| 0 Comments | 46 Views
A. Pendahuluan
Setiap kehidupan senantiasa ditandai oleh gerak dan dinamika. Bermula
dari gerak dan dinamika itulah perubahan dan perkembangan hidup dengan
beragam variannya terjadi secara terus-menerus tanpa mengenal henti. Jika
perubahan dan perkembangan sebagai akibat dari gerak dan dinamika itu tidak
tampak dalam kehidupan, maka berarti telah hilang pulalah tanda-tanda
kehidupan itu sendiri. Demikian halnya dalam agama, keberadaan suatu agama
akan dinilai memiliki fungsi bagi kehidupan jika dalam praktiknya terbuka ruang
lebar bagi tuntutan gerak dan dinamika kehidupan manusia sebagaimana yang
dimaksud. Makalah ini secara singkat akan mencoba melihat urgensi
reaktualisasi strategi penyampaian serta materi dakwah Islam karena tuntutan
situasi dan kondisi masyarakat yang kian berubah berkat terjadinya globalisasi
akibat pesatnya teknologi informasi
B. Teknologi Informasi dan Dakwah Islam
Perkembangan teknologi informasi (TI)1 melaju dengan cepat dan
dibarengi dengan berbagai inovasi. Saat ini, nyaris tidak ada lagi batasan bagi
manusia dalam berkomunikasi, mereka dapat berkomunikasi kapan saja dan di
mana saja. Perkembangan informasi tidaklah menunggu hari, jam, atau menit,
namun dalam hitungan detik bermacam-macam informasi baru sudah dapat
ditemui di internet. Arus teknologi informasi dan komunikasi senantiasa
bergerak di tengah perkembangan zaman yang dinamis.
Media dan teknologi komunikasi memiliki fungsi utama sebagai sarana
untuk melakukan aktivitas komunikasi.2 Utamanya adalah komunikasi massa,
1 Teknologi informasi adalah suatu kombinasi antara teknologi komputer dan teknologi
komunikasi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan,
menyusun, menyimpan ,memanipulasi data dengan mendalam berbagai cara untuk menghasilkan
informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan
untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk
pengambilan keputusan. Ishak, “Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi”.
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4 No. 2 Tahun 2008, hlm. 87.
2 Dan Nimmo, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm. 6.
2
yaitu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar,
heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronis sehingga pesan yang
sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.3 Pengertian komunikasi massa di
atas mengindikasikan bahwa pemanfaatan teknologi komunikasi memiliki satu
kelebihan, yakni efektifitas waktu. Melalui media, pesan yang disampaikan akan
dapat dengan cepat diterima oleh khalayak. Hal itu disebabkan karena
kecanggihan teknologi komunikasi yang telah menghapus ruang geografis dalam
kehidupan manusia. Sehingga keberadaannya kini menjadi sangat urgen bagi
kehidupan manusia di dunia. Ketergantungan masyarakat terhadap sistem
informasi ini kemudian harus dijawab dengan memberikan formula dakwah yang
berbasis pada teknologi informasi.
Lahirnya teknologi informasi berimbas pada munculnya tantangan bagi
aktivis dakwah Islam di Indonesia untuk merubah pola dakwahnya yang bersifat
konvensional kepada dakwah yang berbasis teknologi informasi atau
mengkombinasikan antara dakwah konvensional dengan dakwah berbasis
teknologi informasi. Adanya teknologi informasi telah menciptakan ruang baru
yang tidak memiliki batas, baik secara geografis, perbedaan tingkat ekonomi,
tingkat pendidikan, agama, politik, maupun sosial-budaya. Hal ini menciptakan
aktivitas dakwah yang awalnya terbatas pada komunitas dan ditentukan oleh
letak geografis menjadi lebih luas, terbuka, dan lebih efisien, baik secara waktu,
tenaga, maupun biaya.4
Bisa dibayangkan, jika pada zaman dahulu aktivitas dakwah
menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk menuju suatu tempat dan
memerlukan face to face dengan mad’unya, kini bisa dirubah dengan hanya
duduk di depan laptop atau komputer yang telah dipasang jaringan internet.
Tidak hanya di Indonesia, melalui teknologi informasi tersebut semua orang
3 Djalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hlm. 188.
4 Slamet, “Dakwah Islam di Tengah Globalisasi Media dan Teknologi
Informasi“,Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013,
makalah tidak diterbitkan, hlm. 10.
3
dapat mengakses informasi di berbagai negara di penjuru dunia. Dengan
hilangnya sekat geografis antar wilayah menciptakan tantangan yang lebih besar
dalam aktivitas dakwah umat Islam.
Penciptaan strategi dakwah yang berbasis pada internet atau “e-
Dakwah” adalah hal yang mutlak dilakukan oleh da’i sekarang ini. Dengan
memanfaatkan media internet, kegiatan dakwah tentunya akan lebih efisien,
karena teknologi internet memiliki sifat tanpa batas, terjangkau, dan cepat,
sehingga akan memudahkan para da’i dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya.
