiologi seperti Marxis dan Comte mulai muncul dan mengarahkan kehidupan masyarakat.

Ketika membicarakan kenyataan bahwa budaya muncul dari alam, terdapat dialektika yang membingungkan. Proses evolusi memang berhubungan dengan kebudayaan. Tangan, otak, logat, emosi kolektif, dan kapasitas keagamaan menimbulkan sejumlah budaya. Budaya-budaya yang berbeda muncul sebagai sebuah adaptasi untuk bertahan hidup, lalu kemudian diseleksi demi memenuhi kebutuhan reproduktif. Namun kini kita tidak lagi hanya berurusan dengan masalah gen semata, dan analogi kawanan binatang sudah tidak mampu lagi menjelaskan masalah manusia. Konsep baru yang kini muncul adalah bahwa sejumlah informasi dalam kehidupan manusia ditularkan dan semakin maju dengan pola pewarisan.

Dalam menjelaskan tentang kebudayaan, agama dan ilmu sosial, Rolston membagi tulisannya ke dalam empat pembahasan: (1) dimulai dengan pembahasan tentang sejumlah konsep masyarakat yang kemudian memberi karakter kepada ilmu sosial; (2) Setelah memahami konsep-konsep masyarakat tersebut, pembahasan kemudian dilanjutkan kepada masyarakat sebagai sistem makna yang melampaui analisis ilmiah yang bersifat kausalitas dan membutuhkan sejenis interpretasi yang mendekati wilayah agama; (3) berdasarkan latar belakang tersebut, Rolston kemudian mengkritik usaha dalam ilmu pengetahuan sosial untuk menjelaskan agama sebagai  proyeksi sosial yang bersifat kausal, yang kemudian ingin diganti dengan sains, sebagaimana yang dicontohkan oleh Emile Durkheim. Terakhir, dalam (4) Rolston mempertanyakan kebebas-nilaian ilmu pengetahuan sosial yang dipikul oleh keyakinan beragama.

B.    Pembahasan

1.     Masyarakat dan Individu: Bentuk-bentuk, Hukum-hukum dan Sebab-sebab

Pada bagian ini Rolston ingin menyajikan sejumlah teori tentang bentuk sebuah masyarakat, yang kemudian akan menuju kepada sejumlah isu keagamaan. Sejumlah teori pada masa-masa awal cenderung bersifat ambisius dan tidak bersahabat dengan agama. Namun seiring dengan semakin dewasanya ilmu sosial, semakin terbuka pula terhadap ketidaksempurnaannya.

Teori pertama, yang dianggap sebagai supertheory, adalah hukum tiga fase yang dicetuskan oleh Auguste Comte, di mana masyarakat pasti akan mengikuti tahapan-tahapan. Dimulai dengan masyarakat primitif dalam tahap relijius, di mana alam dan kebudayaan dianggap diatur oleh Tuhan. Selanjutnya masyarakat berlajut ke tahap metafisik. Pada akhirnya, masyarakat berlanjut ke tahap ilmiah, yang menjelaskan kehidupan dengan bentuk hukum kausalitas.  

Teori tentang bentuk masyarakat yang kedua adalah masyarakat sebagai sebuah organisme. Teori ini berkembang berdasarkan teori konservatif bahwa masyarakat merupakan quasi-organisme, yang diadaptasi dari biologi. Herbert Spencer menyatakan bahwa seluruh jenis makhluk hidup memiliki kesamaan, masing-masing dari mereka memperlihatkan kerjasama di antara masing-masing komponen untuk keuntungan bersama. Begitu pula masyarakat sebagai suatu kesatuan memiliki kebutuhan, menghadapi permasalahan dan mengatur diri mereka sendiri. Sebuah kelompok berfungsi sebagaimana tubuh binatang.

