| 0 Comments | 781 Views
"Akar-Akar" Moderasi Beragama
Dalam tilikan sejarah intelektual Islam, kebijakan Moderasi Beragama yang diusung oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) berdiri di atas pelbagai akar pemikiran yang ada sebelumnya. Di antara undakan wacana tersebut, gagasan wasaṭiyyah adalah yang pertama dan utama. Perlu dicatat bahwa wasatiyyah adalah sebentuk gagasan yang menjadi turunan langsung dari Al-Qur’an, utamanya Q.S. al-Baqarah: 143 yang mengidentifikasi umat Rasulullah dengan ummatan wasaṭan. Selain itu, masih ada empat ayat lain yang memuat kata ini dengan berbagai bentuk derivasi (QS. al-Baqarah: 238; QS. al-Maidah: 89; QS. al-Qalam: 28; dan QS. al-‘Adiyat: 5). Dengan demikian, jika kita menjelajahi cakrawala turats, utamanya kitab-kitab tafsir, dengan segera kita akan menemukan banyak keterangan terkait konsep wasaṭ dalam ayat-ayat tersebut yang secara umum memuat tiga kata kunci pemaknaan; pilihan terbaik (khiyār/khairiyyah), tengah-tengah (tawassuṭ), dan adil (al-‘adl). Jangan lupakan juga wacana serupa wasatiyyah yang dikemas dalam istilah berbeda, seperti al-iqtiṣād yang digunakan Imam al-Ghazali atau wasatiyyah yang menubuh dalam berbagai konsep lainnya, sebagaimana Fakhruddīn al-Razī menjadikan wasaṭiyyah sebagai salah satu makna dari al-ṣirāṭ al-mustaqīm ketika menafsirkan QS. al-Fatihah: 6.
Pewacanaan modern atas wasaṭiyyah di dunia Islam yang berakar kepada “lapisan arkeologis” wacana sebelumnya, menemukan bentuknya yang baru di awal abad ke-20 M. Muncul dari eksponen arus modernisme dan reformisme Islam, Muhammad Muhammad al-Madani (w. 1907-1968) dari Universitas Al-Azhar, Mesir, tampil sebagai pemikir Muslim pertama yang merumuskan wasaṭiyyah sebagai wacana partikular dan mengelaborasinya dalam suatu karya. Dalam hal ini, ia menulis buku Wasaṭiyyah al-Islam pada tahun 1942 yang meletakkan batu pertama dalam pewacanaan wasaṭiyyah. Dalam perkembangan berikutnya, wasaṭiyyah menjadi isu yang ditangkap dan dikembangkan oleh para arsitek intelektual Ikhwanul Muslimin (IM). Sebut saja Sayyid Qutb yang menjelaskan wasaṭiyyah di bawah tajuk al-tawāzun sebagai salah satu komponen utama dalam Khasā’is al-Tasawwur al-Islāmi (1960) yang dilanjutkan dan dielaborasi lebih lanjut oleh Yusuf al-Qaradlawi yang mengartikulasi al-tawāzun dengan wasatiyyah dalam al-Khasa’is al-‘Ammah lil Islam (1977) dan kelak juga menulis beberapa karya lainnya termasuk Fiqh al-Wasatiyyah al-Islam wa al-Tajdid (2009). Tidak hanya populer di lingkar IM, wasatiyyah juga mendapat perhatian khusus dari beberapa tokoh lainnya semacam 'Abd al-Latif Farfur (Khasā'is al-Fikr al-Islami, 1983; al-Wasatiyyah fi al-Islam, 1998), Abdurrahman Habnakah (al-Wasatiyyah fi al-Islam, 1996), hingga M. Hashim Kamali (The Middle Path of Moderation in Islam, 2015) dan M. Quraish Shihad (Wasathiyyah: Wawasan Islam Tentang Moderasi Beragama, 2019).
Terdapat alasan yang kuat manakala dikatakan bahwa wasaṭiyyah adalah prolog utama bagi Moderasi Beragama. Sebelum Moderasi Beragama diresmikan pada tahun 2019, isu wasaṭiyyah telah menjadi tajuk perbincangan di berbagai forum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam Musyawarah Nasional IX yang diselenggarakan pada 24-27 Agustus 2015, MUI di bawah nakhoda Prof. Dr. Din Syamsuddin telah mengusung tema “Islam Wasaṭiyyah untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berkeadaban”. Pada tahun 2018, KH. Ma’ruf Amin selaku ketua MUI berikutnya, menulis “Emergence of Wasatiyyah Islam: Promoting ‘Middle Way’ Islam and Socio-Economic Equality in Indonesia” di RSIS Commentary, Vol. 128 (2) (2018). Hanya setahun setelahnya, Kementerian Agama kemudian merilis kebijakan Moderasi Beragama.
