| 0 Comments | 188 Views

Card Image

Mafatih al-Ghaib, Tafsir al-Fatihah: 2

Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuhu

Hadirin, jama’ah jumat yang berbahagia

Teriring puji-syukur kehadirat Allah serta shalawat-salam kepada Rasulullah, mengawali khutbah jum’at ini, khatib mengajak kita semua untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Ibadah yang saat ini masih kita jalani, yakni puasa ramadhan, tidak lain adalah sebuah perintah/kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada orang beriman, dengan tujuan untuk meraih ketakwaan itu sendiri (la’allakum tattaqun).           

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Dalam beberapa bulan terakhir, kita menyaksikan beberapa peristiwa di berbagai belahan dunia yang semakin mendesak kita untuk memikirkan ulang relasi/hubungan kita dengan alam. Selama pekan pertama bulan puasa, kita dapati tajuk berita yang terkait dengan hal yang baru saja saya sebutkan. Oleh karena itu, izinkanlah saya untuk sedikit berbicara terkait hal ini dengan mengingatkan kita kembali tentang apa yang kita pahami selama ini tentang “alam”, dengan bersandar kepada penjelasan yang dikemukakan oleh Fakhruddin al-Razi dalam kitab tafsirnya yang terkenal Mafatih al-Ghaib.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Dalam menafsirkan QS. al-Fatihah: 2, alhamdulillahirobbil ‘alamin yang artinya "segala puji hanya milik Allah, Tuhan yang mengatur segenap alam", al-Razi, sebagaimana mayoritas ulama lain, menfefinisikan alam sebagai kullu maujudin siwallahi (segala sesuatu selain Allah). Ajaran ini saya kira telah lama kita dengar dari guru-guru agama kita, bahkan sejak pendidikan dasar. Maka, dalam tafsiran ini, kita, manusia, tidak lain adalah bagian dari “alam” itu sendiri. Hanya saja, cara pandang ini bergeser ketika keilmuan modern hari ini memisahkan manusia dari alam; alih-alih menjadi bagian sesungguhnya dari alam (nature), manusia kini semakin dibingkai dalam kategori budaya (culture).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Berbicara lebih jauh tentang “alam” dalam QS. al-Fatihah: 2, Imam al-Razi membagi alam menjadi 3 bagian; benda fisik (mutahayyizat); benda metafisik (mufariqat); dan atribut/sifat yang melekat kepada keduanya (al-sifat). Benda fisik terbagi lagi menjadi 2: entitas tunggal (basit) & entitas berangkap (murakkab). Benda fisik entitas tunggal adalah langit (bintang, planet, dll.) = Ayah dan "empat unsur bumi" (air, api, tanah, udara) = Ibu (ummahat). Dari perpaduan entitas tunggal inilah, dari perkawinan antara ayah-ibu inilah, terlahir 3 anak (al-mawalid al-tsalatsah): hewan (hayawan), tetumbuhan (nabat), dan isi perut bumi (ma’adin). Hewan terbagi dua; berakal dan tidak, hewan berakal tidak lain adalah kita, manusia.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Demikianlah bagaimana al-Razi menjelaskan manusia sebagai bagian dari alam dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Dalam penjelasan ini, jelas terlihat bagaimana manusia dikatakan sebagai “saudara” dari hewan, tetumbuhan, dan isi perut bumi. Lihatlah bagaimana al-Razi melihat posisi manusia sebagai keluarga besar dari semesta alam. Langit dan seiisinya adalah “bapak kosmologis” maskulin dan bumi dan seisinya adalah “ibu kosmologis” feminim, sementara kita manusia adalah “saudara kosmologis” dari hewan, tumbuhan, hingga isi perut bumi.

Cara pandang yang melihat alam secara personifikasi dapat kita dapati dalam wawasan kealaman masyarakat Jogja, di mana gunung merapi dipersepsi sebagai “maskulin” dan laut selatan sebagai “feminim”, keduanya adalah dua titik penting dalam kosmologi Islam-Jogja dengan keraton sebagai pusatnya. Alih-alih hanya dipersepsi secara mistik, narasi ini sejatinya mencerminkan sisa-sisa wawasan kosmologi pra-modern yang terjaga di keraton di tengah gempuran dahsyat paradigma modern tentang cara memandang alam sekitar.

Pada akhirnya, cara pandang semacam ini juga sejalan dengan apa yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an itu sendiri, sebagaimana tercantum dalam QS. al-Isra: 44:

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا    

"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”."

Menurut al-Zamakhsyari, personifikasi langit-bumi yang bertasbih dalam ayat ini adalah sebuah lisanul hal-lisan berupa “laku” yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT.  

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Apakah konsekuensi dari cara pandang kita terhadap alam? Secara umum, dalam cara pandang yang ditawarkan al-Razi, relasi yang terjalin lebih kepada hubungan kekeluargaan; “subyek kepada subyek”, bukan hanya sekedar “subyek kepada obyek”. Kita melihat hewan, tetumbuhan, dan perut bumi pertama dan utama sebagai ‘keluarga’, sekalipun, pada tingkat tertentu, kita juga melihatnya sebagai ‘sumber daya’. Ketika kita membangun relasi kekeluargaan dengan saudara-saudara kita, hubungan yang terjalin akan sepenuhnya berdasar kepada take and give, keseimbangan antara "mengambil dari dan memberi kepada" alam. Jika mengambil harus memberi; Jika menebang harus menanam; jika menggali, harus menutupnya kembali.                 

Masyarakat di berbagai belahan Nusantara sejatinya juga pernah memilki wawasan serupa; lihatlah bagaimana kesadaran arsitekur rumah adat nusantara, selain menyediakan tempat untuk manusia, juga menyediakan tempat untuk padi, misalnya. Selain itu, banyak sebutan tradisional untuk padi sebagai person, sebuah memori yang saat ini terlihat sudah hilang. Tidak ada istilah sampah berupa nasi, karena nasi yang tersisa akan dijadikan alternatif makanan lain, atau diberikan kepada ikan, ayam, dan lain sebagainya.

Demikianlah, khutbah pertama ini, sekedar untuk mengingatkan kita bersama, bahwa untuk mengatasi krisis lingkungan hari ini, semua upaya harus kita lakukan dari hal-hal yang bersifat teknis, diskursif, hingga paradigmatik.

Semoga kita diberikan anugerah untuk dapat memulihkan kembali hubungan kita dengan alam, sebagai sebuah keluarga besar yang memancarkan sinaran wujud dari cahaya Allah SWT, amin.


Leave a Comment