| 0 Comments | 518 Views

Card Image

Gambar Artikel Opini KR Thoriq Tri Prabowo ('Flexing' dan Relasi Parasosial) edisi Senin, 21 Maret 2022

'Flexing' dan Relasi Parasosial*

oleh: Thoriq Tri Prabowo**

Jagat maya mudah sekali digemparkan dengan berita yang too good to be true (terlalu baik untuk menjadi benar). Siapa yang tidak takjub dan heran terhadap anak-anak muda dengan usia di bawah 30 tahun, namun seolah memiliki harta miliaran, bahkan mungkin triliunan rupiah? Tidak hanya satu atau dua, cukup banyak publik figur yang memiliki pencitraan semacam itu di media sosial (medsos). Warganet dan media bahkan memberikan gelar crazy rich untuk para publik figur tersebut sebagai gambaran bahwa mereka tidak hanya kaya, tetapi sangat kaya.

Para publik figur tersebut menjadi sangat populer karena aksinya yang kerap mengunggah aktivitas dan barang yang lekat dengan kemewahan di medsos. Istilah yang digunakan untuk mereka yang sering pamer kekayaan dan kemewahan tersebut adalah flexing. Flexing sendiri sebenarnya sudah jamak dilakukan sebelum munculnya medsos. Pasca munculnya medsos, flexing menjadi kian masif dan bahkan menjadi konten yang memiliki segmentasi penikmatnya sendiri.

Sebagaimana istilah populer sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga, banyak warganet yang mulai meragukan kekayaan dari para crazy rich tersebut. Para warganet menganggap bahwa kekayaan yang mereka dapatkan prosesnya terlalu instan, bahkan dianggap mustahil. Benar saja, beberapa di antara mereka, belum lama ini diamankan oleh pihak berwajib karena diduga melalukan penipuan berkedok trading. Fakta mengenai sumber kekayaan dari para oknum crazy rich tersebut menjadi kian jelas. Adapun yang mereka citrakan di medsos tidak lebih daripada flexing palsu semata.

Flexing ini biasanya muncul salah satunya ialah karena ekspektasi tinggi yang tidak sesuai dengan realita. Berkaitan dengan hal tersebut, flexing dilakukan untuk membuat realita alternatif agar orang tersebut nampak seperti yang dicitrakannya di medsos. Kebutuhan yang tinggi akan eksistensi diri juga mendorong seseorang untuk melakukan flexing. Minimnya apresiasi dan perhatian terhadap seseorang boleh jadi memicu mereka untuk mencitrakan dirinya sebagai sosok yang “wah” di medsos. Kendati demikian, ada sejumlah pihak yang mengatakan bahwa kegiatan semacam flexing tersebut dianggap sebagai salah upaya untuk mengapresiasi diri sendiri atas kerja keras yang telah dilakukan.

Dalam konteks relasi sosial, flexing dianggap sebagai kegiatan yang relatif banyak mendatangkan keburukan ketimbang manfaat. Flexing yang dikomodifikasi sedemikian masif dikatakan akan membuat orang frustrasi. Orang akan selalu membandingkan pencapaian pribadinya dengan pencapaian orang lain yang mereka lihat di medsos. Sementara itu, hal yang mereka lihat di medsos belum tentu merefleksikan kebenaran yang hakiki. Alih-alih mendapatkan inspirasi dan kebahagiaan, konten flexing justru menghadirkan tekanan.

Pamer kepalsuan di era medsos ini menjadi persoalan yang serius karena mendapatkan publikasi yang masif, utamanya apabila dilakukan oleh publik figur. Tidak hanya menggunakan kekayaan sebagai objek, dalam bidang yang lain pun pamer kepalsuan sangat mungkin dilakukan. Sebagai contoh kabar mengenai mis-informasi mengenai keikutsertaan beberapa publik figur pada event fashion ternama di mancanegara. Contoh lainnya ialah gelar The Next Habibie yang disematkan kepada pemuda yang mencitrakan dirinya sebagai sosok yang jenius nan banyak prestasi beberapa tahun lalu, namun tidak lama terungkap bahwa hal tersebut tidak lebih hanya kebohongan semata.

Saya menganggap fenomena flexing ini serupa atau setidaknya berkaitan dengan fenomena relasi parasosial. Banyak di antara kita yang mengidolakan seseorang (publik figur, ilmuwan, dan tokoh lainnya), kemudian berperilaku seolah-olah kita memiliki hubungan dengan sosok yang diidolakan tersebut. Penggemar dengan relasi parasosial yang kuat akan semakin banyak memikirkan, merasakan, dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tokoh idolanya. Singkatnya, para penggemar yang fanatik akan seolah berhalusinasi memiliki relasi dengan sosok yang diidolakannya. Orang yang gemar melakukan pamer kepalsuan, dapat diartikan sebagai orang yang terobsesi dengan hal tersebut sehingga berambisi untuk mewujudkannya meskipun dengan cara yang tidak dibenarkan.

Pamer kepalsuan yang banyak dijumpai di medsos dapat dikatakan sebagai upaya untuk memelintir, membelokkan, atau bahkan mengubah fakta. Dalam konteks yang lebih luas hal ini bisa sangat berbahaya untuk diri sendiri dan publik. Fokus membagikan aktivitas positif sesuai dengan kapasitas masing-masing tanpa merasa lebih rendah atau lebih tinggi dengan pihak lain, akan membuat medsos lebih berwarna. Mencitrakan diri dengan berbohong hanya untuk membuat orang lain takjub adalah sebuah kesia-siaan.

*Artikel telah dimuat pada kolom Opini Kedaulatan Rakyat (KR) edisi Senin, 21 Maret 2022

**Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Leave a Comment