Salah satu strategi dalam melakukan aktivitas dakwah yang berbasis pada
internet adalah dengan memanfaatkan layanan yang tersedia dalam internet
seperti website, jaringan sosial (social network) baik facebook ataupun twitter
dan sebagainya. Termasuk penciptaan aplikasi-aplikasi dakwah melalui
smartphone yang lebih mudah dan praktis. Dengan memanfaatkan media-media
tersebut artinya melakukan aktivitas dakwah lintas sektoral dan lintas geografis,
karena dakwah melalui internet adalah dakwah yang bersifat global, meski tidak
menutup kemungkinan media tersebut juga bisa digunakan sebagai media
dakwah antar personal. Pemanfaatan media internet sebagai media dakwah
mengingat pengguna internet sebagaimana dilansir oleh internetworldstats di
dunia mencapai 2.405.518.376 orang, di mana 44,8% nya adalah dari Asia.5
C. Teknologi Informasi, Globalisasi dan Perubahan Masyarakat
Tidak dapat disangkal bahwa salah satu penyebab utama terjadinya era
globalisasi yang datangnya lebih cepat dari dugaan semua pihak adalah karena
perkembangan pesat teknologi informasi. Implementasi internet, electronic
commerce, electronic data interchange, virtual office, telemedicine, intranet, dan
lain sebagainya telah menerobos batas-batas fisik antar negara. Penggabungan
antara teknologi komputer dengan telekomunikasi telah menghasilkan suatu
revolusi di bidang sistem informasi. Data atau informasi yang pada jaman dahulu
harus memakan waktu berhari-hari untuk diolah sebelum dikirimkan ke sisi lain
5 Ibid.
4
di dunia, saat ini dapat dilakukan dalam hitungan detik.6 Tidak ada yang dapat
menahan lajunya perkembangan teknologi informasi. Keberadaannya telah
menghilangkan garis-garis batas antar negara dalam hal flow of information.
Tidak ada negara yang mampu untuk mencegah mengalirnya informasi dari atau
ke luar negara lain, karena batasan antara negara tidak dikenal dalam virtual
world of computer.
Timbulnya penemuan baru akibat kemajuan ilmu dan teknologi (iptek),
berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola pikir yang
membawa konsekuensi logis serta melahirkan norma baru dalam kehidupan
masyarakat. Manusia adalah makhluk yang dinamis, kreatif, sehingga dari masa
ke masa akan mengalami perkembangan dan pergeseran dalam sistem
kehidupannya sebagai sunnatullah. Pergeseran dan perubahan itulah yang
memunculkan persoalan-persoalan baru. Globalisasi pada hakikatnya juga telah
membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup
masyarakat.
Kebutuhan masyarakat yang selalu menuntut adanya perubahan serta
adanya tuntutan untuk memperoleh jawaban hukum yang lebih sesuai dan lebih
mendekati antara teori-teori hukum dan kenyataan riil, telah mendorong
eksistensi hukum sehingga mengalami perkembangan dan perubahan yang senada
dengan perkembangan tuntutan masyarakat. Di samping itu Islam sebagai agama
yang memiliki nilai universal, nilai elastisitas, serta doktrin yang lengkap, dituntut
untuk menjawab segala persoalan-persoalan yang muncul akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Kalau Islam tidak mampu menjawab
persoalan-persoalan umat tersebut, maka tidak mustahil Islam akan ketinggalan
zaman.
D. Perubahan Masyarakat vs Teks Suci
Dalam konteks hukum Islam, setelah sekian lama umat Islam terpola
dengan abad tengah yang cenderung konservatif dan menolak adanya perubahan,
6 Richardus Eko Indrajit, Evolusi Perkembangan Teknologi Informasi (Yogyakarta: Andi
Offset, 2005), hlm. 25.
5
maka sejak abad modern para ahli hukum Islam semakin menyadari bahwa
perubahan baik yang melalui proses reformasi (islah) maupun pembaruan (tajdid)
merupakan suatu hal yang tidak bisa ditunda lagi. Pada awalnya perubahan
tersebut hanya menyangkut dua prinsip lapangan hukum, yaitu hukum
perdagangan dan hukum pidana. Namun setelah tahun 1915, perubahan hukum
mulai menyentuh pada wilayah hukum keluarga.7
Persinggungan teks dengan realitas memiliki maknanya sendiri karena
sejatinya teks lahir bukan dalam ruang kosong, namun selalu muncul seiring
konteks realitas yang terus berkembang. Kenyataan sejarah juga menunjukkan
terjadinya dialog integral antara teks al-Qur’an, teks hadis dan realitas
masyarakat. Ketika terjadi persoalan hukum di masyarakat lalu teks al-Qur’an
turun untuk merespon. Selanjutnya, jika respon al-Qur’an dianggap kurang
memadai lalu teks hadis turut menjembatani dan menjelaskan detail persoalan
yang mesti diselesaikan. Dengan demikian, keberadaan nabi saat itu dapat
diposisikan sebagai mediator antara wahyu Tuhan dengan realitas masyarakat.