Teori ketiga adalah masyarakat sebagai sebuah sistem keseimbangan. Konsep yang ditawarkan di sini adalah masyarakat sebagai sebuah jaringan kekuatan yang seimbang, tanpa pusat, namun sarat dengan interaksi “tarik-ulur”, pengawasan, dan keseimbangan. Masyarakat bukanlah sebuah pusat di mana bagian-bagiannya bekerjasama, namun sebuah kerja individual untuk kepentingannya masing-masing. Masyarakat bagaikan sebuah pasar daripada sebuah organisme. Tidak ada pusat kontrol, yang ada hanyalah sebuah jaringan kekuatan yang saling berinteraksi. Manusia mencari cara untuk memaksimalkan uang, status atau kekuatan mereka. Dengan memahami motivasi-motivasi tersebut, dinamika sosial dapat dipahami dan diprediksi dengan dasar tarik-menarik kepentingan tersebut.

Teori yang keempat adalah masyarakat sebagai sebuah sistem struktural fungsional, yang menggambarkan sebuah sistem sosial sejati dengan sejumlah struktur dan fungsi komunal, lagi-lagi dalam bentuk keseimbangan yang dijelaskan secara ilmiah. Masyarakat merupakan sebuah keseimbangan besar yang bergerak yang memiliki kemampuan menjaga dirinya sendiri dengan sejumlah struktur dan fungsi yang saling berhubungan. Dalam sistem ini, proses sosial menyatukan individu-individu yang saling bergantung, menstimulasi perilakunya masing-masing dan berlangsung sepanjang waktu dengan sejumlah penggantian dan pendidikan bagi yang baru. Sistem ini menempatkan individu-individu, memberi status, peranan, orientasi yang bermakna, nilai, gagasan, simbol, menempatkan mereka pada institusi. Perilaku yang membahayakan kesejahteraan sosial yang selalu muncul dari waktu ke waktu akan dianggap menyimpang dan akan diperbaiki oleh tekanan sosial. Tekanan sosial memaksa dan memotivasi individu untuk beradaptasi terhadap sistem.

Teori kelima adalah masyarakat sebagai sistem sibernetik (elektronik pengendali). Teori sibernetik ini menyajikan teori sistem sosial yang bersifat informasional. Masyarakat merupakan sebuah jaringan kognitif, sehingga fenomena sosial tidak hanya bersifat kausal namun juga bersifat kognitif dan terukur. Kita dipaksa untuk membuat analogi komputeris, membuat ukuran bagi kekuatan-kekuatan sosial, membuat persamaan, serta membuat prediksi dan mengujinya.

Di antara sejumlah model yang disebutkan sebelumnya, menurut Rolston tidak ada satu pun yang dapat menangani konflik dan perubahan masyarakat dengan baik, padahal masyarakat selalu dipenuhi dengan kedua hal tersebut. Semua ahli sejarah mencoba memprediksi konflik apa yang akan terjadi dan bagaimana cara mengatasinya, namun hampir mustahil sebuah sistem sosial dapat memprediksi sejumlah penemuan baru, revolusi paradigma, keyakinan moral, maupun hal-hal lain yang tidak diduga yang akan menggantikan apa yang telah ada sebelumnya. Seseorang boleh saja percaya terhadap adanya perkembangan yang arahnya sudah dapat ditebak, namun tetap saja ada perbedaan besar antara prediksi kausal dalam sistem alam dan ramalan sosial.

Teori organisme menjelaskan tentang kerjasama dan kemampuan masyarakat mengatur dirinya sendiri, namun di sisi lain biologi evolusioner dan ekologis justru menambah elemen konflik. Sejumlah orang, grup dan golongan semuanya berada dalam kompetisi, di mana yang terbaik akan menang dan menempati posisi dominan, berperan penting dalam keberlangsungan masyarakat tersebut, namun nantinya akan disingkirkan oleh pendatang baru. Aliran Marxis mencoba untuk memprediksi kemungkinan terjadinya perebutan posisi namun belum berhasil.

