| 0 Comments | 154 Views

Card Image

Cover Majalah Forsipagama UGM - Artikel Thoriq Tri Prabowo "Lembaga Kearsipan dalam Ruang Publik Virtual"

Saat ini informasi tidak hanya dapat diakses melalui dokumen-dokumen fisik seperti buku dan terbitan lainnya saja. Justru informasi yang tidak terstruktur banyak tersebar di dunia maya terutama media sosial. Media sosial saat ini menjadi ruang publik virtual karena siapa saja dapat menggunakannya untuk menyuarakan aspirasinya. Dalam ruang publik virtual tersebut, informasi yang tersebar hampir tidak bisa diperkirakan besaran, varian, dan kecepatan alirannya. Informasi hakiki pun sangat mungkin tercampur aduk dengan informasi yang mungkin tidak pembaca kehendaki. Dalam hal ini, peran serta lembaga yang kredibel sangatlah diharapkan.

Media sosial saat ini menjelma lebih dari sekadar dari media hiburan, sebagaimana awal kemunculannya. Penggunaannya saat ini sangat masif, mulai dari media promosi, media diskusi, bahkan dalam fase pandemi covid-19 ini media sosial digunakan untuk keperluan belajar-mengajar. Optimalisasi media sosial menjadi semacam keharusan di era ini, terutama di sektor pelayanan publik seperti lembaga kearsipan. Lembaga ini memiliki peranan penting karena melalui arsip, sebuah institusi dapat mengingat apa yang sudah dilalui serta ke arah mana institusi tersebut akan melangkah. Sayangnya, aktivitas kearsipan masih didominasi kegiatan di belakang layar. Di era media sosial ini lembaga kearsipan juga harus memberikan performa terbaiknya di depan layar.

Media sosial menawarkan banyak hal yang dapat dioptimalkan oleh lembaga kearsipan melalui fitur-fitur yang disediakannya. Fitur unggah gambar, suara, video, serta catatan misalnya. Adapun contoh konten yang dapat dibagikan oleh media sosial lembaga kearsipan melalui fitur tersebut antara lain; event, laporan, materi kearsipan, literasi informasi kepada pengguna, informasi terkait layanan, dan informasi lainnya. Media sosial juga dapat digunakan oleh lembaga kearsipan untuk sekadar menyapa penggunanya. Di tengah kebijakan physical distancing akibat pandemi covid-19 ini banyak institusi yang menerapkan skema kerja work from home, akhirnya sukar sekali berkomunikasi atau sekadar menyapa pengguna secara langsung. Media sosial dapat menjadi media yang efektif sekaligus efisien untuk melakukan pekerjaan tersebut.

Mengingat pandemi ini masih belum diketahui kapan akan berakhir, maka belum bisa dipastikan pula kapan layanan-layanan publik juga akan kembali dibuka. Hal ini disadari atau tidak akan berimplikasi pada peningkatan kebutuhan arsip digital karena segala aktivitas kemungkinan masih akan dilakukan secara daring. Sebagai contoh, pada beberapa sistem persuratan saat ini sudah lazim menggunakan persuratan elektronik dengan tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik menggunakan QR-code. Arsip sejenis itu biasanya memang born digital, yaitu arsip yang sedari diproduksi memang sudah dalam format digital. Transformasi digital ini mungkin saja juga akan mengarah kepada arsip yang tidak diproduksi secara digital, melainkan harus melalui proses digitalisasi. Alih media arsip, dari analog menjadi digital adalah upaya permulaan untuk menjangkau ketersediaan akses terhadap arsip-arsip yang semula berformat analog tersebut.

Digitalisasi tersebut juga menunjang upaya preservasi karena melalui digitalisasi arsip tersebut secara tidak langsung berarti digandakan ke dalam format digital dengan tampilan yang nyaris sama persis dengan tampilan aslinya. Digitalisasi ini menjadi semakin menemukan urgensinya karena arsip fisik tersebut dibayang-bayangi ancaman kerusakan akibat faktor usia dan faktor bencana yang kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Arsip-arsip yang berformat digital inilah yang kemudian dapat diakses oleh pengguna dengan mudah melalui media daring, termasuk media sosial.

