Diktat Perkuliahan Milik alm. Prof. Simuh
Beres-Beres Buku Collector’s Item
Seri menggurat masa lalu, saya niatkan sebagai dokumentasi
untuk apa yang saya catat secara acak selama merapikan koleksi buku hibah dari alm. Prof.
Simuh (1933-2015) dan alm. Prof. Burhanuddin Daya (1938-2014) yang tersimpan di
Ruang Referensi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUPI) UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Selain menjadi monumen yang menandai salah satu fase penting dalam
sejarah intelekual FUPI, koleksi ini penuh dengan buku-buku antik (collector’s
item) dalam bidang ilmu tertentu.
Koleksi buku hibah Prof Simuh tentu
merupakan artefak intelektual yang berharga bagi FUPI. Bagaimana tidak, ia
adalah warisan dari sosok yang namanya diabadikan sebagai nama gedung FUPI itu
sendiri; Gedung Prof. Simuh. Tentunya, pemilihan nama ini bukan tanpa alasan. Ia
adalah intelektual-cum-birokrat; selain pernah menjabat dekan FUPI dan rektor UIN
Sunan Kalijaga (1992-1996), Prof. Simuh juga dikenang sebagai salah satu ahli sufisme
Jawa terbaik yang pernah dimiliki UIN Sunan Kalijaga. Siapa pun yang meneliti
sastra dan tasawuf Jawa, tidak boleh melewatkan buku-bukunya yang fenomenal seperti
Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita dan Sufisme Jawa:
Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Di antara yang paling berharga
dalam koleksi buku hibah Prof. Simuh sendiri barangkali adalah karya-karya
sastra Jawa berupa suluk, serat, dan babad yang menjadi sumber
primer dalam kajian sastra dan sufisme Jawa.

Koleksi Literatur Beraksara Jawa alm. Prof. Simuh
Selain itu, koleksi berharga lain dalam buku hibah Prof. Simuh adalah dokumen pribadinya selama belajar di PTAIN Yogyakarta yang kemudian menjadi IAIN Al-Djami'ah al-Islamiyyah Al-Hukumiyyah, mulai dari diktat-diktat kuliah hingga catatan tangan selama belajar di kelas. Dokumen-dokumen yang kini telah menjadi “manuskrip” itu menjadi saksi bisu karir intelektual Prof. Simuh, di satu sisi, dan juga menjadi artefak berharga bagi siapapun yang ingin memotret nuansa sejarah intelektual di masa PTAIN Yogyakarta (1951-1960) dan IAIN Al-Djami'ah (1960-1965).

Koleksi Diktat Perkuliahan Milik Prof. Simuh
Koleksi buku Prof. Burhanuddin Daya juga menjadi sebuah monumen penting khususnya bagi sejarah keilmuan perbandingan agama di FUPI. Jika kita sepakat bahwa “kekagetan metodologis” pertama di IAIN dibawa oleh Prof. H.M. Rasjidi pada dekade 1950-an, maka “kekagetan kedua” yang lebih besar dibawa oleh Prof. Mukti Ali sejak akhir dekade 1960-an sepulangnya beliau dari McGill. Dalam ijtihad metodologi Prof. Mukti Ali, jurusan Perbandingan Agama yang didirikannya adalah salah satu tempat persemaian terpenting. Maka, isu-isu dalam kajian Perbandingan Agama ketika itu adalah di antara ranah pertama di mana ijtihad metodologi tersebut dieksperimentasikan.
Jika Prof. Mukti Ali disebut-sebut sebagai Bapak Perbandingan Agama yang mempromosikan kajian tersebut dalam kancah PTKI di awal 1960an, maka Prof. Burhanuddin Daya adalah alumni Jurusan PA Angkatan kedua dan seorang kader andalan Mukti Ali yang memulai karirnya sejak awal dekade 1970-an. Kontribusi terbesarnya barangkali adalah membawa kajian Perbandingan Agama ke kancah yang lebih luas di seperempat abad pertamanya. Seiring menjamurnya Jurusan Perbandingan Agama di beberapa kampus IAIN di Indonesia dengan IAIN Sunan Kalijaga sebagai center of excellence-nya, kajian Perbandingan Agama telah meraih rekognisi nasional bahkan internasional. Beberapa seminar nasional telah digelar dan publikasi mulai menjalar dalam semarak kajian perbandingan agama di IAIN seluruh Indonesia. Dinamika ini bahkan terekam dalam 2 seri publikasi INIS Materials terkait kajian perbandingan agama di Indonesia dan Belanda dengan Prof. Burhanuddin Daya sebagai salah satu convenor-nya.