Jika ditarik lebih jauh, perlu dicatat juga bahwa sebelum MUI mengarusutamakan wasatiyyah, di Malaysia telah berdiri Global Movement of Moderates Foundation (GMMF) pada tahun 2012 dan Institut Wasatiyyah Malaysia (IWM) di tahun 2013. Beberapa tokoh representatif seperti Siddiq Fazil hingga Kamal Hassan mewacanakan wasatiyyah dalam keterpengaruhan Yusuf Qaradlawi dan pemikir serupa. Maka, tak berlebihan jika dikatakan bahwa IWM dan GMMF di Malaysia adalah secamam kelanjutan dari gerakan serupa yang dimulai sejak International Assembly for Moderate Islamic Thought and Culture di Yordania yang didirikan pada 2003 dan al-Qaradawi’s Center for Islamic Moderation and Renewal di Doha pada tahun 2008.
Fakta lainnya adalah bahwa beberapa institusi tersebut dipantik oleh peristiwa 9/11 di tahun 2001 yang menjadi latar langsung bagi kebijakan Global War on Terror (GWOT) Amerika Serikat (AS) yang didahului oleh Tesis menggemparkan dari Samuel Huntington terkait benturan antar-peradaban (clash of civilizations) di awal dekade 1990-an. Dalam situasi inilah AS mensponsori gerakan penguatan jaringan Islam moderat di seluruh dunia (building moderate muslim netwok). Mitra-mitra potensial untuk gerakan ini adalah negara yang menerapkan budaya demokrasi. Gerakan ini mempromosikan ide-ide moderat ke Timur-Tengah dari masyarakat Muslim di Eropa, Turki, Asia-Tenggara, dan masyarakat “terbuka” lainnya.
Dalam konteks inilah wasatiyyah “berpapasan” dengan moderate Muslim. Persoalan yang patut dikemukakan adalah bagaimana wasatiyyah bertransformasi menjadi moderasi beragama? apakah asums-asumsi dasar dalam wacana wasatiyyah masih melekat dalam moderasi beragama? Apa perbedaan wacana wasatiyyah yang digulirkan sebelum dan sesudah peristiwa 9/11? Sebagian kecil upaya menjawab soalan ini telah penulis lakukan dalam plaftorm Questioning Narrative Sesi 2 yang digawangi oleh Lien Iffah Naf'atu Fina dan Martin Sawyer French dari University of Chicago dan Afifurrohman Sya'roni dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meski demikian, kerumitan dalam perjumpaan antara keduanya perlu diurai lebih jauh.
Kita setidaknya telah melihat berbagai “prolog” utama yang turut menjadi akar-akar pemikiran yang melandasi kebijakan Moderasi Beragama. Masing-masing dari “akar” tersebut masih harus diinvestigasi dalam kerja penelitian, terutama dalam kaitannya dengan “batang-tubuh” Moderasi Beragama dan dalam konteks “buah kemanfaatan” yang dihasilkannya. Telaah khusus kepada dua “akar” besar Moderasi Beragama tersebut saya azamkan untuk dituangkan dalam tulisan terpisah. Dipantik oleh tugas PKDP (Pelatihan Kompetensi Dosen Pemula) – sebagai konteks langsung munculnya tulisan ini -, sesi kali ini akan dimulai dengan membidik sebuah “akar” lain dari Moderasi Beragama yang terpendam, yakni wacana al-tawassut wa al-i’tidal, salah satu wacana dalam payung besar wasatiyyah yang muncul di Indonesia jauh sebelum 9/11. Jika wasaṭiyyah dan moderate Muslim adalah dua "akar" besar yang terlihat di permukaan tanah, terbentuk dalam konteks pasca 9/11 dan dipromotori utamanya oleh pemerintah secara struktural, maka al-tawassuṭ wa al-i’tidāl adalah akar serabut yang kecil jauh di kedalaman yang terbentuk utamanya oleh dinamika civil society.
Menarik untuk dicatat bahwa perhatian khusus atas wasaṭiyyah juga telah hadir di Indonesia sejak paruh kedua dekade 1970-an. Salah satu produsen wacananya berasal dari Nahdlatul 'Ulama (NU) yang dikenal sebagai salah satu wadah bagi kelompok Muslim “tradisionalis”. Sebagai organisasi keagamaan, NU didirikan pada 31 Januari 1926 M sebagai respon atas dinamika keagamaan yang terjadi di Haramain ketika Dinasti Sa'ud yang beraliran Wahabi berkuasa. Latar belakang ini, disebut oleh Martin van Bruinessen sebagai “alasan tunggal” berdirinya NU.