Gagasan mengenai sebuah sistem keseimbangan sosial memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan ketika muncul pemberontakan atau penyerbuan. Hal ini kemudian dianggap sebagai sebuah anomali yang tidak dapat diprediksi, yang kemudian hanya dijelaskan sebagai serangan balasan. Konsep ini hanya memiliki sedikit teori tentang tren jangka panjang dan resolusi konflik, serta evolusi dan revolusi yang selalu mengganggu keseimbangan.

Konsep fungsionalisme struktural menjelaskan bagaimana dinamisme sosial bekerja. Konsep ini dapat menjelaskan bagaimana roda penggerak berputar, namun konsep apa yang dapat menjelaskan hal apa yang menghasilkan keanekaragaman masa lalu dan masa depan dalam perputaran tersebut? Teori sibernetik juga tidak dapat lebih dahulu menentukan sejumlah inovasi konseptual, penemuan teknologi, kekuatan apa yang akan mereka miliki atau prinsip moral apa yang akan bereaksi. Peter Berger, seorang ahli sosiologi menggambarkan bahwa dirinya seringkali berpikir bahwa sekalipun seseorang dilengkapi dengan seluruh komponen ilmu sosial modern, dia akan tetap kesulitan untuk memprediksi terjadinya, misalnya, reformasi pada awal abad ke-16.

2.     Ilmu Sosial Interpretif

Komunitas Kebermaknaan Bersama

Hal apa sebenarnya yang menjadi pemersatu unit-unit sosial dalam masyarakat? Pertanyaan ini tidak dapat dijawab oleh sains, karena tidak ada satu pun metabolisme biologis maupun jasmani yang dapat menjaga seluruh komponen masyarakat agar selalu berdampingan. Jawaban yang seringkali diberikan adalah bahasa, akan tetapi bahasa yang dikembangkan dengan maksimal pun tidak cukup untuk melakukannya. Hal yang mempersatukan masyarakat setelah faktor ekonomi, geografi dan faktor-faktor lainnya adalah kebermaknaan bersama. Makna adalah asas yang dipilih oleh masyarakat, yang merupakan sebuah desakan untuk menjadi relijius, hampir bisa dikatakan sebagai bujukan untuk mendekati “semacam” Tuhan. Apabila sebuah masyarakat tidak memiliki makna yang menjadi panutan, maka mereka tidak akan bertahan lama. Manusia tidak hanya hidup dengan memakan roti saja, namun manusia hidup untuk dan dari sejumlah ide dan ideologi.

Manusia hidup dengan makna. Bahkan apa yang disebut oleh Talcott Parsos sebagai “level sibernetik tertinggi”, di mana sebuah sistem memiliki makna yang tinggi sekalipun dengan energi yang minim akan mendominasi dan menggantikan sistem yang memiliki makna yang rendah sekalipun dengan energi yang besar. Terbukti dalam evaluasi masyarakat dalam sejarah, kesuksesan tidak hanya berkenaan dengan teknik, kekuatan ataupun industri, namun yang lebih penting adalah memiliki tuntunan yang lebih relijius serta pemaknaan yang lebih baik mengenai pedoman utama dalam dunia alam maupun sosial. Rupanya Parsons tertarik dengan cara masyarakat Yahudi-Kristen mengartikan kehidupan sebagai hadiah dari Tuhan dan penerimanya dituntut untuk membalasnya dengan baik.

Hal yang harus dimiliki oleh masyarakat adalah mentalitas yang dapat menerima kebudayaan. Semua teoris sosial terkemuka, mulai dari Max Weber hingga Karl Mannheim, Wilhelm Dilthey dan Peter Winch senantiasa menyatakan bahwa dalam memahami sebuah masyarakat tidak hanya dibutuhkan analisis obyektif terhadap kekuatan sosial, konflik, keseimbangan, fungsi, dan hal lainnya, namun juga membutuhkan interpretasi yang empatik terhadap ideologi subyektif masyarakat tersebut.  Perilaku yang muncul dari makna tidak dapat dijelaskan secara menyeluruh oleh penelitian dari luar mengenai faktor yang mendorong si pelaku, namun juga membutuhkan perasaan berbagi di mana kesadaran seseorang menghargai kesadaran orang lain.

