| 0 Comments | 485 Views

Card Image

Perjanjian Westphalia 1648 menandakan berakhirnya tatanan lama di Eropa dan dimulainya sebuah tatanan internasional baru. Namum karena pada tahun-tahun setelah Westphalia, yakni dari abad 17 hingga abad 21 ini, Barat sangatlah dominan, maka buah dari Westphalia menjadi sesuatu yang mengglobal. Pada awalnya, dampak Wesphalia hanya terjadi di Eropa saja, dimana konflik Protestan dan Katolik dalam perang 30 tahun berakhir sehingga konsolidasi nasional dan internasional tidak lagi berdiri di atas asas agama, melainkan kepada might of nation.

Anggota suatu negara tidak lagi melihat diri mereka sebagai bagian dari komunitas agama, sehingga alligiance (loyalitas) tidak lagi berdasarkan agama, melainkan berdasarkan perasaan sebangsa (nation), sehingga layak hidup senegara (state). Oleh karena itu lahirlah cikal-bakal negara-bangsa. Meskipun hal itu tidak terjadi serta merta.

 Setelah Westphalia, beberapa monarki yang memiliki kaitan erat dengan agama masih bertahan seperti Kekaisaran Romawi Suci, Kerajaan Inggeris, Perancis, dan Belanda. Namun akibat Westphalia, lama kelamaan monarki-monarki ini mengalami disentgrasi, seperti Kekaisaran Romawi Suci, tergulingkan seperti Prancis, dan mengalami pengurangan kekuasaan besar-besaran dengan munculnya monarki-parlementer seperti Inggris.

Di konteks hubungan internasional, dengan menyurutnya peran agama, maka konflik agama tidak lagi meluas menjadi konflik antara negara. Oleh karena itu, muncul konsep kedaulatan yang dihormati oleh masing-masing negara. Namun menurut Onnekink dkk (2016), dalam War and Religion after Westphalia, agama masih tetap muncul dalam setiap perang dan upaya perdamaian bahkan setelah Westphalia. Hal itu sebab negara-negara yang terlibat merasa perlu memunculkan motif mulia untuk menutupi misi Machiavelis mereka (Wieland, 2011). Hal ini menguatkan tesis Cavanaugh (2009) bahwa meski memasuki masa moderen, konflik akan tetap terjadi dengan motif-motif sekular, hal itu sebab religious violence (pandangan bahwa agama membawa kekejaman), dalam konteks hubungan negara adalah mitos belaka.

Di luar Eropa, proses dekolonisasi juga memunculkan negara-bangsa, sebab banyak di antara pendiri-pendiri bangsa merdeka itu berpendidikan Barat dan memodel negara baru mereka berdasarkan konsep nation-state yang muncul setelah Westphalia. Pembentukan negara-bangsa di negara-negara bekas jajahan ini, menurut Anderson (1991), muncul dari pengaruh pemikiran kaum kolonialis itu dalam membentuk imagined community di kalangan bangsa terjajah. Basis dari imagined community ini tidak selalu agama. Melainkan pokokny ada pada perasaan sebangsa yang kemudian menajdi nasionalisme yang salah satunya terbentuk melalui vernakular baru yang didukung meluasnya mesin cetak, serta didorong Kapitalisme. Jadi, dengan sendirinya, peran agama menjadi sesuatu yang tidak diterima begitu saja (taken for granted) dalam bangsa-bangsa baru ini.

Indonesia termasuk di dalam gelombang pembentukan nasionalisme baru itu. Itulah mengapa, proses menentukan tempat agama di dalam negara kita mengalami perdebatan pelik antara kaum kebangsaan sekular, minoritas non-Muslim, Marxis-sosialis, dan Nasionalis-Muslim. Perdebatan-perdebatan ini pada akhirnya menemui titik temu, dalam apa yang disebut sebagai gentlemen agreement, juga pada penghapusan tujuh kata, dimana para ulama yang menjadi perwakilan kaum agama (Islam) seperti KH. Wahid Hasyim (NU), Kasman Singodimedjo, H. Agus Salim (Masyumi), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) menerima dengan legowo ketika tujuh kata dihilangkan. Begitupula perwakilan kaum Islamis seperti Natsir, dan kekuatan politik tradisionalis di NU menerima ketika dekrit presiden Soekarno mengakhiri perdebatan dasar negara di Konstituante.

Meskipun demikian, seperti diakui sendiri oleh Soekarno di dalam dekrit itu, Piagam Jakarta (yang menyebutkan kewajiban menjalankan sayriat secara eksplisit) menjadi jiwa dari UUD 45, sehingga Indonesia tidak bisa dikatakan negara sekular. Akar dari posisi Indonesia ini sendiri ada pada perjuangan umat Islam yang menurut riset Kevin Fogg dalam The Fate of Islamic Nationhood  Independent Indonesia (2012) dan Indonesian Islamic Revolution (2019) selalu menjadikan keislaman sebagai basis dari perjuangan dan cita-cita kemerdekaan mereka.

Seperti yang ditemukan oleh Fogg dalam risetnya tersebut, fatwa jihad KH. Hasyim Asy'ari yang diperingati setiap 
Hari Santri pada 22 Oktober bukanlah fatwa yang benar-benar unik. Selama proses revolusi, banyka fatwa jihad lainnya yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai golongan, dari berbagai tempat. Sebagai contoh, ulama-ulama di Aceh mengluarkan fatwa bernada serupa,  yang ditulis dalam naskah Arab pegon Melayu tertanggal 15 Oktober 1945. 

Maka, meskipun efek Westphalia meluas hingga ke negara-negara jajahan Barat, semangat keislaman para ulama dan santri dari era perlawanan sultan-sultan Nusantara hingga Resolusi Jihad Kiyai Hasiyim Asy’ari menjadikan perasaan kebangsaan umat Islam di Indonesia memiliki dimensi Islam yang tak terpisahkan. Perasaan itu, kemudian mempengaruhi secara signifikan dinamika relasi negara dan agama di Indonesia sehingga tidak menghernakan jika di negara demokratis seperti Indonesia, tetap ada Departemen Agama, universitas negeri berbasis agama, pelajaran agama wajib, dan undang-undang yang mengatur secara keagamaan kehidupan ekonomi dan perdata rakyatnya. Dengan demikian, meski hari santri kita peringati sekali saja dalam setahun, tapi setiap nafas republik ini adalah testimoni pada kuatnya denyut keislaman dalam nasionalisme kita. 


Leave a Comment