| 0 Comments | 342 Views
Beragama, setidaknya memiliki tiga hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, beragama meminta kepada pemeluknya untuk komitmen pada perintah ajaran. Komitmen pada perintah ajaran, bukan saja dilihat dari bagaimana ketepatan perilaku sesuai dengan ajaran tetapi juga sebagai media untuk mengukur atau menguji keimanan. Firman Allah menyatakan أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. Al-Ankabut: 2), Hal itu menunjukkan bahwa perintah dan larangan melaksanakan suatu perbuatan agama pada dasarnya merupakan formula ujian untuk mengukur kualitas keimanan kepada Allah SWT.
Kedua, beragama juga menuntut pemeluknya agar senantiasa melakukan evaluasi terhadap aktifitas keagamaannya. Bagaimana amal perbuatan yang sudah kita lakukan dalam sehari yang lalu, seminggu yang telah lalu, sebulan yang lalu atau bahkan setahun yang lalu. Seberapa banyak amal shalih yang sejalan dengan norma agama dan nilai-nilai kesalihan sosial yang memberikan manfaat bagi kehidupan keberagamaan dan kemasyarakatan? Demikian pula sebaliknya, seberapa banyak perbuatan maksiat, perbuatan yang menyebabkan ketidaknyaman atau bahkan perbuatan yang menyakitkan orang lain?. Bahkan mental positif apa yang terus kita tumbuhkan dalam diri kita, dan mental buruk apa yang menjadi benalu yang dapat mereduksi kemanusiaan kita? Hal itu kembali kepada diri kita masing-masing. Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu. Evaluasi mingguan ini membuktikan komitmen kepada Allah untuk melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk. Hal itu ditunjukkan dengan adanya agenda-agenda ritual yang berlangsung harian—berupa shalat lima waktu--,mingguan dalam bentuk ibadah jumat, atau tahunan dalam bentuk ibadah puasa Ramadhan. Setiap ritual itu digunakan selain bentuk ketaatan juga sebagai momentum evaluasi diri.
Ketiga, melalu nilai-nilai ajaran agama, setiap pemeluk agama diberi pesan agar memiliki sikap optimis mengenai masa depan. Pesan agama yang meminta pemeluknya agar berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, baik secara kualitas maupun kuantitaMs mengandung pesan optimmisme. Meningkatkan kualitas iman dan taqwa dengan memperdalam penghayatan dan penyempurnaan atau perbaikan dalam memenuhi seluruh perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya, seberapa besar kesadaran bahwa kita selalu merasa bersama dengan Allah (musayhadah) , dan merasa diawasi oleh Allah (muraqabah), sehingga hidup kita menjadi terkontrol dan menjadi pribadi yang berkualitas dan bertanggungjawab. Sedangkan secara kuantitas, dilihat dari kapasitas mengamalkan semua ritual agama yang telah dicontohkan oleh pembawa ajaran, serta mengamalkan aktivitas sosial sesuai standar kemakrufan, yaitu memenuhi kepatutan berdasarkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan tidak berlawanan dengan norma dan nilai agama.
Mengapa keimanan dan ketaqwaan
dapat membangkitkan optimisme? Optimis adalah sikap diri yang memandang bahwa kejadian di masa depan akan positif.
Memandang positif untuk waktu ke depan yang akrab di telinga kita adalah husnudzan
(prasangka baik). Berprasangka baik bisa diterapkan dalam konteks hubungan
sosial, yaitu prasangka yang dialamatkan kepada orang lain yang berinterkasi
dengan kita. Bisa juga diterapkan pada kejadian untuk waktu yang akan datang.
Kedua prasangka baik tersebut, memberikan nilai positif kepada siapapun. Bahwa orang
yang selalu berprasangka baik kepada orang lain, ketika berinteraksi akan selalu
bermuka manis, ramah, dan santun kepada semua orang. Demikian pula berbaik
sangka pada keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang, bisa mendorong siapapun menjalani hidup dengan
penuh semangat walau sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit.
Berbaik sangka pada keadaan
yang akan datang sesungguhnya adalah berbaik sangka kepada Allah yang menguasai
masa depan. Maka sikap husnudzan
dalam konteks ini adalah husnudzan kepada Allah. Itu artinya bahwa masa
depan kita, ditentukan oleh rahmat Allah bersama dengan peran kita dalam
memandang masa depan itu sendiri. Kecerdasan
kita mengambil peran dalam aktivitas kehidupan dengan sikap yang tepat, akan
mendorong pada perilaku yang tepat. Perilaku yang tepat dipadu dengan husnudzan
kepada Allah, maka menjadi ramuan terbaik dalam merangkai optimisme untuk
memberi warna cerah dalam karir hidup kita .
