| 0 Comments | 72 Views
Pesantren dan Kemandirian
Dr. Abdul Qoyum, M.Sc.Fin (Ketua Prodi Ekonomi Syariah UIN Sunan Kalijaga & Mahasiswa Doktoral PIIH Universitas Gadjah Mada).
Pesantren di Indonesia berjumlah sekitar 36.000, dengan total santri sekitar 17.000.000. Angka yang fantastis yang dipertunjukkan oleh lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia. Bayangkan, jika belanja per santri adalah Rp.700.000 per bulan maka ada cashflow turnover Rp. 11.9 Triliyun per bulan, atau setara Rp.142.8 Triliyun dalam setahun.
Dengan potensi besar inilah maka wajar jika pemerintah melalui UU Nomor 18 Tahun 2019 menjelaskan scope dari fungsi pesantren yaitu, fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Sebuah langkah cerdas, yang diambil pemerintah selain agar mendorong mutu pesantren juga meningkatkan kemandirian pesantren dan menambah besar dampak pesantren bagi masyarakat sekitar.
Potensi yang besar memberikan peluang yang luar biasa. Tetapi untuk menjadikan potensi menjadi peluang, kita juga menghadapi tantangan. Tantangan membangun kemandirian pesantren jelas sangat besar. Ini tidak lepas dari corak, mindset, dan garis yang selama ini dipegang dan dijalankan oleh pesantren.
Pertama, kyai, sebagai pemegang otoritas tunggal di pesantren harus kita pahami dan pelan kita pahamkan bahwa "membangun kemandirian pesantren, bukanlah merubah pesantren menjadi lembaga bisnis". Kedua, sinergi dengan lembaga terkait di daerah masing-masing juga penting, seperti Hebitren, MES, IAEI, atau Kerjasama dengan PTN/PTKIN sebagai lembaga pendamping, tetapi jangan yang otaknya MROYEK.
Ketiga, contoh riil pesantren sukses perlu dihadirkan, pelatihan yang tepat perlu juga dilakukan, serta dukungan modal. Modal tentu saja bukan hanya modal capital tapi bisa jadi modal intelectual, intangible asset dll.
Keempat, keikhlasan harus menjadi ruh yang dimiliki oleh seluruh stakeholder proyek besar keummatan ini. Jika hal2 pokok ini bisa dilakukan maka kemandirian bukan hal yg jauh untuk dijangkau. Semoga saja.
Leave a Comment