| 0 Comments | 118 Views
Tulisan ini sebelumnya tayang di Studi Tafsir pada 23 Juni 2022
“Ada” lebih dahulu dari “pengada”. Heidegger menyebut rumah pengada itu dengan bahasa, house of being. Aktivitas “menjelaskan ayat Al-Qur’an” adalah realitas yang telah ada sejak 14 abad silam. Di Abad ke-21 M, sivitas akademika Prodi IAT Indonesia menyebut (baca: meng-ada-kan) hal itu dengan “tafsir Al-Qur’an”, sarjana Barat mayoritas menyebutnya dengan qur’anic exegesis. Namun, apakah istilah-istilah yang dikonstruksi dalam situasi tertentu itu berlaku untuk realitas serupa di situasi, ruang, waktu berbeda di masa lalu? aspek konvensional dan arbitrer dalam bahasa memungkinkan hal itu, sekalipun aspek hermeneutical situatedness tidak akan pernah sama, sehingga sebuah kompleksitas adalah keniscayaan yang harus senantiasa diurai melalui kerja penelitian.
Menyebut realitas
menjelaskan Al-Qur’an yang telah berumur 14 Abad dengan “tafsir Al-Qur’an”
(Bahasa Indonesia) atau qura’nic exegesis (Bahasa Inggris), dengan
sendirinya adalah suatu “penemu-ciptaan” di konteks tertentu yang berdiri di
atas data sejarah yang membentuk “lapisan geologis” yang perlu dieskavasi. Untuk
mengurai kompleksitasnya, beberapa pertanyaan dapat dirumuskan:
Sejak kapan tafsir al-Qur’an (Bahasa Arab) menjadi “istilah teknis” yang merujuk kepada aktivitas menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an (‘amaliyyah syarh al-nass al-qur’ani)? Bagaimana penggunaan tafsir dan ta’wil di tiga generasi pertama Islam? Mengapa Ibn Jarir al-Tabari (w. 310 H) menyebut karyanya dengan Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, bukan fi Tafsir al-Qur’an? dalam konteks dinamika terminologis terkait aktivitas menjelaskan Al-Qur’an, kapan, bagaimana, dan mengapa ta’wil “berevolusi” menjadi tafsir?; Jika ta’wil mendahului tafsir, bagaimana proses marjinalisasi ta’wil dan pengarusutamaan tafsir?
Di antara sarjana
yang pernah memproblematisasi persoalan ini adalah Nasr Hamid Abu Zayd (1943-2010) dalam artikel yang berjudul Isykaliyyat
al-Ta’wil Qadiman wa Haditsan. Reviu ini tidak berupaya menyasar
keseluruhan isu yang dipaparkan Abu Zayd di dalamnya, akan tetapi secara khusus
menyoroti sebagian materi yang relevan dengan kerangka yang telah dirumuskan,
yakni marjinalisasi ta’wil oleh tafsir dan persoalannya, untuk
kemudian dijadikan acuan untuk merumuskan beberapa catatan implikatif di bagian
akhir.
Bertolak dari
fakta bahwa ta'wil disebut al-Qur'an lebih dari 10 kali, di saat tafsir
hanya disebut sekali, Abu Zayd mengasumsikan ta'wil lebih familiar pada
masa turunnya wahyu daripada tafsir. Hal ini juga terjadi di masa
sahabat, di mana ta’wil berarti “menjelaskan kalam Allah”. Kerangka
konseptual yang dibawa oleh ta’wil di fase ini, bagi Abu Zayd
adalah pengakuan atas keberlapisan makna Al-Qur’an (ihtimal al-wujuh)
sehingga dengan sendirinya membawa karakter pluralitas (tabi’at al-khilaf).
Abu Zayd mendasarakan argumen ini kepada perkataan ‘Ali bin Abi Talib yang
terkenal: al-Qur’an bayna daftay al-mushaf, la yanthiq wainnama yatakallamu
biji al-rijal, nasihatnya kepada Ibn ‘Abbas ketika akan berdebat dengan
Khawarij: la tuhaajjihim bil qur’an fainna al-qur’an hammalu aujuhin, serta
responsnya terhadap kelompok Mu’awiyah yang mengajukan arbitrase: bil ams,
harabnahum ‘ala tanzilihi, wa al-yaum, nuharibihum ‘ala ta’wilihi.
