| 0 Comments | 75 Views
Hadirin, Jama'ah Jumat Yang Berbahagia.
Teriring puji-syukur kehadirat Allah serta salawat-salam kepada Rasulullah, mengawali khutbah jum’at ini, khatib mengajak kita semua untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT dalam berbagai aspek kehidupan; termasuk relasi vertikal kita dengan Sang Khaliq maupun relasi horizontal kita dengan sesama makhluq.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Di sebuah titik tertentu dalam sejarah keilmuan modern, kita dapat melihat adanya sebuah wacana yang menempatkan budaya manusia (culture) sebagai oposisi terhadap alam sekitarnya (nature). Sejak masa lampau, batu-batu dibentuk untuk memotong tumbuhan dan berburu hewan. Alat pertanian modern dan senjata berburu dapat dilihat sebagai perpanjangan dari batu-batu tersebut. Ide yang muncul adalah bahwa budaya manusia selalu berlawanan dengan semua spesies hidup lainnya yang ada di alam, dengan alasan “perjuangan untuk bertahan hidup” (struggle for life). Apakah memang benar bahwa budaya manusia selalu merusak alam sekitarnya?
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Jawaban untuk pertanyaan ini bisa beragam dan tentu saja hanya dapat dijelaskan dengan kerja-kerja akademik yang panjang. Akan tetapi, yang perlu dicatat adalah bahwa konseptualisasi manusia dalam bingkai culture dan alam sekitar sebagai nature adalah sebuah cara pandang yang khas modern. Jika kita bandingkan, misalnya, dengan penjelasan Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, ketika menafsirkan kata ‘alam dalam dalam Surat al-Fatihah: 2 [alhamdulillahi robbil ‘alamin], kita dapat melihat sebuah rumusan yang justru menempatkan manusia dan spesies lain di sekitarnya di posisi yang sama sebagai ‘alam dalam pengertian kullu maujudin siwa Allah (segala sesuatu yang ada selain Allah).
Menurut al-Razi, alam itu sendiri mencakup hayawan (baik yang berakal, yakni manusia, maupun yang tidak berakal, yaitu binatang), nabat (tetumbuhan), dan ma’adin (isi perut bumi). Ketiga spesies ini, disebut al-Razi sebagai al-Mawalid al-Tsalasah (tiga anak yang dilahirkan). Manusia, dengan demikian, memiliki "nasab kosmologis" yang sama dengan hewan, tetumbuhan, hingga isi perut bumi. Maka, dalam cara pandang semacam ini, selain sebagai sumber daya, hewan, tumbuhan, bahkan isi perut bumi tidak lain adalah keluarga bagi manusia itu sendiri. Dalam lensa keilmuan hari ini, pandangan al-Razi menyiratkan bahwa alam sekitar kita ini bekerja tidak hanya secara fisik/materil semata, melainkan juga bekerja secara biologis.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Pada akhirnya, marilah kita sama-sama memperhatikan sebuah pesan Al-Qur’an dalam Surat al-Isra: 44 untuk mengingatkan kita semua bahwa sebagaimana manusia, alam semesta ini sejatinya juga senantiasa bertasbih kepada Allah SWT:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Allah Maha-Penyantun lagi Maha-Pengampun”.
Menurut al-Razi, jika tasbih-nya manusia adalah dengan ucapan lisan (qoulun billisan) seperti “Subhanallah”, maka tasbihnya hewan dan benda-benda mati adalah melalui indikasi perilakunya (dilalatul ahwal) yang menunjukkan keagungan Allah. Burung yang berkicau, nyiur yang melambai, air yang mengalir dengan suara gemerciknya, semuanya adalah bentuk tasbih alam raya kepada Allah SWT.
Demikianlah, khutbah pertama ini, sekedar untuk mempersoalkan, sejauh mana kita dapat melihat alam sekitar sebagai sumber daya, dan seberapa penting melihat mereka dalam kategori keluarga yang sama-sama melantunkan tasbih kepada Allah Sang Pencipta. Semoga kita diberikan anugerah untuk dapat menjaga hubungan kita dengan alam sekitar sebagai keluarga besar yang memancarkan sinaran wujud dari cahaya Nurul Anwar. Amiin
Leave a Comment