 

Studi Ilmiah Terhadap Prasangka Relijius

Studi terhadap peran keyakinan beragama berperan penting dalam pembentukan dan penanggulangan sejumlah prasangka buruk. Hal ini muncul karena manusia dipengaruhi oleh sistem keyakinannya untuk mengormati maupun mengabaikan penganut agama lain. Sejumlah prasangka buruk tersebut benar-benar harus dipahami untuk membuat pola dinamika sebuah masyarakat demi membentuk masyarakat yang penuh makna. Ada sejumlah level institusional yang berbeda dalam agama; anggota resmi gerejawi, kependetaan secara umum, orang awam, serta level lain yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa ketika seseorang yang berada pada level institusi gerejawi maka akan lebih sedikit prasangka buruk yang muncul, dan semakin menurun level keagamaannya maka akan semakin besar prasangka yang muncul. Kesimpulan yang muncul dari konsep ini adalah prasangka buruk akan semakin besar, meskipun tidak terlalu signifikan, seiring dengan seberapa konservatif orang tersebut.

Rolston menyatakan bahwa eksklusifisme dalam beragama (Rolston beragama Kristen) menimbulkan prasangka-prasangka buruk dalam kehidupan beragama, sekalipun kita seringkali tidak menyadarinya. Individualisme teologis, di mana tiap-tiap orang berkuasa untuk mengontrol dirinya dan bertanggungjawab atas takdirnya sendiri, menghasilkan prasangka rasial. Di lain sisi, univeralisme teologis, di mana semua kehendak dan ciptaan Tuhan ditujukan untuk keselamatan manusia, akan memunculkan toleransi dalam kehidupan. Prasangka buruk secara penuh berkesesuaian dengan ajaran agama yang bersifat konsensus, di mana dominasi grup sangat diutamakan. Namun prasangka buruk tersebut berkorelasi secara negatif dengan committed religion, di mana agama dipeluk secara intens dan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran agama dan prasangka buruk bersifat kausal. Deskripsi di atas dapat memungkinkan seorang ahli sosiologi untuk menggambarkan keefektifan gereja dalam melawan prasangka agama maupun ras.   

 

Sistem Makna dan Hukum Kausalitas

Dari sejumlah pembahasan sebelumnya, kesimpulan yang ingin dipertahankan oleh sosiologi adalah bahwasanya fakta-fakta sosial mulai muncul dari alam, bukannya sudah ada dari awalnya. Namun, ilmu alam tidak dapat memecahkan pola kausalitas dalam fakta sosial, terutama dalam hal kepercayaan yang terkadang logis dan terkadang pula tidak logis. Contohnya ketika ada sebuah penelitian dengan sampel sejumlah penganut agama Protestan, Katolik dan Yahudi, kemudian hasil penelitian tersebut ingin diterapkan kepada penganut agama lain seperti Islam, Hindu atau Buddha. Mereka hidup dengan fisiologi yang sama, namun dalam kehidupan sosial yang berbeda. Maka sebelum kita ingin memproyeksikan hasil suatu penelitian, kita harus meneliti semua kendala dalam rangka untuk menghasilkan konsep yang dapat digunakan lintas budaya, dari satu sistem makna ke sistem makna yang lain. Misalnya, apakah sistem kasta dalam agama Hindu merupakan prasangka yang berhubungan dengan doktrin karma? Apakah hal tersebut sama seperti doktrin eksklusifisme teologis?