Meski demikian,
bagi Abu Zayd, sekalipun ‘Ali menyebutkan adanya kelompok yang “bermain-main”
dengan ta’wil ketika itu, ia tidak berarti memberikan konotasi negatif
yang menciderai (dilalah mu’ibah) muatan konseptual dalam istilah ta’wil
yang ketika itu telah terbentuk sebagai “proses generik” dalam aktivitas (‘amaliyyah/act)
menafsir kitab suci. Hal ini hanya untuk memperlihatkan bahwa kerja ta’wil
bukan sesuatu yang sederhana, ada kompleksitas di sana, bahkan untuk para
sahabat sendiri yang sering bertanya terkait makan suatu kata kepada Nabi
Muhammad. Abu Zayd juga mengingatkan adanya “kekhawatiran” yang dirasakan
secara umum oleh generasi pertama untuk melakukan ta’wil, sebagaimana
perkataan Abu Bakar: ayyu ardlin taqilluni, wa ayyu sama’in tudzilluni idza
qultu fil qur’an bi ra’yi, yang sayangnya, menurut Abu Zayd, sering dikutip
dalam argumen generalisasi larangan ta’wil.
Seiring pertumbuhan
masyarakat Islam dengan dinamika politik yang tidak sesederhana sebelumnya, ta’wil
acap kali dikaitkan dengan berbagai kepentingan mereka, pada suatu masa di mana
– apa yang kita sebut saat ini sebagai – entitas agama dan politik mengendap
dalam satu identitas yang tak mudah dibedakan. Sekalipun ta’wil memiliki
medan makna yang nir-politik sebagaimana disebutkan, berbagai dinamika terutama
peristiwa tahkim, pada akhirnya menjadi situasi yang menjadi pintu
gerbang bagi infiltrasi modus pemaknaan lain yang berbeda.
Di generasi selanjutnya,
ketika ta'wil dikaitkan dengan berbagai kepentingan itu, legitimasi
al-Qur'an kemudian diideologisasi. Perlahan, hal ini menciptakan konotasi buruk
bagi ta’wil karena dijadikan sebagai alat manipulasi politik (al-tala'ub
al-siyasi). Seiring meruncingnya aliran kalam seturut dengan
dinamika politik yang terfragmentasi di Abad ke-4 H, istilah mu'awwilah
menjadi label yang menghimpun kelompok Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, dan
Mutasawwifah. Alasan Abu Zayd mengasumsikan Abad ke-4 H sebagai titik penting
dalam pergeseran makna ta’wil didasarkan pada titik awal kematangan
pemikiran Syi’ah di level falsafah pada abad tersebut di samping menjadi masa
di mana rivalitas antara kekuasaan Sunni yang diwakili Kekhalifahan ‘Abbasiyyah
dan kekuasaan Syiah yang merentang hingga Kairo (Fatimiyyah) menemukan titik
puncaknya. Abad itu juga menyaksikan kebangkitan kembali politik keagamaan Sunni
yang dimulai sejak kekuasaan al-Mutawakkil (memerintah: 232-247 H), yang
sebelumnya dibungkam oleh dominasi paham Mu’tazilah yang menjadi mazhab resmi
istana sejak masa al-Ma’mun (memerintah: 198-218 H) dan al-Mu’tashim (218-227).
Dalam masa tersebut,
karena semakin terlokalisir dalam fragmentasi mazhab kalam yang merupakan
produk yang dihasilkan oleh dinamika politik-agama, ta’wil perlahan
diasosiasikan dengan tahrif (penyimpangan) dalam memahami al-Qur'an. Hal
inilah yang menjadi faktor pendorong naiknya pamor tafsir, sebuah
istilah “netral” yang menjadi simbol pembebasan dari
penyimpangan dalam memahami kitab suci. Atas dasar inilah, Abu Zayd
menyimpulkan bahwa memasuki abad ke-4 H, ada sebuah kecenderungan di kalangan
mayoritas ulama Islam, kecuali kelompok Sufi dan Syi'ah, untuk lebih
mengunggulkan dan mempromosikan istilah tafsir daripada ta'wil
yang terlanjur terstigma negatif. Lantas bagaimana relasi antara kedua istilah
baik sebelum dan sesudah fase tersebut?
Tak berlebihan
jika dikatakan, kata Abu Zayd, bahwa istilah ta’wil lebih populer
berkali-kali lipat di masa pewahyuan al-Qur’an dibanding dengan tafsir,
dengan alasan yang telah disebutkan. Hal ini dikarenakan, kata tafsir,
ketika itu, sepadan dengan makna tarjamah dalam konteks pemaknaan saat ini. Dalam aktivitas “menjelaskan
teks al-Qur’an” (syarh al-nass al-qur’an) ketika itu, tafsir adalah
“pengantar” yang secara niscaya akan dilalui oleh kerja ta’wil, karena
ia terkait dengan penjelasan di level kosakata (ma’ani al-mufradat)
sebelum mengeksplorasi petunjuk makna di balik tirai teks al-Qur’an. Dalam
hal ini, Abu Zayd – meskipun belum sampai kepada asumsi terkait penggunaan
pertama tafsir sebagai istilah dalam makna yang dikemukakannya –
menunjukkan sebuah bukti penting untuk melegitimasi makna tafsir semacam
ini, yakni karya Ibn Jinni (w. 392 H) yang berjudul Kitab al-Fasr, sebuah
penejelasan atas kosakata dalam syair-syair al-Mutanabbi.