Setelah nabi wafat, posisi mediator tersebut dilanjutkan oleh para sahabat,
tabi’in, tabi’ tabi’in, serta para intelektual hingga sekarang. Karena itu,
pergumulan teks dengan realitas sesungguhnya terjadi sejak masa nabi sampai
sekarang.8
Tidak berlebihan jika para ahli hukum memiliki kesadaran tinggi akan
perlunya reaktualisasi hukum Islam karena tuntutan situasi dan kondisi.
Kesadaran serupa sebenarnya telah dialami oleh beberapa generasi jauh sebelum
mereka. Kurang lebih abad 14 M./8 H., Ibn Khaldun, Ibn Qayyim dan beberapa
ahli hukum Islam telah melakukan kajian tuntas menyangkut reaktualisasi hukum
Islam tersebut. Belum lagi pada periode imam-imam mazhab yang tampil
beberapa abad yang lalu, seperti Imam Syafi’i yang mempunyai qaul qadim dan
7 Akh. Minhaji, “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah”, dalam
Muhammadiyah dan Reformasi (Yogyakarta: Majlis Pustaka, 1999), hlm. 45-46.
8 Abu Yasid, “Fiqh: Pergulatan Teks dengan Realitas” dalam Fiqh Realitas: Respon
Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. X.
6
selanjutnya berubah menjadi qaul jadid, demikian juga Imam Abu Hanifah yang
akrab dengan sebutan ahl al-ra’y.9
Usaha untuk memelihara spirit atau tujuan (maqa>s}id) dan ‘illat membuat
para ulama sejak masa sahabat –bahkan sejak masa Rasulullah- memutuskan
keharusan adanya perubahan fatwa sesuai dengan perubahan zaman, adat, situasi,
dan kondisi.10 Al-Qarad}a>wi> menyajikan satu contoh mengenai pemahaman
terhadap hadis tentang kewajiban mengeluarkan Zakat Fitrah. Apabila dipahami
secara literal, Nabi Muhammad Saw. mewajibkan zakat dalam kelompokkelompok
tertentu berupa makanan pokok, yaitu kurma, anggur kering, gandum,
dan biji gandum. Berdasarkan hadis tersebut, kita harus membatasi diri pada apa
yang telah ditetapkan oleh Nabi. Akan tetapi, kenyataannya apabila Zakat Fitrah
terbatas hanya pada jenis-jenis tersebut maka justru menghilangkan maksud dari
Sya>ri’, yaitu agar orang-orang miskin tidak lagi meminta-minta. Apabila
muzakki memberikan gandum kepada fakir miskin yang hidup di perkotaan, di
mana lazimnya mereka membeli roti yang sudah jadi, maka pemberian tersebut
justru menyusahkan bagi si penerima dan si pemberi itu sendiri.11 Nabi
Muhammad Saw. selalu memperhatikan faktor kondisi dan zaman dalam
mengeluarkan sebuah hadis. Dalam hal penentuan jenis Zakat Fitrah, bahan
makanan pokok dipilih karena pada saat itu banyak terdapat makanan sedangkan
uang masih sangat langka dan berharga. Pemberian makanan ini kemudian lebih
mudah dilakukan oleh yang memberi dan lebih bermanfaat bagi yang diberi.
Apabila terjadi perubahan keadaan, di mana peredaran uang semakin banyak
sedangkan makanan semakin sulit, atau orang miskin tidak lagi membutuhkan
makanan pada ‘Id namun membutuhkan barang lainnya bagi dirinya dan
keluarganya, maka berzakat dengan uang tunai menjadi lebih mudah bagi
9 Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i
(Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 34-35.
10 Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 91.
11 Muh}ammad Sya>wisy, al-Manhaj al-Maqa>s}idiy ‘inda al-Syaikh Yu>suf al-Qarad{a>wi>
(Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009), hlm. 56.
7
pemberi dan lebih bermanfaat bagi yang diberi. Hal ini juga sesuai dengan fatwa
Umar bin Abdul Azi>z, Abu> H{ani>fah dan ulama lainnya.12
Contoh lainnya adalah ketika Umar r.a. mewajibkan zakat kuda. Orangorang
Syam pernah mendatangi Umar untuk memberikan zakat, namun ia tolak
karena hal tersebut belum pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun Abu Bakar.