Salah satu momentum penting dalam hal ini adalah Keputusan Muktamar NU XXVII No. 02/MNU 27/1984 yang merumuskan “Khittah NU 1926” yang menjadi pedoman sikap keagamaan para anggotanya yang berbasis kepada empat prinsip; al-tawassuṭ wa al-i'tidāl, tasāmuh, tawāzun, amr ma'rūf nahy munkar. Dalam hal ini, kita harus menyebut nama KH. Ahmad Siddiq sebagai perumus utama kerangka “Khittah”, yang pada tahun 1979 telah menulis sebuah buku berjudul Khittah Nahdliyyah. Apa yang ia terangkan dalam buku tersebut merupakan bahan dasar untuk perumusan dokumen “Khittah NU 1926” yang dideklarasikan pada Muktamar Situbondo 1984. Dalam Khittah Nadliyyah, KH. Ahmad Siddiq telah menegaskan al-tawassut wa al-I'tidal sebagai karakter penting Ahlussunnah wal Jama'ah yang merupakan ajaran Islam itu sendiri. Lebih lanjut, ia menjelaskan sebagai berikut:
“Sifat tawassuth telah ditempatkan oleh Allah sejak awal sebagai sebuah kebajikan. Semua kebaikan terletak di antara dua ujung tatharruf dan ekstrimisme. Sikap dan prinsip tawassuth yang telah menjadi karakter Islam harus diterapkan dalam semua bidang kehidupan” (KH. Ahmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, 59).
Perumusan prinsip al-tawassut wal i'tidal ini harus dipahami dalam konteks sebelum hiruk-pikuk peristiwa 9/11 dan harus diurai sejak berdirinya organisasi ini pada tahun 1926, di satu sisi, dan dalam konteks dinamika politik nasional yang dihadapi NU sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an, di sisi lain. Pada masa itu, keterlibatan NU dalam politik praktis dianggap sudah terlalu jauh sehingga peran ulama semakin terpinggirkan. Di sisi lain, gerakan-gerakan NU juga semakin tidak representatif dengan semangat awalnya yang kemudian dicetuskan sebagai “Khittah NU 1926”. Penyebutan tahun 1926 sebagai tahun berdirinya NU juga menunjukkan kesinambungan intelektual dengan posisi keagamaan yang dianut NU yang kemudian diartikulasikan sebagai doktrin yang membawa kepada sikap keagamaan yang wasaṭiyyah/tawassuṭ.
Upaya artikulasi kembali materi “Khittah NU 1926” pada akhir tahun 1970-an harus dibingkai dari preseden wacana di masa-masa berdirinya NU sebagai titik tolak. Maka, kerangka konseptual yang dibingkai dalam al-tawassuth wa al-I'tidal tersebut perlu dijelaskan dalam pewacanaan ahlussunnah wal jama'ah (Aswaja) pada tahun 1920-an, sebagai ajaran yang diperjuangkan oleh NU. Singkatnya, ajaran Aswaja yang menjadi prinsip yang dipegang oleh NU sejak pendiriannya adalah sumber intisari untuk konsep al-tawassut wa al-I'tidal. Doktrin Aswaja versi NU tentu saja telah dirumuskan oleh pendirinya sendiri, KH. Hasyim Asy'ari, utamanya melalui sebuah karya yang berjudul Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Pada bab pertama yang berjudul “Bab Tentang Orang Jawa (Nusantara) yang Berpegang pada Ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Faṣlun fī Bayāni Tamassuki Ahli Jāwā bi Madzhabi Ahlissunnah wal Jama'ah)”, ia berkata sebagai berikut:
“Umat Islam yang tinggal di Jawa (Nusantara) telah lama bersatu dalam pandangan keagamaan mereka. Dalam bidang fikih, mereka menganut Imam al-Syafi'i, dalam bidang Ushuluddin mereka menganut Abu al-Hasan al-Asy'ari, dan dalam bidang tasawuf mereka menganut mazhab Abu Hamid al-Ghazali dan Abu Hasan al-Syadzili.” (KH. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunna wa al-Jama’ah, 35-6).
Pada kesempatan lain dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi, ia mengidentifikasi para pengikut Aswaja secara lebih sederhana dengan “para pengikut empat mazhab”. Dengan demikian, rumusan KH. Hasyim Asy’ari dalam menjelaskan Aswaja berbasis kepada telaah atas fenomena keagamaan di Nusantara dalam konteks - meminjam istilah mazhab Annales - lounge duree (durasi yang panjang). Dalam penjelasan di atas, pengertian Aswaja lebih banyak dibingkai dalam konteks perumusan paham keagamaan dalam dinamika yang berkembang di Nusantara pada awal abad ke-20 M dengan mengingat kembali tradisi keagamaan yang sudah mapan di Nusantara sejak lama. Maka, dalam perspektif ini, Aswaja adalah wasaṭiyyah secara by default, sesuatu yang dalam enam dekade berikutnya diasosiasikan dengan al-tawassuṭ wa al-I'tidāl melalui tangan-tangan para penerusnya.