Karya-karya tafsir
– dalam makna tersebut – di masa awal, tercermin dalam literatur ghara'ib
al-Qur'an, ma'ani al-Qur'an, dan sejenisnya - meskipun mereka tidak mendaku
sebagai tafsir. Maka, setiap ta’wil mencakup tafsir, tapi
tidak sebaliknya. Bagi Abu Zayd, hal ini secara terang benderang didemonstrasikan
oleh karya komprehensif pertama dalam aktivitas “menjelaskan teks al-Qur’an”,
yakni Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Ibn Jarir al-Thabari (w.
310 H). Sebelum menjelaskan sebuah ayat, al-Tabari biasanya menyebutkan ta’wilu
qaulihi ta’ala …. Bagi Abu Zayd, karya al-Thabari dibentuk baik oleh ilmu
al-Qur'an yang diriwayatkan ('ulum al-qur'an al-naqliyyah) maupun kerja
otentik ta'wil ('amaliyyat al-ta'wil al-haqiqi) itu sendiri, sebagai
sebuah upaya untuk sampai pada petunjuk makna. Dalam konteks inilah, ta’wil
masih dalam kerangkanya yang generik dalam proses menjelaskan kitab suci.
Subyek yang
mengoperasikan ta’wil bagi Abu Zayd, tidak monolitik. Seiring perkembangan keilmuan dan
kebudayaan, pemangku otoritas ta’wil (marja’iyyat al-ta’wil)
semakin banyak, mulai dari ahli bahasa, fikih, kalam, bahkan falsafah, sesuatu
yang sejatinya wajar dalam konteks peradaban yang semakin berkembang, di mana
seluruh dinamika intelektual di dalamnya bermuara kepada rujukan (baca: teks)
pertama; Al-Qur’an itu sendiri. Ta’wil (yang juga mencakup kerja tafsir), dalam konteks ini, menjadi instrumen
pertama dan utama dalam proses korespondensi antara teks pertama dengan beragam
teks turunannya.
Hal yang
diproblematisasi Abu Zayd, kemudian, adalah fakta adanya “ambivalensi” dalam catatan
sejarah ta’wil di masa generasi Muslim pertama; antara ketakutan mereka
untuk melakukan ta’wil sebagaimana dicerminkan perkataan Abu Bakr dan
afirmasi terhadap kerja ta’wil, dengan segala kompleksitas dan
risikonya, sebagaimana diperlihatkan oleh perkataan Ali bin Abi Talib
sebelumnya. Bagi Abu Zayd, hal ini menunjukkan sebuah kompleksitas; ta’wil adalah
kensicayaan yang harus dilakukan, akan tetapi ia bukan hal yang mudah, ada
kompleksitas di sana, serta jangan sampai ia dijadikan sebagai instrumen untuk
manipulasi politis. Demikianlah pesan yang ditangkapnya kesan ambivalensi itu.
Akan tetapi, Abu
Zayd menyayangkan bahwa setelah Abad ke-4 H dan ke-5 H, ada kelompok yang
“memanfaatkan” potensi ambivalensi dalam ta’wil tersebut dan
“bermain-main” dengan perkataan para sahabat di atas. Terbentuklah gagasan
tentang al-ra’y al-madzmum dan al-ra’y al-maqbul dalam kerja ta’wil.
Yang pertama dibuat untuk mendenotasi ijtihad para “fuqaha
Ahlussunnah” sedangkan yang kedua merujuk kepada selainnya. Maka, dalam
karya-karya ulama muta’akhkhirin, terutama Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dan muridnya,
Ibn Qayyim (w. 751 H), muncullah peringatan terkait tafsir yang
berbahaya dan ta’wil yang menyimpang. Sebelumnya, evaluasi yang
mencerminkan dikotomi tersebut tercermin dari komentar Ibn Munayyir (w. 683 H)
yang menulis hasyiyah atas al-Kasyyaf karya al-Zamakhsyari (w. 538
H), di mana, “seolah-olah” ia menyaring konten al-Kasyyaf menjadi dua
divisi; materi balaghah sebagai ra’y maqbul, dan aspek I’tizal
sebagai madzmum.