Suatu hubungan disebut kausal apabila sebuah penyebab menghubungkan kaitan antara sejumlah variabel. Misalnya kita mengatakan bahwa T (kepercayaan non eksklusif terhadap Tuhan yang Maha Penyayang) merupakan “penyebab” atas O (sikap peduli, tidak berprasangka buruk), dalam artian bahwa keberadaan T “membuat” kemungkinan munculnya O menjadi lebih besar. Kata “membuat” dalam pernyataan di atas bukanlah seperti yang ada dalam ilmu fisika atau biologi, seperti matahari membuat tanaman jagung tumbuh. Makna kata “membuat” di atas bersifat motivasi atau sebuah keharusan, maksudnya penganut agama ditetapkan untuk membuat dunia tanpa prasangka. Adanya keinginan, pertimbangan, kewajiban, dan penilaian dalam rangka kebermaknaan jauh melampaui semua gagasan tentang kausalitas baik yang mekanikal, organik, fungsional.

Fungsi Laten dan Manifes Sosial

Pada bagian ini, Rolston ingin menunjukkan kenyataan bahwa masyarakat begitu kompleks dan saling berhubungan, maka mustahil meramalkan secara tepat semua akibat dari suatu tindakan. Lembaga sosial mempunyai fungsi “manifest”, yang merupakan tujuan lembaga yang diakui, konsekuensi objektif yang membantu penyesuaian atau adaptasi dari system tersebut; dan mempunyai fungsi “laten”, yang merupakan hasil yang tidak dikehendaki dan mungkin tidak diakui, atau jika diakuipun dianggap sebagai hasil sampingan.

Ahli sosiologi yang berurusan dengan fungsi manifes dan laten sosial  harus benar-benar jeli. Ketika berhubungan dengan fungsi laten, ia harus berpatokan dengan kata “penyebab”. Dalam hal ini tingkah laku dianggap sebagai simbol-simbol yang berbicara secara diam-diam, sehingga butuh interpretasi untuk memasukkannya ke dalam konteks. Kausalitas laten, menurut Rolston, ternyata saling berjalin dengan sistem makna dalam masyarakat tersebut. Kemudian dalam hal fungsi manifest, peneliti harus berpatokan dengan kata “alasan”, karena masyarakat selalu terikat dengan sejumlah alasan.

Oleh karena proses sosial menjadi manifes seutuhnya, ahli sosiologi harus memahami kata “penyebab” sebagai kata yang tidak ilmiah dan setengah akurat. Kita dapat mengapresiasi sejumlah hubungan antara dua variabel sosial dan dengannya memprediksi masa depan. Akan tetapi daya pengaruh yang dimilikinya tidaklah sama seperti kausalitas dalam ilmu fisika atau biologi, di mana obyek penelitiannya tidak memiliki sikap. Untuk menjadi sepenuhnya akurat dalam melihat proses sosial tidak harus menyajikan penjelasan yang bersifat kausalitas namun butuh pertimbangan yang rasional, yaitu kesanggupan untuk berpikir sebagaimana masyarakat tersebut berpikir demi masuk lebih jauh ke dalam sistem makna mereka, lebih jauh daripada yang dapat dilakukan masyarakat tersebut.

 

Jati Diri yang Menyejarah dan Logika Ilmu Sosial

Ada banyak penyebab sehingga masyarakat memilih jalan hidup yang satu dan tidak memilih yang lain. Jenis perilaku muncul, bisa jadi berasal dari satu orang maupun satu kelompok yang membuat langkah baru, bisa jadi muncul dari pengaruh masyarakat terdahulu. Ketika peneliti sosial interpretif menjelaskan fenomena budaya penemuan jati diri ini, maka mereka telah sampai kepada batas kompetensi mereka. Deskripsi tentang sebuah masyarakat harus tetap bersifat tidak dapat dipastikan. Ketika kita membayangkan dan menyusun kekuatan sosial secara mekanistis, organis, fungsional, atau bahkan sibernetis, kita tidak akan dapat menjelaskan perputaran sosial pada titik yang paling krusial, ketika manusia tiba pada sejumlah pilihan jati diri yang menyejarah. Peneliti sosial hanya dapat menawarkan sejumlah skenario alternatif, lalu kemudian bergabung ke dalam perdebatan dengan rekan sejawatnya tentang pilihan-pilihan yang ada. Peneliti sosial memerlukan sebuah logika penelitian yang berbeda daripada yang digunakan dalam ilmu alam. Ilmu sosial memiliki karakter fenomena yang berbeda, yang tidak dapat ditangani hanya dengan menggunakan model kausal dan empiris. Fenomena tersebut membutuhkan model penelitian yang berbeda, yaitu model makna.

