| 0 Comments | 491 Views
Mural berada pada persimpangan antara seni
dan vandalisme, karenanya ruang kosong bisa menjadi indah ataupun rusak.
Terlepas dari pro-kontra atas maraknya mural di ruang-ruang publik, saat ini
mural menjadi lebih dari sekadar aksi mencoret-coret tembok. Seni lukis
tersebut dapat menjadi media ekspresi publik untuk mencurahkan pendapatnya,
terutama kritik atas kebijakan publik.
Pemberitaan mengenai penghapusan mural yang
sering terdengar belakangan ini, mencerminkan sikap dari penguasa yang terkesan
anti-kritik. Tidak sekadar menghapus muralnya, pembuat mural tertentu konon
juga tengah dicari-cari. Hal tersebut menunjukkan bahwa mural benar-benar dapat
menjadi media kritik efektif, tercermin dari bagaimana pihak yang dikritik
merespons kritikan tersebut.
Apabila pencekalan mural dilakukan dengan
dalih mengganggu ketertiban umum ataupun merusak fasilitas publik, lalu
bagaimana dengan selebaran poster dan baliho dari politisi yang terkadang menyerobot
ruang-ruang kosong menjelang pemilihan umum? Aparat perlu menyikapi keduanya
secara proporsional. Perusak fasilitas umum memang perlu diadili atas
tindakannya, namun bukan karena ekspresinya. Pencekalan atas ekspresi yang
bahkan tidak merugikan siapapun, tentu merupakan kemunduran dalam berdemokrasi.
Muralisasi kritik, terlebih pada tempat
yang tepat, justru patut diapresiasi karena menjadi manifestasi pengawasan
publik atas kinerja dari sosok-sosok yang dipilihnya pada pemilihan umum atau
pemilihan legislatif melalui jalur keindahan. Hal ini sebenarnya bukanlah barang
baru, sebuah lembaga negara pernah mengadakan lomba kritik melalui stand-up
comedy. Artinya, apabila ruang untuk melakukan kritik tersebut
difasilitasi, maka justru mural-mural tersebut akan menjadi ruang kritik yang
estetis dan terlokalisasi tanpa merusak fasilitas publik.
Alih-alih mengapresiasinya dengan
menyediakan fasilitas, pemangku kebijakan justru memilih jalan untuk melakukan
penghapusan mural. Penghapusan mural tersebut ternyata tidak membuat publik
jera, malah memicu kreativitas lainnya. Belum lama ini terdapat lomba mural,
bukan lomba terkait aspek seni maupun kreativitas mural, melainkan mural yang
paling cepat dihapus lah yang akan menjadi juaranya.
Terdapat sebuah asumsi bahwa gagasan visual
mampu menjangkau alam bawah sadar. Hal yang sering dicontohkan ialah apabila
seseorang memiliki hal yang ingin dicapai, maka dengan sesering mungkin melihat
gambarnya, maka secara tidak langsung orang tersebut akan memikirkan bagaimana
cara untuk mewujudkannya. Prinsip mengenai bagaimana mural mampu menjangkau
alam bawah sadar juga perlu dipahami pembuat mural. Selain membuat mural yang
mampu ‘mengganggu’ pemangku kebijakan, seniman mural juga perlu membuat mural
yang mampu memicu optimisme publik. Dengan demikian publik juga akan merasa
bahwa pembangunan bangsa tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan juga
bergantung atas kontribusi mereka.
Momentum
Kolektif
Persoalan mengenai mural baru-baru ini
dapat menjadi momentum kolektif sebagai rem moral, baik untuk pemangku
kebijakan maupun masyarakat. Untuk pemangku kebijakan, seni yang dibuat
masyarakat perlu dijawab dengan seni dalam membuat dan mengimplementasikan
kebijakan. Apakah kebijakan-kebijakan tersebut sudah berpihak pada masyarakat
atau belum. Kesejahteraan masyarakat sudah semestinya menjadi landasan utama dalam
mengambil kebijakan.
Di sisi lain, ketika pemangku kebijakan tengah
melakukan evaluasi atas kinerjanya, publik juga perlu merefleksikan peran dan
kontribusinya sebagai warga negara. Bisa jadi persoalan-persoalan sosial yang
terjadi justru terjadi karena abainya publik terhadap perannya. Sebagai contoh,
di masa pandemi COVID-19, masih banyak publik yang abai terhadap protokol
kesehatan sehingga pandemi tidak kunjung berakhir. Dalam hal ini publik turut
menjadi penyebab persoalan yang mereka visualisasikan melalui mural.
Akhirnya, mural ini hanyalah visualisasi dari ekspresi kritik publik. Pemangku kebijakan cukup menyikapinya secara proporsional, tanpa perlu bertindak represif. Memberikan ruang untuk berekspresi justru akan merekatkan hubungan pemangku kebijakan dan masyarakat, yakni hubungan antara pembuat kebijakan dengan pengawasnya.
Penulis: Thoriq Tri Prabowo, M.IP (Dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). (Artikel
telah dimuat di kolom Opini SKH Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 3 September
2021)
Leave a Comment