Mayoritas material
yang direviu di sini adalah bagian
awal dari artikel Abu Zayd. Bagian kedua lebih terkait dengan upaya Abu
Zayd untuk kembali memanggil spirit ta’wil sebagaimana dipahami generasi
pertama. Baginya, upaya pengarusutamaan tafsir yang meniadakan kerja ta'wil telah
menimbulkan kerancuan baik secara terminologis maupun dalam tugas penafsiran
itu sendiri. Dalam hal ini, Abu Zayd menguraikan beberapa problematika dalam ta'wil
baik pada masa lalu maupun masa sekarang. Problem yang melekat dalam kerja ta'wil
di dunia Muslim kontemporer, bagi Abu Zayd, juga merupakan problem bersama yang
menyebabkan stagnasi dunia Muslim secara umum, yaitu tertutupnya gerakan ijtihad.
Catatan Pinggir
Terlihat bahwa Abu
Zayd berbicara dalam dua aksen; eksplorasi modus epistemologis dalam tafsir-ta’wil
sebagai sebuah ‘amaliyyah syarh al-nass al-qur’an dan historiografi tafsir-ta’wil
sebagai sebuah istilah teknis penanda sebuah segmentasi sejarah intelektual
berbasis disiplin keilmuan. Dibanding yang kedua, nampaknya Abu Zayd lebih
menitikberatkan yang pertama, karena artikel Isykaliyyat al-ta’wil qadiman
wa hadisan, ditulis untuk agenda revitalisasi dalam berinteraksi dengan
kitab suci, dibanding secara khusus merekam sejarah “evolusi tafsir ke ta’wil”
– yang mencerminkan aspek kedua. Oleh karenanya, wajar jika Abu Zayd
menarik ta’wil melampaui batas-batas disipliner dan membingkainya dalam
narasi besar ijtihad.
Meski demikian,
ia memberikan data-data berharga dalam historiografi tafsir-ta’wil; ia
menyoroti bagaimana ta’wil sebagai istilah yang relatif stabil di masa
awal Islam kemudian tergeser pamornya oleh tafsir karena alasan
politik-keagamaan dan ada kecenderungan di kalangan mayoritas ulama, selain ulama Sufi dan Syi’ah, sejak Abad ke-4 H untuk mengarusutamakan tafsir daripada
ta’wil yang terlanjur berkonotasi negatif karena pecaturan mazhab
kalam. Pergeseran ini tentu
saja membawa makna baru untuk tafsir dalam penggunaannya sejak Abad ke-4
H sebagai “pengganti” ta’wil yang sebelumnya jamak digunakan oleh ulama
yang menulis karya khusus yang berisi “penjelasan” Al-Qur’an; di antara yang
cukup populer adalah Ta’wilat Ahl al-Sunnah, karya al-Maturidzi dan
tentu saja Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qu’ran karya al-Thabari.
Meski demikian,
Abu Zayd tidak sampai mengasumsikan literatur awal yang “mendaku” sebagai tafsir
atau setidaknya menggunakan kata tersebut ketika hendak menjelaskan ayat
al-Qur’an. Jika ia mengacu kepada Kitab al-Fasr karya Ibn Jinni
di Abad ke-4 M, untuk melegitimasi muatan makna tafsir sebagai “analisis
kosakata” – yang merupakan pengantar
yang niscaya untuk ta’wil – dan ia terapkan makna tersebut kepada masa
sebelum Abad ke-4 H dalam literatur ma’anil qur’an, gharibul qur’an, dll.,
maka ia belum menyebutkan landasan yang dapat dijadikan basis untuk
mengkonstruksi pola yang berbeda dalam makna tafsir – sebagai pengganti ta’wil
– pasca abad ke-4 H. Apakah tafsir pasca abad ke-4, sebagai istilah
untuk “menyelamatkan” dan “melepaskan” proses menjelaskan kitab suci dari kotak
mazhab kalam, muncul untuk menormalisasi sektarianisme kalam dalam karya-karya ta’wil?
atau ia merupakan proses “netralisasi” yang justru berbasis kepada satu mazhab
kalam tertentu (Sunni)? dan serangkaian pertanyaan lainnya. Jawaban untuk pertanyaan ini hanya bisa
dijawab melalui studi yang serius terhadap karya-karya tafsir di periode
tertentu dan dianalisis secara kritis berdasarkan perkembangan mazhab
kalam itu sendiri.
