| 0 Comments | 76 Views
Dr. Abdul Qoyum, M.Sc.Fin (Tukang Pencari Rumput dan Kaprodi Eksyar UIN Sunan Kalijaga, yang sedang Nyambi S3 lagi di UGM).
Belajarlah filsafat agar engkau sepakat dalam ketidaksepakatan.
Kekerasan tidak dibenarkan. Tetapi, tirani juga harus diluruskan, jika tidak boleh di lawan. Oligopoli memang ada, minyak goreng adalah contohnya. Bumi Air dan Kekayaan alam yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat kini adalah untuk segelintir pemodal. Pemodal bisnis, juga pemodal kekuasaan. Apakah kekuasaan, hari ini itu adalah barang dagangan? Tentu saja jawabannya Iya, jika kaca mata kita empiris. Tentu saja idealnya bukan.
Minyak goreng ke mekanisme pasar. Tahukan kalian, bahwa mekanisme pasar itu adalah Tuhannya kapitalisme? Pasti tahu lah. Tahukah kalian bahwa dalam keuangan ada namanya SWAP...Minyak gorek tak ubahnya mjd produk SWAP. Jika misal ya, harga minyak goreng di Dalam Negeri hanya Rp.15rb per liter sementara di Luar Negeri adalah Rp30rb, kenapa pengusaha harus jual di DN?...di sana ada selisih Rp.15rb per liter.
Jika si pengusaha datang ke penguasa dengan bilang, ini sy ada selisih Rp.15rb nih. Bagaimana? Kamu lepaskan harga minyak ke harga pasar, lalu kita bagi keuntungan Rp. 15rb?. (Jangan salah sangka dulu...bagi2nya BKN ke pribadi ya). At the end, harga naik, pendapatan produsen naik, pendapatan negara jg naik dr PPN.
Bayangkan saja, jika memakai data BPS, konsumsi rumah tangga thp minyak goreng per kapita per tahun adalah sekitar 12 liter, atau 3.161juta ton per tahun. Jika terjual di harga Rp. 25rb per liter, maka pendapatan negara dr PPN minyak goreng adalah 11% x (3.161juta ton x 25rb) = Rp. 8,6T. Ingat ini baru dari sektor rumah tangga. Belum sektor perusahaan ya, karena data lain menunjukan bahwa konsumsi minyak goreng sawit secara total itu, 18.422juta ton. Atau 5x lipat dari konsumsi rumah tangga.
Logikanya, kenaikan minyak goreng akan paling berdampak ke masyarakat miskin di Indonesia. Dalam jangka pendek solusinya bagaimana? KASIH BLT. Konon angkanya Rp.6.9T. sampai sini paham ya, bahwa kenaikan minyak goreng itu solusi jangka pendek. Dan pengusaha untung, pemerintah untung, masyarakat miskin teratasi. Hahahaha...tahu gak siapa yang menjadi korban dari hal ini? Ya masyarakat menengah ke atas yang tidak dapat BLT. Tapi tidak apa juga, Krn kelompok ini punya buffer uang banyak utk sekedar kenaikan minyak goreng.
Tapi masalahnya adalah, kenaikan ini akan sampai kapan dan sampai kapan ada BLT minyak goreng? Hahaha...jika kita ini penganut kapitalisme TULEN, dengan Tuhannya berupa mekanisme pasar dan free market competition, maka kenaikan harga minyak goreng ini sebenarnya akan memberikan insentif bagi pengusaha lain untuk masuk ke usaha ini. Sehingga dampaknya adalah Q atau kuantitas supply akan naik dan dampaknya harga akan turun.
Kondisinya adalah, pasar minyak goreng nampaknya memang oligopoli, yang hanya sekelompok orang bermain. Ada entry barrier yang besar di sana. Sehingga sulit kita berharap kepada mekanisme pasar. So, hukum asal kapitalisme pun ga akan bisa jalan di Indonesia. Ini agak pesimis. Tapi semoga saja, tidak terjadi ya. Kemampuan pemerintah sangat kita percaya. Mereka adalah maestro ekonomi semua, yang pasti bisa mengembalikan rakyat sebagai tujuan utama setiap kebijakan. Bismillah..semangat. Jangan banyak makan gorengan, karena bikin kolesterol naik.
Sambilegi, 13 April 2022.
Leave a Comment