Sikap optimis merupakan
karakter yang sejalan dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT., karena Allah sendiri yang meminta kita
bersikap demikian. Optimisme dapat kita pahami sebagai sikap yang selalu
mengharap rahmat Allah. Rahmat Allah merupakan nikmat dan kebaikan yang
melampau batas-batas ukuran kemampuan manusia untuk mendapatkannya. Karena
kalau sudah berkaitan dengan rahmat Allah, semua menjadi kewenangan Allah.
Tidak
heran, ketika Allah meminta kepada
pelaku maksiat yang merugikan dirinya sendiri saja, agar tetap optimis terhadap rahmat Allah. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al-Qur’an,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا
عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah: "Hai
hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Az-Zumar : 53).
Kalau kepada pelaku maksiat saja diminta tetap optimis terhadap rahmat Allah, apalagi dengan orang-orang yang taat, yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tentu kemungkinan mendapatkan rahmat Allah itu semakin besar. Maka optimisme hidupnya akan semakin besar pula.
Yakin dan percaya kepada Allah memang dapat membangkitkan harapan dan optomisme. Nabi Ya’qub, karena telah kehilangan dua putranya, Yusuf dan Bunyamin, tidak sampai menjadikannya putus asa. Nabi Ya’qub justru berhasil menanamkan keyakinan pada dirinya bahwa kedua putranya yang hilang akan kembali kepangkuannya. Nalurinya mengatakan bahwa kedua putranya masih hidup dan pertemuan dengan kedua putranya itu sudah semakin dekat. Nabi Ya’qub kemudian meminta anak-anaknya yang lain untuk pergi ke Mesir mencari kedua anaknya yang hilang itu, dengan mengatakan, “ Anak-anakku, pergilah kalian ke Mesir, lalu carilah Yusuf dan saudaranya, Bunyamin. Tanyakan kepada orang-orang tentang mereka secara lemah lembut tanpa harus menimbulkan kecurigaan.
Optimisme dan harapan Nabi Ya’qub itu, sebagai seorang Nabi dan Rasul, tentu didorong oleh kuatnya keyakinan dan kepercayaannya kepada Allah. Kemudian Nabi Ya’qub sendiri memotivasi putranya yang akan berangkat ke Mesir, dengan berpesan, “Jangan berputus asa terhadap sifat kasih sayang Allah. Allah pasti akan mengembalikan mereka kepada kita. Sebab sesungguhnya yang berputus asa terhadap kasih sayang Allah hanyalah orang-orang yang inkar dan kafir”. Ibrah itu diambil dari al-Qur’an Surat Yusuf ayat 87.
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ
يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ
مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (QS. Yusuf: 87)
Kalau kita merujuk kembali kepada al-Qur’an, dan membaca ayat-ayat Allah yang menggambarkan betapa kekuasanya Allah terhadap segala sesuatu, maka sikap optimis itu akan semakin menyala dalam setiap pribadi mukmin. Mengapa Islam dan Ummat Islam di masa-masa awal, berhasil membangun peradaban hingga mencapai puncaknya, kejayaan Islam, baik secara politik maupun ilmu pengetahuan, berkembang sedemikian rupa, setidaknya sebelum kendali peradaban berpindah ke tangan Bangsa Barat? Kami kira kuncinya adalah besarnya optimisme yang dimiliki oleh ummat Islam, beralas keyakinan yang paripurna kepada Allah SWT.
Penjelasan
Al-Qur’an mengenai pergantian kekuasaan yang dipergilirkan, bahkan Allah
memliki kewenangan mencabutnya (secara paksa) kalau sudah dianggap merusak
kehidupan manusia, menjadi Isyarat bahwa optimisme itu menjadi bagian yang
terpisahkan dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ
تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imran: 26).