Penggunaan model empati dan makna tidak hanya digunakan oleh peneliti sosial dalam hal menemukan teori tentang kepercayaan dan tingkah laku. Hal tersebut juga harus digunakan dalam justifikasi, di mana tidak ada paparan penjelasan tentang fenomena sosial yang dapat dikatakan lengkap jika hanya melihat tingkah laku yang nampak tarik ulur. Penjelasan harus dilanjutkan lebih jauh dan menjangkau pengertian yang mendalam serta memahami bentuk kehidupan yang sudah dilalui beserta alat penghubungnya dengan perilaku manifest, bukan hanya pengetahuan biasa tentang suatu tingkah laku.

 

Masyarakat Sebagai Naskah yang Akan Diinterpretasikan

Para ahli yang berkecimpung dalam wilayah intersubjektif ilmu sosial tidak meminjam paradigma dari fisika ataupun biologi namun justru meminjam paradigma dari teologi, yaitu memandang masyarakat sebagai naskah yang akan diinterpretasikan. Ilmu hermenetik tersebut berasal dari usaha untuk menjelaskan makna dalam teks gerejawi, yang meliputi pembaruan makna dari kitab suci yang dianggap sudah kuno dan problematis untuk masyarakat masa kini.

Pada tataran ini ditemukan bahwa bentuk logika yang dibutuhkan dalam ilmu sosial bukanlah yang bersifat mekanis, organis, fungsional, maupun sibernetik, namun dramatik dan historis. Menurut Martindale, sosiologi mencari pengetahuan abstrak dengan tidak bias terhadap pola-pola normatif tempat dan waktu setempat... yang diinginkan bukanlah pengetahuan yang unik dan khusus, namun yang bersifat umum. Jika seperti itu, maka kita tidak dapat mengetahui makna dari sejarah kita sendiri. Sebagaimana dalam permainan catur, makna dari masing-masing bidak adalah perannya dalam permainan tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa nilai dari seseorang adalah perannya sendiri dalam suatu cerita. Pada akhirnya, logika yang kita inginkan, tidak peduli kebenaran apapun yang terkandung dalam suatu hukum yang paling sederhana sekalipun, adalah hermeneutika, yang menghargai pentingnya arti sebuah masyarakat yang berbeda.

Dalam makna yang luas, terutama pada asas agamis dan filosofisnya, sebenarnya budaya adalah seperangkat usulan yang mengandung elemen-elemen yang mengagumkan, yang muncul sejak awal mula manusia, berkembang dari waktu ke waktu, dan menjadi kekuatan yang mengatur kehidupan yang telah kita ciptakan. Pada masa ini, kita dituntut untuk membentuk kehidupan kita kembali, namun kebudayaan bukanlah seperangkat usulan yang dapat dipahami dengan logika formal ataupun teori permainan. Kebudayaan adalah seperangkat usulan yang membentuk sebuah cerita, sehingga yang kita butuhkan paradigma naratif dramatis. Satu bagian dari cerita tersebut harus dideskripsikan secara ilmiah, namun plot narasi cerita juga harus dijelaskan secara interpretif. Kita merupakan pelaku dari cerita tersebut, yang dibebankan dengan sebuah tugas di akhir jam kerja nanti. Kita diberikan sebuah kenyataan yang telah ada, yang membutuhkan pilihan tentang apa yang seharusnya terjadi. Kita harus memutuskan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk. Akan tetapi pilihan tersebut tidak dimiliki ilmu manapun.


Leave a Comment