| 0 Comments | 62 Views

Card Image

Hadirin, jama’ah jumat yang berbahagia

Kembali kita memanjatkan puji-syukur kehadirat Allah teriring salawat-salam kepada Rasulullah. Dalam permulaan khutbah ini, Khatib mengajak kita semua untuk tetap istiqamah berada di jalan takwa yang merupakan bekal terbaik dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. 

Berdasarkan penggalan ayat yang baru dibacakan, QS. al-Baqarah: 282, ada sebuah pertalian yang sangat erat antara taqwa dan ilmu: “bertakwalah kepada Allah dan Allah akan melimpahkan ilmu kepadamu, dan Allah maha tahu atas segala sesuatu”. Qadi al-Baidlawi, dalam tafsirnya, menjelaskan berulangnya lafaz jalalah di ayat ini dengan al-jamal al-tsalats, tiga keindahan: ‘anjuran bertakwa; janji untuk sebuah kenikmatan ilmu; dan penegasan atas keagungan Allah‘. Dalam Islam, Ilmu memang dapat dijelaskan dalam spektrum yang luas. Akan tetapi, izinkan khatib kali ini membincangnya dalam konteks sejarah pemikiran saintifik dalam dunia Islam yang dapat kita bingkai sebagai bagian dari spektrum taqwa kepada Allah SWT.  

Ma’asyiral Muslimin
Setelah Ptolemy, seorang ahli-astronomi terkenal, menulis Almagest yang merupakan karya babon untuk argumen geo-sentrisme, sembilan (9) abad kemudian, munculah sosok Ibnul Haitsam (Alhazen) yang mulai mengkritisi karya tersebut. Ia dikenal – bahkan di dunia Barat – sebagai bapak metodologi ilmiah dan penemu beberapa teori dasar dalam bidang optik. Dalam salah satu karyanya, al-Syukūk ‘ala Batlamyūs, Ibnul Haitsam memperlihatkan sebuah keberanian ilmiah dengan menuliskan beberapa keberatannya terhadap teori-teori yang ada di dalam Almagest atau Kitabul Majisti. Dalam pengantar karya itu, ia menegaskan: 


“Kewajiban bagi mereka yang menelaah literatur keilmuan, ketika tujuannya adalah mengetahui kebenaran, adalah menjadikan dirinya sebagai ‘musuh’ bagi segala sesuatu yang ia telaah”.   

Dengan mentalitas kritis-evaluatif semacam ini, Ibnul Haitsam tampil sebagai salah satu tokoh yang memberikan pukulan pertama terhadap dominasi geosentrisme ketika itu yang berpuncak pada masa revolusi Copernicus di abad ke-16. Hal yang sama tentu saja dilakukan oleh tokoh-tokoh lainnya dalam konteks keilmuan yang beragam. Akan tetapi, satu hal yang mesti dicatat adalah bahwa mereka menuliskan temuan-temuan ilmiah mereka seiring dengan panjatan pujian kepada Allah dan sanjungan salam kepada Rasulullah. 

Hadirin, Jama’ah jumat yang berbahagia
Sekitar 10 abad kemudian, setelah pasang surut peradaban Islam dalam sejarah dunia, pemikiran Ibnul Haitsam dan para cendikiawan Muslim lainnya di masa silam, lalu ditelaah kembali oleh Muhammad Abdus Salam, seorang kelahiran Pakistan yang – dengan seluruh kontroversinya – tidak lain merupakan sosok Muslim pertama yang mendapatkan hadiah nobel dalam bidang Sains, yakni fisika, pada tahun 1979. Dalam artikulasinya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, Salam menyebut tafakkur sebagai ‘refleksi atas hukum-hukum alam’, itulah, sains dan taskhiir sebagai kemampuan untuk mengendalikan alam, itulah teknologi. Dalam sosok Ibnul Haitsam maupun Salam, pencapaian tertinggi saintifik modern berjalan berkelindan dengan keimanan yang mengawal. 

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Mentalitas dan etos berfikir Ibnul Haitsam dan Abdussalam sudah seharusnya ada dan memang telah kita budayakan dalam tradisi keilmuan di perguruan tinggi kita hari ini yang menjadi tempat pergumulan dan pertengkaran antar ide dan gagasan. Umat Islam hari ini, masih merindukan lahirnya sosok Ibnul Haitsam berikutnya dan Abdussalam berikutnya yang mungkin saja muncul dari lingkungan kampus kita tercinta. 

Demikianlah, khutbah pertama ini, sekedar untuk mengingatkan kita bersama akan sosok-sosok dalam sejarah Islam yang diberikan anugerah dalam pencapaian saintifik, sekaligus juga mengingatkan kita bersama akan kelindan ilmu dan taqwa. Semoga kita diberikan anugerah untuk senantiasa berada dalam jalur ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan ketakwaan. Amiin.

Leave a Comment