Menghadapi penguasa dzalim, yang tidak bisa dikritik, apalagi
merubahnya. Penguasa dzalim bisa melakukan apapun dengan sumber daya yang
dimilikinya. Jangankan orang yang dengan kekuasanya sejak awal memang sudah punya
niat culas, bermaksud merusak, orang-orang yang baik saja karena godaan
kekuasaan itu, lambat laun bisa berubah sesuai dengan keinginan yang sedang
berkuasa. Orang baik yang menyerahkan dirinya pada kekuasan yang dzalim, sebanarnya
dia sedang menanggalkan sebagian dari kebaikannya. Namun betapapun kuatnya daya
rusak dan mengguritanya kekuasaan yang dzalim itu, kalau Allah mencabutnya maka
seketika seluruh pengaruh dan kehormatannya akan berakhir. Bahkan kemuliaan dan
kehormatan yang disandanya akan berganti dengan kehinaan ketika Allah sudah
menghinakannya. Demikianlah sunnatullah yang menjadi varible penting dalam
keimanan dan ketaqwaan. Karena itu, tidak
ada ruang bagi kaum mukmin-muttaqin untuk putus asa. Kaum mukmin, dalam keadaan
susah seperti apapun, tidak akan kehilangan optimismenya, karena rahmat dan
pertolongan Allah akan senantiasa menyertainya.
Perubahan dari keadaan sulit berganti
dengan keadaan mudah, dari waktu-waktunhya kerap tidak selalu dapat dirasakan
secara rigid. Kiranya kerap kita terkaget-kaget bahwa keadaan ternyata sudah
berubah. Bahwa keadaan telah bergerak setahap-demi setahap dalam agenda yang
diinginkan. Memang, tahapan menuju tercapainya harapan tidak mudah untuk diidentifikasi.
Namun yang bisa kita identifikasi adalah ikhtiar menuju agenda perubahan masa
depan itu. Semakin besar ikhtiar, semakin besar
pula tanda perubahan dapat kita identifikasi. Sebaliknya, semakin kecil ikhtiar akan
semakin kecil tanda pergerakan menuju capaian tujuan yang diharapkan.
Sebagaimana pada peristiwa pergantian malam dan siang yang bergerak perlahan
tapi pasti. Saat siang kita tunggu-tunggu, maka malam akan terasa panjang. Demikian
pula saat malam kita tunggu, maka siang akan terasa lama. Namun ketika kita
terus bekerja dan berusaha, tanpa menunggu kedatangan siang atau malam, tiba-tiba siang sudah diganti malam. Malam
yang gelap sudah berganti siang. Pergantian siang ke malam adalah pasti, namun
prosesnya sering tidak kita sadari. Sebab, kita tidak pokus pada siang dan
malamnya, tetapi fokus pada amal yang dikerjakan dalam mengisi pergantian malam
dan siang.
تُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ
وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ ۖ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ ۖ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Engkau
masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau
keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang
hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab
(batas)". (QS.
Ali Imran: 27).
Ayat tersebut juga memberikan isyarat optimisme, bahwa masa
depan akan berbuah menuju baik ketika
kita menjalaninya saat ini dengan proses yang baik. Bahwa perjalanan hidup kita
juga bergerak secara perlahan tetapi pasti, dari muda ke tua, dari sehat ke
sakit, dari tidak mampu menjadi mampu. Namun tahapannya atau proses
perubahannya tidak selalu dapat kita sadari. Kalau kita perhatikan sesungguhnya
keputusan yang mana dan kapan yang sangat berpengaruh kepada diri kita. Apakah keputusan
ketika lulus SMP masuk SMA, atau lulus SMA ketika masuk Perguruan Tinggi? Apakah masuk di
UIN merupakan keputusan besar dalam hidup kita. Tidak mudah untuk
memastikannya. Tapi kita sadar bahwa perjalanan dan perubahan itu pasti kita
jalani. Bahwa putusan itu menjadi besar dan sangat menentukan hidjup kita dan
disadari ketika sudah bekerja, karena masuk kerja menggunakan ijasah UIN, atau
pekerjaan itu karena jaringan UIN. Bisa juga ketika sudah menikah, karena mendapatkan
istri lulusan/alumni UIN, dan begitu seterusnya. Itu pun kadang tidak disadari sepenuhnya
karena tidak pernah mengevaluasinya secara serius.
Maka sekali lagi, hadirin yang dirhamati Allah, optimisme itu melekat dalam kualitas iman dan
ketaqwaan. Semakin kuat keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah, maka akan
optmisme akan semakin besar. Pencapaian atas subtansi agenda yang menjadi
bagian dari optimisme, akan kita sadari ketika kita membiasakan melakukan evaluasi.
Dari situlah kemudian kita akan menjadi orang yang pandai syukur. Lalu kita
akan mengatakan betapa banyak rezeki, nikmat yang Allah berikan. Betapa banyak
kebaikan yang diimajinasikan dalam optmisme yang kita bangun itu telah tercapai,
hingga pada hal-hal tidak bisa kita prediksi. Tentu itu semua karena kemurahan
Allah SWT. وَتَرْزُقُ
مَنْ تَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa
hisab (batas). ***
Leave a Comment