Aksentuasi Abu
Zayd dalam fase di mana ta’wil mendenotasi tahrif merupakan isu
yang sangat penting. Implikasinya adalah tujuan
untuk mendikotomi benar-salah, sejatinya bukan karakter dasar dari ta’wil pada
pemaknaan awalnya, melainkan ia ditimbulkan dari mazhab kalam yang dimobilisasi
oleh percaturan politik-keagamaan yang potensinya telah ada sejak generasi
pertama dan semakin terfragmentasi di abad-abad selanjutnya. Isu lain yang
layak dipertanyakan berdasarkan penjelasan Abu Zayd adalah, jika ta’wil tidak
survive dalam pergumulan terminologis terkait amaliyyat syarh nash
qur’an, dan justru tergeser oleh tafsir dan bahkan terlokalisir
dalam kotak “mazhab kalami”, lantas apa yang menyebabkan tafsir dapat
menjaga stabilitasnya sebagai istilah teknis-disipliner hingga saat ini?
Hal ini tentu saja hanya dapat dijawab dengan kerja riset
dan argument Abu Zayd ini perlu didialogkan dengan karya lain dalam tema
serupa. Bisa jadi, ia terkait dengan dinamika yang ditimbulkan oleh manuscript
culture, di mana peran penyalin sangat besar di dalamnya. Selain itu, peran
print-culture di mana editor berperan dalam pelestarian dan
“penemu-ciptaan” tafsir juga menjadi wilayah riset yang menjanjikan
untuk menjawab pertanyaan ini. Tren riset semacam ini dicontohkan oleh
Ahmad El-Syamsi dalam karyanya Rediscovering the Islamic Classics: How
Editors and Print Culture Transfor med an Intellectual Tradition (2020) https://thesuryakanta.com/2020/06/percetakan-dan-kebangkitan-tradisi-html/).
Hal ini juga menarik untuk didialogkan dengan temuan-temuan Walid
Saleh, salah satu sarjana terpenting dalam isu “penemu-ciptaan” tafsir saat ini.
Selain menulis dalam lingkup sejarah tafsir klasik-pertengahan dengan
memunculkan temuan-temuan yang merevisi anggapan sebelumnya tentang tafsir,
seperti yang ditulis dalam The Formation of Classical Tafsir Tradition dan
banyak tulisan lainnya, ia juga memberikan kontribusi penting dalam redefinisi
tafsir di masa modern dan perbedaan mendasarnya dengan pra-modern seperti yang
ia tulis dalam Contemporary Tafsir: The Rise of Scriptural Theology (https://studitafsir.com/wp-content/uploads/2022/05/Edriyani_Tafsir-Kontemporer-Edit-2.pdf
Hal ini juga relevan untuk dikorelasikan dengan gagasan
Nilda Hayati dalam tulisannya “Kontribusi al-Suyūṭī dalam Historiografi Tafsir
Al-Qur’an: telaah Atas Kitab Ṭabaqāt al-Mufassirīn Karya al-Suyūṭī”, https://jurnalsuhuf.online/index.php/suhuf/article/view/147/139 terkait pemapanan identitas tafsir-mufassir-kutubtafsir/tafaasir
yang dibentuk dan dilestarikan oleh penulisan historiografi tafsir al-Qur’an
yang tercantum dalam kamus-kamus biografi/prosopografi seperti literatur tarikh
dan tabaqat, terutama genre tabaqat al-mufassirin, yang turut
meneguhkan identitas kelompok mufassir sekaligus identitas disipliner tafsir
al-Qur’an.
Arena ini dan sejarah tafsir pada umumnya, telah lama
menjadi ranah riset kesarjanaan saat ini mulai dari upaya yang dilakukan
beberapa sarjana seperti Claude Guillot, John Burton, Jane Damn McAuliffe, hingga
Ahmidah Nayfar dan Johanna Pink dan gerakan platform studitafsir.com di
Indonesia. Fase di mana tafsir menggantikan ta’wil, pada
prinsipnya masih diakui sebagai wilayah yang “gelap” oleh sarjana-sarjana
tersebut. Materi dari Abu Zayd
dituliskan di sini sebagai bentuk kontribusi kecil untuk memantik geliat riset
studi tafsir-ta’wil bagi pembaca Indonesia. Terlihat bagaimana sebuah kompleksitas masih
menunggu untuk diurai dan bengkalai masih berserakan dalam studi tafsir;
realitas “ada”-nya tafsir dan proses meng-“ada”nya hingga hari ini masih
menjadi sesuatu yang senantiasa relevan untuk diperbincangkan!
Tawangmangu, 21-06-2022
Leave a Comment