Beberapa arsip tersebut terkadang memiliki nilai historis bagi suatu institusi. Dalam konteks ini media sosial dapat saja berperan lebih dari sekadar media diseminasi informasi, tetapi juga etalase penyimpanan dari arsip tersebut. Kendati tidak semua jenis arsip memungkinkan untuk disimpan di dalamnya namun untuk beberapa jenis arsip seperti foto/gambar sangat dimungkinkan. Lebih dari itu, salah satu fitur media sosial yaitu fitur memori dapat digunakan untuk mengingatkan peristiwa penting dari sebuah institusi. Dengan demikian, media sosial tidak hanya membagikan explicit knowledge dari unggahan foto materi kearsipan tersebut, namun juga tacit knowledge yang terkandung dalam narasi yang menyertainya.

Media sosial membuat hierarki komunikasi berubah cukup signifikan. Siapa saja dapat berkomunikasi dengan siapa saja secara langsung tanpa melalui birokrasi yang rumit sebagaimana dulu. Hal ini merupakan kabar baik bagi publik, sekaligus tantangan bagi lembaga yang menggunakannya. Sebagaimana yang disampaikan di bagian awal bahwa lembaga kearsipan tidak saja harus piawai mengelola arsip di balik layar, tetapi juga harus mampu menghadirkan saluran komunikasi yang prima di depan layar. Oleh karena itu, salah satu keterampilan yang perlu dimiliki arsiparis yang menjadi tim media sosial ini adalah komunikasi efektif. Selain mampu berkomunikasi secara lisan dengan baik, mereka juga perlu memiliki keterampilan mereproduksi informasi menjadi lebih mudah dipahami. Semisal, menerjemahkan prosedur layanan arsip menjadi infografis, gambar bergerak, dan sebagainya.

Melalui saluran media sosial ini, pengelola arsip juga sekaligus dapat mengedukasi pengguna potensial terkait bagaimana menggunakan dan memperlakukan arsip. Dengan dimasukkannya materi literasi pengguna ini, lembaga kearsipan berarti tidak hanya berfokus pada layanan teknis semata melainkan juga berinvestasi untuk peningkatan budaya sadar arsip. Budaya ini akan berimplikasi jangka panjang yang manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh institusi penyedia layanan kearsipan, tetapi lebih luas lagi yaitu langsung dirasakan oleh masyarakat.

Partisipasi aktif lembaga kearsipan dalam media sosial juga merupakan sebuah inisiasi untuk meminimalisir maraknya berita bohong (hoax) yang beredar di media sosial. Berita bohong yang entah diproduksi secara sengaja maupun tidak merupakan ancaman yang serius bagi ekosistem informasi di ranah virtual. Hadirnya lembaga kearsipan di tengah-tengah diskursus perebutan ruang publik virtual tersebut diharapkan mampu membawa informasi yang berasal dari sumber-sumber yang akurat atau setidaknya memberikan rujukan terkait persoalan tersebut. Peran ini memang tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga kearsipan saja, melainkan perlu kerja kolektif yang serius.

Di tengah situasi pandemi covid-19 yang membatasi beberapa aktivitas fisik, intensitas penggunaan media sosial diperkirakan akan naik cukup signifikan. Hal tersebut menghadirkan peluang tersendiri bagi lembaga kearsipan untuk memperluas jangkauan layanannya. Sebaliknya, fenomena ini akan lewat begitu saja apabila tidak dipandang sebagai momentum untuk membenahi tata kelola layanan kearsipan di ranah daring.

Akhirnya, peran serta lembaga kearsipan dalam ruang publik virtual menjadi semacam keharusan. Media sosial dalam konteks layanan kearsipan dapat berperan sebagai media untuk memperluas jangkauan diseminasi informasi dan dalam waktu yang sama, juga dapat menjadi sarana untuk memberikan edukasi kepada publik. Beberapa hal tersebut merupakan peran strategis dari media sosial yang perlu dioptimalkan mengingat produksi arsip digital dan pengguna media sosial yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Penulis: Thoriq Tri Prabowo,Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Ilmu BudayaUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel telahdimuat dalam Majalah FORSIPAGAMA (UGM) Vol 4 No 2 Tahun 2021, pp. 39-42. Artikel juga dapat dibaca di DIGILIB UIN SUKA.


Leave a Comment