Dalam konteks ini, kajian Prof. A. Najib Burhani, M.A. menunjukkan bahwa prinsip al-tawassut wa al-i'tidal yang diusulkan oleh KH. Ahmad Siddiq dan NU secara umum, pada dasanya berada dalam dinamika teologis, hukum, dan tasawuf, di satu sisi, dan dalam lanskap hubungan antar-agama, di sisi lain, pada tingkat yang lebih rendah. Namun, Prof. Burhani juga mencatat bahwa KH. Ahmad Shiddiq telah menempatkan gagasan al-tawassuṭ wa al-i'tidāl di luar itu semua dengan mengaitkannya pada bidang-bidang persoalan kehidupan bernegara, interaksi sosial, dan kebudayaan. Artikulasi yang dijelaskan dalam dokumen “Khittah” dengan tajuk “sikap sosial” yang mencerminkan dimensi yang lebih luas dari sekedar persoalan teologis yang melatarbelakangi lahirnya gagasan ini. Artinya, prinsip al-tawassuṭ wa al-I'tidāl, bagi Prof. Burhani, telah menjadi nilai yang multi-dimensi, terutama ketika ia hadir dalam konteks di mana NU telah menarik diri dari gelanggang politik praktis.
Mensketsa Sebuah Koneksi
Sejauh ini belum ditemukan keterkaitan yang eksplisit antara perumusan al-tawassuṭ wa al-I'tidāl KH. Ahmad Siddik di Indonesia dengan pewacanaan wasaṭiyyah oleh para arsitek IM di Timur-Tengah, sekalipun digulirkan pada masa yang hampir bersamaan di paruh kedua dekade 1970. Meskipun KH. Ahmad Siddiq tidak mengutip secara langsung karya-karya bertajuk wasaṭiyyah di Timur-Tengah, bukan berarti ia sepenuhnya tidak sadar akan keberadaan wacana tersebut. Dapat diduga, ia juga membaca karya-karya pemikir Arab kontemporer ketika itu, utamanya Yusuf Qaradlawi, dan terpengaruh olehnya meskipun pada akhirnya ia melakukan domestikasi dan kontekstualisasi.
Indikasi lain keterkaitan antara al-tawassuṭ wa al-I'tidāl KH. Ahmad Siddik dengan wasatiyyah yang diusung oleh pemikir semacam al-Qaradawi adalah pemetaan tawassut dalam berbagai aspek, termasuk akidah, syari’ah, tasawuf, pergaulan antar-golongan (mu’āsyarah), kehidupan bernegara, dan berkebudayaan (Khittah Nahdliyyah, 63-8). Hal ini mirip dengan apa yang dirumuskan al-Qaradlawi sebagai mazāhir wasaṭiyyah fil Islām (Khasa’is ‘Ammah, 135). Hanya saja, KH. Ahmad Siddiq terlihat memperluas cakupan implementasi tawassuṭ-i'tidal hingga ke level berbudaya dan bernegara. Di antara persamaan narasi antara keduanya adalah membingkai wasatiyyah-tawassut dalam prinsip “adil (al-i’tidal) dan berimbang (al-tawazun)” melampaui esensialisasi “jalan-tengah (belaka)”.
Di sisi lain, fitur unik lainnya dalam kedua wacana ini adalah kesamaan dalam memandang variabel “ketegasan” bahkan “kekerasan”. Hal ini terlihat ketika KH. Ahmad Siddiq menjelaskan sikap tawassut dalam hal “permusuhan terhadap suatu golongan”. Baginya, hal tersebut hanya dapat “dilakukan terhadap golongan yang nyata memusuhi Agama Islam dan umat Islam. Terhadap yang tegas memusuhi Islam, tidak boleh ada sikap lain kecuali sikap tegas” (Khittah Nahdliyyah, 66). Hal ini senada dengan al-Qaradlawi yang memasukkan variabel penjajahan Palestina oleh Zionis dalam rumusan wasatiyyah-nya. Melalaui kemiripan material inilah sebuah koneksi antara keduanya dapat disketsa. Meski demikian, spekulasi ini harus disusul dengan kerja-kerja penelitian yang membuka ruang observasi.
Lantas, bagaimana menghubungkan serangkaian keterangan ini dengan Moderasi Beragama? Kali ini, saya belum akan menjawabnya, sehingga tulisan ini berakhir dengan tanda tanya di penghujungnya. Tanda tanya ini ditujukan untuk menjaga keberlangsungan mood and motivation untuk melahirkan tulisan berikutnya (di luar konteks PKDP), semoga.
#kemenag
#moderasi beragama
#uinsuka
#PKDP2024
Leave a Comment