| 0 Comments | 1532 Views
Islam adalah agama
yang realistis alias waqi’i, begitu kata Syaikh al-Qaradhawi.
Ia memang datang sebagai wahyu terakhir dengan segala kondisi-kondisi ideal
yang diinginkannya. Namun sebagai bagian dari proses pendidikan pada manusia,
bahkan di masa turunnya, ia selalu berdialog dengan keadaan nyata yang tentu
tidak melulu indah.
Maka betapapun
Islam mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan seorang perempuan, di kota
Madinah pada masa hidup Rasulullah sekalipun, ternyata terjadi juga kejahatan
seksual. Hikmahnya, kita bisa belajar bagaimana baginda kita Muhammad saw
memperlakukan korban, tertuduh, dan pelaku dalam kejadian itu. Peristiwa itu
terekam di dalam beberapa kitab hadis. Dengan mengharapkan berkah dari ucapan
serta peri hidup mulia Rasulullah, mari kita baca bersama hadisnya dengan utuh
menurut riwayat Imam Abu Dawud di dalam Sunan-nya ;
عَنْ عَلْقَمَةَ
بْنِ وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ امْرَأَةً، خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم تُرِيدُ الصَّلاَةَ فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ فَتَجَلَّلَهَا
فَقَضَى حَاجَتَهُ مِنْهَا فَصَاحَتْ وَانْطَلَقَ فَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ
فَقَالَتْ إِنَّ ذَاكَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا وَمَرَّتْ عِصَابَةٌ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ فَقَالَتْ إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا .
فَانْطَلَقُوا فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا فَأَتَوْهَا
بِهِ فَقَالَتْ نَعَمْ هُوَ هَذَا . فَأَتَوْا بِهِ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا . فَقَالَ ” اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ
لَكِ ” . وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلاً حَسَنًا . قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِي
الرَّجُلَ الْمَأْخُوذَ وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا ”
ارْجُمُوهُ ” . فَقَالَ ” لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ
الْمَدِينَةِ لَقُبِلَ مِنْهُمْ ” . قَالَ أَبُو دَاوُدَ رَوَاهُ أَسْبَاطُ
بْنُ نَصْرٍ أَيْضًا عَنْ سِمَاكٍ .
Artinya; Dari
Alqamah bin Wail, dari Ayahnya, ia meriwayatkan bahwa pada masa Nabi, seorang
wanita pernah berangkat salat, lalu seorang lelaki menyergapnya dan memaksakan
dirinya pada perempuan itu (menyerangnya secara seksual), setelah selesai
melakukan aksinya, lelaki itu pergi. Perempuan itu lalu berteriak-teriak ketika
ada seorang lelaki yang lewat. Perempuan itu berteriak, “Lelaki itu melakukan
begini dan begini kepadaku”. Teriakannya didengar oleh sekelompok kaum
Muhajirin yang juga lewat di tempat itu. Mereka lalu menangkap lelaki yang
dituduh oleh si perempuan.
Lelaki itu kemudian
dihadapkan kepada Nabi Muhammad saw. Ketika Rasulullah hendak menghum si
tertuduh, berdirilah seseorang yang mengaku sebagai pelaku yang sesungguhnya.
Rasulullah saw lalu bersabda kepada perempuan itu, “Pergilah, sesungguhnya
Allah telah mengampunimu”. Rasulullah juga berkata kepada si tertuduh dengan
kata-kata yang baik. Beliau saw kemudian bersabda, “Rajmalah ia! (lelaki yang
mengakui perbuatannya itu)”, beliau lalu bersabda, “Lelaki ini telah
sungguh-sungguh bertaubat sehingga sekiranya semua penduduk Madinah bertaubat
dengannya, maka taubat mereka pasti akan diterima”. (HR. Abu Dawud)
Dari riwayat ini,
ada beberapa pelajaran penting yang bisa dikontekstualisasikan ke wacana
kejahatan seksual di masa kita. Hadis ini dengan baik merekam bukan hanya
perlakuan Rasulullah kepada penyintas, tapi juga kepada korban tuduhan keliru,
serta pelaku dari sebuah kejahatan seksual. Namun pertama-tama, mari perhatikan
bagaimana beliau memperlakukan perempuan yang menjadi penyintas kejahtan
seksual itu.
Kita lihat beliau
sangat memperhatikan keadaan psikologis sang perempuan. Beliau tidak memulai
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa pergi tanpa mahram? Mengapa lewat
di jalan itu? Apakah kau benar-benar dipaksa atau kau juga menikmatinya?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar konyol bagi mereka yang waras. Tapi
percaya atau tidak, bahkan di dalam BAP Polri ada pertanyaan senada itu.[1]
Beberapa aktivis
menengarai bias victim blaming masih bercokol di persepsi
publik soal korban kejahatan seksual. Alih-alih menginterogasi pelaku, malah
korban yang dikejar berbagai asumsi dan pertanyaan. Di sini Rasulullah sangat
layak menjadi teladan. Betapapun beliau pernah bersabda bahwa perempuan lebih
baik salat di rumah, dalam situasi ini, beliau tidak lantas mengangkat masalah
itu.[2] Padahal
bisa saja beliau berkata semisal, “Kan sudah saya beritahu, salat di rumah
saja!’ Atau pertanyaan serta pernyataan senada.