Akan tetapi kemudian disebutkan dalam kisah Ya’la bin Umiyah dan saudaranya
bahwa ia mewajibkannya setelah mendapati ada kuda yang harganya senilai
seratus ekor unta betina. Sikap Umar tersebut bukan berarti mengubah hukum
syar’i, akan tetapi ia telah mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman dan
kondisi.13
Teks dan realitas harus dimaknai secara seimbang dalam proses
pergulatan mencari wujud maslahah sebagai tujuan akhir disyariatkannya ajaran
suci. Menurut al-Qarad}a>wi, pelegitimasian realita dengan cara memberi sandaran
hukum dalam Islam secara terpaksa tidaklah dapat dibenarkan. Begitu juga
cendekiawan yang berijtihad dengan mengabaikan kenyataan yang ada pada
zaman sekarang, entah karena mereka tidak berani untuk keluar dari pendapat
ulama mazhabnya, atau merasa hidup di masa lalu saja tanpa mengarungi
kehidupan masa mendatang dan tidak sempat meneropong kehidupan di masa
depan. Mereka yang mengabaikan realita akan keliru dalam menjawab masalah
yang terjadi di zaman modern. Pada akhirnya, mereka akan menetapkan suatu
hukum secara ekstrim dan mempersulit, padahal Allah telah memberikan
kemudahan bagi hamba-hambaNya.14
Reaktualisasi ini tentunya bukanlah mengganti ajaran dan hukum yang
bersifat mutlak, fundamental dan universal yang sudah tertuang dalam ketentuan
yang otentik (qat’iyyat). Yang diinginkan dari reaktualisasi sebenarnya adalah
menerapkan norma agama atas realitas sosial untuk memenuhi kebutuhan
12 Yusuf Qardhawi, Bagaimana Kita Bersikap Terhadap Sunnah (t.t.p.: Pustaka Mantiq,
1993), hlm. 182-183.
13 Qaradhawi, Fiqih ..., hlm. 93.
14 Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, terj.
Abu Barzani (Surabaya, Risalah Gusti, 1995), hlm. 90-91.
8
perkembangan masyarakat dengan berpegang pada dasar-dasar yang sudah
ditetapkan, yang berada dalam wilayah zanniyyat yang merupakan wilayah
kajian ijtihad.15
E. Penutup
Tantangan yang dihadapi para pendakwah pada masa kini dapat
dikelompokkan kepada dua hal; strategi penyampaian dakwah dan muatan
materi. Dalam hal penyampaian materi dakwah, kemajuan teknologi informasi
tidak boleh dipandang sebelah mata. Penyampaian ceramah tidak lagi terbatas
pada bertemunya da’i dengan mad’u pada satu tempat, namun juga dapat
memanfaatkan layanan yang tersedia dalam internet seperti website, jaringan
sosial (social network) baik facebook ataupun twitter dan sebagainya. Hal ini
bahkan dapat menjangkau khalayak masyarakat yang jauh lebih luas. Adapun
dalam hal muatan materi, sudah tidak cocok lagi apabila seorang da’i berdakwah
dengan materi yang “itu-itu saja”. Materi dakwah yang dogmatik, kaku, tidak
mau berkompromi dengan perubahan masyarakat yang nyata-nyata terjadi di
sekitarnya, seyogianya dihindari, lalu kemudian diganti dengan sudut pandang
penyandingan teks suci dan realita secara harmonis.
15 Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 11.
9
DAFTAR PUSTAKA
Indrajit, Richardus Eko, Evolusi Perkembangan Teknologi Informasi.
Yogyakarta: Andi Offset, 2005.
Minhaji, Akh., “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah”, dalam
Muhammadiyah dan Reformasi. Yogyakarta: Majlis Pustaka, 1999.
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1992.
Qaradhawi, Yusuf al-, Fiqih Praktis bagi Kehidupan Modern, terj. Abdul Hayyie
al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
_______________, Bagaimana Kita Bersikap Terhadap Sunnah. t.t.p.: Pustaka Mantiq,
1993.
________________, Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, terj.
Abu Barzani. Surabaya, Risalah Gusti, 1995.
Rakhmat, Djalaludin, Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2001.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Kontekstual: Dari Normatif ke Pemaknaan Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Roibin, Sosiologi Hukum Islam; Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i.
Malang: UIN Malang Press, 2008.
Sya>wisy, Muh}ammad, al-Manhaj al-Maqa>s}idiy ‘inda al-Syaikh Yu>suf al-
Qarad{a>wi>. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009.
Yasid, Abu, “Fiqh: Pergulatan Teks dengan Realitas” dalam Fiqh Realitas:
Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ishak, “Pengelolaan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi”. Pustaha: Jurnal
Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 4 No. 2 Tahun 2008.
Slamet, “Dakwah Islam di Tengah Globalisasi Media dan Teknologi
Informasi“,Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2013, makalah tidak diterbitkan
Leave a Comment