Seri Publikasi INIS Materials dan INIS Leters dalam Koleksi Buku Hibah Prof. Burhanuddin Daya
Dengan keanggotaannya di KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) yang berbasis di Leiden, Belanda, Prof. Burhanudin Daya juga berlangganan jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde yang fenomenal dalam kajian ke-Indonesiaan dan telah terbit sejak 1853. Artinya, ketika artikel ini dituliskan, publikasi jurnal ini telah berumur 170 tahun!
Di antara Koleksi Jurnal BKI Prof Burhanuddin Daya
Merawat Ingatan Untuk Otentisitas dan Otonomi
Di seri berikutnya, catatan menggurat masa lalu akan secara langsung beranak-judul suatu isu tertentu yang saya temukan baik selama proses book-shelving maupun berdasarkan telaah ringan bersama kolega di FUPI atas beberapa dokumen yang tergolong “antik” dan “unik”. Dalam seri catatan ini, pembaca tentu saja tidak akan menemukan sebuah katalog atau narasi yang sistematis, melainkan semacam orat-oret ringan yang bisa jadi sangat acak dan tidak berkala. Konteks langsung untuk catatan ini adalah sivitas akademika FUPI UIN Sunan Kalijaga, baik mereka yang berminat untuk menyelidiki sejarah intelektual FUPI dan UIN SUKA melalui perspektif "sejarah buku" atau mereka yang sekedar ingin mengetahui nuansa kampus ini di masa silam, meskipun ia mungkin juga akan menemukan relevansi dengan pihak di selainnya.
Secara normatif, catatan menggurat masa lalu diniatkan untuk merawat sejarah (intelektual) FUPI UIN SUKA sebagaimana tercermin melalui koleksi buku milik dua sosok penting di atas. Pencapaian hari ini, tentu saja berdiri kokoh di atas undakan prestasi yang telah dirintis sebelumnya. Pembaruan barangkali adalah keniscayaan, namun keberakaran tak sepatutnya diabaikan. Sebagai institusi yang mengemban amanah ilmiah, perguruan tinggi tentu saja memusatkan seluruh aktivitasnya kepada aspek pengembangan dan pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam hal inilah kita dapat meletakkan unsur daya cipta yang menjadi watak dasar dalam metodologi ilmiah. Oleh karena itu, kita barangkali akan menemukan patahan-patahan tertentu dalam perjalanan sejarah intelektual di UIN SUKA. Setidaknya, saya sendiri sudah begitu akrab dengan dua jargon ilmiah yang sering disebut oleh sivitas akademika di kampus ini; saintifik-cum-doktriner dari Prof. Mukti Ali di periode IAIN, hingga I-Kon (Intergrasi-Interkoneksi) dan MIT (Multi-disiplin, Inter-disiplin, dan Trans-disiplin) dari Prof. M. Amin Abdullah di periode UIN, dan kita (setidaknya penulis catatan ini) hampir kehilangan ingatan tentang jargon apa yang kiranya diingat secara kolektif di masa PTAIN Yogyakarta (untuk hal ini, diperlukan kiranya untuk mencari informasi “A-1” dari para saksi sejarah di masa PTAIN, sebuah gerilya yang sangat ingin saya lakukan di masa mendatang).
Dalam proses membangun sebuah rumah akademik dengan tradisi ilmiah, durasi yang panjang dibutuhkan untuk bersemainya kerja-kerja akademik di bawah payung paradigma tertentu. Hanya saja, pertanyaan yang harus senantiasa membersamai; apakah aktivitas pengembangan dan pembangunan keilmuan telah tumbuh secara otentik dan otonom? Yang pertama dimaksudkan kepada sebuah proses yang menjadi konsekuensi logis dari suatu pengakuan (dalam mengemban sebuah amanat ilmiah), sedang yang kedua memastikan sebuah aktivitas untuk tetap dalam koridor “dari dan untuk” komunitas pembangun dan pengembang-nya.
Untuk menginternalisasi hal pertama, penguatan metodologis adalah kerja utama yang tak berkesudahan. Jika dianggap selesai, seketika ia akan menjadi doktrin yang mendaku absolutisme. Penyelidikan ilmiah dan perumusan metodologinya, dengan demikian, adalah kerja abadi yang senantiasa berupaya mengeja kebenaran yang kompleks. Adapun dalam upaya mewujudkan pengembangan keilmuan yang otonom, kita harus terlebih dahulu membangun narasi a priori tentang bagaimana sivitas akademika akan terlibat dalam upaya tersebut; apakah mereka diposisikan dalam sebuah check-point sebagai faktor produksi dalam pembangunan keilmuan atau dalam sebuah titik berangkat sebagai subyek yang berdaya-cipta?
Jika kita sepakat untuk menarik opsi kedua sebagai prinsip otonom, maka segala upaya pengembangan akan muncul dari kesadaran yang mengakar kuat kepada realitas sivitas akademika kita. Hal ini kemudian juga menuntut adanya sebuah agenda untuk mengungkap (baca: meneliti) realitas diri kita sendiri untuk dijadikan batu pijakan sekaligus titik tuju. Ketika realitas diri itu telah muncul dan tercerap secara kokoh, makai ia dapat menjadi sebuah substratum untuk sebuah proses daya-cipta yang tentunya dapat sampai kepada perumusan theoretical construct-nya sendiri. Maka, seberapa seringkah kita ber-muhasabah dengan merawat ingatan tentang siapa kita dan bagaimana kita menempatkan diri sendiri dalam titik a priori?
Leave a Comment