Bukti lain
bagaimana Rasulullah sangat memperhatikan keadaan psikologis si penyintas adalah
perkatannya kepada perempuan itu setelah pelaku aslinya mengaku. Ucapan beliau,
“Pergilah, sesungguhnya Allah telah mengampunimu” menunjukan bahwa tindakan
penyintas melaporkan kejadian malang yang menimpanya tidak termasuk
pidana qazaf; ia tidak sedang menuduh seseorang berzina.
Meskipun terbukti bahwa lelaki yang awalnya ia tuduh ternyata tidak bersalah.
Ibnu Ruslan menerangkan bahwa tuduhan itu gugur sebab keadaan psikologis si
perempuan. Ketika ia diserang, ia mengalami guncangan psikologis yang sangat
berat sehingga ia tidak bisa benar-benar melihat dan mengingat rupa pelakunya.[4]
Teladan mulia Rasulullah di dalam
hadis ini juga menjadi landasan para fukaha menetapkan bahwa perempuan yang
dipaksa berhubungan badan di luar hubungan sah tidak dikenakan hukuman.[3] Beliau
bahkan menegaskan bahwa Allah ta’ala telah mengampuni perempuan itu. Menurut
Ibnu Ruslan, kaliamt Rasulullah tersebut juga berarti si penyintas memperoleh
kasih sayang Allah dengan mengakunya pelaku yang sebenarnya.
Penegasan
Rasulullah bahwa Allah telah mengampuninya memiliki implikasi lain yang juga
cukup penting bagi si penyintas. Hal itu adalah sebuah penekanan bawha Ia tidak
perlu membebani jiwanya dengan rasa bersalah telah berzina, atau melakukan
tuduhan palsu. Allah mengampuni dan menyayanginya, sehingga ia tidak perlu
kehilangan harga dirinya.
Dalam studi tentang
kejahatan seksual yang terjadi berkali-kali, ditemukan bahwa kadang seorang
perempuan mengalami reviktimisasi sebab ia sendiri telah kehilangan harga
dirinya. Fakta bahwa seseorang telah menyetubuhinya – meski dengan paksaan – diinternalisasikan
sebagai penegasan bahwa ia tidak lagi berharga. Perempuan yang terjebak dalam
trauma seperti itu cenderung menganggap normal perlakuan buruk pada dirinya.[5]
Namun demikian,ide
tentang perlunya menghindari victim blaming tetap perlu ditengok dengan kritis. Jika yang dimaksud adalah kita tidak
boleh mengingatkan saudari Muslimah untuk menjaga dirinya, dengan menututp
aurat misalnya, maka itu perlu ditolak. Memang gaya pakaian sering tidak ada
hubungannya dengan kejahatan seksual. Seseorang bisa berbusana syar’i tapi
tetap menjadi korban. Seperti sahabiyah dalam riwayat hadis di atas.
Perlu diingat bahwa ajakan
menutup aurat tidak serta merta berarti memaklumi serangan seksual kepada
mereka yang tidak menutup aurat. Sebagai Muslim hal ini perlu benar-benar kita
hayati. Reotrika “jangan atur pakaianku, suruh mereka jangan memperkosa/don’t
tell me what to wear, tell them not to rape” bagi kita tidak begitu relevan.
Pertama, hak Muslim untuk berpakaian sesuai agamanya dijamin konstitusi, begitu
pula hak untuk menyiarkan ajaran agama. Kedua, telling people not to rape sudah
bagian integral dari agama kita. Maka mari teladani akhlak Rasulullah dalam
perlakuan kita pada para penyintas kejahatan seksual.
Wallahu a’lam.
[1] https://tirto.id/bap-polisi-apakah-saudari-menikmati-berhubungan-seks-atau-tidak-cAy8
[2] Hadis ini juga diriwayatkan Abu Dawud.
Derajatnya masih diperselisihkan, ada yang melemahkan ada pula yang
menganggapnya sahih.
[3] Al-Imam al-Allamah Syihabuddin Ali Ibnu Ruslan
al-Maqdisi al-Ramly, Syarhu Sunani Abi Dawud, 17/287.
[4] Ibid
[5] Benedicta Herlina Widiastuti. “Persepsi dan
Reviktimisasi pada Perempuan Penyintas Kekerasan Seksual.” Ristekdikti:
Jurnal Bimbingan dan Konseling 5.2 (2020).
Leave a Comment